Aku Berteriak Dalam Kesepianku
“Terkadang, kita harus belajar melepaskan harapan demi menjaga kewarasan. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita ingin tetap waras untuk mencintai diri sendiri.”
.
Senyap di Balik Kaca Kafe
Jakarta. Musim hujan. Aroma tanah basah bercampur kabut knalpot kendaraan yang merayap lamban di simpang Senopati. Dari balik jendela kafe kaca berembun, seorang pria duduk sendiri. Namanya Bima. Tak ada gelar. Tak perlu status. Ia hanya lelaki yang sedang berusaha jujur pada dirinya sendiri.
Tangannya menggenggam secangkir kopi yang tak lagi panas. Matanya sesekali memandangi layar ponselnya. Tak ada pesan masuk. Masih belum.
Ia pernah berteriak dalam diam. Pernah juga mengirimkan pesan panjang yang hanya dibalas dengan emoji senyum.
“Friend, aku jatuh cinta,” katanya suatu malam kepada Seta, sahabatnya. “Tapi orangnya nggak mau.”
Bima bukan tipe yang mudah jatuh hati. Tapi begitu jatuh, ia jatuh sejadi-jadinya. Tak bisa berhenti membayangkan. Tak bisa berhenti berharap.
Namanya Drupadi. Perempuan yang ia kenal di sebuah malam Desember yang gerimis. Pertemuan tak sengaja di sebuah restoran Palembang pinggiran kota.
Jalan Tanpa Tujuan, Pertemuan Tak Terduga
Hari itu Bima menyetir tanpa arah. Pekerjaan membuat dadanya sesak. Hati kosong. Perut lapar. Ia butuh jeda. Ia ingin sendiri, di tempat yang sepi, hanya untuk mengunyah makanan dan barangkali… mengunyah sepi.
Dan di sanalah ia melihat Drupadi. Bersama seorang pria. Entah siapa. Wajahnya samar. Tapi senyumnya? Jelas. Hangat. Menyapa.
Bima kikuk. Otaknya memaksa bekerja keras mengenali perempuan itu. Tapi ingatannya sedang mogok kerja. Dengan tergesa ia mengeluarkan kartu nama, berharap ada pertukaran identitas. Tapi Drupadi hanya tersenyum, lalu pamit. Mengulurkan tangan.
“Saya duluan ya…” katanya.
Dan dari jabatan tangan itulah, Bima mulai gila. Ada yang tertinggal di telapaknya. Rasa. Rindu yang tumbuh sebelum waktunya.
Pesan Singkat, Debaran Panjang
Dua minggu setelahnya, Bima mengirim pesan. Ringan. Menggoda. “Aku kena peletmu, lho…” tulisnya. Disambut dengan, “Hahaha. Jangan lebay.”
Tapi lebay itu nyata. Dadanya deg-degan setiap kali layar ponselnya menyala. Harapan tumbuh liar seperti rumput di pekarangan rumah kosong. Tak terurus, tapi tetap hidup.
Suatu malam, ia memberanikan diri. Mengajak bertemu. Dan Drupadi mengiyakan.
Malam itu, mereka makan malam. Bima bicara, Drupadi mendengar. Ia bercerita tentang betapa sulitnya menyukai seseorang di usia dewasa. Tentang bagaimana hati bisa bersorak hanya karena sebuah balasan singkat. Tentang betapa ingin ia berhenti berharap, tapi tak bisa.
Drupadi mendengarkan. Lalu mengangguk. Lalu pulang.
Dan esoknya, ia mengirim email.
Kata-kata yang Tertunda
“Kalau kamu nggak bisa dan nggak mau punya hubungan romantis denganku, bilang saja. Jangan kasih harapan.”
Bima membaca email itu dua hari kemudian. Email masuk ke akun lamanya, yang jarang dibuka.
Ia tersenyum getir.
“Bukankah itu seharusnya aku yang bilang?” gumamnya.
Ia terdiam. Dalam. Dalam sekali.
Bersama kopi dingin dan sunyi yang menggumpal di ubun-ubunnya.
Rasa yang Tak Terdefinisi
Dua bulan. Dua bulan ia pendam sendiri perasaan itu. Sampai akhirnya, malam itu, ia memutuskan menulis balik.
Dia tulis semuanya.
Tentang rasa yang tidak ia rencanakan. Tentang momen pertemuan yang mengubah cara pandangnya tentang hidup. Tentang betapa ia tidak mencari pasangan, tapi menemukan rumah di mata Drupadi.
Ia bahkan menulis,
“Aku tidak bisa berjanji akan menjadi matamu saat kau tak bisa melihat, Atau menjadi tanganmu saat kau tak mampu menjangkau. Tapi jika aku masih ada di dekatmu, Aku akan mencoba menjadi cukup untuk kekuranganmu.”
