Tumbuh dalam Hening

“Berhentilah melangkah terlalu jauh untuk mereka yang tak pernah beranjak ke arahmu. Sebab benih pun tumbuh dalam diam, sementara pohon tumbang dengan gemuruh. Dalam hening, ada kekuatan. Dalam sepi, ada kesadaran untuk menjaga diri.”

.

Pagi di Jakarta Barat selalu mulai dengan bunyi yang sama: derit rel KRL jauh di sana, klakson mobil yang tak sabar, dan dengung AC sentral apartemen yang tak pernah benar-benar padam. Dari lantai dua puluh satu, Rama memandang jalan tol yang berkilat seperti ular perak. Di meja makan, cangkir kopinya memantulkan langit pucat; pahitnya sengaja ia biarkan tanpa gula—sebuah disiplin kecil yang mengingatkannya pada hal-hal yang perlu ditelan bulat-bulat.

Di layar ponsel, notifikasi menyala: undangan menjadi pembicara, ajakan berkolaborasi, DM tak terbaca dari akun-akun yang mengusung kata “impact” sekaligus “monetize” di bio mereka. Rama tak lagi tergesa. Ia menandai sebagian sebagai “baca nanti,” sebagian lagi ia biarkan tenggelam dalam banjir pesan. Hening yang dipeliharanya seperti kebun kaktus di balkon—sedikit air, banyak cahaya, cukup duri untuk membuat yang sembarangan menyentuh berpikir dua kali.

Rama dulu dikenal sebagai perajut jejaring filantropi kelas menengah atas. Ia mengerti bahasa konferensi, fasih menata proposal, pandai menenangkan sponsor yang gelisah. Di panggung-panggung berkarpet tebal, ia berbicara tentang harapan, angka, dan kisah; di lapangan ia memanggul karung beras, merekam data, serta merapikan sisa kardus yang ditinggalkan rombongan dokumentasi. Nama Rama pernah melesat bersama gelombang kebaikan yang menjadikan acara amal sekeren pameran seni. Lalu ia menghilang, bukan karena kalah, melainkan karena memilih jalan yang sunyi.

.

Mandodari pertama kali datang ke hidup Rama lewat pesan suara yang rapi: konsonan tajam, vokal terang, pitch senyum yang diatur. Ia baru saja menutup seri podcast tentang “Kebaikan sebagai Branding,” dan ingin bertemu. “Aku percaya kita bisa memadukan idealisme dan estetika,” tulisnya, mengundang Rama ke galeri di Kebayoran, di mana lampu sorot jatuh seperti musim semi di dinding putih.

Pertemuan mereka seperti adegan pembuka film: tatap ramah, tawa ringan, sketsa masa depan. Mandodari fasih berbicara tentang cerita yang menyentuh, tentang cara membuat kebaikan terasa aspiratif. Ia tak suka istilah belas kasihan; ia menyebutnya “kesetaraan pandang.” Rama senang mendengarnya. Ia lelah menjadi objek kamera yang hanya menyapu wajah-wajah dengan filter dramatis. Bersama Mandodari, ia menyusun program: beasiswa untuk anak-anak pekerja informal, pelatihan UMKM, dapur komunitas di pinggir kota. Semua serba rapi—sampai rapi itu berubah menjadi rakitan panggung.

Ketika rangkaian program diluncurkan, foto-foto menyebar: backdrop yang bersinar, apron bermotif geometris, tote bag katun yang tampak mahal. Dalam caption, nama Mandodari dijulang; nama Rama disingkat menjadi “R.,” seperti catatan kaki yang sopan namun samar. “Rama terlalu diam,” kata Mandodari di satu episode podcast. “Kebaikan harus diceritakan.” Ada tepuk tangan. Ada tawa. Ada tiga puluh ribu pendengar yang sepakat. Rama mengangguk—bukan setuju, melainkan menerima bahwa cerita, kadang, memilih tokoh utamanya sendiri.

