Hobi yang Menyembuhkan

“Ada yang tumbuh dari kehilangan. Ada yang mekar dari luka yang dibiarkan terbuka.
Hobi yang kita rawat adalah jembatan dari ‘yang patah’ menuju ‘yang pulih.’”

.

Kota itu tidak pernah benar-benar diam. Bahkan ketika dini hari melarutkan lampu kota menjadi noktah putih di kaca apartemen, suara AC sentral di koridor, dengung MRT yang lewat jauh di bawah, dan panggilan dini hari dari driver yang salah sambung—semuanya berbaur menjadi satu napas panjang Jakarta. Di ketinggian dua puluh lantai sebuah apartemen di bilangan Kuningan, Arya berdiri menatap langit yang samar. Di balik kaca, neon dari bilboard kosmetik berkedip, iklan apartemen berpindah adegan, sebuah janji hidup modern meluncur—rapi, meyakinkan, dan memukau.

Di dalam, jam dinding menunjukkan pukul 04.12. Arya belum tidur. Di meja bar, cangkir kopi mendingin di atas alas kain bergambar batik Madura: motif pesisir yang dulu dibeli ibunya di Sumenep. Kain itu, seperti dirinya, menyimpan tepi yang sedikit berumbai—jejak usia, jejak perawatan yang seadanya.

Arya bukan siapa-siapa di mata publik. Ia bukan selebritas, bukan CEO, bukan penulis laris yang dipajang di toko buku. Tetapi ia pernah “sesuatu” di dalam hidup yang terlalu ramai: manajer pemasaran pada sebuah rintisan teknologi yang berlari secepat tren. Hingga sakit ibunya meletakkan rem darurat pada semua laju. Ia resign di sebuah Jumat sore yang basah oleh hujan, bel pulang diangkat tanpa sorak-sorai. Beberapa bulan kemudian, di ruang rawat berbau antiseptik, ibunya berlayar. Sejak itu, pagi-pagi milik Arya terasa seperti kertas kosong yang terlalu lebar.

Sunting-sunting kecil cahaya dari apartemen-apartemen di seberang menulis pesan yang sama: semua orang tampak punya tujuan. Arya tidak. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan sampai ia menemukan—atau mungkin, ditemukan—oleh lima hobi. Bukan hobi yang gagah, bukan pula yang mahal. Hobi yang sunyi, sederhana, tapi memegang tangan, menuntun pelan-pelan.

.

Menyusun Ulang Diri dengan Kata

Seminggu setelah pemakaman, Arya membuka blog lama yang dulu diisi foto-foto liburan dan kalimat promosi klien. Ia menggulir, menahan nafas membaca dirinya yang lama. Lalu, ia menulis ulang. Satu paragraf. Dua paragraf. Ia menulis tentang ibu yang tiba-tiba lupa nama anaknya sendiri, tentang sendok bubur yang tak lagi dikenali, tentang detik yang terasa mekar dan keriput sekaligus. Ia menulis tidak untuk mengajarkan apa-apa; ia menulis agar tidak tinggal sendirian di kepalanya.

Tulisan itu, yang semula hanya diunggah dengan pengaturan “teman saja,” bocor dengan sengaja saat seorang rekan lama, Sagara, menawari untuk diunggah di laman editorial start-up media yang ia rintis. “Kamu tidak harus kuat di tulisanmu. Jujur saja,” kata Sagara. Nama itu, Sagara—mengingatkan Arya pada kisah-kisah Menak Madura yang dulu diceritakan ibunya: ombak yang tabah, laut yang meluaskan pandangan.

Tulisan pertama Arya yang benar-benar jujur dibaca puluhan ribu orang. Bukan soal angka yang mengubah, tapi komentar-komentar di bawahnya: orang-orang asing yang menulis, “Aku juga,” “Ayahku juga,” “Aku kira aku sendirian.” Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arya merasa berguna kembali. Kata-kata menjadi jembatan tipis yang kuat.

.

Melangkah di Kota yang Tak Peduli

Jakarta bukan kota yang memeluk pejalan kaki, tetapi Arya memilih berjalan juga. Ia menolak gym dan musik keras, menolak layar hitam di depan treadmill. Ia memilih trotoar yang bolong, jalan layang yang panjang, lorong-lorong MRT yang berangin. Sepatu sneakers-nya menjadi saksi sedih yang dilangkahi—pelan, pasti.

