Api yang Tak Padam
“Hidup itu bukan hanya untuk dijalani, tapi juga untuk dinyalakan—agar tak hanya kita yang terang, tetapi juga sekitar kita.”
.
Malam itu, hujan turun pelan seperti air mata yang enggan jatuh. Kota menua dalam sunyi, seakan menyimpan napas panjang dari hari-hari yang semakin sibuk dan membingungkan. Di sudut sebuah hotel bintang empat yang dulu digandrungi influencer, seorang lelaki bernama Sahri duduk sendirian di belakang meja resepsionis. Usianya belum tua, tapi wajahnya lelah—seperti telah hidup terlalu lama di dalam kepala orang lain.
Lobi hotel berbau karpet basah dan kopi yang terlambat diminum. Lampu gantung kristal yang dulu memantulkan kilau pesta kini sekadar berpendar hambar; seperti purnama di balik tirai awan. Di luar, Jalan Mayjen Sungkono bergemerisik. Sedan-sedan premium melintas, menyisakan jejak bunyi yang rasional; hidup kelas menengah atas yang berganti-ganti warna lampu, target KPI, dan cicilan kartu kredit.
Sahri menatap layar komputer yang menyala, tetapi pikirannya tidak berada di sana. Ia memikirkan satu pertanyaan sederhana yang dihindari delapan tahun terakhir: kenapa aku masih di sini?
Dulu ia masuk sebagai housekeeping, lalu pindah ke front office. Ia naik bukan karena jabatan kosong, tapi karena ia bisa diandalkan. Namun justru karena bisa diandalkan, semua beban dilemparkan ke punggungnya. Ia mengambil shift orang lain, menenangkan tamu yang ribut, mengganti pop-up banner yang salah ukuran, membetulkan printer yang mogok, sekaligus menjadi juru damai WhatsApp Group karyawan. Ia tidak pernah punya ruang untuk bertanya: Apa yang aku mau?
Di meja kerja, ada catatan kecil berisi daftar “komplain hari ini”: AC kamar 1212 bocor, TV kamar 909 tidak memuat Netflix, roti tawar kehabisan di breakfast jam 9.07. Di bawahnya, tulisan tangannya sendiri: “ingat, tersenyum—bahkan ketika mawar berduri”.
Hujan meruncing, jam digital di resepsionis menunjukkan 23.11. Pintu otomatis menggeser sunyi. Seorang tamu masuk, jas hujan dilipat rapi, koper kabin menggelinding dengan bunyi yang menepi.
“Selamat malam,” kata tamu itu. “Atas nama Wahyu.”
Cara ia memandang seisi lobi—tenang, menghargai detail, seperti membaca riwayat sebuah kota melalui bayangan di marmer—membuat Sahri merasa dilihat sebagai manusia, bukan sebagai petugas hotel.
“Luar biasa kamu ya,” ujar Wahyu setelah proses check-in selesai. “Kamu nyalain suasana.”
Kalimat itu sederhana, tapi menampar lembut. Sudah lama tidak ada yang berkata bahwa kehadirannya berarti.
.
Kota yang Menyembunyikan Luka
Kota ini bernama Surabaya, tapi bisa saja Jakarta, Bandung, atau Semarang—kota-kota yang menumpuk gedung dan kepenatan dalam satu tarikan napas. Sahri lahir di pelosok Pamekasan—dari keluarga penanam tembakau—dan merantau ke kota dengan harapan sederhana: hidup layak.
Namun “layak” rupanya definisi yang licin. Saat ia mampu beli sepatu kantor yang bagus, ia merasa kurang karena belum bisa belikan obat ibunya. Saat ia bisa belikan obat, ia merasa kurang karena belum bisa ajak ibunya ke rumah sakit yang lebih baik. Hidupnya adalah lari maraton tanpa garis akhir; garis akhir itu selalu dipindah sejauh satu ambisi lagi.
Di sela-sela shift, ia mengecek Instagram: kawan-kawan sekampung memajang foto wisuda, bayi baru lahir, cicilan rumah tahap dua di daerah Barat. Ia menekan tombol “suka” dengan jempol yang tak betul-betul ikut bersuka. Di timeline, ia menemukan satu akun menulis: “Api yang tidak dijaga tidak padam; ia membakar pelan dari dalam.” Ia menyimpan kalimat itu di pikirannya seperti menaruh korek dalam saku.
