Istirahat dari Semua

“Kadang istirahat bukan melarikan diri, melainkan pulang—bukan ke alamat, tapi ke diri yang lama menunggu di ambang.”

.

Kota yang sibuk itu selalu memulai hari dengan suara—bukan sapaan. Jakarta, pukul tujuh pagi, langit kelabu menahan cahaya agar tidak terlalu jujur. Dari jendela lantai 28 di Sudirman, jalanan tampak seperti garis-garis nadir yang berdenyut: klakson, bus kota, ojek, pejalan kaki yang dipercepat oleh jam tangan. Di toilet kantor yang dingin dan terlalu putih, Raka berdiri di depan cermin. Wajahnya bersih, dasinya lurus, sepatu pantofelnya mengilap seperti janji yang berulang-ulang. Tapi matanya kosong—kosong seperti halaman yang pernah berisi doa lalu dihapus oleh seseorang yang bergegas.

Di ponselnya, kalender berpendar rapi. Meeting 9.00: “Pitch SCBD—final.” 11.00: “Internal alignment.” 14.00: “Client dinner prep.” Malam: “Networking.” Ia menatap daftar itu seperti menatap barisan kursi di ruang tunggu bandara: ada nomor, ada baris, ada panggilan—tapi tak ada rumah.

Sudah bertahun-tahun Raka melaju tanpa menoleh, dengan tiket-tiket pesawat yang diselipkan di buku catatan, boarding pass yang lebih sering ia foto ketimbang ia simpan, lounge bandara yang menghafal langkahnya. Di feed LinkedIn, kalimat-kalimatnya digarisbawahi orang-orang yang mengejar. “Keberhasilan itu kebiasaan,” tulisnya. Foto punggungnya menghadap layar proyektor besar, pointer laser merah menyala di diagram pertumbuhan bisnis. Seratus lima puluh like dalam dua jam. Tapi pagi ini, di cermin, ia tak melihat kebiasaan. Ia melihat jeda yang tak pandai bicara.

“Untuk apa semua ini?”

Pertanyaan itu tiba-tiba, sependek nafas, setajam duri. Ia menunduk, merapikan manset, lalu tertawa kecil—tawa yang tidak punya lawan bicara.

.

Raka bukan nama yang sepi. Orang mengenalnya. Di kantor, ia Adi—“Mas Adi,” panggilan universal yang entah dari mana; teman kampus Aussie dulu memanggilnya Ray; ibunya di Semarang selalu tetap memanggilnya “Nak.” Di lingkaran proyek, namanya sering disandingkan dengan Jaya, partner presentasi yang lincah bicara seperti pelari yang selalu tahu kapan harus menukik. Ada Maya, penulis naskah iklan mereka—mata tajam, tangan yang gesit mengubah ide menjadi kalimat yang membuat klien diam. Ada Ning, desainer yang tenang; ia bicara sedikit, tapi setiap garis poster yang Ning gambar seperti mengerti cuaca di kepala orang. Dan ada Sora, project manager yang suka tertawa saat jam dua malam, ketika semua orang sudah bosan, dan tertawa itu terdengar seperti lampu yang tak padam.

Nama-nama itu, tanpa gelar, pernah mereka lekatkan pada mimpi. Mereka bersahabat sejak merintis karier. Mereka pernah menempelkan sketsa kampanye pada dinding sempit sebuah co-working space di Kuningan, menyeduh kopi bubuk murahan, tertidur di karpet tipis, menandai harapan dengan spidol. Lalu satu per satu, mereka naik lift yang berbeda, ke lantai yang berbeda, ke gaji dan jabatan dan kartu akses yang berbeda. Sementara hati tetap di lantai dasar, menunggu seseorang kembali.

.

Yang lelah bukan badan, Raka menyadarinya pelan. Badannya sehat: treadmill tiga kali seminggu di gym lantai lima, makan real-food, jam tidur teratur, suplemen berbaris seperti tentara. Tapi bangun pagi, punggungnya berat oleh beban yang tidak punya nama. Di ruang rapat, ia tertawa pada joke klien, menambahkan catatan yang penting, mengangguk. Namun usai rapat, ia merasa seperti meninggalkan dirinya sendiri di kursi—dan lupa menjemput.

