Tak Bersuara Tapi Bergema

“Kadang, sosok yang paling menginspirasi bukanlah yang paling hebat, tapi yang membuat kita merasa ingin menjadi lebih baik, tanpa pernah menyuruh.”

“Yang terdalam selalu tenang; yang paling lama bergema justru yang tak bersuara.”

.

Jakarta, Senin pagi. Langit menggantung redup di atas HR Rasuna Said. Di trotoar yang licin sisa gerimis, Baswara—38, strategic planner—memilih berjalan kaki dari halte TransJakarta menuju kantor. Kemeja biru muda, sepatu kulit sedikit kusam, tas selempang yang sudah akrab dengan lipatan hari-hari penuh data dan presentasi. Lalu lintas menyanyikan paduan gaduh: klakson, dengus knalpot, pengeras suara polisi lalu lintas, tawa singkat dua pegawai bank yang menyalip. Jakarta, kota yang membuat orang bergegas agar tidak ketinggalan antrean untuk kembali bergegas.

Tapi di kepala Baswara hari itu ada rapat lain: rapat batin. Agenda tunggal—dan mendesak—yang sudah lama ia tunda: “Siapa sebenarnya inspirasiku, dan apa yang ingin kutinggalkan, selain jejak di KPI?”

Ia tiba di lobi dengan napas yang masih rapi. Lift merekam wajahnya yang tenang—tenang seperti air yang dalam. Lantai 23. Panel LED memantulkan namanya yang menunggu giliran untuk Rapat Bulanan. Ia melihat sekilas ke smartphone: grup kerja “Q4 Blitz” sudah 39 pesan baru; email dari klien Jepang masuk pada pukul 07:04; kalender menampilkan tiga kotak merah bertumpuk. Tapi ada notifikasi lain yang tak kalah lantang, meski hanya hidup di dalam dada: kenangan yang tak pernah benar-benar padam.

.

Kota kecil dan ayah yang bisu

Trenggalek—kota kecil tempat Baswara tumbuh—muncul seperti foto lama: pekarangan sore, suara kentongan ronda, dan bengkel kayu sederhana di samping rumah. Ragil, ayahnya, tukang kayu yang tak kuliah tapi menyelesaikan “tesis” setiap hari lewat meja, kursi, lemari. Tangan kasar penuh garis-garis halus bekas pahat, namun genggaman paling lembut saat mengantar Baswara kecil ke masjid atau ke pasar. Ragil tak pernah mengutip buku motivasi, tak mahir menjahit kalimat panjang; namun setiap tarikan gergaji mengajarkan: “Tekun lebih nyaring daripada pujian.”

Suatu siang, kelas tiga SD, sepatu baru Baswara sobek terkena paku. Ia menangis marah pada paku, pada papan, pada nasib. Ragil tak memarahi, ia hanya memberi jarum, benang, dan berkata pelan, “Yang penting kamu tahu caranya memperbaiki, bukan hanya mengeluh.”

Kalimat sederhana itu menyelinap seperti bibit yang tak butuh spanduk untuk tumbuh.

.

Menjadi orang kota, menjadi orang lain

Yogyakarta memberinya gelar, Jakarta memberinya gedung. Kantor kaca di Kuningan, kopi dingin di Senopati, rapat hingga malam di Thamrin. Baswara belajar membidik pasar lewat persona, menyusun logika di atas slide yang mulus. Ia menelan frasa-frasa Inggris yang renyah dikunyah: scalable, sustainable, growth hacking. Dikirim ke workshop leadership, disiram dengan teori neuromarketing, disorot lampu panggung internal award.

Namun, di dalam diri—di ruang yang tidak pernah meninggalkan Trenggalek—ia sering mendengar jeda. Jeda yang mengingatkan bahwa sesuatu terasa pincang: seolah ia berjalan cepat dengan satu kaki yang bukan miliknya.

Malam yang lembur, di kantor yang separuh lampunya padam, ia membuka folder lama. Ada video amatir: Ragil mengampelas kayu di bawah pohon sawo. Tak ada narasi, tak ada musik. Hanya bunyi “serr… serr…” yang sabar. Tiba-tiba, Baswara menelungkupkan wajah. Air matanya jatuh bukan karena sedih, melainkan karena seolah menemukan kembali alamat rumah.