Suatu malam, setelah audit internal yang membuatnya disemprot manager karena bar inventory minus tiga botol tonic water, Wahyu—tamu dengan mata teduh itu—naik ke lobi dari bar rooftop. Langit Surabaya retak oleh cahaya kilat; kota yang gagah itu seperti sedang menunda letih.
“Minum air hangat?” tanya Wahyu. “Kadang kita lupa hal paling sederhana.”
Mereka duduk di lounge yang sepi. Tidak ada musik. Hanya bunyi hujan memukul pagar kaca.
“Aku konsultan branding,” kata Wahyu, “tapi belakangan aku nulis—tentang pekerjaan, tentang diri, tentang hal-hal yang menyala.”
“Kok bisa menulis dari hal-hal kayak gini?” tanya Sahri, sungguh-sungguh.
Wahyu tersenyum. “Kota yang kelihatan cepat, selalu menyimpan cerita yang pelan. Di situlah nyalanya.”
Wahyu memperkenalkan istilah yang baru bagi Sahri: hidup yang menghidupi dan menghidupkan.
“Bayangkan hidupmu lilin,” ucap Wahyu, memandang garis lampu tol di kejauhan. “Kalau lilinmu cuma untuk dirimu sendiri, kamu akan habis sendirian. Tapi kalau kamu nyalakan lilin-lilin lain, hidupmu akan terus ada—dalam terang yang kamu tinggalkan.”
Sahri diam. Ia mengingat ayahnya—lelaki yang wafat saat ia kelas dua SMP—yang tidak sempat meninggalkan harta, tapi meninggalkan nama baik. Orang-orang di kampung masih menyebut nama ayahnya dengan senyum hormat setiap Idul Fitri. Nama adalah cahaya, pikirnya. Atau setidaknya arah.
Malam itu, ia pulang ke kos sempit di gang belakang rumah-rumah besar kawasan Darmo Permai dengan dada penuh. Bukan penuh beban, melainkan semacam nyala yang selama ini padam karena angin ketidakpercayaan pada diri sendiri.
Di tembok, kalender promosi developer bertuliskan slogan yang seolah menertawakan nasibnya: “Where Life Begins.” Ia tertawa lirih. Hidupnya, barangkali, belum benar-benar mulai.
.
Zubaidah
Pagi berikutnya, meja resepsionis dipenuhi keluhan tamu yang datanya hilang akibat sistem PMS yang crash. Seorang wanita bersyal krem mendekat, suaranya tegas, matanya terbiasa menghitung waktu.
“Booking atas nama Zubaidah,” katanya.
Nama itu mengingatkan Sahri pada kisah-kisah Menak yang dulu diceritakan ibunya: tentang Siti Zubaidah yang berani dan setia. Sahri menatap wanita di hadapannya—sekilas sombong, tapi ada semacam rapuh yang disembunyikan di balik wangi parfum white musk.
“Maaf, Bu—eh, Mbak, sistem kami…,” Sahri berhenti, lalu menarik napas. “Saya input ulang. Tolong beri saya tiga menit.”
“Dua,” kata Zubaidah datar, menatap jam. “Saya ada meeting jam sembilan, dan saya benci telat.”
Dua menit kemudian, kartu kamar tercetak. Senyum Zubaidah tidak muncul, tetapi ia menatap Sahri satu detik lebih lama dari orang kebanyakan. Ada sesuatu di tatapan itu: mengaku kalah pada ketulusan.
Malamnya, Zubaidah turun ke lobi membawa laptop, mengalahkan deadline di sudut yang dekat stopkontak. Hujan sudah berhenti. Kota memantulkan lampu-lampu toko seperti pameran installations yang terkurasi buruk. Zubaidah menatap layar, bibirnya tegang.
“Kalau hidupmu di kota ini bikin kamu lupa bernapas,” kata Sahri—tidak tahu dari mana keberanian itu datang—“duduklah tiga menit tanpa apa pun. Lalu buat daftar tiga hal yang benar-benar kamu syukuri hari ini.”
Zubaidah mengangkat wajah. “Kamu siapa?”
“Orang yang juga sering lupa bernapas,” kata Sahri, tersipu. “Tapi belakangan, ada yang mengingatkan.”
Zubaidah menutup laptop. “Tiga menit,” katanya, “cukup.”
Mereka diam. Jam dinding berderak. Tiga menit melar, seperti karet yang ditarik halus.
“Terima kasih,” ucap Zubaidah akhirnya. “Aku lupa makan malam. Mau ikut cari bubur jam segini?”