Suatu siang, ia memandangi notifikasi yang tak kunjung berhenti, seperti hujan yang dilatih untuk tidak mereda. Di sela itu ada pesan dari ibunya: “Nak, kapan pulang? Kabarku baik. Masakmu dulu kuingat.” Ia mengetik balasan: “Nanti ya, Bu. Minggu depan.” Lalu menghapusnya. Mengetik lagi: “Aku kangen.” Menghapus lagi. Akhirnya ia kirim: “Aku ada kerjaan, Bu. Sehat selalu ya.” Di luar jendela, matahari yang tersisa dipotong-potong oleh bilah-bilah gedung. Di dalam, kata-kata Raka memotong dirinya sendiri.

.

Jumat tiba dengan kejutan: kalendernya kosong. “Cuti massal?” tidak. “Reschedule?” tidak. Klien besar bergeser minggu depan; internal alignment ditunda karena Jaya ke Singapura; “networking” malam pun dibatalkan karena seseorang demam. Kosong. Raka duduk di ruangannya sendiri, menatap punggung kursi tamu seolah di sana ada seseorang yang tertinggal.

Ia berpikir akan keluar, menyeberang ke taman kecil di Sudirman, membeli kopi, menghirup udara yang disaring. Tapi ia tidak bergerak. Ia duduk diam tiga jam, menatap bilah cahaya di lantai bergeser. Tangannya ingin menulis email—tangan itu gemetar. Ia ingin membuat kopi—air matanya jatuh duluan. Ia menutup pintu ruangannya. Dan untuk pertama kalinya, kantor selembut gereja kosong; ia berlutut pada dirinya sendiri.

“Kamu kehilangan semangat tanpa sebab yang jelas. Dan itulah yang paling menakutkan,” katanya lirih. Suaranya menguap ke langit-langit.

.

Raka menghilang kecil-kecilan. Grup WhatsApp kerja ia mute 8 jam, lalu 1 minggu, lalu “Always.” Ia mematikan Instagram. Ia menolak ajakan nongkrong: “Capek banget, bro,”—padahal ia capek dari hal yang tak mengeluarkan keringat. Malam-malam, ia membuka galeri ponsel: foto panggung, foto rapat, foto senyum, foto award. Malam itu, semua tampak seperti topeng di museum yang punya label masing-masing tapi lupa wajah.

Ia mengetik di Notes: “Aku bisa kehilangan semuanya, dan mungkin tak akan merasa apa-apa. Tapi kehilangan diriku sendiri… itulah yang sedang terjadi.”

Ia menyalin kalimat itu, menempelkannya di wallpaper ponsel. Lalu ia tidur—tidak, ia memejamkan mata. Tidur tak mengunjunginya malam itu.

.

Ada momen yang tidak dramatis namun menembus, semacam retak kecil yang membuat gelas akhirnya pecah. Bagi Raka, itu terjadi pagi yang lain, di depan cermin yang sama. “Kalau aku bukan pekerjaanku, lalu aku siapa?” Ia meludahkan pasta gigi, membilas wajah, menatap lagi. Pertanyaan itu tidak pergi. Pertanyaan itu duduk di bahunya, seperti burung kecil yang betah.

Ia menulis email singkat ke HR: “Saya mengajukan cuti 15 hari kerja. Mulai Senin.” Ia kirim. Notifikasi balik: “Noted. Take care.” Dua kata yang terasa seperti selimut.

Ia tidak membeli tiket ke Jepang. Ia tidak membuat itinerary. Ia tidak memesan villa. Ia hanya menyapu lantai apartemennya yang selama ini dibersihkan orang lain, mencuci piring, menata buku-bukunya—buku-buku yang selama ini hanya difoto untuk stories, bukan dibaca. Ia menanam bougenville di pot balkon. Ia memutar musik instrumental dari komposer yang tak populer; ia duduk; ia menangis tanpa malu. Tangis yang tidak dramatis, hanya air yang kembali menjadi air.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti baris-baris sunyi. Pagi, ia berjalan kaki ke lapangan kecil dekat rumah, menatap anjing-anjing jalanan saling mengejar. Siang, ia mengantar ibunya bicara lewat video call—kali ini tidak buru-buru, tidak menyusun kalimat menjadi formal. Malam, ia mematikan semua layar, menyalakan satu lilin, membaca buku puisi yang sempat ia beli di Pasar Santa. Halaman demi halaman, ia menemukan nama-nama rasa yang ia kira telah punah.

.

Pada hari keempat cuti, Jaya tiba-tiba menelepon. “Bro, lo ke mana aja? Gue kira lo ke Bali.” Suara Jaya seperti biasa: lincah, meyakinkan. “Gue cuti,” kata Raka. “Istirahat?”

