Langkah Terakhir Tumenggung Lodra
“Ada saatnya hidup tak meminta kita berlari, hanya duduk sejenak, menatap senja, dan menerima bahwa tak semua yang kita perjuangkan harus dimiliki. Kadang, yang paling bijak adalah mengucap: aku sudah selesai… dan tetap utuh meski tak lagi di panggung terang.”
.
Langit pagi Jakarta masih pucat ketika Lodra menyalakan mobil listriknya. Dari jendela apartemen di tepi SCBD, ia memandangi kota yang seolah menghafal langkahnya: lampu-lampu gedung yang biasa padam saat ia baru pulang, taman batu dengan patung burung yang selalu ditempeli sisa stiker konser, dan jalur lari yang saban pagi dipenuhi orang-orang yang mengejar angka di gelang pintar mereka. Pagi itu tak ada bunyi notifikasi dari asisten. Tak ada daftar rapat, tak ada presentasi yang harus ia periksa. Di kalender digitalnya, kolom-kolom putih terbuka seperti halaman buku yang belum ditulis.
Semalam, di ruang pertemuan dengan dinding akustik dan layar yang lebih lebar dari lukisan apa pun di rumahnya, ia menutup bab yang lama. Ia menyerahkan kartu akses perusahaan raksasa teknologi yang membesarkan namanya, tempat ia merancang sistem pendokumentasian warisan budaya yang memenangkan penghargaan di luar negeri. Ia pernah berada di barisan depan: wicara di forum global, foto-foto di media dengan latar batik kontemporer, dan profil-profil singkat yang menyebutnya “penjembatan masa silam dan masa depan”. Namun sebuah kalimat yang diucapkannya pelan di cermin kamar mandi—“Aku selesai”—membuat semua itu tampak seperti lampu yang meredup perlahan.
Bukan karena kalah. Bukan karena gagal. Lodra memilih melangkah pergi ketika rapat-rapat makin panjang bukan untuk memperdalam esensi, melainkan memperuncing presentasi. Ia lelah pada kebijakan yang mengukur nilai dari “engagement” dan “retention” semata, mengabaikan kesahihan tutur dan waktu yang dibutuhkan sebuah cerita untuk menjadi arus di dalam darah. Ia lelah pada kecemasan yang menguntit setiap kali sebuah unggahan tak menembus angka ekspektasi. Ia lelah pada dirinya sendiri yang belajar tersenyum sambil menunda marah.
Di balkon, ia menjerang air dan menakar bubuk kopi single origin yang dulu hanya dipersembahkan untuk tamu-tamu penting. Asap tipis naik, mengawang sebentar, lalu hilang, menyisakan aromanya yang rapi. Ia membuka laptop. Ada surel dari seorang investor Jepang yang memuji uji coba model pelestarian candi dengan NFT, ada pesan HRD yang menanyakan pengembalian perangkat, ada folder bernama “Masa Depan” yang kalau dibuka hanya berisi satu file: “Untuk Apa Lagi?”.
Ia tertawa kecil. Tawanya hambar, seperti gula diet yang tak mau larut. Dalam hatinya, ia menuliskan jawaban: untuk kembali utuh.
.
Keputusan itu datang seperti hujan yang tak diundang, tapi melegakan. Ia menutup kontrak apartemen mewahnya, menyusuri iklan-iklan ruko di pinggir selatan kota, di wilayah yang berwajah campur: bengkel motor, tempat fotokopi, toko bunga plastik, rumah makan padang yang memasang spanduk “non-rokok” dengan huruf-huruf pudar. Ruko yang dipilihnya terlalu sempit bagi mimpi-mimpi lama, tapi cukup untuk harapannya yang baru: ruang kecil dengan jendela menghadap jalan, satu meja panjang dari kayu jati bekas, dan rak buku yang menempel di dinding.
