Menjadi Dewasa di Tengah Hujan
“Dewasa itu soal tahu kapan bersuara dan kapan menahan kata.
Tahu kapan harus bertahan, kapan harus mundur, dan kapan rela melepas meski berat.
Karena tak semua hal perlu dilawan, dan tak semua orang layak diperjuangkan.”
.
Hujan di bulan Sura turun seperti untaian kalimat yang disimpan terlalu lama. Di Jakarta, lampu-lampu Kuningan memantul di jalanan basah, membuat malam seperti panggung yang baru saja dicuci bersih dari riuh siang. Amir berdiri di balik kaca apartemennya—lantai tiga puluh—memegang cangkir kopi yang sudah dingin. Di belakangnya, meja kerja penuh catatan rapat dan layar laptop yang menampilkan angka-angka: proyeksi, target, dan rapat tindak lanjut. Di depannya, hujan. Dan di dadanya, sesuatu yang tak kunjung selesai dinamai.
Amir, empat puluh lima, bukan anak kemarin sore dalam urusan kerja. Ia tumbuh dari keluarga pedagang peralatan rumah tangga yang pelan-pelan naik kelas; sang ayah pernah mengajar ngaji di mushola pinggir pasar, sang ibu membuka kios kecil yang makin lama makin ramai. Amir belajar bahwa kota tidak pernah memberi ruang bagi yang ragu-ragu. Sejak lulus, ia menapaki karier di dunia komunikasi korporat—dari agensi ke perusahaan rintisan lalu ke konglomerasi. Di papan nama kantor, jabatannya kini terlihat anggun. Di kartu undangan acara, namanya diletakkan berdampingan dengan para komisaris. Tetapi malam ini, di hadapan hujan Sura, ia hanya Amir yang kehabisan kata.
Ruang keluarga berbau kayu manis dari diffuser yang dibeli Mila—sosok yang dulu ia sapa Retna Dumilah, gadis pameran seni yang jatuh cinta pada musim hujan dan buku tipis. Mila-lah alasan apartemen itu dipenuhi lukisan-lukisan kecil, pot tanaman yang berpindah tempat tiap pekan, dan tatakan piring dari rotan. Mila-lah yang tertawa pelan ketika Amir menyebutnya “Dumilah”—adaptasi nama dari kisah Menak yang dulu ia dengar dari kakeknya, kisah tentang mereka yang gagah berani menempuh badai. “Kita bukan tokoh wayang, Mir,” kata Mila waktu itu. “Kita cuma orang kota yang suka kopi, suka hujan, dan sesekali takut menjadi tua.”
Mereka punya seorang anak perempuan, Naya, kelas dua SMA, yang mulai menyukai jazz dan fotografi jalanan. Naya merekam manusia dari jarak aman: tukang ojek yang menggigil, barista yang semena-mena pada suhu susu, dan petugas kebersihan yang menunduk saat melintasi lobi hotel. “Orang dewasa selalu menunduk, Yah,” katanya suatu malam. “Seperti takut menyentuh langit-langit.” Amir tertawa kecil. Di dalam hati, ia mengamini: orang dewasa memang sering menunduk, bukan karena lelah, melainkan karena tahu langit-langit punya retak yang tak selalu bisa ditambal.
.
Pagi itu di kantor, timnya menunggu. Proyek kampanye besar—mengenalkan wajah baru perusahaan energi yang sedang beralih ke hijau—sedang memasuki tahap yang membuat semua orang mudah marah. Umarmaya, rekan kerjanya, perempuan tajam yang tumbuh dari disiplin dan buku catatan, menyodorkan revisi. “Kita harus punya suara,” katanya. “Kota sudah bising, tapi kita tetap perlu bicara dengan jelas.”
Di layar, tulisan “Perubahan adalah rumah kita” berkedip-kedip. Amir menatap kalimat itu seperti menatap cermin. Perubahan, pikirnya, adalah rumah yang kita bangun sambil tetap tinggal di dalamnya: berdebu, ribut, tapi tak bisa kita tinggalkan dulu kalau tidak ingin kehujanan.
Telepon bergetar: dari Maya—Umarmaya yang di luar jam kerja disapa pendek. “Jangan ikut rapat siang, Mir. Pulanglah lebih cepat. Naya demam, Mila menghubungi saya barusan. Kamu look pale.” Dalam pertemanan mereka, Maya kerap berperan sebagai sensor: tahu kapan menyela, kapan membiarkan. Amir menimbang. Rapat ini penting; bos besar datang. Tapi suara Maya, entah bagaimana, selalu mirip suara yang Amir simpan dalam benaknya tiap kali ia keliru membedakan ambisi dan kewarasan.