“Iya. Dari semua.”

Hening. Lalu Jaya tertawa kecil. “Gila juga ya, bro. Gue selalu mikir lo mesin.”

“Gue bukan mesin, Jaya.”

“Gue tau.” Jaya menghela nafas, lalu suara itu melembut. “Gue ada flight lagi hari ini. Kadang gue juga nanya, ini kita kerja buat hidup atau hidup buat kerja. Tapi ya… lo tau lah.” Ada bunyi boarding di latar. “Nanti kalau lo butuh ngomong, telpon gue. Jangan cuma di Notes.”

Setelah telepon berakhir, Raka duduk lama di lantai. “Jangan cuma di Notes,” kalimat itu memantul di dinding apartemen. Ia mengirim pesan ke Maya: “Lo pernah capek tanpa alasan?” Maya membalas lama, lalu akhirnya: “Pernah. Capek karena semua alasan. Mau ketemu di Senayan minggu depan? Jalan kaki aja muter GBK, ga usah ngomong kalau ga mau.” Raka tersenyum. “Boleh.”

.

Minggu itu Raka berjumpa dengan dirinya yang lupa ia ajak bicara. Ia membuat sarapan sederhana, roti panggang dan telur mata sapi. Aroma mentega memenuhi dapur kecilnya. Ia memandangi bougenville di balkon; kelopaknya seperti surat yang dikirim tanpa alamat, tapi sampai. Ia memutar lagu-lagu lama dari radio kampus. Ia tertawa sendirian ketika penyiar bercanda soal “zaman lagu direkam dari radio ke kaset.” Ia mengirim foto sarapan itu ke ibunya—bukan ke Instagram. Ibunya membalas dengan foto tempe bacem: “Kamu dulu suka.” Raka menjawab, “Iya, Bu. Masih suka. Aku pulang bulan depan ya.” Ibunya mengetik: “Tidak usah nanti-nanti kalau bisa sekarang.” Ia menelan ludah. “Aku akan cari tanggal.”

Pada malam ke delapan, ia menulis pada dirinya yang lama: sebuah surat tanpa amplop.

“Nak Raka yang dulu, maaf karena aku menjauh saat kamu memanggil. Kamu cuma ingin diajak duduk. Aku terlalu sibuk berlari untuk jadi seseorang yang bahkan tidak bisa mengenali kita sendiri. Mulai sekarang, ayo kita jalan pelan. Kalau harus berhenti, kita berhenti. Kalau harus menangis, kita menangis. Kita akan pulang, tidak ke kota, tapi ke kita.”

Ia menutup laptop. Ia tidak mempostingnya ke mana-mana. Ia membiarkan surat itu menjadi milik malam.

.

Senayan, pagi—Maya sudah di sana, mengenakan jaket abu, rambut diikat seadanya. Mereka berjalan berdua di lintasan. Mulanya diam. Lalu napas mengatur bahasa. “Gue sempat mikir, kalau gue lompat dari balkon apartemen gue, siapa yang bener-bener kehilangan?” kata Raka akhirnya, suaranya datar seperti fakta. Maya melambat, menatapnya, lalu tidak mengeluarkan kata-kata—pilihan yang tepat.

“Gue gak pengen mati,” Raka melanjutkan, “Gue cuma gak tau cara hidup yang bener.”

Maya mengangguk. “Gue gak tahu cara yang bener juga. Tapi gue tau cara yang lebih lembut.” Mereka kembali melangkah. Pagi merayap di antara dedaunan. Di kejauhan, seseorang tertawa, entah karena lawakan atau kebetulan.

“Sora pernah bilang,” ujar Maya, “bahwa kita ini kayak penari. Ada panggung. Ada musik. Ada lampu. Semua menuntut kita gerak dengan benar. Tapi kalo lutut kita sakit dan kita tetap memaksa, panggung akan ingat jatuhnya kita lebih lama daripada ingat tariannya.”

“Gue capek jadi tari yang dikejar orang,” kata Raka nyaris berbisik.

“Ya udah. Yuk jadi orang.”

.

Cuti Raka ternyata bukan jeda yang disaksikan kembang api, melainkan redup yang dirawat harian. Ia mulai menyusun ulang kebiasaan: jam kerja yang berhenti ketika mata mengerut; notifikasi yang ia atur seperti pintu dengan kunci—boleh masuk kalau mengetuk; makan siang tanpa rapat; membaca tanpa highlight untuk show-off; mengabari ibu sebelum ia sendiri lelah.

