Di Antara Langkah yang Tak Terucap

“Tidak semua luka harus dijawab dengan perlawanan. Kadang diam yang teguh adalah bentuk paling lantang dari keberanian.”

.

Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Dari sudut flyover Kuningan hingga gang kecil di belakang rumah-rumah mewah Senopati, ambisi bergesekan dengan nasib, dan harga diri kerap digilas jam kerja yang tak kenal pulang. Di lantai dua belas sebuah gedung kaca di Sudirman, Rengganis menatap hujan yang menggambari jendela seperti not-not minor. Jam dinding menunjukkan 06.12. Di pantry, mesin kopi berdengung—ritus yang menandai sebuah hari yang lagi-lagi akan meminta bagian dari jiwanya.

Ia menghirup perlahan, pahit yang tak disusui gula. “Pahit itu jujur,” gumamnya. Di meja kerja, ia sudah menyusun deck presentasi untuk proyek klaster hunian di BSD: tiga puluh dua slide, tiga kali bongkar-pasang, tiga belas catatan pinggir yang—seperti biasa—akan diubah Sariadi begitu ia selesai.

Sariadi duduk di ruangan kaca pojok. Sepatu mengilap, kemeja selalu licin dari setrika, kata-kata lantang yang kerap tak mau mendengar. Rengganis tak membenci; ia hanya tak sanggup pura-pura bahwa semua baik-baik saja. Ia paham: di dunia korporat, yang paling awal dipelajari adalah cuaca. Yang tak ia duga, badai justru bisa datang dari dalam kapal yang sama.

“Ganis, materi untuk Bu Ratna sudah dikirim?” Arya muncul sambil menenteng roti. Rambutnya berantakan gaya orang baik yang bangun terlalu pagi, atau tidur terlalu larut. Di meja Arya bertumpuk maket, cat, dan sisa-sisa malam yang baik: kerja diam-diam yang membuat desain terasa bernapas.

“Sudah. Tapi nanti formatnya pasti diubah lagi,” jawab Rengganis. “Seperti biasa.”

Arya tersenyum miring. “Kalau begitu, kita siapkan dua versi—versi yang dimau Sariadi, dan versi yang seharusnya dimau pasar.”

“Banyak hati yang tak terbiasa pada cermin,” kata Rengganis pelan. “Dikira yang luka itu wajah, padahal caranya memandang.”

.

Minggu itu, kantor seperti panggung yang lampunya meredup. Sariadi tak tampak tiga hari. Emailnya dingin, instruksinya pendek, jejak kehadirannya hanya terlihat dari “read” biru tanpa balasan. Tim menjadi lebih lega. Rapat berubah jadi sesi curhat produktif. Orang-orang tertawa dengan suara asli; bukan tawa yang disetrika.

Rengganis tak sadar dirinya melangkah maju. Ia menata ulang timeline, membagi peran tanpa mengusik struktur, menyambung obrolan dengan tim lapangan, negosiasi kecil dengan vendor signage di Alam Sutera, menyatukan yang tercecer tanpa terasa sedang memimpin. Seorang kawan di divisi legal—Ratnawulan—mengirim pesan:

Ganis, kamu bikin semua bergerak tanpa harus teriak. Rasanya… kita seperti tim.

Rengganis tersipu membaca pesan itu. Ia teringat kisah yang pernah diceritakan neneknya—kisah-kisah Menak Madura yang mengalir seperti nadi: Jokotole, Wiraraja, Ratnadi. Nama-nama itu adalah pelajaran terselubung: kekuatan bukan selalu soal pedang dan kursi, melainkan tentang keberanian menjaga wajah orang lain di ruang rapat, tentang menambal yang bocor tanpa mengumumkan siapa yang melubangi.

Di malam ketiga, Arya menyalakan musik instrumental. Mereka menata slide terakhir: strategi community living untuk segmen profesional muda yang pulang terlalu larut untuk merasa muda, paket co-living dengan dapur bersama, ruang kerja komunal, teras kecil untuk menanam tiga pot basil—cukup untuk menumbuhkan rasa “pulang”.

“Kalau ada yang pantas maju presentasi ke direksi, itu kamu,” kata Arya, separuh serius, separuh takut didengar CCTV imajiner.

“Aku cuma menggerakkan yang sudah ada,” kata Rengganis. “Aku ini bukan Jokotole.”

“Justru itu. Kamu Ganis. Dan itu cukup.”


Ketika Sariadi kembali, kantor kembali jadi suara sepatu yang gesit dan tatapan yang mengukur. Ia melangkah ke ruang rapat, memandangi slide yang dibuka di layar besar. Alisnya terangkat. Orang-orang menahan napas.