Namun diam bukan berarti tak melihat. Rama melihat malam-malam yang berujung pada draf akun yang tak pernah disetujui, melihat daftar belanja dapur yang diminta direvisi agar sesuai estetika, melihat data penerima manfaat yang dipadatkan demi keterbacaan feed. “Kita perlu eye-pleasing,” kata tim desain, setengah bercanda. “Kenyang dulu baru pleasing,” gumam Rama sambil menambahkan telur ke panci untuk anak-anak di posko.

Puncaknya bukan skandal. Puncaknya justru penghargaan: sebuah malam berlian di hotel bintang lima. Nama Mandodari dipanggil, ia naik panggung dengan gaun keperakan. Di akhir pidato, ia menoleh ke penonton sambil mengucap “terima kasih untuk para pejuang di lapangan”—tanpa nama, tanpa sorot kamera ke arah mereka. Rama tersenyum dari meja pojok, bertepuk tangan tepat waktu, lalu pulang sebelum dessert. Di ruang tamu apartemen, ia menyalakan lampu temaram, memandang cermin, dan bertanya dalam hati: sejak kapan kita rela menjadi figuran dalam karya yang kita garap dari nol?

.

Lakshmana dan Bharata masuk ke hidupnya seperti dua garis tegak yang jujur. Lakshmana, anak arsitektur yang bersetelan kasual dan tas punggung besar; Bharata, alumni ekonomi yang lebih suka spreadsheet daripada panggung. Mereka mengidolakan Rama dengan cara yang tidak bising: datang tepat waktu, bertanya sekali, bekerja tiga kali. Keduanya melihat apa yang tidak tampak di feed: tangan yang basah oleh air cucian panci, catatan kecil di saku yang berisi daftar alergi anak-anak, dan cara Rama menutup pintu gudang pelan-pelan agar tikus tidak masuk.

“Kenapa Abang nggak naik panggung saja?” tanya Lakshmana saat mereka menyortir donasi di gudang ruko. “Supaya orang lihat siapa yang kerja.”

Rama tersenyum. “Karena ada panggung yang tidak di atas. Ada panggung di dalam diri. Kalau itu kacau, semua tepuk tangan pun cuma bunyi.”

Bharata mengangguk, lalu menyalakan kipas angin yang berderit. “Tapi kalau Abang terus di bawah, yang di atas seenaknya pakai abangnya buat pijakan.”

“Makanya kita pasang pagar di dalam,” jawab Rama. “Bukan dinding, tapi pagar. Biar yang tulus bisa masuk, yang cuma numpang foto biar mikir.”

Mereka tertawa ringan. Di luar, lampu-lampu ruko menyala serentak seperti deretan kunang-kunang berseragam.

.

Tiga bulan sebelum hari ini, panitia Forum Nasional Kemanusiaan mengirimkan email. Mereka ingin Rama membawakan sesi “Metode Sunyi”—sebuah pendekatan yang dikira banyak orang teknik presentasi, padahal lebih mirip pertapaan praktis: mendengarkan sampai habis, bertanya tanpa kamera, menutup rapat data pribadi. Rama menolak tiga kali. Keempat kalinya, ia menerima—bukan karena tergoda panggung, melainkan karena ia ingin menenangkan Lakshmana dan Bharata, yang mulai goyah melihat betapa dunia lebih percaya pada suara bising.

Hotel tempat forum itu digelar adalah cermin dari ambisi kota: lobby menjulang, chandelier seperti es beku, karpet bermotif gelombang laut yang tak pernah benar-benar basah. Di sana, manusia-manusia baik bergerak cepat—sebagian sungguh-sungguh, sebagian sungguh-sungguh tampak sungguh-sungguh. Rama menyapa seadanya. Ia memperhatikan meja registrasi yang rapi, goodie bag berlogo, dan potret-potret yang dipaku tepat pada sudut terbaik.