“Baik,” katanya. “Kau pimpin rapat. Aku pulang.”
Hujan kembali turun saat Amir menuruni lobi. Supir taksi online bertanya, “Pak Amir, Kuningan atau Senopati?” Amir menyebutkan alamat apartemennya. Di jendela, Jakarta yang basah menyerupai film yang pernah mereka tonton saat pacaran: lampu memanjang, orang-orang berlari-lari kecil, dan payung yang saling bersenggolan di trotoar sempit. Di ujung bayang, Amir melihat dirinya sendiri: lelaki yang begitu mengerti cara memberi presentasi, tapi terlalu sulit mendengar pelan keluh rumahnya sendiri.
.
Naya terbaring dengan selimut biru. Mila duduk di sisi, mengusap dahi. “Demam biasa,” katanya. “Tadi sempat menggigil, sekarang stabil.” Amir menyentuh punggung tangan putrinya. “Sayang, kamu mau apa?” Naya membuka mata, menatap ayahnya seperti menatap wajah lama yang tiba-tiba terlihat baru. “Ayah,” katanya pelan, “kita bisa tidak… berhenti sebentar?”
Kalimat itu menghajar Amir dari arah yang tak ia duga. Berhenti sebentar. Kata-kata yang asing bagi profesional ambisius; kata-kata yang paling sering ia tunda.
Malamnya, setelah Naya tertidur, Amir dan Mila duduk di balkon. Hujan sudah reda, hanya sisa-sisa bunyi air dari talang. “Mir,” kata Mila, suaranya seperti lampu kamar yang diredupkan setengah. “Aku ingin bicara tentang kita.”
Amir menahan napas. Ia tahu nada itu: bukan nada bertengkar, tapi nada jujur yang tak bisa ditawar.
“Aku lelah menjadi instrumen bensin dan rem untuk hidupmu,” lanjut Mila. “Kadang kamu lupa bahwa keluarga bukan pit stop—ini trek utamanya. Aku bukan protes soal lembur atau rapat; aku protes tentang rumah yang jadi tempat terakhir kamu menaruh waktu dan perasaan.”
Amir menatap langit yang menghitam lagi. Ada kata-kata yang menetap di mulutnya: maaf, tunggu, nanti. Tetapi ia teringat kalimat yang belakangan sering ia dengar: dewasa itu tahu kapan bersuara dan kapan menahan kata. Malam itu, ia memilih menahan. “Aku dengar,” katanya pelan. “Aku dengar. Dan aku ingin belajar menata ulang.”
Mila mengangguk. “Belajar artinya berubah,” katanya. “Bukan hanya memindahkan kalender rapat.”
.
Di kantor, kabar bahwa Amir melewatkan rapat besar menimbulkan riak kecil. Ada pesan dari Jay—nama panggung untuk Jayengrana, atasan yang flamboyan dan menuntut. “Besok kita temu investor. Jangan gagal.” Singkat, tajam. Amir menatapnya lama. Ia tahu permainan ini. Kota ini memelihara mereka yang sanggup memaksa diri melampaui batas. Ia juga tahu, setiap batas yang dilampaui akan menagih sesuatu yang lebih mahal dari gaji atau bonus: yang ditagih adalah jiwa yang kehabisan ruang untuk mendengar detak kecil di kamar anaknya.
Amir menyiapkan presentasi tengah malam, tapi kali ini dengan jadwal yang ia ukir berbeda: ia menulis pesan kepada tim, “Besok selesai pukul empat. Tidak ada lembur.” Maya membalas dengan emoji tangan menangkup. “Siap, Mir.”
Esoknya, hujan Sura menepis jendela ruang rapat tingkat dua puluh. Investor datang dengan jas tanpa noda dan angka-angka di tangan. Amir memaparkan strategi: bukan sekadar kampanye, melainkan cara memanusiakan energi—menghubungkan panel surya dengan sinar mata di sekolah-sekolah, mengaitkan pembangkit angin dengan napas petani yang tak lagi menghirup asap genset. Suara Amir rendah dan jernih. Di tengah paparan, teleponnya bergetar: pesan dari sekolah Naya. “Besok ada pertemuan orang tua, membahas proyek fotografi sosial.”