Sahri tertawa. “Bubur malam adalah agama.”
Di warung dekat bundaran, mereka berbicara tentang pekerjaan, ambisi, dan kelelahan yang makin pintar menyamar sebagai prestasi. Zubaidah bercerita tentang pekerjaannya di firma arsitektur—klien-klien yang ingin signature lobby untuk menandai “kemewahan baru”, tender yang dimenangkan dengan presentasi nyaris teaterik, dan gaji yang cukup untuk mengirim ibunya umrah, tetapi tidak cukup untuk menenangkan bayangan seorang ayah yang selalu meminta anaknya “menjadi nomor satu”.
“Capek jadi nomor satu,” kata Zubaidah, “ketika kamu lupa jadi satu-satunya dirimu.”
Kata-kata itu mengetuk pintu yang sama di dada Sahri.
.
Keseimbangan yang Rapuh
Hari-hari setelah itu, Sahri mulai berubah. Ia tetap bekerja seperti biasa, tapi ada yang beda: ia lebih sadar. Ia menyapa tamu dengan tulus, bukan karena SOP. Ia membantu rekan kerja tanpa harus diminta. Ia mulai menulis di notes ponselnya: “Apa arti hidup saya hari ini?”
Di lembar lain ia menulis kutipan-kutipan yang ia ciptakan sendiri—distilasi sederhana dari hari-hari yang berat:
-
“Kesibukan yang tidak membuatmu makin manusiawi adalah kebisingan.”
-
“Kota menguji, kampung mengingatkan.”
-
“Hidup yang dikejar uang akan capek; hidup yang dikejar makna akan sampai.”
Namun perubahan tidak disukai semua orang. Hamzah, rekan resepsionis yang paling senior, menyindir di ruang back office sambil mengepulkan asap vape: “Sok motivator. Kerja ya kerja. Jangan bawa-bawa hati.”
Manajer front office menatapnya curiga: angka NPS turun satu poin, entah apa hubungan dengan kegemaran baru Sahri menuliskan makna. “Fokus ke target, Sahri.”
Ia sempat ragu, apakah nyala itu pantas dipertahankan?
Wahyu menjawab ringan ketika mereka bertemu lagi di lobi: “Orang yang menyalakan api kadang dikira bermain api. Tapi kalau kamu tahu tujuanmu, tetaplah menyalakan.”
Dan Sahri pun bertahan.
.
Luka Kota, Luka Diri
Suatu malam Sabtu, Rokayah, room attendant yang cekatan, menahan tangis di ruang linen. Suaminya—driver online—dituduh menabrak pejalan kaki mabuk. Keluarga korban menuntut uang duka. Rokayah tidak punya. Ia seperti berdiri di ambang jurang yang tanahnya terus rontok.
Sahri merogoh dompet dan memulai kotak sumbangan kilat lewat grup internal. Arsa dari dapur menyumbang lebih banyak dari gajinya minggu itu; Mahmud dari engineering menawarkan perbaiki motor gratis; Rokib dari security menemani ke kantor polisi. Dalam semalam, mereka menjadi kota yang merangkul—bukan karena aturan, tapi karena cahaya yang menular.
Di situ Sahri sadar: seringkali kita menolong demi membuktikan diri masih manusia. Kota yang keras membuat kita ragu, tetapi peristiwa-peristiwa kecil mengembalikan kita pada pusat.
Esoknya, Zubaidah mengirim pesan: “Aku presentasi di klien di lantai 19 besok. Bisa pinjam ruang meeting dua jam? Kubayar kopi semua orang.”
Sahri mengaturkan—diskaun internal, koordinasi pantry, memastikan koneksi HDMI tidak manja. Presentasi berjalan mulus. Zubaidah tersenyum untuk pertama kalinya, penuh, bukan tipis. “Terima kasih,” katanya, “kamu bukan cuma kerja; kamu nyalain ruangan.”
Kalimat itu mendarat seperti berkat.
.
n-Jawa-ni dan Nyalanya
Di hari terakhir menginap, Wahyu menyerahkan satu buku kecil kepada Sahri. Sampulnya sederhana—soft cover tanpa kilau: n-Jawa-ni: Hidup yang Menyalakan. Isinya campuran pitutur Jawa dan kutipan global yang merasuk seperti mantra; ada halaman yang berbunyi: “Ngandel lan ngendel—percaya pada dirimu dan percaya pada proses. Hidup tidak berjalan dengan pasti, tetapi bisa diarahkan dengan nyala yang kamu jaga sendiri.”