Ia tidak meminta Drupadi menjadi kekasih. Ia hanya ingin perempuan itu tahu. Bahwa rasa itu nyata. Bahwa ia rela jika rasa itu harus berakhir hanya sebagai catatan.
Pertemuan Kedua, Tanpa Harapan
Waktu berlalu. Drupadi tak membalas.
Bima kembali ke rutinitasnya. Pagi-pagi kerja. Malam duduk sendiri di kafe. Sesekali tertawa dengan teman-temannya. Tapi tak ada yang tahu, di balik canda itu, ia menyimpan luka yang tak berdarah.
Sampai akhirnya, sore itu…
Drupadi menelepon.
“Bisa ketemu?” tanyanya.
Suara itu masih sama. Lembut. Tapi tak bisa ditebak.
Bima menjawab, “Aku sedang meeting. Tapi aku usahakan.”
Dan ia datang.
Setelah hampir dua jam Drupadi menunggu.
Di meja kafe yang sama, di sudut yang sama, mereka bertemu lagi.
“Kenapa baru sekarang?” tanya Bima.
Drupadi menatap canggung. “Aku juga bingung. Tapi aku sadar, aku kangen.”
Bima terdiam.
Malam itu mereka makan lagi. Sama seperti sebelumnya. Tapi malam ini, mereka tidak membahas masa lalu. Mereka tidak membahas ‘apakah’ dan ‘bagaimana jika’. Mereka hanya tertawa. Tentang hidup. Tentang lucunya jatuh cinta di usia yang tak muda lagi.
Satu Musim Bernama Drupadi
Setahun berlalu sejak malam itu.
Drupadi pergi. Ia mendapat beasiswa ke luar negeri. Satu musim cukup untuk mereka saling mengenal. Satu musim cukup untuk Bima merasa bahwa tidak semua cinta harus dimiliki. Beberapa cukup dikenang.
Tapi Bima tidak menyesal. Ia belajar. Bahwa mencintai bukan soal memiliki, tapi keberanian untuk memberi tanpa mengikat.
Dan di sudut kafe yang sama, setiap minggu, Bima masih duduk sendiri. Menulis. Mengenang. Meneruskan hidup.
Karena baginya, Drupadi bukan luka.
Drupadi adalah hujan pertama. Segar. Tapi tidak menetap.
Belajar dari Cinta yang Tak Selesai
Pada akhirnya, Bima duduk sendiri di kafe itu. Meja sudut, kopi setengah dingin, dan hujan yang entah kenapa selalu turun saat ia sedang mengenang. Tidak ada yang ia sesali dari perjalanannya bersama Drupadi. Tidak juga rasa yang tumbuh dan bersemi hanya sesaat.
Ia sadar, bukan hasil yang paling penting dari sebuah cinta, tapi perjalanan hati yang menyertainya. Ia belajar, bahwa jujur pada perasaan sendiri adalah langkah pertama yang paling berani. Dan itu tak semua orang sanggup melakukannya.
Bima pernah berharap. Pernah menunggu. Tapi ia juga pernah memilih untuk melepaskan. Karena ia tahu, kadang yang membuat kita bertahan bukan cinta itu sendiri, melainkan kenangan tentang cinta itu. Maka, ketika cinta itu pergi, kita tidak benar-benar kehilangan—kita hanya berubah bentuk: menjadi lebih kuat, lebih sadar, lebih dewasa.
“Tak semua cinta harus tinggal untuk selamanya,” batin Bima. “Beberapa cukup singgah, menyapa hati, lalu pergi… meninggalkan bekas yang hangat.”
Drupadi tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Tapi Bima tahu, cinta yang sejati bukanlah soal kepemilikan, melainkan soal keberanian untuk tidak menuntut. Ia tidak ingin menahan Drupadi. Ia hanya ingin mengingatnya sebagai musim paling jujur yang pernah ia alami.
Dan di setiap pekan, saat Bima kembali ke meja itu, ia bukan lagi lelaki galau yang menggenggam harapan. Ia adalah lelaki yang telah menerima. Bahwa beberapa rasa memang ditakdirkan hanya untuk dikenang, bukan untuk dimiliki.
Ia memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil. Cinta telah mengajarkannya banyak hal. Tentang keberanian. Tentang ketulusan. Tentang ikhlas.
Dan pada akhirnya, tentang mencintai diri sendiri.
.
.
.
Jember, 28 Juli 2025
.
.
#CerpenKompas #CeritaCintaJakarta #RomansaKota #KisahGalau