Amir menyelesaikan presentasi tepat waktu. Jay sempat melirik jam dan keningnya mengernyit—sebuah isyarat tak puas. Amir memutuskan untuk menanggung kerutan itu. Dewasa, pikirnya, kadang berarti siap menanggung ketidaksenangan atasan demi kegembiraan seorang anak.
.
Akhir pekan, mereka ikut pertemuan orang tua di sebuah ruang kelas yang dindingnya dipenuhi foto anak-anak. Naya menempelkan karyanya: foto tangan-tangan yang berpapasan di halte bus saat hujan deras. Ada payung plastik, ada jaket yang retak-retak. “Aku menamai ini ‘Yang Saling Meneduhkan’,” katanya. Guru memuji sensibilitas Naya. Mila tersenyum haru. Amir merasakan sesuatu berebut tempat dalam dirinya: kebanggaan, rasa kehilangan waktu-waktu yang terlewat, dan kelegaan bahwa belum terlambat untuk hadir.
Selepas pertemuan, mereka mampir ke sebuah kedai di Senopati. Kopi hitam untuk Amir, cokelat panas untuk Naya, jasmine tea untuk Mila. Di pojok, seorang pemain saksofon menyusun nada yang mengambang. Amir bertanya pada Naya, “Kenapa memotret tangan?” Naya menjawab, “Karena wajah sering bohong. Tangan sulit menyembunyikan kebenaran: gemetar atau kuat, memberi atau menahan, menutup atau meraih.”
Mila menatap Amir, dan Amir merasakan pandangan itu seperti kaca yang memantulkan kembali dirinya: pria yang belajar ulang tatabahasa pulang. “Aku ingin minta maaf,” kata Amir, akhirnya memilih kata. “Untuk jam-jam yang tidak bisa diulang.”
Naya mengangkat bahu. “Orang dewasa selalu minta maaf untuk jam,” katanya. “Padahal yang kami butuh dari Ayah bukan jam, tapi arah.” Mila menepuk punggung tangan Amir, dan mereka bertiga tertawa—tawa yang ragu-ragu, tapi nyata.
.
Sura melaju. Hujan jadi kebiasaan. Di kantor, proyek hijau mendapat angin baik. Investor memberi lampu hijau bersyarat: target tinggi, laporan ketat. Jay menjadi lebih sering mengingatkan dengan nada yang tak berubah: “Jangan lambat.” Maya, seperti biasa, adalah kaki yang tahu tanah; ia merinci eksekusi, menjaga tim tetap manusia.
Suatu Selasa sore, Amir menerima kabar: ibunya di Surabaya jatuh, pinggulnya retak. Rumah sakit minta keputusan cepat soal operasi. Kakak-kakaknya saling melempar saran. Amir memesan tiket kereta malam. Mila menyiapkan tas kecil, menambahkan syal. “Aku ikut,” kata Mila. “Naya bisa menginap di rumah Aini.” Amir menggeleng. “Kamu temani Naya ujian. Aku pulang sendiri.” Mila menatapnya, menimbang, lalu mengangguk—percaya bahwa penolakan malam itu bukan menutup pintu, melainkan memilih pintu lain yang perlu dibuka.
Di kereta, Amir membaca ulang pesan ibunya yang tak banyak bicara: “Ibu gak kuat jalan. Kamu datang ya, Mir.” Masih dengan ejaan ringkas, masih dengan keteguhan ala generasi yang tahu caranya menahan perih tanpa siaran langsung. Di balik kaca jendela, kota-kota kecil bergeser: Bekasi, Cikampek, Cirebon, Tegal. Hujan menemani sepanjang jalur. Amir teringat cerita kakek tentang Amir Hamzah, sang perwira yang menahan gejolak demi misi yang lebih besar. “Kita ini bukan tokoh besar,” gumam Amir, “tapi kita selalu diuji untuk menjadi manusia.”
Di bangsal, ibunya terbaring memeluk selimut tipis. Rambut yang dulu tebal kini lebih putih dari spray cat di dinding. “Kamu telat,” katanya, separuh bercanda, separuh merapelkan rindu. Amir tertawa kecil. Mereka bicara tentang hal-hal yang orang kota sering lupakan: cendol di pojok pasar, tetangga yang meminjam kipas, dan burung-burung yang masih mau pulang ke atap rumah saat magrib.
“Waktu kecil,” kata ibunya, “kamu suka berdiri di bawah hujan. Kamu bilang: ‘Kalau hujan turun, Ma, seperti Allah lagi mengajari kita menunduk.’” Amir menelan air liur. “Aku lupa.” Ibunya tersenyum. “Dewasa itu sering lupa hal-hal yang paling benar.”