Pagi hari, ia berangkat dari Kuningan menuju Dukuh Atas, menyebrang jembatan penyeberangan orang yang menghubungkan moda. Ia berhenti sejenak di pinggir Sudirman, menatap kerumunan orang bersetelan rapih tergesa-gesa—semua punya janji, rapat, negosiasi, sementara ia hanya berjanji kepada dirinya: jalan saja. Dalam langkah-langkah itu, Arya menemukan ritme baru: detak jantung yang membaik, napas yang lebih lapang, dan—aneh tapi nyata—doa yang tidak dihafal di bibir melainkan hadir di telapak kaki.

Di benaknya, ia menggumamkan puisi pendek yang muncul seperti papan iklan yang berganti: tentang tukang tisu di lampu merah, tentang gerimis yang membikin kota seperti ada filter lembut, tentang langit Jakarta yang tidak biru tetapi memaafkan. Ia menulis di aplikasi catatan setiap berhenti minum: tiga baris, lima baris, kadang hanya satu: “Kota tak peduli, namun trotoar selalu diam menunggu kita pulang.”

.

Sketsa dan Serpihan Emosi

Jumat sore, Arya naik Commuter Line ke Cikini, lanjut berjalan ke Taman Menteng. Di ransel, ada buku sketsa ring spiral, sebatang pensil 2B yang sudah pendek, dan penghapus yang pecah di sudut. Ia duduk di bangku kayu di bawah teduh flamboyan. Di hadapannya, dunia kecil berlalu-lalang: anak mengejar balon, pasangan yang menua bersama, seorang perempuan yang menyeka air mata diam-diam.

Ia menggambar tidak rapi. Tangan kirinya tidak disiplin terhadap proporsi, tapi setia pada cerita. Garis-garisnya lebih mirip detak jantung: kadang cepat, kadang ragu, kadang putus. Suatu sore, seorang barista berkaus hitam, Tole—nama panggil yang mengingatkan Arya pada Joko Tole, pahlawan lincah dalam kisah-kisah ibunya—mengintip dari bahu.

“Mas gambar orang beneran nangis ya?” tanya Tole.

Arya mengangguk pendek.

“Kopi saya gratis buat Mas. Asal besok Mas gambar saya lagi kerja,” ujar Tole, senyumnya seterang lampu bar.

Sketsa Tole yang tengah menuang latte art itu kemudian diunggah Tole ke Instagram. Di kolom pesan, ibu muda yang pernah Arya gambar tanpa sengaja menghubungi: bisa minta digambar keluarganya? Dari sana, mengalir pesanan yang tak pernah Arya duga: ilustrasi pre-wedding, potret keluarga dengan gaya “garis-garis jujur,” bahkan sketsa seorang tokoh publik yang ingin “terlihat manusia.”

Kreativitas, ternyata, adalah jembatan kedua.

.

Membaca untuk Bertahan

Di kios buku loak di Kwitang, Arya menemukan buku tipis—kulitnya menguning, halaman pinggirnya seperti roti tua. Ia membelinya dengan sisa uang tunai di kantong, lalu duduk di pojok kafe kecil: Kopi Timur, tempat Tole bekerja. Buku itu membawanya ke lintasan-lintasan yang menenangkan: tentang stoisisme, tentang melepaskan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan, tentang kebaikan yang tidak berisik, tentang kekalahan yang tidak memalukan asal ditatap.

“Manusia bukan diciptakan untuk sempurna, tetapi untuk tumbuh,” tulis penulis yang namanya ia kenal samar.

Arya menandai kalimat itu, memfotonya, mengirimkannya ke Sagara. “Masukkan ke kolom minggu depan,” balas Sagara singkat dengan emotikon jangkar.

Bacaan-bacaan itu tidak mempercepat waktu, tetapi menghangatkannya. Kecemasan masih datang—terutama ketika menyusun rekening listrik dan sewa apartemen—namun rasa ingin tahulah sekarang yang menang.

.