.

Cikini: pertemuan yang tak ditulis

Akhir pekan, Baswara mampir ke warung kopi tua di Cikini. Kopi tubruk tanpa gula, meja kayu yang menyimpan bekas gelas dari puluhan kisah orang. Seseorang menepuk pundaknya. Rambut ikal, batik lawas, senyum yang menua bersama buku-buku. Panengah.

“Masih ingat aku?” tanyanya. Baswara butuh dua detik sebelum ingatan menguncinya: Panengah adalah rekan ayahnya dahulu—orang yang mengajar di taman bacaan kampung, kemudian jadi pustakawan keliling. Di otak Baswara, nama itu berubah jadi penerang kecil di gang gelap.

“Bapakmu itu inspirasi paling sunyi,” kata Panengah sembari mengaduk kopi. “Tak pernah nyuruh, tapi anak-anak kampung belajar dari tindak-tanduknya: ketepatan mengukur, kerapian menutup paku, kesediaan menyisihkan dua jam tiap Sabtu untuk memperbaiki meja rusak di balai desa.”

Baswara terdiam. Panengah melanjutkan, “Wong urip kudu ninggal jejak, ora mung tapak. Jejak iku ajaran; tapak mung bayangan.”

Kata-kata itu menempel di dada Baswara seperti bau kapur yang tak mudah hilang dari telapak tangan.

.

Jendela apartemen sebagai cermin

Malam itu, jendela apartemen memantulkan sosok dengan latar lampu-lampu Karet Kuningan yang tak pernah tidur. Baswara berbicara pada bayangan sendiri: “Sudahkah aku menjadi orang yang kehadirannya membuat orang lain ingin jadi lebih baik—tanpa aku menyuruh?” Pertanyaan itu seperti tetes air yang konsisten, membentuk cekungan di batu.

Ia menuliskan empat kalimat di buku catatan kerjanya:

  1. Kerja keras tanpa banyak bicara.

  2. Konsistensi lebih meyakinkan daripada spektakel.

  3. Keteladanan menggerakkan lebih dari retorika.

  4. Sederhana bukan berarti kecil; sering justru paling besar.

Di bawahnya, ia menyalin kutipan yang pernah ia temukan: “The only person you are destined to become is the person you decide to be.” Lalu menutup buku dengan pelan, seolah menyepakati kontrak baru—bukan dengan perusahaan, melainkan dengan hidupnya.

.

Kantor: panggung yang menunggu naskah lain

Di rapat bulanan, presentasi Baswara mengenai strategi Q4 berjalan. Di layar, proyeksi, funnel, matriks prioritas. Saat sesi tanya-jawab, seorang kolega—Tole—mengangkat tangan. Nama lengkapnya Joko Tole; anak Madura yang merantau, jago analitik, humor keringnya selalu mengendurkan tegang. “Wara,” katanya, “kamu selalu mengingatkan kita disiplin, tapi kamu juga yang pertama pulang tepat waktu. Gimana caranya gak lembur tapi target jalan?”

Orang-orang tersenyum, separuh kagum, separuh menggoda. Baswara menatap Tole, lalu menatap tim. “Ada yang dicontohkan bapak saya,” jawabnya. “Waktu yang kita miliki bukan sekadar jam kerja; itu alat ukur hidup. Kalau jamnya berantakan, bentuk hidup kita ikut miring. Jadi kita perlu sistem, bukan heroisme mepet-mepet.”

Kata “sistem” justru memantik ruang hening. Di kantor yang suka mendekor heroisme, Baswara menyodorkan tatanan yang lebih rendah suara. Ia lalu memaparkan rancangan kecil: Rabu Tanpa Lembur. Setiap Rabu, divisi mereka berkomitmen menyelesaikan semua pekerjaan sebelum 18:00. Sebagai gantinya, tiap Senin pagi semua rapat dipadatkan, penugasan dipetakan realistis, dan setiap orang menuliskan three most important tasks harian di papan digital. “Kalau sistem ini bolong, bukan salah orang, tapi salah rancangan. Kita perbaiki rancangannya,” katanya.