Mandodari sudah ada di sana, tentu. Ia memimpin sesi utama “Kebaikan yang Bercerita,” bergaun hitam sederhana dengan garis leher yang tegas. Saat istirahat, mata mereka berpapasan. Mandodari mendekat, aroma parfumnya seperti jeruk pahit.

“Rama. Lama,” katanya, senyum menjejak di kedua sudut bibir. “Kita harus ngopi, seperti dulu. Kita bisa sinergi lagi.”

Rama mengangguk. “Dulu kita ngopi untuk saling dengar. Sekarang banyak yang ngopi untuk saling tampil.”

Mandodari berhenti, menimbang kata. “Kau masih sulit diajak kompromi, ya?”

“Aku baru belajar kompromi yang tidak membunuh prinsip,” jawab Rama ringan. “Kompromi itu jembatan, bukan perahu wisata.”

Hening sesaat. Di belakang mereka, seseorang menertawakan lelucon ringan moderator. Waktu kembali bergerak.

.

Sesi Rama sederhana. Ia membuka dengan menutup slide. “Tidak ada visual,” katanya, “karena penerima manfaat kita bukan infografik.” Ia menuturkan kisah-kisah pendek: seorang ibu yang menukar voucher sembako dengan kesempatan mengikuti kursus menjahit; seorang ayah yang lebih butuh pendampingan administrasi daripada paket beras; seorang anak yang meminta pertanyaan wawancara disampaikan tanpa kamera. Ia menjelaskan “Metode Sunyi” dengan tiga langkah: datang, dengar, dan tinggal (meski sebentar). “Datang tanpa ribut, dengar tanpa menyiapkan jawaban, tinggal cukup lama untuk melihat detil yang tidak disediakan naskah,” ujarnya. “Bantuan kita sering salah bukan karena niat, tapi karena waktu kita terlalu singkat.”

Ia menutup dengan kalimat yang dipungutnya dari pelajaran lama: “Jangan berjalan terlalu jauh untuk mereka yang tak mau berjalan sebaliknya. Energi kita terbatas; berikan di tempat yang tumbuh, bukan sekadar terlihat.” Tepuk tangan terdengar—tidak bergemuruh, tapi hangat. Lakshmana dan Bharata menatap Rama seperti anak kecil yang baru paham fungsi kompas.

.

Malamnya, setelah sesi-sesi berserakan, Mandodari mengetuk pintu kamar Rama. Tanpa blazer, tanpa rias, dengan rambut dikuncir seadanya. “Boleh aku masuk?” tanyanya.

“Silakan.”

Mereka duduk berhadapan di sofa abu-abu. Di antara mereka ada teko air dan dua gelas yang belum tersentuh.

“Aku capek,” kata Mandodari akhirnya. “Capek dianggap kuat. Capek menjaga cerita tetap menarik. Capek jadi tokoh utama.” Ia tertawa singkat. “Mungkin aku tidak sekuat yang kukira.”

Rama memperhatikan jemari Mandodari yang memainkan kalung tipis. “Kau pandai sekali menata cerita,” ujarnya pelan. “Kadang kepandaian itu juga jeruji.”

“Dan kau,” balas Mandodari, “pandai sekali diam. Diam yang membuat orang lain mengambil bagianmu tanpa rasa bersalah.”

Rama menghela napas. “Aku berhenti marah sejak kuingat bahwa marah pun memakan energi. Aku tak ingin energi itu dipakai untuk membuktikan sesuatu yang tak perlu.”

“Aku minta maaf soal malam penghargaan itu,” kata Mandodari, menatap. “Aku… larut dalam sorak. Mungkin aku takut kalau namaku tidak disebut, aku akan lenyap.”

“Semua orang takut hilang,” jawab Rama. “Tapi ada laku yang membuat kita tetap ada: menanam.”

Mereka terdiam lagi. Di luar, lampu kota mengedip seperti nadi. Mandodari menegakkan duduknya. “Kalau begitu,” katanya kemudian, “izinkan aku menanam. Kali ini tanpa panggung.”

