Satu Milimeter Saja
“Kualitas bukan soal siapa paling cepat selesai. Tapi siapa yang paling bisa dipercaya untuk tidak berbohong atas hasil kerjanya.”
.
Jakarta, pukul 22.41.
Gedung kantor itu sudah sepi. Tapi Arka belum beranjak dari kursinya. Dia duduk tegak dengan layar Excel terbuka, telunjuk menelusuri angka demi angka. Di sisi meja, roti sobek dan kopi instan dingin menemaninya diam-diam. Beberapa sel Excel terlihat merah. Ada selisih angka. Lagi.
“Masih di kantor?”
Suara itu datang dari belakang. Druna, bos divisinya, berdiri di ambang pintu. Kemeja putihnya masih rapi, dasi dilepas, senyum tipis di ujung bibir. Ia tahu. Arka selalu jadi yang terakhir pulang.
“Masih ada yang meleset, Pak. Satu milimeter dari standar kualitas produksi. Tapi berulang kali muncul,” jawab Arka tanpa menoleh.
Druna melangkah pelan, menatap layar.
“Laporan audit harus naik besok pagi. Aku butuh ini rapi. Tanpa revisi.”
“Baik, Pak.”
Diam-diam Arka menggenggam jemarinya di bawah meja.
.
Arka: Lelaki yang Percaya pada Kualitas
Di lingkungan kerja tempat tekanan jadi makanan harian, Arka dikenal sebagai si pendiam perfeksionis. Lulusan teknik mesin dari Jogja, wajahnya khas Jawa halus, tutur katanya pelan, dan geraknya terukur. Ia tidak banyak bicara, tapi semua orang tahu: jika proyek ditangani Arka, pasti rapi. Tak setitik pun meleset.
Ia punya prinsip hidup:
“Jer basuki mawa béya. Kualitas bukan hadiah, melainkan perjuangan yang tak boleh disuap hasil instan.”
Sejak pindah ke Jakarta lima tahun lalu, Arka tinggal di kamar kontrakan 3×3 meter di daerah Tebet. Setiap hari berangkat jam 06.00, pulang jam 23.00. Ibunya di Ngawi mengira dia sudah jadi manajer. Arka hanya tersenyum setiap kali telepon, tak tega membagi kenyataan.
.
Pertemuan dengan Seta dan Karna
Di kantor, hanya dua orang yang bisa membuat Arka mengernyit: Seta dan Karna.
Mereka berdua anak emas divisi pemasaran. Bicara licin, percaya diri, dan hafal semua cara untuk tampil di depan bos. Tapi laporan mereka sering tak valid. Quality check sering dilompati.
“Arka, kamu terlalu teknis! Ini dunia nyata, bukan laboratorium,” sindir Karna, suatu kali.
“Orang mau beli cepat, bukan sempurna. Selisih satu milimeter juga siapa yang peduli?” tambah Seta sambil tertawa.
Arka menatap mereka sebentar. Lalu kembali ke layar. Diamnya adalah perlawanan.
.
Audit yang Mencederai
Audit tahunan datang. Seperti biasa, Arka membuat laporan valid, jujur, dan terperinci. Tapi sehari sebelum dipresentasikan, file-nya hilang. Entah bagaimana, laporan Arka diganti dengan versi palsu: hasilnya dimanipulasi agar tampak “bersih”.
Druna tersenyum puas saat presentasi.
“Bapak ibu dewan direksi, kualitas kami meningkat 23%,” ujarnya.
Padahal, dalam hati Arka tahu: itu angka bohong.
Setelah rapat, Arka menghadap Druna.
“Pak, saya tidak membuat laporan yang tadi dipresentasikan.”
Druna menatapnya dingin. “Laporan itu disetujui saya. Kamu hanya pelaksana. Kalau kamu merasa keberatan, ada dua pintu di belakang. Satu menuju toilet, satu lagi ke luar kantor.”
.
Kualitas yang Tak Terlihat
Malam itu Arka pulang dengan langkah berat. Hujan menyambutnya di jalanan. Ia duduk di halte, memandangi genangan yang memantulkan lampu kendaraan.
“Apa gunanya menjaga kualitas, kalau semua orang lebih memilih cepat dan palsu?” gumamnya.
Ia teringat ucapan ibunya dulu:
“Nek urip arep dawa, ojo nyolong balung. Ojo ngapusi hasil kerjomu. Yen mung amarga pengin cepet, kowe bakal kélangan dipercaya.”
(Kalau mau hidup panjang, jangan curang. Jangan memalsukan hasil kerjamu. Kalau hanya karena ingin cepat, kamu akan kehilangan kepercayaan.)
Arka menatap tangannya. Ia tahu, integritasnya satu-satunya yang tersisa.
.
Perlahan Tapi Tidak Lelah
Beberapa minggu kemudian, masalah mulai muncul. Barang rusak dikirim ke klien besar di Kalimantan. Audit internal ulang dibuka. Arka dipanggil sebagai technical witness.
Dalam ruangan sidang internal, semua saling menyalahkan. Karna bilang dia hanya meneruskan. Seta bilang sistemnya sudah seperti itu dari dulu. Druna? Tidak datang.
Arka mengangkat tangan.
“Saya tahu data aslinya. Saya masih simpan di drive pribadi.”
Hening.
Ia membuka laptopnya. Menampilkan versi asli, lengkap dengan log pekerjaan dan waktu edit.
Kepala audit mengangguk.
“Kamu tahu risikonya?”
Arka mengangguk. “Saya tahu. Tapi saya lebih takut kalau saya diam.”
.
Kemenangan Tanpa Sorak
Hasil audit diumumkan. Seta dan Karna dipindahkan ke cabang lain. Druna mengundurkan diri. Arka? Tetap di tempat yang sama. Tak ada tepuk tangan, tak ada promosi.
Tapi sore itu, Arka membuka inbox-nya. Satu email dari direktur utama masuk:
“Saya melihat integritasmu. Terima kasih sudah menjaga kualitas ketika semua orang memilih jalan pintas. Dunia butuh lebih banyak orang seperti kamu.”
Air mata Arka mengalir tanpa suara.
Untuk pertama kalinya, ia merasa… diperhatikan.
.
Kualitas Tak Butuh Panggung
Beberapa tahun kemudian, Arka dipindah ke pabrik baru di Solo sebagai kepala kontrol kualitas. Kantor itu kecil, jauh dari pusat kota, tapi penuh semangat. Ia membentuk tim kecil, melatih mereka dengan prinsip:
“Kualitas bukan sekadar standar. Tapi tentang apakah kamu bisa dipercaya bahkan saat tak ada yang melihat.”
Dan setiap kali seseorang bertanya mengapa ia tidak marah ketika dulu semua diputarbalikkan, Arka hanya tersenyum:
“Karena kualitas bukan milik panggung. Ia milik mereka yang mau diam, belajar, dan berdiri tegak.”
.
Penutup
Di dunia kerja modern, orang-orang seperti Arka mungkin tak populer. Tapi merekalah yang menjaga dunia tetap berdiri. Satu milimeter saja bisa jadi pembeda antara kepercayaan atau kehancuran. Dan mereka memilih yang pertama.
“Kualitas adalah kebiasaan. Ia tak butuh sorakan, hanya konsistensi.”
.
.
Jember, 29 Juli 2025
.
.
#CerpenInspiratif #CeritaIntegritas #ManajemenKualitas #CerpenKompasMinggu #FiksiIndonesia #UrbanStory #BharatayudaModern #CeritaProfesional #KualitasHidup #HidupJujur