Operasi berjalan lancar. Amir kembali ke Jakarta sehari sebelum presentasi final kampanye. Di bandara, pesan Jay masuk: “Jangan terlambat. Investor dari Singapura menunggu.” Maya menimpali: “Aku siapkan semua. Kamu tinggal bawa hatimu.”
Ruang rapat itu dingin bukan main, atau mungkin Amir yang terlalu hangat. Ia memulai paparan dengan cerita: tentang ibu-ibu yang perlu listrik stabil untuk menanak nasi saat banjir, tentang sekolah yang atapnya bocor namun ingin mengajar coding, tentang Naya yang memotret tangan-tangan yang saling meneduhkan. Angka-angka menyusul, bagan-bagan, peta risiko. Jay terlihat lega. Investor mengangguk. Lalu seorang dari ujung meja bertanya, “Proyek ini bagus, tapi apakah Anda siap mengorbankan akhir pekan karyawan untuk mengejar target yang mepet?”
Ruang rapat menahan napas. Ini pertanyaan sederhana yang bisa dijawab “ya” demi pragmatisme. Amir menatap wajah-wajah itu: cerdas, letih, lapar. Ia melihat bayang dirinya di kaca jendela: seorang ayah yang hampir kehilangan arah—dan baru saja ditempelkan kembali oleh tangan-tangan yang ia sayangi. “Tidak,” jawab Amir. “Kami tidak akan mengorbankan akhir pekan. Kami akan bekerja lebih cerdas, bukan lebih lama. Kami ingin energi yang lebih manusiawi dimulai dari cara kami bekerja.”
Jay tersenyum hambar, investor menautkan alis. Maya menegakkan punggungnya—seperti seseorang yang baru saja mendengar nada yang tepat di tengah konser yang nyaris fals. “Kalau begitu,” kata investor, “kami akan menyesuaikan timeline. Dengan syarat kualitas tidak turun.” Amir mengangguk. Di luar, Jakarta kembali disiram hujan.
Usai rapat, Jay memanggil Amir. “Kau tahu risikonya menjawab tadi?” “Tahu,” kata Amir. “Dan aku siap.” Jay memandangnya lama, lalu berkata, “Aku juga punya anak.” Lalu ia menepuk bahu Amir pelan. Percakapan terpendek dan paling melegakan bulan itu.
.
Pada suatu malam, Amir menemukan Naya di balkon, memotret hujan. “Aku ingin menamai proyekku ‘Menjadi Dewasa di Tengah Hujan’,” kata Naya. “Karena di kota ini, orang dewasa tampak paling hidup saat hujan turun: mereka terburu-buru tapi juga melambat, mereka protektif tapi juga rawan.” Amir berdiri di sampingnya. “Kalau begitu, jadikan foto-foto itu sebagai peta,” katanya. “Agar ketika kamu nyasar, kamu tahu pulang ke mana.”
Mila membawa tiga cangkir teh. “Aku tidak keberatan kalau kamu rindu kantor,” katanya. “Asal kamu tidak lupa rindu rumah.” Amir tertawa. “Aku merindukan rumah bahkan saat berdiri di dalamnya,” jawabnya. “Dan aku belajar, rindu yang benar adalah yang membuat kita pulang, bukan yang membuat kita kabur.”
Di layar ponsel, Naya menunjuk satu foto: tangan-tangan berpayung yang saling bersinggungan di bawah lampu halte. Ada satu tangan yang kosong—seperti menunggu. “Itu milik siapa?” tanya Amir. “Milik siapa pun yang berani bilang ‘aku butuh waktu’,” jawab Naya.
.
Sura merunduk ke penghujung. Kota kembali ke ritme yang dikenal: pagi penuh rapat, siang berlari-lari, malam berusaha pulang. Amir masih lelaki yang sama—yang bisa menata argumentasi dan menaklukkan ruangan. Tapi ia membiarkan satu perubahan menyelinap: ia memberi ruang untuk diam. Tidak semua hal layak dijawab saat itu juga, tidak semua orang layak dikejar saat mereka jelas-jelas ingin pergi.
Suatu hari, Maya datang dengan kabar: “Aku menerima tawaran di perusahaan yang fokus ke pendidikan. Aku akan pindah bulan depan.” Amir terdiam, lalu tersenyum. “Kamu selalu tahu jalan pulangmu sendiri.” Mereka berangkulan, bukan karena perpisahan itu menyenangkan, tapi karena mereka telah belajar membiarkan yang baik melanjutkan jalannya.