Manajer divisi, Wiraraja—lelaki Malang yang ramah tapi jeli—mengangguk. “Kita coba satu bulan.”

.

Rabu Tanpa Lembur dan serangkaian keberatan

Keberatan segera berdatangan: “Klien suka minta revisi malam-malam.” “Platform jalan terus, bug bisa muncul kapan saja.” “Creative block tak kenal jam.” Baswara tidak menanggapi dengan ceramah panjang; ia menanggapi dengan keteladanan logistik.

Ia menyusun checklist yang hidup:

  • Estimasi waktu bukan angka—libatkan orang yang akan mengerjakan, bukan hanya orang yang memerintah.

  • Semua dokumen kerja diberi naming convention dan lokasi terstandar.

  • Rapat maksimal 45 menit; lebih dari itu wajib ganti format: dokumen komentar.

  • Jangan kirim DM di luar jam kerja kecuali darurat; gunakan label “darurat” dengan kriteria tertulis.

Lalu ia lakukan hal paling sulit: konsisten sendiri, bahkan saat tak ada yang melihat. Pukul 18:05, ia sudah menutup laptop. Saat klien mengirim revisi pukul 22:40, ia menahan diri untuk tidak membalas meski jari-jarinya gatal. Besok pagi, 08:30, revisi sudah ia balas dengan runut dan rapi.

Di minggu kedua, sesuatu yang tak berbunyi terjadi: orang-orang mulai meniru. Tole menata ulang kanban-nya. Ranggini—desainer UI yang cekatan—membuat templat component library sehingga revisi warna bukan lagi bongkar total. Yumna di tim data membuat notebook standar untuk A/B testing. Tak ada pengumuman heroik, tetapi ritme tim berubah pelan.

.

Seminar kecil: cerita yang lebih besar daripada slide

Undangan datang dari kampus lama Baswara di Yogyakarta: berbagi pengalaman kerja pada mahasiswa tingkat akhir. Aula kecil, kipas langit-langit, tikar panel akustik. Baswara berdiri tanpa perkenalan gelar. “Saya ingin bercerita tentang ayah saya,” kataya, “seorang tukang kayu yang tidak mengenal istilah growth mindset, tapi setiap hari hidup dengannya.”

Ia menggambarkan Ragil yang selalu menutup paku dengan dua ketukan—satu untuk menegakkan, satu untuk merapikan. “Bapak mengajari saya bahwa banyak hal di hidup butuh dua ketukan: menegakkan, lalu merapikan. Bekerja bukan hanya menghabisi; juga membeningi.”

Seorang mahasiswa dari NTT menangis pelan. “Saya jadi ingat ibu saya yang pemecah batu,” katanya usai acara. “Dia tidak pernah bicara soal sukses, tapi setiap pukulan martil terasa seperti doa yang tidak bersuara.”

Baswara pulang ke hotel malam itu dengan rasa yang utuh: ternyata cerita paling personal benar-benar yang paling universal.

.

Warisan sunyi

Di Jakarta, Baswara memulai blog yang ia beri nama Warisan Sunyi. Ia menulis dengan ritme yang tidak bernafas pendek. Tentang cara menata meja kerja seperti menata laci hati; tentang rasa bersalah yang perlu ditulis agar tak menekan; tentang deadline yang perlu dipahami seperti membaca pasang-surut. Di salah satu tulisannya ia menuliskan kalimat yang berkumandang:

“Kita sering kelelahan mencari motivasi di panggung, padahal inspirasi pulang lewat pintu belakang: ia datang sebagai kebiasaan, bukan kebisingan.”

Tulisannya menyebar pelan, menembus lingkaran pertemanan, masuk ke grup parenting dan forum pekerja kreatif. Ia menerima banyak surel. Sebagian terucap, sebagian tertahan. Tapi semua menyentuh. Ada manajer restoran di Bandung yang meniru Rabu Tanpa Lembur. Ada guru honorer di Pamekasan yang menempelkan kutipan Ragil di kantor: “Menegakkan, lalu merapikan.”

.