“Siapa yang menyetujui pendekatan co-living ini?” tanyanya tanpa menoleh.

“Tim, Pak,” jawab Rengganis. “Kita lakukan user interview kecil—dua belas responden, pekerja usia 25–34, sebagian tinggal di apartemen studio. Mereka bilang, yang paling mereka cari bukan luas lantai, tapi luas perasaan pulang.”

“Apa itu luas perasaan?” Sariadi tertawa pendek. “Jangan bawa-bawa puitik di sini. Kita jual meter persegi.”

“Justru itu, Pak,” sela Arya. “Meter persegi itu wadah. Yang dijual isi. Kalau isinya rasa pulang, meter perseginya ikut laku.”

Sariadi menahan tatapannya pada Arya, lalu pada Rengganis. “Slide delapan belas sampai dua puluh dua, ganti. Jangan banyak cerita. Grafik market share per kuartal—itu yang direksi mau.”

Sore itu, Rengganis duduk sendirian di pantry, cahaya neon memutih seperti wajah yang lelah. Air matanya jatuh pelan—bukan karena slide diubah, tapi karena pola yang diulang. Ia menghapusnya dengan punggung tangan, menatap kopinya yang mendingin, lalu menulis satu kalimat di kertas tempel: Aku akan menjawab dengan bukti, bukan bising.

.

Mulai saat itu, ia menyulam pengaruh tanpa suara. Menyapa satpam dengan nama, meminjam telinga pada tim site yang kulitnya dibakar matahari Serpong, mengirim rangkuman rapat yang jelas dan berangkat lima belas menit lebih awal agar sempat menepuk bahu desainer yang matanya merah.

“Ganis,” bisik Ratnawulan di lift. “Kamu sekarang yang lebih sering ditanya orang. Mereka mengirim draf ke kamu dulu, baru ke Sariadi.”

“Jangan begitu, Nawang,” kata Rengganis. “Biar tetap lewat struktur.”

“Struktur itu penting,” sahut Ratnawulan. “Tapi kepercayaan lebih penting. Kamu mengembalikan orang-orang pada rasa percaya bahwa kerja bisa baik hati.”

Di luar kantor, kota melanjutkan keteraturannya yang macet. MRT membawa puluhan wajah yang serupa: semangat yang disisihkan hari, impian yang diikat dengan cicilan. Di sela-sela itu, Rengganis menabung hal kecil: mengirim email terima kasih, menegur dengan empati, meminta maaf meski tak salah penuh. Seperti Wiraraja dalam kisah, ia memilih jalan yang lebih panjang agar rombongan tetap utuh.

.

Direktur utama, seorang pria tenang bernama Wiraraja—yang kebetulan berayah orang Sumenep dan beribu orang Betawi—mengundang tim presentasi. Tidak ada nama Sariadi di undangan. Hanya “Tim Proyek BSD—dipimpin Rengganis.”

“Ini pasti salah ketik,” kata Sariadi datar. Ia menatap kalendernya, lalu menatap Rengganis. “Kamu ikut, tapi biar saya yang bicara.”

Ruang rapat direksi berbeda: lebih dingin, lebih luas, lebih sunyi di sela kalimat. Rengganis menyampaikan presentasi dengan suara rendah tapi jernih. Ia tak menjual slide; ia menceritakan manusia di baliknya: perempuan yang ingin dapur terang karena ibunya dulu memasak di dapur gelap, pria yang ingin balkon kecil karena ingin menaruh kursi dan mendengar kota bernapas.

“Meter persegi kami bukan hanya tanah,” katanya menutup. “Ini bekal untuk orang-orang pulang dengan utuh.”

Hening sejenak. Lalu Wiraraja mengangguk. “Teruskan pilot-nya. Buka tahap pre-launch dalam dua bulan. Siapkan program ‘tetangga belajar’ dan urban farming seperti yang kamu sebut.”

“Baik, Pak.”

“Dan satu lagi,” tambahnya. “Jaga kultur tim. Saya lebih percaya pada udara yang kamu hasilkan ketimbang lampu sorot di panggung.”

Setelah semua bubar, Wiraraja menahan langkah Rengganis. “Saya dengar kamu menjaga banyak hal tetap hangat tanpa meminta sorotan. Di perusahaan ini, kita kekurangan orang yang memilih menjadi rumah.”

Rengganis menunduk. “Saya hanya menambal yang robek, Pak.”

“Menambal itu pekerjaan yang tak dihargai orang sampai kainnya dipakai,” jawab Wiraraja. “Terima kasih.”

.

Kabar beredar cepat, seperti kabut yang turun tanpa perlu undangan. Di grup internal, orang-orang menyapa lebih jujur. Di pantry, roti lebih sering dibelah dua. Di lantai produksi, buruh harian memanggil nama, bukan jabatan. Sariadi merasa tanah di bawah kursinya bergeser.