Menulis Jurnal untuk Berdamai

Malam-malam, setelah lampu apartemen meredup dan kota akhirnya pasrah pada rasa lelahnya sendiri, Arya menulis jurnal. Bukan catatan prestasi, bukan daftar resolusi. Ia menulis ketakutan paling polos: tentang tiba-tiba tidak sanggup bangun, tentang piring kotor yang menumpuk seolah menuduh, tentang suara ibu di ujung telepon yang dirindukan padahal sudah tidak ada. Ia menulis tanpa mengedit kesalahan ketik, tanpa peduli struktur.

Di baris terakhir, ia menempelkan satu kalimat yang selalu sama, sebuah janji kecil:
“Aku belum sembuh. Tapi aku sedang menuju ke sana. Dengan langkah kecil dan hobi-hobi yang menjaga akal tetap waras.”

Jurnal itu menjadi terapi yang tidak meresepkan obat apa pun, namun menolongnya tidur.

.

Suatu sore, Sagara mengirim pesan: “Mau jadi narasumber diskusi kecil? Tema: kehilangan yang memulihkan.” Lokasinya di Kopi Timur. Arya merasakan perutnya mengerut. Ia menatap cermin kamar mandi, mencuci wajah, mencoba tersenyum tanpa terlihat basah. Barista Tole menyiapkan panggung kecil—dua kursi, satu mikrofon, lampu sorot yang dipinjam dari acara musik.

Di baris ketiga penonton, ada seorang perempuan berkerudung abu-abu. Wajahnya teduh. Setelah acara, ia menunggu di dekat poster menu. “Aku Inong,” katanya pelan, “tulisanmu, sketsamu, membuatku bisa pulang. Namaku Inong itu panggilan di kantor, nama kecilku Rengganis.” Arya menatapnya—Rengganis, nama yang pernah diucapkan ibunya saat bercerita tentang perempuan pemberani dalam kisah-kisah pesisir Madura. Seakan-akan, satu bab lama pelan-pelan terbuka lagi.

Sejak perkenalan itu, pesan-pesan pendek bertukar setiap malam: tentang buku apa yang dibaca, tentang rute berjalan kaki yang nyaman saat Senin terlalu berat, tentang cara menyiram tanaman agar tidak mati di apartemen. Rengganis bekerja sebagai analis data di sebuah perusahaan logistik: hidupnya rapi, jam tidurnya tidak telat, dan ia menyukai perkara-perkara kecil yang berbunyi pelan. Namun ia juga menyimpan retak: ayah yang pergi tanpa pamit. “Kita ini seperti pulau-pulau kecil,” tulisnya suatu malam, “saling melambai dari kejauhan, menunggu jembatan.”

“Jembatan itu bisa jadi hobi,” balas Arya, separuh bercanda, separuh percaya.

.

Bab yang Menguji

Pulih bukan jalan lurus. Pada bulan ketujuh, ketika kolom Arya mulai rutin, pesanan sketsa mulai stabil, dan langkah paginya terasa ringan, kabar buruk datang dari resepsionis apartemen: kenaikan biaya layanan. Segala sesuatu, tampaknya, selalu menemukan cara untuk mengingatkan manusia bahwa kestabilan adalah mitos sementara.

Arya panik dengan cara yang sangat modern: membuka aplikasi perbankan berulang-ulang seolah jumlah saldo akan berubah jika dilihat lebih sering. Ia menarik kursi, membuka gawai, menatap dokumen-dokumen lamaran kerja yang belum disempurnakan. Malam itu, ia menulis di jurnal:

“Kalau-kalau semua ini ternyata permainan sesaat, apakah aku harus kembali menjadi orang yang berlari kencang dalam rapat demi rapat? Apakah aku mengkhianati ibuku yang mengajarkanku menunggu?”

Keesokan harinya, Arya tidak berjalan. Ia duduk lama di karpet, mengusap motif batik ibunya. Ponsel berdering: Sagara.

“Datang ke kantor, ya. Ada proyek,” kata Sagara. “Brand buku anak mau bikin kampanye: ‘Hobi yang Menyembuhkan’. Kamu yang kurasi cerita.”

Arya tertawa pendek: judul yang terlalu mirip dengan jalan hidupnya sendiri.

Proyek itu menyedot Arya ke ritme baru: mewawancarai orang-orang di berbagai sudut kota tentang hobi yang menolong mereka melewati badai. Di Sunter, ia bertemu seorang akuntan yang menanam anggrek untuk mengelola cemas. Di Kemang, seorang fotografer yang memotret kucing-kucing kampung untuk memulihkan kegagalan bisnis. Di Tanah Abang, seorang pedagang kain yang menganyam kembali keberanian melalui rempah-rempah dan minuman hangat. Setiap cerita menjadi cermin. Setiap cermin memantulkan wajah Arya, tapi dengan sumbu berbeda.