Di halaman belakang, Wahyu menulis:
“Kamu sudah menyala, Sahri. Jangan padam, bahkan jika sekitarmu gelap.”
Sahri menutup buku itu, menahan sesuatu yang menghangat di tenggorokan. Ia tidak pernah menyangka kota yang sering membuatnya menggigil juga bisa memberi selimut.
.
Warisan yang Bukan Sekadar Jabatan
Tiga bulan setelah pertemuan itu, hotel tempat Sahri bekerja mengalami restrukturisasi. Pemilik baru datang membawa deck presentasi berjudul Repositioning the Urban Soul. Banyak posisi dirampingkan, termasuk resepsionis malam. Semua orang cemas. Grup WhatsApp ramai spekulasi.
Pada rapat internal, manajer operasional mengumumkan sesuatu yang membuat ruangan hening: “Mulai kuartal depan, kita akan mengelola service culture lebih serius. Kita butuh pelatihan rutin untuk karyawan baru juga refresh untuk yang lama. Sahri akan memimpin.”
Beberapa pasang mata berputar—ada yang sinis, ada yang kagum. Hamzah mengetuk meja dengan kuku, tidak terlalu bersemangat. Tetapi Rokayah tersenyum—senyum yang membuat luka semalamnya tampak lebih ringan.
Kini, Sahri bukan lagi sekadar staf. Ia menjadi penyalur api. Ia menyusun modul pembelajaran dengan judul sederhana: “Tamu adalah Alasan Kita Pagi”. Di modul itu, ia memasukkan contoh konkret: cara menatap mata tanpa mengintimidasi, cara menerima amarah tanpa menyerap racunnya, cara memintakan maaf tanpa mengecilkan diri, cara mengatakan “tidak” dengan tetap menghormati.
Ia menempelkan di dinding ruang pelatihan kalimat yang jadi tagline kecil:
“Kalau kamu mau dihargai sebagai manusia, belajarlah dulu menghargai manusia.”
“Kalau kamu ingin sukses, nyalakan sukses di tempat orang lain dulu.”
Kelas pertama berlangsung di ruang rapat yang jendelanya menghadap kemacetan. Sahri membuka dengan cerita tentang ayahnya, tentang kota, dan tentang lilin. Beberapa anak baru—lulusan kampus swasta di Surabaya Barat, sepatu mengilap—memegang ponsel sejenak, lalu menaruhnya. Mereka mendengarkan.
“Kenapa kita bekerja di hotel?” tanya Sahri.
“Karena butuh uang,” jawab seorang anak frontliner jujur.
“Benar,” kata Sahri, “tapi uang adalah akibat. Sebabnya adalah seseorang yang datang ke kota ini butuh tempat pulang sementara. Kita menjahit tempat itu agar terasa pas di badan mereka.”
Kelas itu berakhir dengan tepuk tangan yang tidak terlalu keras, tapi panjang—seperti plié yang tepat di tarian yang tidak siap-siap amat.
.
Yang Pergi, Yang Tinggal
Di tengah semua itu, Zubaidah dipromosikan menjadi associate partner. Jabatan yang diincarnya selama ini, datang bersama target yang tidak masuk akal: tiga proyek hospitality dalam enam bulan. Gajinya naik; jam tidurnya jatuh.
Hubungan mereka—yang tidak pernah didefinisikan—menjadi seperti kaca mobil di hujan deras: wiper bekerja, tetapi pandangan tetap buram. Mereka bertemu di kafe yang sama, pesan minuman yang sama, membicarakan hal-hal yang semakin luas tetapi semakin mengambang.
“Aku ingin pindah ke Jakarta,” kata Zubaidah satu malam. “Proyeknya lebih banyak, peluangnya lebih tajam.”
“Peluang yang tajam,” sahut Sahri, “bisa memotong tangan.”
Zubaidah tertawa pendek. “Tangan bisa sembuh. Penyesalan tidak.”
Mereka diam. Di meja sebelah, sepasang anak kuliah berdebat tentang NFT yang sudah tidak trend lagi. Waktu terasa kejam: ia mempercepat saat-saat yang ingin kita perpanjang.
“Kalau kamu pergi,” kata Sahri akhirnya, “aku tetap menyalakan apa yang di sini. Kamu tetap menyalakan apa yang di sana.”
“Api tidak saling menutupi,” balas Zubaidah, entah mengutip siapa. “Ia saling menjadikan.”