Dalam sebuah rapat, ia memotong ketika Rengganis memaparkan timeline. “Kamu terlalu banyak ambil alih,” suaranya dingin. “Hati-hati. Ini bukan kompetisi.”

Rengganis menoleh, menatapnya bukan untuk melawan, tapi untuk mengembalikan napas. “Justru karena saya tahu ini bukan kompetisi, Pak,” katanya tenang. “Ini kerja tim.”

Ruang rapat terdiam. Kalimat itu seperti pintu yang menutup pelan, lalu angin dari luar menyelinap masuk. Arya, di pojok ruangan, mengepalkan jari—bukan untuk berkelahi, tapi untuk menahan haru yang tiba-tiba.

.

Di rumah kontrakannya di Tebet, malam menghampar. Di dinding, poster teater tradisi Madura—Topeng Dalang—tertempel miring. Neneknya dulu sering mendongeng tentang Menak Madura dengan bahasa yang membuat huruf terasa renyah: tentang Jokotole yang tidak memilih jalan pendek, tentang Ratnadi yang memilih mendengar lebih dulu sebelum menghunus, tentang bagaimana orang Madura menyimpan harga diri di pelana kuda tapi menurunkannya saat memberi makan tamu.

Ia menulis di jurnal: Keberanian bukan selalu menaklukkan orang lain. Keberanian bisa berarti tak menaklukkan dirimu sendiri—ketika ingin marah, tapi memilih mendengar. Ketika ingin menunjuk, tapi memilih menanggung.

Teleponnya bergetar. Pesan dari ibunya: Nduk, kalau capek, pulanglah. Rumah selalu muat.

Rengganis tersenyum. Rumah selalu muat—kalimat yang menenangkan seperti payung yang tetap terbuka meski hujan berhenti.

.

Pre-launch proyek BSD diumumkan, antusiasme memantul dari linimasa. Media kecil menulis, Developer X meluncurkan konsep co-living bernapas. Tagar #RuangUntukPulang sempat trending lokal. Di kantor, tim mendekor dengan lampu-lampu kecil yang tak mewah tapi tulus. Ratnawulan membawa kue talam. Arya mencetak foto tim: ada yang canggung, ada yang tertawa kelewatan, ada yang menutup wajah—semuanya manusiawi.

Pada saat terakhir, Sariadi mencoba mengambil mikrofon pembuka. Wiraraja menoleh, memegang bahu Rengganis. “Silakan, Rengganis.”

Suara Rengganis gemetar sedikit, seperti garis pertama saat menulis. “Selamat datang,” katanya. “Semoga tempat ini membuat Anda ingin pulang lebih awal bukan karena lelah, melainkan karena rindu.”

Tepuk tangan mengikuti, bukan karena kata-kata, tapi karena orang-orang merasa diundang sebagai manusia. Seorang pengunjung—lelaki berkemeja biru—bertanya kenapa balkon dirancang hanya selebar dua kursi.

“Karena kita tak perlu terlalu banyak kursi untuk merasa ditemani,” jawab Rengganis. “Yang penting ada satu untukmu, satu untuk dirimu di masa depan.”

.

Namun tak semua tepuk tangan menyenangkan telinga yang terbiasa memerintah. Malam itu, Sariadi memanggil Rengganis ke ruangan. “Kamu pikir kamu siapa?”

“Saya bagian dari tim, Pak.”

“Tim ini perlu komando. Jangan bikin orang lupa.”

“Orang tak akan lupa pada siapa yang mengajarkan mereka merasa aman,” jawab Rengganis pelan. “Kalau mereka lebih banyak bertanya pada saya, bisa jadi karena saya sering berada di dekat pertanyaan mereka.”

“Keluar,” ujar Sariadi, menahan suara agar tetap dingin. “Dan ingat, besok evaluasi.”

Di lift, Rengganis menahan gemetar. Ia mengingat petuah neneknya: Bila ombak meninggi, jangan menantang. Turunkan layar, simpan tenaga. Kapal baik bukan yang melawan badai, melainkan yang sampai di pelabuhan.

.

Esok pagi, hujan tipis seperti film yang apik. Evaluasi berlangsung; angka-angka, grafik, catatan. Sariadi mencari celah, tapi data mengapitnya dengan tenang. ROI proyeksi membaik, tingkat minat meningkat, lead bertambah. Wiraraja menutup rapat dengan kalimat yang membuat semua orang merasakan sesuatu yang lama:

“Sekadar mengingatkan, kita ini bukan pabrik bangunan; kita pabrik pulang. Dan pulang butuh orang-orang yang tak takut menjadi kecil demi yang lain merasa cukup.”