Ia menamai tempat itu “Ruang Selesai.” Di papan tulis yang menghadap pintu, ia menulis: “Kita tidak sedang menyerah; kita sedang pulang.”
Di hari pembukaan, hanya tiga orang datang: Fina, mahasiswa semester akhir yang meneliti kuliner Betawi; Darma, pekerja kreatif yang baru dirumahkan dari agensi periklanan; dan Lintang, siswi kelas sebelas yang malu-malu membawa buku catatan bergambar matahari. Lodra menyeduhkan kopi, menyuguhkan pisang goreng, dan memutar video singkat tentang pekerja harian di pasar pagi yang menuturkan kisah tentang caping, tentang bawang merah, tentang mata yang peka membedakan segar dan busuk tanpa mesin. Ketiganya duduk, mendengar, dan untuk kali pertama dalam waktu lama Lodra merasa tak perlu meyakinkan siapa pun tentang “mengapa” dan “bagaimana”.
“Setiap tradisi memiliki ritme napasnya sendiri,” ujarnya pelan. “Tugas kita bukan mempercepat napas itu, tetapi membantu orang mendengarnya lagi.”
Hari-hari berikutnya diisi hal-hal sederhana. Mengajar cara mewawancarai penutur tua. Menyusun peta kecil tempat-tempat yang tak masuk brosur wisata. Membuat arsip suara tukang asongan yang bersiul di perempatan. Membaca paritta, kidung, syair, lalu berusaha menerjemahkannya menjadi bahasa hari ini tanpa menggoreskan luka.
Di antara kesederhanaan itu, godaan datang. Sebuah pesan singkat masuk dari akun lawas yang lama ia nonaktifkan. Sebuah unicorn berpendanaan segar menawarinya posisi penasihat. Angka yang ditawarkan tak pernah berani ia minta ketika masih berkarier. Nama-nama besar di jajaran pendiri, akses yang luas ke jaringan, tiket ke panggung-panggung internasional. Ia membaca berulang-ulang, semacam rasa panas merayap ke wajahnya, bukan karena gengsi, melainkan karena ingatan: pada masa-masa ia merasa dunia baru dianggap bergerak kalau ada wajahnya di layar.
“Kalau kembali,” ia bergumam, “apakah aku pulang atau tersesat?”
Esoknya, Lodra memotret papan tulis di Ruang Selesai: kalimat yang ia tulis tersenyum kepadanya. Ia unggah tanpa tagar, tanpa strategi waktu terbaik, tanpa diksi “viral” yang dulu hapal di ujung lidah. “Terima kasih atas tawarannya,” tulisnya. “Aku sudah selesai dengan panggung besar. Aku memilih mendengarkan langkah-langkah kecil.”
Di ruangan itu, Lodra menunggu rasa menyesal datang. Rasa itu tak datang. Yang datang justru orang-orang dengan cerita yang berlapis: sopir ojek yang kehilangan peta kampung masa kecilnya; pegawai bank yang ingin merekam doa ibunya dalam logat yang nyaris hilang; ibu-ibu PKK yang ingin membuat kamus bumbu rumahan karena takut suatu hari cucu-cucu mereka hanya mengenal rasa dari sachet.
.
Sore itu, hujan turun rapi. Ruang Selesai bau tanah basah dan kayu. Seorang perempuan berdiri di pintu, menenteng payung biru. Raras, mantan rekan kerja yang dulu pernah menatap Lodra di atas panggung dengan mata yang lebih tajam dari lampu sorot. Ia menghela napas pelan, lalu tersenyum kaku.
“Aku minta maaf,” katanya tanpa basa-basi. “Aku dulu pikir kau lari.”
Lodra mempersilakan masuk. Di meja kayu jati, ia menaruh dua gelas teh hangat. Raras menatap rak buku, poster kecil tentang lokakarya lisan, foto buram anak-anak yang duduk melantai sambil tertawa.
“Aku kira,” Raras melanjutkan, “kau akan kering tanpa panggung.”