Ia memberanikan diri bicara dengan tim. Pertemuan kecil di pantry kantor, tidak ada proyektor, hanya kopi hangat. “Gue minta maaf,” kata Raka, “kalau selama ini gue ikut melestarikan budaya kerja yang bikin kita lupa ada badan.” Jaya datang via VC—wajahnya di tablet seperti purnama di mangkuk. Ning duduk menunduk, memegang cangkir. Sora memeluk dirinya sendiri seperti menahan angin.

“Kita bisa lebih manusiawi,” Raka melanjutkan. “Tidak semua panggilan harus dijawab hari itu juga. Tidak semua keheningan harus diisi. Tidak semua klien harus kita iyakan. Kita jaga batas. Kita jaga satu sama lain. Kalau ada yang capek, bilang. Kalau ada yang buntu, diam. Diam itu juga kerja.”

Maya menatap Raka cukup lama, lalu tersenyum. “Lo akhirnya ngomong itu juga.”

Jaya mengangguk di layar. “Gue dukung. Tapi kita juga punya target.”

“Kita tetap kejar target,” kata Raka, “tapi bukan dengan menukar jantung. Kita memilih mana yang buat momentum, mana yang buat martabat. Capek bukan dosa. Istirahat bukan kegagalan. Mengaku lelah bukan kelemahan.”

Kata-kata itu menggantung di udara—ringan, tapi ada. Seperti bau hujan.

.

Perubahan tidak selalu memuaskan semua orang. Ada kolega lain yang berbisik, “Si Raka mellow ya sekarang.” Ada klien yang bertanya kenapa chat malam dijawab besok pagi. Ada manajemen yang menanyakan “komitmen.” Ada inner critic di dada Raka yang bangun jam tiga dini hari, menggedor dengan pertanyaan: “Kamu yakin?” Raka tidak selalu menang. Ada hari ia tergelincir: menjawab semua pesan, menumpuk rapat, menggadaikan makan siang, lalu pusing. Ada malam ia kembali menatap balkon dan mengukur jarak ke tanah, bukan karena ingin jatuh, tetapi karena ingin tahu seberapa tinggi ia di atas tanah—seberapa jauh dari bumi.

Namun hari-hari yang baik bertambah. Ia pulang kerja lebih awal, menyeberang di halte GBK, membeli es jeruk dari pedagang. Ia duduk di bangku beton, memandangi orang berlari. Ia menelpon ibunya bukan untuk “checklist bakti,” melainkan untuk bercerita—tentang bougenville yang tumbuh satu kelopak pagi itu, tentang puisi yang tidak selesai, tentang tempe bacem yang ia coba dan terlalu asin. Ibunya tertawa. “Asin kan juga rasa. Nanti lama-lama pas.”

Pada suatu Sabtu, Raka benar-benar pulang ke Semarang. Ia tidak memberi tahu siapa pun kecuali ibu. Naik kereta pagi, duduk di kursi dekat jendela, menatap sawah yang menafsir hijau. Di stasiun, ibunya berdiri di belakang pagar pembatas, wajahnya lebih kecil dari yang ia ingat, tapi matanya lebih penuh. Mereka berpelukan lama. Dunia lega.

Di rumah, aroma kunir dan bawang menjemput. Raka membantu memotong bawang, berdiri di dapur yang hanya punya satu jendela. Di meja makan, mereka makan tempe bacem. Rasanya pas. “Kamu sudah pulang,” kata ibunya. “Tidak lama-lama, Bu,” jawab Raka, “tapi cukup untuk ingat caranya.” Ibunya mengangguk. “Pulang itu bukan durasi.”

Malam itu, di kamar lamanya yang temboknya penuh poster masa SMA, Raka membuka jendela. Angin memegang wajahnya; suara jangkrik seperti doa. Ia menulis lagi di Notes: “Hidup tak harus selalu berlari. Kadang, duduk sebentar dan menyadari bahwa kamu masih ada, itu sudah cukup.”

.

Kembali ke Jakarta, kantor menyambutnya dengan hal-hal biasa: lift yang tiba-tiba penuh, ATM yang offline, kopi mesin yang terlalu manis. Raka tersenyum. Ia menyalakan laptop, mematikan email selama satu jam, membuka kanvas kerja tanpa internet. Ia memetakan pekerjaan minggu itu dengan pensil—membiarkan suara grafit di kertas menenangkan otaknya. Ada proyek besar dengan perusahaan teknologi di SCBD; ada kampanye CSR yang harus menemukan bahasa yang bukan slogan. “Kita bikin yang tulus,” kata Raka pada tim. “Kita cari cerita yang tidak perlu terlihat.”