Mereka tidak berpelukan. Kota lebih sering mengajari mereka cara berdiri tegak ketimbang cara merelakan. Tapi di mata keduanya ada sesuatu yang diakui tanpa suara: keduanya belajar dari satu nyala.
.
Krisis Kecil yang Menguji
Musim kemarau, jaringan air pusat kota bermasalah. Pressure turun, lantai atas hotel kehabisan pasokan. Tamu mengantri di lobi, marah, sebagian memaki. Di satu sudut, Mahmud sibuk mengutak-atik panel, keringatnya jatuh seperti pengakuan. Di lain sisi, guest relations membagikan amenities ekstra dan kupon sarapan.
Di layar CCTV, Sahri melihat Hamzah memiringkan kursi, menatap kerumunan dengan wajah kalah sebelum bertanding. Tanpa banyak pikir, ia melangkah ke tengah lobi, berdiri di atas satu step stool, dan berbicara dengan suara yang ia latih di ruang pelatihan:
“Selamat malam, saya Sahri dari front office. Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas gangguan pasokan air. Tim kami sedang melakukan bypass agar tekanan kembali normal dalam satu jam. Sementara itu, kami sediakan shower room di fitness center lantai tiga—tersedia amenities baru dan towels. Untuk tamu yang ingin pindah ke lantai bawah, kami siap bantu. Silakan datang ke saya langsung—saya akan tetap di sini. Terima kasih.”
Kemarahan yang liar berubah menjadi keluhan yang berkepala. Orang-orang butuh sosok yang berdiri. Pada malam krisis itu, Sahri menjadi tiang tenda. Ketika akhirnya air kembali mengalir, beberapa tamu menyalami. Seorang bapak paruh baya bahkan berbisik, “Jarang ada hotel berani bicara jujur begitu.”
Malam itu, manajer operasional mengangguk—tanpa basa-basi. Dunia corporate kadang pelit pujian, tetapi tajam dalam menilai. Esoknya, sebuah email internal singkat dikirim: “Terima kasih untuk kepemimpinan di lapangan.”
.
Pelita yang Menular
Kelas-kelas pelayanan semakin ramai. Bukan karena diwajibkan, tapi karena ada kabar dari mulut ke mulut bahwa ada sesuatu di ruang itu yang meringankan. Sahri membawakan modul “Mendengar Tanpa Menghakimi”. Ia mengajak peserta mempraktikkan jeda dua detik sebelum menjawab telepon; bagaimana memasang senyum yang benar-benar menyambut; bagaimana berani berkata “Saya tidak tahu, izinkan saya cari tahu,” tanpa merasa bodoh.
Ia menulis di papan:
“Kesalahan bukan aib jika ia menjadi alasan untuk memperbaiki.”
Para peserta memotret kalimat itu, membagikannya di story. Tanpa diminta, nama “Sahri” menjadi semacam tag kecil di lingkaran perhotelan kota. Tidak viral—hanya beredar di radius yang tepat: orang-orang yang membutuhkan waras di tengah kerja yang terlalu lama berteriak.
.
Pulang yang Tidak Sama
Suatu subuh, telepon dari kampung datang. Ibunya jatuh di dapur. Tidak parah, kata tetangga yang mengantar, tetapi dokter menganjurkan kontrol rutin. Sahri mengajukan cuti dua hari dan pulang ke Pamekasan naik mobil travel yang kursinya terlalu tegak. Jalanan seperti pita yang menahan napas.
Kampung masih seperti ingatannya: pohon talok yang mengawali pagi dengan bayang-bayang bulat, bau tanah yang membuat kita tahu dari mana kita tiba. Ibunya duduk di beranda, senyum memanjang ke mata. Wajah tua itu menyimpan peta jalan yang pernah ditempuh. Mereka berbicara perkara sederhana: harga beras, hujan yang datang telat, tetangga yang anaknya lulus sekolah. Di sela-sela, ibunya berkata:
“Rik, bapakmu dulu tidak tinggalkan apa-apa selain nama. Orang datang minta tolong, bapak tidak selalu bantu uang, tapi bantu pikir. Bapakmu bilang, “Kadang orang bukan butuh uangmu, tapi butuh kepalamu yang jernih.””
Sahri memejamkan mata. Ia merasa sedang berdiri tepat di titik temu antara dulu dan sekarang—antara lilin kecil di rumah bambu dan lampu gantung di hotel kota.