Di malam perpisahan tim, di sebuah rooftop yang memandang lampu-lampu kota, mereka mengangkat gelas. Maya berkata, “Kita menua tidak dengan tanggal, tapi dengan cara kita memaknai hujan.” Semua tertawa. Amir menatap Mila dan Naya yang datang belakangan, mengibaskan sisa gerimis dari jaket. Ia memotret mereka dengan matanya—cara paling purba dan paling jujur untuk mengabadikan yang tak ingin dilupakan.
.
Beberapa bulan kemudian, ibu Amir pelan-pelan bisa berjalan dengan alat bantu. Ia menolak tinggal di Jakarta; lebih suka mendengar penjual jamu lewat setiap pagi. “Aku bahagia di sini,” katanya di telepon. “Hujan di Surabaya tetap hujan yang sama, Mir.” Amir menjawab, “Iya, Bu. Tapi kau yang membuatnya terasa lebih ramah.”
Pada akhir tahun, proyek energi hijau itu berdiri: panel surya di atap sekolah, turbin kecil di pesisir, pelatihan warga di kelurahan. Amir menghadiri peresmian sederhana—jauh dari gemerlap gala—dan mendengarkan lagu anak-anak yang fals tapi merdu. Di panggung, seorang siswa membaca puisi: “Kami belajar menyalakan cahaya/ bukan hanya di ruang kelas/ tapi juga di mata kami.” Amir menahan napas, merasa sesuatu menutup lingkar yang lama terbuka.
Malamnya, mereka bertiga berjalan pulang dari halte TransJakarta, menolak ojol demi mencium sisa hujan di udara. Naya menggandeng tangan ayahnya. Mila menyelipkan tangan ke lengan Amir. Jalanan licin, tapi langkah mereka mantap. Di persimpangan, lampu merah lama sekali berubah. Mereka menunggu. Amir ingin menerobos—naluri kota belum sempurna sembuh. Tapi ia menahan: ada anak kecil menyeberang dengan payung di kejauhan. “Kita tunggu,” katanya. Mila tersenyum; Naya melirik, lalu mengangkat kameranya. Klik.
Dewasa, Amir mengerti akhirnya, bukan prestasi yang diumumkan; ia adalah serangkaian keputusan kecil yang jarang disorot: membuat rapat berakhir tepat waktu; menolak menukar akhir pekan dengan target yang bisa dinegosiasikan; menelepon ibu lebih sering; meminta maaf tanpa menuntut dimengerti; diam ketika pasangan membutuhkan kalimatnya berhenti; berani mundur selangkah agar keluarga melangkah dua.
Hujan turun lagi, ringan dalam butir, berat dalam makna. Mereka bertiga menepi di bawah kanopi sebuah toko roti yang sudah tutup. Jalanan mengilap seperti cermin panjang. Amir menatap pantulan mereka: tiga siluet yang tidak kalah cantik dari lukisan-lukisan di apartemen. “Sura hampir habis,” kata Mila. “Tahun baru Jawa akan datang.” Amir mengangguk. “Mari kita mulai dengan cara berbeda,” katanya. “Mungkin bukan tentang menjadi hebat, tapi menjadi cukup untuk orang-orang yang kita cintai.”
Naya menghela napas, hangat pun keluar dari mulutnya seperti balon kecil. “Kalau begitu,” katanya, “yang paling dewasa malam ini adalah hujan. Ia turun, mengganggu, membersihkan, lalu pergi tanpa minta dipuji.”
Amir tertawa, lama. Ia merangkul bahu dua orang yang membuat kata pulang tak lagi abstrak. Hujan mereda. Lampu hijau menyala. Mereka menyeberang, pelan, pasti—seperti orang-orang yang akhirnya belajar: tak semua hal perlu dilawan, tak semua orang layak diperjuangkan sampai habis-habisan. Seringkali, yang paling tepat adalah meneduh dulu, menata napas, lalu berjalan lagi. Dan kalau tersesat, dengarkan bunyi hujan: selalu ada arah kembali di sana.
.
.
.
Jember, 22 Juli 2025
.
.
#CerpenIndonesia #SastraUrban #KompasMingguVibes #HujanSura #Kedewasaan #KeluargaKota #WayangMenak #JakartaHujan #RefleksiHidup #JeffreyWibisonoStyle