Mereka mencari ke kota. Mereka duduk dengan komunitas perawat lansia yang mengajar cara memijat tangan agar tidur lebih mudah. Mereka memotret tanpa wajah, merekam tanpa suara. Mereka menulis bukan untuk menang award, melainkan untuk membuat seseorang merasa dipahami. Kampanye itu tidak viral. Tapi di inbox kantor, ada email dari seorang anak: “Terima kasih. Ibu saya tidur lebih nyenyak semalam setelah saya memijat tangannya.” Tim saling menatap. “Sudah,” kata Raka. “Ini yang kita cari.”

Ning menggambar poster dengan garis-garis yang lembut, tidak ada font yang menjerit, hanya kalimat kecil di bawah: “Yang paling dirawat juga berhak merawat dirinya.” Maya menambahkan footnote yang tak biasa: “Kalau kamu capek, ini bukan salahmu.” Sora mengatur produksi, memastikan kru mendapat makan siang, jam istirahat, dan pulang sebelum tengah malam. Jaya mengirimkan presentasi ke klien, suara meyakinkannya kali ini tidak untuk memaksa—melainkan untuk mengundang. Proyek berjalan. Bukan pesta. Tapi pulang.

.

Di akhir bulan, Raka berdiri lagi di depan cermin yang sama. Wajahnya tidak berubah: garis halus mulai tampak di sudut mata, kumis tipis yang selalu ia cukur, rambut tersisir. Tapi matanya tidak lagi seperti halaman kosong. Kali ini ada tulisan—tidak rapat, tidak sempurna—tapi ada.

Ia menulis status di LinkedInnya, pelan-pelan: “Saya belajar satu hal: capek itu bukan dosa. Istirahat bukan kegagalan. Mengaku lelah bukan kelemahan. Kita bekerja untuk hidup—bukan untuk menyembunyikan diri dari hidup.” Ia ragu beberapa detik. Lalu ia unggah. Komentarnya tidak seberapa. Tapi pesan pribadi masuk—tidak dari CEO, tidak dari headhunter—melainkan dari seorang junior: “Kak, terima kasih. Aku tadi mau resign. Tapi mungkin aku istirahat dulu.”

Raka menutup laptop. Ia keluar kantor sebelum matahari turun. Di trotoar, ia membeli jasuke—jagung susu keju—yang dulu ia remehkan sebagai cemilan mahasiswa. Ia berdiri di atas jembatan penyeberangan, memandangi lampu-lampu mulai menyala seperti bintang yang lupa alamat. Ia menggigit jasuke itu. Manis. Hangat.

Ia mengirim pesan ke Maya: “Nanti malam kopi?” Maya membalas: “Bukan kopi. Wedang jahe.” Ia mengirim pesan ke ibunya: “Bu, minggu depan aku pulang lagi.” Ibunya membalas dengan emotikon tangan berdoa dan hati. Ia menatap bougenville yang dibelai angin di foto yang ia ambil pagi tadi. Di antara kelopak yang merah muda, ada pentil kecil—tanda kelahiran yang tidak ribut.

“Kalau aku bukan pekerjaanku,” bisiknya, “aku tetap aku.” Dan itu cukup.

.

Epilog Solutif
Jika kamu merasa capek, padahal tidak ada alasan jelas—itu bukan keanehan, itu panggilan. Panggilan untuk menaruh beban, duduk, dan menyimak: di mana kamu menjauh dari dirimu? Ambillah jeda. Bukan berhenti, tapi rehat yang disengaja. Kurangi bising, pilih teman bicara yang tidak menghakimi, peluk rutinitas kecil yang manusiawi: makan yang hangat, tidur yang cukup, jalan kaki saat matahari ramah. Kalau perlu, cari pertolongan profesional—itu bukan aib, itu perawatan. Ingat: yang paling layak kamu perjuangkan bukan tampilan kariermu, tapi kesehatan jiwamu. Karena kota tidak akan berhenti memanggil, tapi kamu bisa memilih kapan menjawab.

.

..

Jember, 19 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#IstirahatDariSemua #KesehatanMental #UrbanLife #BurnoutRecovery #PulangKeDiri #CerpenKompasMinggu #Jakarta #SelfCare

Leave a Reply