Guncangan

Namun hidup, seperti jalanan Jakarta, tidak selalu mulus. Pada awal kuartal baru, perusahaan mengumumkan restrukturisasi. Proyek besar batal, klien merger, dan angka-angka pada dashboard meredup. Wiraraja dipanggil ke lantai direksi dua kali seminggu. “Kita harus memotong biaya,” katanya setelah rapat, nada suaranya rata.

Desas-desus menyebar seperti kabut AC: pemotongan di semua divisi, termasuk marketing. “Wara, timmu bersiap,” ujar Wiraraja. “Kalau kita bertahan dengan merapikan, ini saatnya merapikan lebih keras.”

Di ruang rapat, orang-orang mengusulkan memotong pelatihan, menghapus sesi refleksi, kembali ke lembur maraton. Baswara menarik napas. “Kalau kita memadamkan ruang berpikir dan jam pulang, kita keluar dari sistem. Kita bisa habis di bulan depan.” Ia mengusulkan hal yang lebih tidak populer: memadatkan prioritas menjadi setengah—dan menuntaskan setengah itu dengan tingkat presisi dua kali lipat. “Bapak saya mengajarkan: saat kayu menipis, pahat harus lebih tajam, bukan lebih cepat.”

Minggu-minggu berikutnya berat. Angka melempem, lalu perlahan menunjukkan garis miring ke atas. Bukan lonjakan, tapi peningkatan yang punya akar. Bukan karena kampanye viral sehari semalam, melainkan karena alur kerja yang bersih dari bunyi gaduh yang tak perlu.

.

Pulang: jasad, doa, dan gema

Pagi yang lain, notifikasi telepon membawa kabar: Ragil tumbang. Baswara pulang ke Trenggalek naik kereta malam. Stasiun Madiun menyambut dengan lampu kuning sayu. Di rumah, Ragil sudah terbujur. Wajahnya damai, seolah hanya menunda ketukan pahat untuk tidur sebentar.

Di halaman, pohon sawo masih berdiri. Meja kerja masih beraroma serbuk. Baswara mencium tangan ayahnya, dingin, namun menenangkan. Ia duduk di kursi bambu samping ibu yang memegang tasbih. “Bapakmu tidak pernah ingin jadi apa-apa,” kata ibu. “Dia hanya ingin hidupnya tidak menyulitkan orang lain.”

Pemakaman sederhana. Orang-orang kampung datang. Panengah membaca doa seadanya. Tole—yang kebetulan sedang pulang kampung ke Pamekasan—menempuh perjalanan untuk hadir. Ranggini mengirim pesan ucapan duka yang sederhana. Wiraraja menelpon malamnya: “Bapakmu tak bersuara, Nak, tapi aku ikut mendengar gemanya.”

Pada malam ketiga tahlilan, Baswara membuka bengkel. Ia menemukan kotak kecil berisi pahat tua yang diasah rapi dan secarik kertas lusuh. Tulisan tangan Ragil: “Kalau kayu retak, jangan dibentak. Diikat pelan, diberi lem. Lalu tunggu.”

Ia menangis. Bukan karena kehilangan saja, tapi karena menerima warisan yang utuh: tuntunan tanpa tuntutan.

.

Mengikat retak, memberi lem, lalu menunggu

Kembali ke Jakarta, Baswara membawa pahat itu—bukan sebagai alat, melainkan sebagai kompas. Di kantor, ia menatap tim. “Kita menghadapi retak,” katanya, “tapi kita tidak akan membentaknya. Kita ikat pelan, kita beri lem: prosedur yang jelas, waktu yang manusiawi, dan kejujuran dalam mengakui batas.”

Program kecil ia jalankan diam-diam:

  • Jam Senyap (08:30–10:00): tidak ada rapat, DM, atau panggilan; waktu untuk fokus.

  • Sabtu Hening bulanan: bukan kerja, bukan outing, hanya satu jam menulis refleksi soal kerja.

  • Mentoring Sunyi: setiap orang diminta menjadi pendamping bagi satu rekan—bukan untuk memberi nasihat, tetapi untuk mendengar.

Tak ada spanduk. Hanya ritme. Dan seperti air menoreh batu, ritme mengubah kontur.