“Menanam butuh tanah,” ujar Rama. “Bukan hanya cangkul.”

“Ajari aku memilih tanah,” pintanya.

Rama mengangguk. “Besok pagi,” katanya. “Kita ke pinggir kota. Bukan untuk upacara, hanya untuk bertemu mereka yang tak pernah kau lihat di feed.”

.

Esoknya, mobil mereka meluncur keluar tol. Jakarta memudar menjadi serangkaian papan reklame, gudang, dan rumah-rumah bedeng yang dikelilingi tembok pabrik. Di sebuah gang yang memeluk sungai kecil, mereka berhenti. Bau comberan bercampur dengan aroma tumisan bawang. Di teras rumah yang disulap menjadi kelas gratis, Bharata sudah menunggu dengan papan tulis kecil. Lakshmana sibuk mengatur kursi plastik.

Anak-anak berkumpul. Mata mereka bening seperti pagi baru. Mandodari melepas sandal haknya, menukar dengan sandal jepit. Ia duduk di lantai, menatap seorang anak perempuan yang menggambar rumah tanpa pintu. “Kenapa tidak ada pintu?” tanya Mandodari.

“Aku tidak suka tamu yang masuk sembarangan,” jawab si anak, polos.

Mandodari menelan ludah. Ia memandang Rama sekejap.

“Pelan-pelan,” bisik Rama.

Mereka berjalan menyusuri gang: menemui ibu yang masih menyusui sambil menggoreng pisang, bapak yang berjualan cilok sambil menunda kontrol darah tinggi, kakek yang kehilangan KTP. Tidak ada kamera. Hanya catatan dan telinga. Mandodari tidak memimpin obrolan; ia belajar duduk miring, mencondongkan tubuh ketika seseorang menahan tangis. Ada momen ia ingin menyodorkan solusi, tetapi ditahan Rama dengan tatap singkat: tinggal, bukan terburu.

Di ujung hari, mereka duduk di warung kecil. Mandodari menatap kedua tangannya yang belepotan tepung. “Di sini, semua bisingku tidak berguna,” katanya. “Yang berguna: duduk.”

Rama tersenyum. “Hening bukan vakum. Hening adalah ruang yang memungkinkan isi.”

“Apakah aku terlambat?” tanyanya tiba-tiba.

“Tidak ada kata terlambat untuk menanam,” jawab Rama. “Yang terlambat adalah panen instan.”

Mereka tertawa kecil. Di seberang, Lakshmana mengangkat dua gelas es teh, Bharata mengunyah bakwan dengan khidmat.

.

Vibhishana muncul beberapa minggu kemudian, menulis pesan singkat: “Kita perlu bicara, di tempat lama.” Tempat lama adalah kedai kopi kecil di Menteng, di mana dindingnya menyimpan ratusan obrolan yang tak pernah menjadi tweet. Vibhishana pernah menjadi penasihat di banyak forum; rambutnya kini memutih, matanya jernih sekaligus letih. Ia memesan kopi tubruk, menolak gula.

“Kau menghilang dengan cantik,” katanya pada Rama. “Bukan mengundurkan diri, melainkan mengecilkan volume sampai hanya yang sungguh-sungguh mau mendengar yang bertahan.”

Rama tertawa pelan. “Kau juga.”

Vibhishana menghela napas. “Kau tahu, generasi kalian menghadapi perang yang kami tak pernah pelajari: perang melawan sorotan yang mencandu. Kebaikan bukan lagi laku; ia menjadi konten. Kita kehilangan hak untuk gagal diam-diam.”

Mandodari mengangguk. “Aku penikmat candu itu,” akunya. “Aku menata panggung, menata narasi, lalu mengira semua itu sama dengan menata nasib orang.”

“Kesadaranmu mahal,” ujar Vibhishana, “jangan kau jual lagi di pelelangan pujian.”