Dalam salah satu sesi, Sagara mempertemukan Arya dengan Wira—seorang pengerajin keris dari Bangkalan yang sekarang tinggal di Depok. Wira—nama yang mengingatkan pada Wiraraja—membuka pelapis kayu, memperlihatkan pamor keris yang berkilau seolah ada garis-garis laut yang membatu di sana.

“Keris bukan soal menikam,” kata Wira, “tapi soal merawat. Besi pun kalau dipegang dengan luka, bisa sembuh—karatnya hilang. Hobi itu mirip: merawat sesuatu di luar dirimu, yang pada akhirnya merawat batinmu sendiri.”

Kalimat itu menghantam Arya seperti angin asin dari Laut Madura. Ia pulang, menyalakan lampu kecil, dan menulis sepanjang malam—bukan tentang produk, bukan tentang kampanye, tapi tentang manusia yang menolak mati sebelum benar-benar mati.

.

Bab yang Menyambung

Sebuah surat elektronik masuk dari seorang editor majalah besar: mereka membaca seri kurasi “Hobi yang Menyembuhkan,” dan ingin mengundang Arya menulis esai panjang khusus edisi Minggu. “Gaya yang tenang namun menghantam,” tulis editor itu, “seperti ombak kecil tapi menghantam karang yang sombong.”

Arya tak tidur malam itu. Ia membuka tab-tab lama: catatan jalan kaki, foto sketsa, koran duka ibunya yang dilipat rapi, pesan-pesan Rengganis. Ia memulai dengan kalimat yang ia hafal: “Ada yang tumbuh dari kehilangan.” Lalu ia menambahkan: “Ada yang mekar dari luka yang dibiarkan terbuka.” Ia menulis tentang kota yang tidak memeluk tapi tak pernah menolak; tentang hobi yang dibuat bukan untuk diunggah, melainkan untuk menyelematkan diri dulu; tentang lelaki biasa yang tidak ingin menang melawan hidup, cukup tidak tenggelam.

Ketika edisi itu terbit, Tole memajang majalahnya di rak kopi, menyelipkannya di antara biji-biji arabika. “Gratis buat yang mau baca,” katanya. Orang-orang menunggu minumannya sambil membalik halaman, sebagian mengambil foto diam-diam, sebagian mengembalikan dengan tatapan yang pelan.

Rengganis datang sore itu. Ia duduk di depan Arya, memegang buku tipis yang sama-sama mereka suka, membuka halaman yang sudah ditandai, lalu berbisik, “Ayo kita bikin jembatan lain.”

“Jembatan apa?” tanya Arya.

“Komunitas kecil, sekali sebulan. Bukan untuk memamerkan hobi, tapi untuk menolong orang menjadikannya rumah sementara. Kita sewa ruang bersama di sini. Tole pasti mau.”

Tole, yang mendengar dari balik mesin espresso, mengacungkan jempol. “Namanya?” teriaknya di sela uap.

Rengganis menatap Arya. “Kembang Sore,” katanya, “karena sore itu waktu yang paling jujur—saat orang-orang pulang, dan luka-luka paling ingin diberi teh hangat.”

.

Bab yang Menjawab

Komunitas Kembang Sore tumbuh perlahan. Di bulan pertama, hanya tujuh orang datang: Tole, Rengganis, Arya, dua pembaca setia, seorang ibu yang baru ditinggal suami, dan mahasiswa yang kebingungan arah. Mereka duduk melingkar. Aturannya sederhana: bawa satu hobi yang membuatmu tetap waras dan ceritakan mengapa.

Ibu itu membawa sulaman—garis-garis kecil yang melukis pasrah. Mahasiswa membawa raket badminton. Tole membawa sendok kopi favoritnya, bercerita tentang suara “ting” yang menenangkan ketika sendok membentur gelas. Rengganis membawa catatan kecil berisi angka-angka yang baginya menenangkan: angka adalah dunia yang bertanggung jawab.