“Aku memang kering,” sahut Lodra, “tapi kering yang baik, seperti kayu yang siap jadi api. Aku hanya tak mau terbakar untuk pertunjukan yang salah.”
Mereka berbincang tentang pertemuan lama, tentang strategi yang menyisakan perih di ujung lidah, tentang malam-malam ketika semua kata tampak benar di presentasi namun salah di dada. Raras mengaku kelelahan. Ia membenci siasatnya sendiri. Ia ingin berhenti, tapi takut terjun ke sunyi.
“Sunyi tidak menakutkan,” kata Lodra. “Sunyi adalah ruang yang menolak kebohongan.”
Raras menatap hujan. “Bagaimana kalau aku bergabung di sini?”
“Kau tidak perlu bergabung,” jawab Lodra. “Kau hanya perlu menyelesaikan persoalanmu. Kalau hatimu ingin tinggal, tinggallah. Kalau tidak, bawalah pulang ketenangan yang kau temukan.”
Di ujung percakapan, Raras mengangkat gelas tehnya. Mereka bersulang: untuk keberanian yang belajar berjalan tanpa sorak-sorai.
.
Nama Ruang Selesai mengalir ke grup-grup percakapan yang gemuk oleh stiker, menyelinap di antara video kucing dan info diskon. Orang datang, duduk, bercerita. Ada yang sekadar berhenti karena macet, ada yang menatap lama-lama peta kota di dinding seperti sedang mencari pintu keluar. Di sela-sela kelas, Lodra sering tersenyum sendirian, menyadari bahwa yang tumbuh bukanlah “program” seperti dalam proposal, melainkan kebiasaan: kebiasaan untuk menunda menilai, kebiasaan untuk menampung, kebiasaan untuk tidak memaksa selesai.
Suatu siang, Lintang datang dengan kabar. “Kak, sekolah mau tutup kelas seni tradisi. Katanya tidak relevan.”
Lodra meminta Lintang menulis surat. Bukan protes, melainkan cerita. Cerita tentang neneknya yang menidurkannya dengan kidung; cerita tentang suara kentongan di gang; cerita tentang rasa malu yang indah ketika lupa lirik lalu ditolong teman. Lodra memotret surat itu dan mengirimkannya ke kepala sekolah dengan subjek sederhana: “Alasan Kecil untuk Bertahan.” Dua minggu kemudian, kelas itu kembali dibuka, bukan karena tekanan, melainkan karena kepala sekolah membaca surat itu sambil menangis di ruangannya.
“Menang,” ujar Darma pada suatu malam, “tidak selalu perlu medali.”
“Kadang,” jawab Lodra, “cukup hati yang lapang.”
.
Dua tahun berlalu. Papan nama Ruang Selesai memudar dimakan hujan, tapi cahayanya tak lekang. Dari Jakarta, kabar tentang ruang-ruang kecil lain datang: di Bandung, di Makassar, di Kupang. Orang menamai tempat-tempat itu dengan kata-kata yang serupa: Rehat, Teduh, Sembuh, Pulang. Mereka tak meminta waralaba. Mereka hanya mengirimkan foto-foto kegiatan dan ucapan terima kasih yang tidak dibuat-buat.
Sebuah universitas mengundang Lodra mengisi mata kuliah tamu. Sebuah kementerian ingin memasukkan modul Ruang Selesai ke program literasi budaya. Sebuah negara tetangga memintanya datang berbagi di festival membaca. Ia mengukur dirinya sendiri, seperti menakar bubuk kopi: apa yang bisa ia berikan tanpa mengganggu kewajibannya di ruko kecil yang menggembirakannya. Ia memilih datang ke beberapa, menolak banyak, dan selalu kembali ke meja kayu jati.