Mereka bertiga tertawa, pahit namun lega. “Apa yang harus kami jaga?” tanya Bharata yang baru bergabung, duduk di kursi sebelah dengan buku catatan.

“Jaga pagar,” jawab Vibhishana. “Pagar untuk membatasi hal-hal yang tampak baik tetapi merusak akar. Pagar bukanlah tembok. Kau tetap bisa saling sapa, tapi tidak semua orang kau undang masuk.”

Lakshmana menulis besar-besar: PAGAR BUKAN TEMBOK.

“Dan satu lagi,” lanjut Vibhishana, “terimalah bahwa tak semua orang akan mengerti perubahanmu. Beberapa akan memanggilmu sombong, beberapa akan menuduhmu melupakan teman. Itu harga merawat fokus.”

“Fokus pada apa?” tanya Mandodari.

“Pada yang tumbuh,” kata Rama.

.

Musim hujan tiba tanpa banyak aba-aba. Jakarta berkilau di malam hari, basah dan cantik seperti mawar plastik. Rama, Lakshmana, Bharata, dan kini Mandodari mengatur ulang ritme kerja: lebih sedikit konferensi, lebih banyak kunjungan; lebih sedikit unggahan, lebih banyak percakapan langsung. Mereka menolak dua ajakan talkshow, menerima satu undangan tertutup dengan syarat tak ada kamera. Sponsor kehilangan sedikit gairah, tetapi tenaga relawan bertambah—bukan yang datang demi foto, melainkan demi rasa cukup.

Tentu tak semua lancar. Ada rekan lama yang menuduh Rama mengajari Mandodari menjadi anti-sorotan, “padahal dulu dia teman kita.” Ada pula rumor bahwa tim mereka eksklusif dan sok idealis. Rama tidak membalas. Ia menulis pesan pendek pada sebuah grup lama: “Maaf, kami sedang menanam. Jika panen, kami bagi. Jika gagal, kami belajar.” Lalu ia mematikan notifikasi.

Di sudut apartemen, kebun kaktusnya bertambah. Di samping kaktus, ia menaruh pot kecil berisi benih kemangi. Setiap pagi, ia memeriksa tanahnya: lembab? hangat? belum tampak apa-apa. Hari ke-empat belas, sebuah titik hijau mungil muncul seperti mata bayi. Rama mendekatkan wajahnya, tersenyum kecil. “Selamat datang,” bisiknya.

.

Suatu sore, Mandodari mengirimkan naskah pendek ke surel Rama: sepenggal cerita dari kelas di gang sungai. Ia menulis tanpa metafora meledak; kalimatnya lebih pelan, lebih jujur. “Boleh aku mempublikasikan ini?” tanyanya. “Tanpa foto, hanya tulisan.”

“Boleh,” kata Rama, “asalkan ada pintu.”

“Pintu?”

“Pintu untuk pembaca yang ingin ikut menanam—bukan ikut bertepuk tangan.”

Malam itu, artikel Mandodari tayang di media yang biasanya menampilkan gaya hidup berkelas. Judulnya sederhana: “Belajar Duduk.” Di akhir teks ada tautan kecil: formulir untuk pendampingan administrasi dan kelas literasi, bukan donasi. Pembaca pertama hanya dua puluh tiga orang. Sepekan kemudian, delapan puluh enam. Sebulan setelahnya, ada dua ratus pendaftar. Tim kecil bekerja semampunya, menolak yang tak bisa ditangani. “Pagar,” kata Bharata, menutup formulir ketika kuota penuh.

Komentar datang: ada yang marah karena tidak diterima, ada yang memuji, ada yang mengejek: “Halah, elitis.” Mandodari tersenyum getir. Rama meletakkan cangkir teh di meja, menatapnya. “Apakah kau rindu panggung yang pasti menang?” tanya Rama.