Arya membawa buku sketsa. Ia menggambar mereka satu-satu, tidak rapi—tetapi setiap wajah ditangkap dengan satu garis yang jujur.

Bulan keempat, Kembang Sore sudah berisi dua puluh orang. Bulan ketujuh, mereka harus bergantian menyewa ruang. Pada pertemuan ke-dua belas, seseorang berdiri di akhir sesi, menahan tangis sambil berkata, “Aku datang ingin sembuh. Pulangnya, aku tidak tahu apakah sembuh. Tapi aku tidak lagi sendirian.”

Kali ini, Arya menangis. Tangis yang tidak malu, tidak ingin ditahan. Ia memeluk Rengganis. Tole menepuk bahunya. Sagara memotret dari jauh, kali ini tanpa niat mempublikasikan—sekadar ingin menyimpan.

.

Malam itu, selepas pertemuan, Arya berjalan sendiri dari Cikini ke Gondangdia, menyeberang rel, menyusuri trotoar yang baru dibenahi. Angin Jakarta yang mempermainkan rambutnya terasa seperti sapuan tangan ibu: tidak benar-benar ada, tapi terasa. Ia berhenti di depan etalase toko keramik. Di balik kaca, terlihat poci-poci kecil berwarna lembut. Di refleksi kaca, ia melihat bayangan dirinya—mata yang dulu kosong kini memantul.

Di rumah, ia menulis di jurnal:

“Pulih bukan tentang menghapus kehilangan, tetapi tentang memelihara ruang kosongnya dengan sesuatu yang hidup. Hobi yang menyembuhkan bukan pelarian, tapi pelabuhan. Ia menunggu, ia tidak bertanya-tanya kenapa kita terlambat, ia cukup menaruh tangan di bahu dan berkata: ‘Kita duduk dulu. Besok, kita jalan lagi.’”

Ia menutup jurnal, menatap kain batik ibunya di atas meja bar. Motif pesisir bergelombang—seperti peta kecil yang mengajak orang ke dermaga.
Saat itu Arya paham: ia mungkin tidak akan pernah kembali menjadi “seseorang” di panggung yang gemerlap, tapi ia telah menjadi seseorang bagi beberapa orang yang datang di sore hari, membawa hobi kecil, dan pulang membawa keberanian setengah gelas.

.

Esoknya, kampanye “Hobi yang Menyembuhkan” tayang. Ada wajah Tole yang tertawa sambil menuang kopi, ada ibu yang menyulam senja, ada mahasiswa dengan raket di pundak, ada Rengganis yang menatap angka seperti menatap langit, ada Wira dengan pamor keris yang memantulkan lampu atap. Di akhir video, muncul kalimat yang dicetuskan Arya:

“Kadang hidup tidak perlu jawaban yang cepat. Cukup ruang, waktu, dan hobi yang setia menemani kita berdamai dengan luka.”

Kota kembali bising. Namun bising kali ini terdengar seperti musik latar: ada ritme, ada jeda, ada kesempatan untuk menari walau perlahan. Arya menutup laptop, menggantung tas sketsanya, membuka pintu, dan memutuskan berjalan kaki lebih jauh hari itu—mungkin hingga Bundaran HI. Bukan untuk kemana-mana, melainkan untuk kembali: ke hatinya yang kini, pelan-pelan, terasa seperti rumah.

.

.

.

Jember, 3 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#HobiYangMenyembuhkan #PulihPelanPelan #KembangSore #JakartaMenulis #WalkingTherapy #SketsaEmosi #JurnalMalam #Stoisisme #CerpenMinggu #NamakuBrandku

.

Kutipan yang Menjadi Sendi Cerita

  1. “Ada yang tumbuh dari kehilangan. Ada yang mekar dari luka yang dibiarkan terbuka.”

  2. “Kota tak peduli, namun trotoar selalu diam menunggu kita pulang.”

  3. “Aku belum sembuh. Tapi aku sedang menuju ke sana—dengan langkah kecil dan hobi-hobi yang menjaga akal tetap waras.”

  4. “Pulih bukan tentang menghapus kehilangan, tetapi tentang memelihara ruang kosongnya dengan sesuatu yang hidup.”

  5. “Kadang hidup tidak perlu jawaban yang cepat. Cukup ruang, waktu, dan hobi yang setia menemani kita berdamai dengan luka.”

Leave a Reply