Sebelum kembali ke Surabaya, ia menatap sawah yang bergaris seperti telapak tangan bumi. “Aku akan pulang lebih sering,” janjinya pada ibunya—janji yang bukan sekadar kata, melainkan rencana yang diukur.
.
Menyala, Bukan Membakar
Sekembalinya ke kota, ia menerima pesan dari Zubaidah: “Aku pindah awal bulan. Proyek hotel di Kuningan. Kau titip Surabaya?”
“Surabaya tidak perlu dititip,” balas Sahri. “Kau titip dirimu saja.”
“Beri aku satu kalimat,” kata Zubaidah, “untuk ditempel di cermin apartemen baru.”
Sahri mengetik, menghapus, mengetik lagi. Akhirnya ia menulis:
“Kejar yang membuatmu jadi orang baik—karena di situlah kamu pulang.”
“Terima kasih,” balas Zubaidah. “Itu cukup.”
Malamnya, di lobi yang ramai, Hamzah mendekat: “Aku dengar kamu mau diminta bantu pre-opening sister property di pinggir kota. Serius?”
Sahri mengangguk. “Hanya beberapa bulan. Bantu sistem, bantu orang menemu dirinya di tempat kerja.”
Hamzah menatapnya lama, lalu suaranya merendah. “Ngajar aku juga, ya. Aku… sering takut salah.”
Tidak ada sindir. Tidak ada asap vape. Hanya manusia yang akhirnya berani mengaku: aku ingin menyala juga. Sahri menepuk bahu Hamzah—bukan sebagai pemenang, tetapi sebagai sesama pejalan.
.
Lilin yang Tak Pernah Padam
Surabaya tetap kota yang sibuk. Malls membuka cabang baru yang mirip cabang lama, coffee shop mengganti neon sign agar terlihat segar, klien mencari “Instagrammable corner yang tak memalukan di mata Gen Z”. Tetapi di sudut hotel itu—yang dulu disayang, lalu diabaikan, kini dirawat kembali—api kecil telah menjadi terang. Bukan terang yang menyilaukan, melainkan hangat dan menenangkan.
Sahri duduk di lobi setelah kelas, menatap pintu otomatis yang buka-tutup seperti paru-paru kota. Ia menulis satu kalimat di notes ponselnya:
“Hidup yang benar-benar berarti bukan tentang seberapa tinggi kita mendaki, tapi tentang seberapa banyak cahaya yang kita tinggalkan di setiap langkah yang kita lalui.”
Ia menatap sekitarnya: bellboy yang menahan pintu untuk nenek-nenek, housekeeping yang mengangkat cucian tanpa mengeluh, barista yang mengukir hati di permukaan latte tanpa alasan. Orang-orang kecil dengan api yang tidak kecil.
Malam merunduk. Dari luar, bunyi kota seperti musik latar yang telat diredam. Di langit, awan berlalu. Bulan keluar sebentar, menatap kota yang belum belajar tidur.
Telepon lobi berdering pelan. Suara di seberang memperkenalkan diri: “Saya Wahyu. Aku mampir sebentar. Ada ruang untuk satu kopi dan satu cerita?”
Sahri menoleh ke arah pintu otomatis yang terbuka sendiri, seperti mengundang. Ia berdiri, menyesuaikan dasi yang jarang dipakainya rapi.
“Selalu,” katanya. “Selalu ada ruang.”
Dan di antara aroma kopi dan lantai marmer yang merekam langkah-langkah orang lelah, mereka duduk. Bukan untuk memadamkan letih, tetapi untuk menyalakan yang menyala—agar tak hanya mereka yang terang, tetapi juga sekitar mereka. Agar kota—dan kita—ingat, bahwa api yang dijaga tidak padam.
.
.
.
Jember, 5 Agustus 2025
.
.
#ApiYangTakPadam #CerpenUrban #KelasMenengahAtas #Surabaya #MenakMadura #HospitalityLife #NJawaNi #StorytellingFilmis #FilosofiHidup #LiterasiEmosional
.
Petikan-Petikan dari Lobi
“Kesibukan yang tidak membuatmu makin manusiawi adalah kebisingan.”
“Kota menguji, kampung mengingatkan.”
“Kejar yang membuatmu jadi orang baik—karena di situlah kamu pulang.”
“Kesalahan bukan aib jika ia menjadi alasan untuk memperbaiki.”
“Api tidak saling menutupi; ia saling menjadikan.”
“Hidup yang dikejar makna akan sampai.”