Ledakan Hari Kamis

“Kadang, kita hanya perlu diam sebentar agar badai berlalu. Bukan karena lemah, tapi karena tak semua perang layak dimenangkan.”

.

Senyuman yang Tak Dibalas

Jakarta, pukul tujuh pagi. Udara masih berdebu dan padat seperti biasa. Klakson saling sahut, matahari menyelip di balik deretan gedung pencakar langit yang seolah menonton diam-diam segala keruwetan manusia di bawahnya. Di dalam TransJakarta koridor 1 yang penuh sesak, seorang lelaki berkacamata, mengenakan kemeja abu, berdiri memegang besi pengaman sambil mencoba tersenyum—walau jelas, tidak ada yang membalas senyumnya pagi itu.

Nama lelaki itu adalah Yudhistira.

Di kantornya—sebuah startup konten digital bernama “DharmaVoice”—ia dikenal sebagai sosok tenang dan mudah didekati. Tapi minggu ini berbeda. Senyum yang biasanya hangat, kini seperti tempelan yang mulai mengelupas. Ia sudah mencoba berdialog, memediasi konflik antar tim, menyemangati editor yang burnout, bahkan menyumbang kopi dari dompet pribadinya. Semua sia-sia.

.

Retaknya Rasa Percaya

Raden, kepala divisi kreatif yang temperamental, melempar naskah konten ke meja Yudhistira.

“Mas, ini bukan level kita. Terlalu halus. Konten harus meledak! Kita kalah engagement lagi minggu ini. Nggak cukup ramah, harus berani!” katanya dengan suara tinggi.

Yudhistira menahan nafas. Ia menatap lembaran konten bertema “Daya Cinta di Era Digital” yang ditulis dengan hati-hati, penuh nilai moral dan kepekaan. Tapi di mata Raden, semua itu basi. Ia ingin sensasi.

Hari Selasa, Bima—seorang videografer—mendadak resign. Ia merasa Yudhistira kurang tegas membela tim konten saat atasannya menyalahkan video pendek yang dianggap gagal.

“Lu terlalu ramah sama semua orang, Mas. Dunia ini bukan tentang senyum, ini tentang siapa yang berani tahan nyeri.”

Hari Rabu, Srikandi, editor muda yang biasanya ceria, menolak berdiskusi.

“Mas Yudhis, maaf. Aku capek. Aku ngerasa nggak dilihat, nggak didenger. Semua cuma mikirin angka.”

Malam itu, Yudhistira pulang dengan langkah lelah. Di bawah jembatan penyeberangan Dukuh Atas, ia duduk. Di sebelahnya, seorang pengamen memetik gitar, menyanyikan lagu Iwan Fals dengan suara serak.

“Kadang, kita terlalu berharap dunia mendengarkan kita. Padahal, belum tentu kita sendiri tahu apa yang mau kita katakan,” ujar pengamen itu, seolah membaca pikirannya.

.

Ledakan Hari Kamis

Hari Kamis datang dengan badai.

Pagi itu, kantor sepi. Group chat tim meledak. Ternyata, Raden mengunggah video teaser tanpa persetujuan Yudhistira. Video itu menampilkan narasi eksplosif: “Cinta Bukan Lagi Hal Sakral, Tapi Strategi Survival!”—sebuah pernyataan kontroversial.

Video itu viral. Tapi juga membawa hujan kritik. Netizen menyebut DharmaVoice tidak punya nilai. Sejumlah klien mundur.

Pimpinan memanggil Yudhistira.

“Kenapa bisa lolos? Kamu kan project lead.”

Ia nyaris tak bisa berkata-kata.

Di puncak keputusasaan itu, terjadi sesuatu yang aneh—sekaligus ajaib.

Yudhistira, yang biasanya menghindari konfrontasi, berdiri dan berkata, “Saya ingin mundur. Tapi sebelum itu, izinkan saya mencoba satu eksperimen. Beri saya 48 jam. Kalau gagal, saya pergi.”

Pimpinan menatapnya, terkejut. Tapi menyetujui.

.

Percobaan Terakhir

Yudhistira kembali ke mejanya. Ia menulis naskah video baru. Ia panggil kembali Bima, mengajaknya kolaborasi freelance. Ia ajak Srikandi brainstorming tengah malam. Ia buka forum terbuka daring, mendengar suara netizen. Lalu, ia munculkan sebuah video baru bertajuk “Apa Arti Menjadi Manusia di Era Filter dan Like”—dalam waktu 36 jam.

Video itu mengharukan. Menampilkan wajah-wajah manusia kota: pengemudi ojek yang rindu anaknya, penjaga kantin yang menghidupi keluarganya, dan Srikandi yang menangis membaca puisi sendiri.

Dalam 24 jam, video itu ditonton 3 juta kali. Bukan karena sensasi, tapi karena ketulusan.

.

Keajaiban di Hari Jumat

Hari Jumat, ruangan kantor kembali hangat. Raden menghampiri Yudhistira.

“Maaf, Mas. Aku salah. Aku pikir kamu lemah. Tapi ternyata, kamu lebih kuat dari yang aku sangka.”

Pimpinan memuji upaya Yudhistira dan memintanya tetap tinggal. Tim kembali berkumpul, makan siang bersama. Bahkan Bima yang sudah freelance kembali rutin membantu proyek khusus.

.

Senja yang Menghangatkan

Akhir pekan itu, Yudhistira berdiri di pinggir trotoar Blok M, melihat langit yang akhirnya bersih. Seorang ibu tua menjual nasi uduk menyapanya, “Mas, makan dulu, biar hatinya adem.”

Ia tertawa kecil. Dalam hati, ia tahu: eksperimen gila memang bisa membawa ledakan kebaikan. Tapi sebelum melompat, kadang kita memang harus melihat dua atau tiga kali lebih dalam, bukan ke luar… tapi ke dalam diri sendiri.

.

“Tak semua pertempuran harus dimenangkan. Kadang, cukup dengan menyentuh hati orang lain, kita sudah menang lebih besar.”

.

.

.

Jember, 29 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompas #CeritaInspiratif #KonflikKantor #LedakanKreativitas #Yudhistira #CerpenIndonesia #TereLiyeStyle

Leave a Reply