Di tengah undangan-undangan itu, tawaran kerja kembali datang bagai gelombang. Angkanya naik. Fasilitasnya bertambah. Bahkan ada yang mengizinkan “kebebasan kuratorial” yang dulu selalu diimpikannya. Di malam-malam yang sepi, Lodra menatap atap, mendengar bunyi hujan menggelitik seng tetangga, dan berpikir: “Apakah ‘selesai’ berarti menutup seluruh kemungkinan? Atau cukup menutup pintu yang tidak lagi mengantarkan makna?”
Ia ingat pesan dalam sebuah buku tua di raknya, kalimat yang pernah ia garis tebal: “Yang tinggal dari sebuah panggung bukan tepuk tangan, melainkan gema yang merawat sunyi.” Ia menyadari, kalaupun suatu saat ia kembali ke panggung, itu bukan karena haus pada sorot, melainkan karena ingin menyalakan lampu-lampu kecil di tempat orang tak bisa menyalakannya sendiri.
.
Pada suatu Minggu pagi, Ruang Selesai penuh. Kursi-kursi plastik tambahan dikeluarkan. Seorang bapak paruh baya bercerita tentang istrinya yang suka merangkai bunga tetapi tak pernah berani mendaftar pameran. Seorang anak kecil memperdengarkan rekaman suara kakeknya yang mengajarkan doa makan dengan logat Jawa halus. Seorang perempuan muda menangis saat menceritakan kecemasan menghadapi pekerjaannya yang menuntut “online” dua puluh empat jam. Semua ditampung, tidak dinilai, tidak disimpulkan. Kadang-kadang, Lodra hanya mengulang pertanyaan: “Apa yang mau kamu simpan? Apa yang mau kamu lepaskan? Apa yang mau kamu selesaikan?”
Sehabis acara, Lodra mematikan lampu satu per satu. Di jendela, senja yang basah menempel seperti stiker yang sulit dilepas. Ia menulis kalimat baru di papan tulis: “Selesai bukan titik. Selesai adalah ruang bernapas sebelum halaman berikutnya.” Tangannya bergetar sedikit—bukan karena ragu, melainkan karena rasa syukur yang menepi pelan: ia sampai di sini dengan tubuh utuh, dengan keyakinan yang tidak lagi berutang penjelasan.
Raras datang belakangan membawa dua bungkus nasi uduk. Mereka makan berdampingan, diam yang tidak canggung. Raras bercerita ia baru saja menolak promosi. “Aku memilih jadi manajer kecil yang pulang lebih awal,” katanya. “Aku ingin ingat rasanya makan malam bersama diri sendiri.”
“Selamat,” ucap Lodra. “Kau memilih untuk tidak melupakanmu.”
Di luar, motor-motor melintas. Seorang pengamen berhenti, menyanyikan lagu lawas yang selalu menyelinap di radio pagi. Di bait ketiga, suaranya pecah, tetapi ia tetap menyanyi. Lodra memberi isyarat agar pengamen duduk, lalu menyodorkan segelas air. “Tambah satu bait,” katanya. Pengamen mengangguk, menutup mata, menyelesaikan lagu dengan nada yang nyaris tepat. Di akhir, semua bertepuk tangan. Tulus dan hangat.
.
Suatu malam, Lodra terbangun oleh mimpi. Ia berdiri di panggung terbesar yang pernah disinggahinya. Lampu menyorot, layar belakang menampilkan animasi yang bergerak sempurna. Di hadapannya, penonton tak terlihat karena gelap. Ia akan bicara, tetapi tak ada suara. Lalu, dari kursi paling belakang, ada seberkas cahaya ponsel menyala—satu, dua, lima, puluhan—hingga panggungnya kehilangan dominasi. Ia menunduk. Di dalam mimpi itu, ia tidak sedih. Ia lega. Ia tidak harus mengendalikan apa pun lagi.
