Karena Siapa?

“Pion selalu membenci pion lainnya, sedangkan para pemain catur biasanya bersahabat baik.”

.

Bukan Cuma Langit yang Berubah

Langit Jakarta senja itu seperti kain yang dilipat sembarangan. Kusam, lusuh, dan penuh garis kerut. Di salah satu gedung bertingkat di kawasan Gatot Subroto, Sena duduk diam memandangi cermin toilet wanita. Ia baru saja menumpahkan air matanya, bukan karena patah hati, tapi karena patah kepercayaan.

Sudah lebih dari tiga tahun ia bekerja sebagai koordinator komunikasi di perusahaan agensi yang sama dengan Kurawa—rekan satu divisinya, sekaligus sahabat sejak kampus. Tapi belakangan, Kurawa terasa seperti orang asing. Komentar-komentar tajamnya di rapat tim, lirikan sinisnya saat target mingguan tak tercapai, dan bisik-bisiknya bersama Kanjar—bos baru mereka—seolah menyudutkannya diam-diam.

Kurawa berubah. Atau mungkin, Sena yang selama ini tak melihat.

.

Rapat-rapat yang Tak Lagi Hangat

“Materi kampanye Srikandi Digital sudah molor dua minggu. Alasannya lagi-lagi ‘revisi dari klien’. Tapi kalau aku lihat, koordinasi internal pun amburadul.” suara Kurawa nyaring di ruang rapat Senin pagi.

Sena menunduk. Sebenarnya ia sudah menyusun revisi terbaru, namun belum sempat diunggah karena sistem server down. Ia ingin menjelaskan, tapi suara Kurawa seperti bidak menteri yang menutup semua langkah.

“Dan mohon maaf, aku jadi merasa kampanye ini nggak punya ujung karena lack of leadership. Koordinator divisinya harusnya lebih tegas.”

Semua mata mengarah ke Sena.

Ia hanya menarik napas. Ia tahu, ini bukan soal performa. Ini soal kursi kekuasaan.

.

Saudara yang Jadi Lawan

Kurawa dan Sena dulunya seperti Arjuna dan Srikandi versi kontemporer—duet maut saat menjadi duta debat kampus. Kurawa pandai memanipulasi logika, sementara Sena andal membangun empati.

Tapi dunia kerja tak seperti panggung debat.

“Kur, kenapa kamu kaya gini sama aku?” tanya Sena sore itu, mencoba membuka percakapan di pantry kantor.

Kurawa hanya meneguk kopi sambil berkata datar, “Aku cuma realistis, Sen. Kita semua main di papan yang sama. Tapi jangan lupa, pion yang diam akan dilangkahi.”

“Kamu mainin aku?”

“Semua orang main, Sen. Kamu cuma salah posisi.”

.

Luka yang Terpendam di Rumah

Di rumah, hubungan Sena dengan ibunya pun tak mudah. Ibunya, mantan aktivis ’98, keras dan penuh luka sejarah. Tiap pilihan hidup Sena seperti tak pernah cukup baik di matanya.

“Kamu kerja apa sih sekarang? Cuma ngurus kampanye digital. Apa itu kerjaan perempuan bermartabat?” tanya ibunya suatu malam, sesudah tahu Sena batal menikah karena pilihannya fokus karier.

Sena hanya diam.

Di dunia profesional ia dikritik karena tidak cukup “tegas”, di rumah ia dikecam karena terlalu “mandiri”.

Tak ada ruang aman. Tak ada tempat pulang yang betul-betul bisa dituju tanpa rasa bersalah.

.

Dampak di Balik Senyum

Tiga bulan setelah konflik di kantor memuncak, Kurawa resmi dipromosikan menjadi Project Director. Sena tetap di posisi yang sama. Tapi ia tak iri.

Yang membuatnya luka adalah saat Kurawa memberi pidato promosi, menyebut semua kolega kecuali namanya.

“Terima kasih untuk semua yang berdiri bersamaku di tengah badai,” kata Kurawa sambil tersenyum. “Kita sukses karena solid.”

Sena tersenyum kecil. Tidak semua badai datang untuk menghancurkan. Beberapa datang untuk menunjukkan siapa yang akan tetap tinggal setelah hujan reda.

.

Surat yang Tak Terkirim

Suatu malam, Sena menulis surat yang tak pernah ia kirimkan:

Kur,

Papan catur ini memang bukan milikku. Tapi aku juga bukan pionmu. Kamu mungkin menang permainan, tapi kehilangan persahabatan. Kamu main indah, tapi aku tidak akan main kotor hanya untuk menang.