.

Ruang kelas yang tak terlihat

Undangan kedua datang dari kampus yang berbeda—sebuah kelas pascasarjana. Materinya tentang kepemimpinan. Baswara membawa pahat ayahnya, disimpan di dalam tas. Ia berdiri di depan papan dan berkata, “Ada dua cara memimpin: mengatur pengeras suara, atau menyalakan lampu kecil. Yang kedua sering terlihat lambat, tapi lampu kecil membuat orang lain melihat tangan mereka sendiri.”

Seorang mahasiswa bertanya, “Bagaimana jika organisasi tak sabar?”

Baswara tersenyum. “Sabar adalah kemewahan yang menakutkan untuk dunia cepat. Tapi persis seperti rendering sebuah video: kalau kamu paksa cepat, hasilnya patah-patah. Sabar bukan lambat; sabar adalah pemrosesan yang benar.”

Ruang kelas hening sesaat. Lalu seseorang menepuk pelan meja. Bukan tepuk tangan, lebih mirip tanda orang setuju untuk diam sebentar.

.

Di balkon, di dada

Malam yang lain, Baswara berdiri di balkon apartemennya. Jakarta di bawahnya berkelap-kelip seperti kubah doa yang ditaburi lampu. Ia menggenggam pahat ayahnya sebentar, lalu meletakkannya di atas buku catatan. Ia menulis sebuah kalimat baru untuk Warisan Sunyi:

“Kita tidak perlu menjadi yang paling hebat; cukup menjadi yang membuat orang ingin menjadi lebih baik—tanpa pernah menyuruh.”

Ia memajang kalimat itu di bagian atas laman, tepat sebelum daftar tulisan. Seorang pembaca mengirim pesan: “Saya mencetak kalimat itu dan menempelkannya di dinding kelas. Terima kasih karena telah ‘tidak berteriak’ kepada kami.”

Baswara menutup laptop. Di langit, mendung berjalan pelan. Di dadanya, satu kota kecil bernama Trenggalek berdenyut bersama Jakarta. Ia tersenyum. Tidak semua gema butuh pengeras suara; beberapa yang paling lama justru berjalan dari tangan ke tangan, dari kebiasaan ke kebiasaan, dari anak ke cucu—seperti pahat yang tetap tajam karena diasah, bukan karena dipamerkan.

.

Nama-nama yang menjadi jalan

Tole semakin matang memimpin squad analitik. Ranggini merancang sistem desain yang menghemat puluhan jam revisi. Wiraraja, yang gemar menyelipkan humor Malang dalam rapat tegang, mulai menutup laptop pukul enam—dan pulang menjemput anaknya kursus drum. Panengah mengirim foto taman bacaan yang kini memiliki rak baru hasil patungan alumni kampung. Di Trenggalek, ibu sesekali menelpon, bercerita tentang kursi lama yang kini dipakai untuk pengajian.

Baswara tahu: tak ada tabrakan kembang api untuk semua itu. Hanya lampu-lampu kecil yang menyala, satu demi satu, seperti kota yang kalau dilihat dari ketinggian, terlihat lebih sabar daripada dari jalan raya.

Dan Ragil, di suatu tempat, mungkin sedang duduk di bangku tua. Pahatnya tak lagi perlu bekerja. Tapi ajarannya terus mengikat retak dunia: diikat pelan, diberi lem, lalu menunggu—sampai kita semua mantap menegakkan, dan tak lupa merapikan.

.

.

.

Jember, 5 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#TakBersuaraTapiBergema #WarisanSunyi #LeadershipHening #UrbanJakarta #KelasMenengah #Keteladanan #KerjaSehat #RabuTanpaLembur #MenakMadura #NamakuBrandku

.

Kutipan Kunci

“Menegakkan, lalu merapikan. Begitu caranya kita bekerja, begitu pula caranya kita mencintai.”
“Kebaikan itu seperti pahat: tajam karena diasah, bukan karena berisik.”
“Sistem yang baik membuat manusia tetap manusia.”
“Tak bersuara, tapi bergema—itulah teladan.”

 

Leave a Reply