Esoknya, ia membuka Ruang Selesai lebih awal. Udara masih belum panas. Ia menata mug, mengelap meja, memeriksa amplifier yang suka ngambek. Di dinding, foto-foto kecil menatapnya: wajah-wajah yang dulu asing kini akrab, tawa-tawa yang dulu tertahan kini lepas. Ia teringat seseorang yang pernah berkata, “Kau melempar batu kecil ke danau yang luas.” Ia menatap riaknya yang meluas tanpa peta. “Biarlah,” gumamnya. “Danau punya garis tepinya sendiri.”
Di tengah sibuknya pagi, sebuah paket datang. Di dalamnya, buku yang ia tulis setahun lalu kembali, diterbitkan ulang dengan sampul baru. Di halaman pertama, penerbit menulis: “Untuk Lodra, yang mengajari kami bahwa berhenti juga sebuah keberanian.” Ia membaca pelan, menutup buku itu, dan tersenyum. Bukan senyum kemenangan, melainkan senyum orang yang menemukan kunci di saku setelah lama mencari.
Menjelang siang, Lintang masuk membawa kabar baru: ia diterima di jurusan antropologi. Fina mengirim pesan suara dari Padang: penelitiannya diundang dalam konferensi kecil. Darma membawa kabar bahwa ia membuka studio kecil untuk merekam kisah-kisah lisan tetangga. Ruang Selesai riuh rendah, seperti pasar pagi. Lodra berdiri di tengah, tak memimpin, tak mengatur, hanya ada. Ada—kata yang dulu ia anggap terlalu sederhana untuk kariernya—kini jadi kata paling berharga.
Di depan pintu, ia menambahkan satu kalimat lagi, memakai spidol hitam yang tinta terakhirnya ia peras: “Jika suatu hari kau harus kembali ke panggung, bawalah ruang ini bersamamu.” Ia tahu, tidak semua orang lahir untuk sunyi. Tidak semua orang cocok dengan kursi kayu jati dan ruangan seluas tiga puluh meter persegi. Tapi semua orang, entah kapan, butuh tempat untuk menyebut dirinya selesai pada sesuatu, agar bisa membuka diri pada yang lain.
Malam itu, ketika kota kembali ke ritme neon dan deru, Lodra duduk di kursi paling dekat jendela. Ia menatap jalan. Di kaca, bayangannya sendiri tampak berlapis: muda dan ambisius; letih dan kebingungan; tenang dan tak perlu lagi menjelaskan. Ia mengangkat cangkirnya ke arah bayang itu, seolah bersulang dengan semua versi dirinya yang dulu. “Terima kasih,” bisiknya. “Kalian membawaku ke sini.”
Dan di suatu tempat yang tidak bernama di dalam dadanya, sebuah pintu terbuka. Bukan pintu panggung yang minta ia tampil, melainkan pintu halaman belakang yang mengantarkannya pada meja kayu yang akrab, pada suara-suara yang tidak meminta tepuk tangan, pada cahaya kecil yang cukup untuk membaca doa.
.
Di atas meja, Lodra menuliskan catatan penutup untuk kelas esok hari:
“Tak semua akhir harus disesali, karena kadang yang selesai justru membuka ruang bagi hidup yang sesungguhnya. Bila langkahmu tak lagi berarti di tempat lama, mungkin itu tanda untuk menyalakan cahaya di tempat baru. Sebab hidup bukan soal terus berlari, tapi tahu kapan berhenti… untuk mulai lagi dengan makna yang lebih tinggi.”
Ia meletakkan pena. Di luar, Jakarta tetap berisik, tetap sibuk menghitung langkah. Di dalam, Ruang Selesai menjadi detik yang berhenti sebentar—cukup lama untuk mendengar hati yang, pada akhirnya, menemukan rumah.
.
.
.
Jember, 25 Juli 2025
.
.
#Cerpen #KompasMingguVibes #KelasMenengahAtas #Jakarta #RefleksiKarier #BeraniBerhenti #RuangSelesai #BudayaDigital #TradisiLisan #Healing