Dan kalau kau bertanya kenapa aku diam, itu bukan karena kalah. Itu karena aku tahu, tidak semua perlawanan harus keras. Sebagian cukup dengan bertahan. Dengan tidak jadi seperti kamu.

.

Saat Semua Terbongkar

Pada rapat akhir tahun, terjadi kebocoran data yang membuat klien besar hengkang. Investigasi internal dilakukan.

Ternyata, justru Kurawa yang menyimpan backup lama dengan nama folder yang salah. Tapi ia bungkam.

Sena tak bicara. Tapi rekan-rekan lain mulai sadar siapa yang selama ini hanya mencitrakan performa.

Kurawa tak dipecat. Tapi ia dipindahkan ke cabang luar kota. Kariernya stagnan.

.

Perpisahan yang Tak  Dipelajari

“Sen, kamu masih marah?” tanya Kurawa sebelum pindah.

Sena tersenyum.

“Tidak, Kur. Aku sudah memaafkan. Tapi kamu harus tahu, bukan semua orang bisa kamu paksa untuk melawan. Beberapa orang memilih tidak membalas karena mereka tidak ingin jadi seperti kamu.”

Kurawa menunduk.

“Kamu menang, Sen.”

“Aku tidak ikut main, Kur.”

.

Pelajaran dari Pion

Beberapa bulan kemudian, Sena menulis esai di blog pribadinya:

“Dunia profesional bukan catur. Tapi terlalu banyak orang bermain seolah-olah mereka harus saling mengalahkan. Padahal yang mereka lawan bukan pion di sampingnya. Melainkan tangan-tangan di atas papan yang selalu bertepuk tangan atas konflik yang mereka ciptakan.”

Esainya viral. Banyak profesional muda mengutipnya. Sena diundang jadi narasumber di beberapa forum perempuan urban.

Dan saat ia berdiri di depan podium pertama kalinya, ia berbisik dalam hati:

“Untuk ibu. Aku akhirnya menemukan panggungku sendiri.”

.

Kurawa kini tinggal di Balikpapan. Mengurus proyek kecil, jauh dari sorotan. Ia tak lagi membanggakan “tim solid”, tapi ia menulis ulang ulang tahun sahabatnya, Sena, di catatan ponselnya.

Dan malam itu, ia mengirim pesan pendek.

“Maaf. Kalau dulu aku sibuk ingin menguasai papan, dan lupa kita pernah berjalan beriringan.”

Sena membacanya. Ia tidak membalas.

Tapi di ujung hati, ia tahu, beberapa luka hanya bisa sembuh bukan karena dilupakan—tapi karena dimaafkan.

,

Jalan Pulang yang Tidak Membakar Jembatan

“Ada orang yang bermain untuk menang. Ada juga yang memilih tidak bermain, agar tidak melukai siapa pun.”

Sena tak pernah menganggap dirinya pemenang. Ia hanya perempuan biasa yang memilih diam saat difitnah, memilih berjalan saat ditinggal, dan memilih memaafkan meski tak pernah diminta. Ia bukan tokoh utama di panggung yang terang—ia cuma cahaya kecil yang tak padam saat badai datang.

Ia tahu satu hal yang Kurawa belum sempat pelajari: bahwa dalam hidup, tidak semua pertarungan harus dimenangkan dengan suara keras. Ada kemenangan yang hadir justru ketika kita tidak membalas. Ketika kita menolak berubah menjadi versi paling buruk dari diri sendiri, meskipun luka menggodamu untuk menjadi sebaliknya.

Sebab, tidak semua perlawanan berbentuk teriakan. Kadang, bentuk perlawanan terbaik adalah tetap waras di tengah dunia yang gemar saling menjatuhkan.

Dan jika hidup memaksamu bermain di papan catur yang tak pernah kau pilih, jangan buru-buru jadi raja. Jadilah bidak kecil yang tahu arah, tahu tujuan, dan tahu kapan harus pergi tanpa perlu mengalahkan siapa pun.

Karena pada akhirnya, bukan siapa yang menang yang akan dikenang. Tapi siapa yang tetap manusia—di antara yang berlomba menjadi penguasa.

Sena menyadari, bahwa papan kehidupan bukan tentang siapa yang benar, melainkan siapa yang punya kendali atas dirinya sendiri. Kendali atas amarah, atas ego, atas luka. Dan ia memutuskan: ia tak ingin jadi pion yang membenci pion lainnya. Ia ingin jadi yang menyembuhkan, bukan yang menguasai.

Dan itu cukup.

.

.

.

Jember, 28 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #CeritaJakarta #KonflikKantor #SahabatJadiLawan #PerempuanUrban #CeritaEmosional #KompasStyle #CaturHidup

Leave a Reply