“Terkadang,” jawab Mandodari jujur. “Tapi rasa rindu itu makin ringkih saat aku melihat seorang ibu memegang KIA anaknya yang baru jadi.”

“Rindu yang sehat,” kata Rama, “adalah rindu yang tidak merampas hari ini.”

.

Malam Jumat Kliwon, hujan turun deras. Suara azan dari mushala kecil di bawah apartemen terasa tebal dan hangat. Rama duduk di meja, menulis kalimat yang sudah lama mencari rumah:

Aku berhenti melangkah terlalu jauh untuk mereka yang tak pernah beranjak ke arahku. Aku tetap mencintai, tapi tidak lagi membiarkan diriku hancur karenanya. Aku tumbuh. Dalam diam. Dalam hening.

Ia menutup buku, memandang ke luar. Di kejauhan, lampu-lampu mobil merayap seperti doa yang enggan selesai. Ia teringat pada panggung-panggung lama, pada tepuk tangan yang manis dan lupa, pada sorot kamera yang dingin, pada rasa kosong tiap pulang. Kini kosong itu berganti penuh: penuh oleh nama-nama kecil yang mengajarinya sabar, oleh sahabat-sahabat yang memberinya pagar, oleh lawan-lawan yang tanpa sadar menguatkannya.

Telepon bergetar. Pesan dari Lakshmana: “Besok pagi, kelas baca jam 9. Si kecil yang menggambar rumah tanpa pintu minta diajari membuat pintu. Katanya ia siap menerima tamu—asal sopan.”

Rama tertawa, panjang. “Besok kita ajari cara memasang engsel,” balasnya. “Pintu yang baik adalah pintu yang tahu kapan dibuka dan ditutup.”

Ia berjalan ke balkon. Hujan sudah menjadi gerimis yang rajin. Di pot kecil, kemangi mengeluarkan daun kedua. Kaktus berdiri marah namun setia. Kota di bawahnya masih bising seperti biasa, tapi di dada Rama ada ruang lapang yang baru. Ia menyebutnya: Chitrakuta—bukan gunung antah berantah, melainkan tempat teduh di tengah kota, tempat seseorang boleh menepi tanpa harus bersembunyi.

Dan dari sana, dari ketinggian yang sederhana, Rama tak lagi ingin membuktikan apa pun. Ia hanya ingin tumbuh. Dalam hening.

.

Esok harinya, saat kelas usai, Bharata menunjuk sebuah papan tulis kecil yang mereka pasang di dinding: “PAGAR BUKAN TEMBOK.” Di bawahnya, Lakshmana menambahkan: “PINTU YANG SOPAN.” Mandodari memotret tulisan itu—bukan untuk feed, melainkan sebagai pengingat di layar kuncinya sendiri.

“Terima kasih,” katanya pada Rama sebelum mereka berpisah di parkiran. “Terima kasih sudah mengajarkanku bertumbuh tanpa gemuruh.”

Rama menggeleng. “Kau yang memilih heningmu,” ucapnya. “Hening itu bukan tempat pelarian; ia tempat pulang. Dan dari yang pulang, orang bisa berangkat lagi—kali ini lebih jernih.”

Mereka berjabat tangan. Kota siang itu panas, tetapi angin yang lewat di antara gedung tinggi terasa seperti kabar baik yang tidak berisik.

Di kaca spion mobilnya, Rama melihat wajahnya sendiri. Bukan lagi figuran. Bukan pula tokoh utama. Hanya manusia yang sedang menanam, menunggu, dan percaya: kelak, pada waktunya, daun-daun akan rimbun tanpa merasa perlu berterima kasih pada tepuk tangan.

Hening mengantar pulangnya. Dan di dalam hening itu, ia tahu: ia tidak sendirian.

.

.

.

Jember, 21 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#TumbuhDalamHening #CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #FiksiUrban #KelasMenengahAtas #Filantropi #PagarBukanTembok #MenakMadura #Storytelling #EtikaKebaikan

Leave a Reply