Sariadi diam. Dunia di sekelilingnya seolah mengecil, seperti kota dilihat dari jendela mobil yang kaca filmnya terlalu gelap. Ia bukan penjahat; ia hanya menolak belajar menua bersama kebaikan orang lain.

.

Beberapa hari kemudian, kabar yang lebih asing datang—dari rumah sakit. Ayah Sariadi sakit. Di grup kantor, tak ada yang berani bertanya. Rengganis mengetik pesan singkat: Semoga lekas membaik, Pak. Jika ada yang bisa kami bantu, beri tahu.

Tak diduga, jam 22.11, balasan datang: Terima kasih.

Di lobi rumah sakit, seminggu kemudian, Rengganis melihat Sariadi duduk sendirian. Sepatunya tak mengilap, wajahnya lebih manusia. “Bagaimana, Pak?”

“Stabil,” jawabnya. “Terima kasih, sudah tanya.”

“Kami doakan,” kata Rengganis. Ia hendak pergi, lalu berbalik. “Pak, kalau Bapak berkenan, kami bisa ambil alih beberapa urusan. Bapak fokus di sini dulu.”

Sariadi memandangi lantai. “Kamu tidak harus sebaik itu.”

“Kadang orang perlu bukti bahwa kantor tak harus dingin,” jawab Rengganis. “Supaya pulang tak ketuk pintu terlalu keras.”

Itulah malam yang—tanpa mereka sadari—membuka pintu lain. Esoknya, Sariadi menulis email ke seluruh tim: Mulai minggu ini, evaluasi mingguan dipimpin Rengganis. Saya akan fokus pada koordinasi makro dan hubungan eksternal. Orang-orang saling menatap layar, lalu menatap satu sama lain. Bukan tepuk tangan yang terdengar, melainkan kursi-kursi yang bergeser untuk memberi ruang.

.

Waktu berjalan dengan cara yang adil untuk yang mau belajar. Proyek berikutnya bukan lagi klaster, melainkan hunian vertikal di Kemayoran. Konsepnya “hidup bertetangga”—kelas menengah atas yang muak pamer, rindu kebersahajaan. Ada ruang baca bersama, klinik kecil untuk konseling gratis sebulan sekali, lapak UMKM yang dikurasi jujur. Rengganis mendorong kolaborasi dengan komunitas teater tradisi—Topeng Dalang tampil di atrium sabtu sore. Orang-orang kaya berdiri, menonton, lalu membeli buku tipis tentang cerita Menak Madura—Jokotole yang tak suka jalan pintas, Ratnawulan yang setia pada telinga sebelum lidah.

“Kenapa kamu membawa tradisi ke sini?” tanya Arya, kagum melihat anak-anak kecil menirukan gerak topeng.

“Supaya kita ingat,” jawab Rengganis. “Kita ini bukan hanya pembeli meter persegi. Kita pewaris cerita.”

.

Suatu malam, ia berjalan sendirian di jembatan penyeberangan GBK. Kota mendesis seperti panci ari-ari yang lupa dimatikan. Di telinganya, kalimat lama kembali pulang: Tidak semua luka harus dijawab dengan perlawanan. Kadang diam yang teguh adalah bentuk paling lantang dari keberanian. Ia menambahkan kalimat baru, hadiah dari semua hari yang telah ia lewati:

Kita tak perlu berteriak untuk membuat dunia mendengar. Cukup pastikan langkah kita tetap jujur dan konsisten. Sisanya, biar waktu memilih di mana kita berdiri.

Teleponnya bergetar. Pesan dari Wiraraja: Terima kasih untuk udara yang kamu jaga. Udara tak pernah masuk laporan keuangan, tapi tanpanya semua angka mati.

Ia menatap kota yang memantulkan dirinya dalam pecahan-pecahan cahaya. Di suatu tempat di Tebet, poster Topeng Dalang masih miring; di suatu ruang ICU, ayah seseorang sedang belajar menua dengan tenang; di suatu pantry, roti dibelah dua lagi. Hidup, pikirnya, adalah keberanian kecil yang diulang-ulang.

Dan di antara langkah yang tak terucap, kota akhirnya terdengar berdoa.

.
“Keheningan yang jujur mengajarkan kita cara pulang: bukan dengan mengalahkan orang lain, melainkan dengan menaklukkan diri sendiri agar orang lain tetap utuh.”

.

.

.

Jember, 3 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenUrban #KompasMingguStyle #KepemimpinanHening #Jakarta #KelasMenengahAtas #MenakMadura #Jokotole #Wiraraja #Ratnawulan #Storytelling #Empati #WorkCulture

Leave a Reply