Puncak Kecewa
“Diam bukan berarti tak peduli. Kadang, itu adalah bentuk paling pilu dari kecewa yang tak bisa lagi dijelaskan dengan kata-kata.”
.
Di sudut kota besar di Jawa Timur, tepatnya di Surabaya, tinggal seorang perempuan bernama Sekar Arum. Wajahnya ayu, langkahnya lembut, dan tutur katanya selalu dipilih dari petikan-petikan bijak leluhur. Ia dikenal sebagai penggerak taman bacaan di sekitar Taman Bungkul, sekaligus penyulam kain-kain batik tulis motif Panji yang disegani para kolektor. Di antara deru Jalan Raya Darmo dan riuh rendah kafe-kafe yang menabuh musik akustik saban malam, suara Sekar tetap pelan, namun tegas seperti garis malam pada kain biru nila.
Nama lelaki itu: Reksabumi—anak pengusaha pasar grosir di Dupak. Pandai bicara, murah senyum, karismanya mengisi ruangan seperti lampu-lampu gantung di restoran rooftop Pakuwon, sesekali meletikkan permainan kata-kata yang membuat orang lupa menghitung tagihan. Di awal, kisah mereka seperti nyanyian pagi: ada suara gerinda mesin dari bengkel sebelah bercampur aroma kopi tubruk yang digiling manual, ada pesan-pesan yang datang melalui kurir, yang suaranya—“sore, Mbak”—seolah menua bersama matahari.
Mereka bertunangan pada malam purnama di halaman kecil rumah indekos Sekar di Ketabang. Lampion berayun, gitar akustik berpindah tangan, doa-doa berjalan pelan di permukaan lidah keluarga, tetangga, teman dekat. Reksabumi berjanji pada mikrofon yang disewa harian: “Aku ingin hidup dengan jujur, dan di sisimu aku menenun ulang diriku.” Sekar tersenyum, tidak menatap kamera, tetapi menatap masa depan, yang waktu itu tampak jernih dan mungkin.
Tetapi hidup jarang menamatkan sebuah lagu setelah bait pertama. Pagi-pagi berikutnya, Reksabumi mulai sering ke Jakarta dengan alasan “jalinan bisnis baru”—pabrik tekstil, pertemuan dengan investor, rapat yang tak punya alamat. Janji demi janji. Keberangkatan yang tak pernah disertai kepastian kepulangan. Sekar tetap menyulam motif parang rusak yang memerlukan kesabaran: garis-garis yang tak boleh putus, doa-doa yang tak boleh dipaksakan.
“Kejujuran itu seperti warna indigo,” tulis Sekar di catatannya. “Semakin lama direndam, semakin tua, tapi butuh dijemur di cahaya agar benar-benar menjadi.”
Namun sebuah kabar datang mendahului penjelasan. Dari gawai seorang kawan yang kebetulan menghadiri resepsi di hotel mewah Senopati, Sekar membaca nama Reksabumi di samping nama perempuan lain: Zahra. Putri pemilik pabrik tekstil. Di layar itu, Reksabumi tampak gagah dengan setelan biru gelap dan dasi perak; bunga di sudut jasnya mengilap. Sementara di balkon kecil Ketabang, Sekar menyalakan dupa. Ia membersihkan rak buku, memutar piringan “Bengawan Solo” versi instrumental, lalu menutup pintu dengan pelan.
“Pada puncak kecewa,” tulisnya lagi kemudian, “orang tidak berteriak. Ia merapikan ruangannya.”
.
Babak sunyi itu tidak segera disadari orang-orang. Sekar masih menyapa tukang sayur yang lewat subuh, masih membagi roti tawar untuk kucing-kucing yang menunggu di tikungan. Tetapi ia berhenti mengisi kelas literasi. Poster pameran batik yang pernah menempatkan namanya di posisi teratas ia lepas dari dinding. Bukan karena ia membenci huruf atau kain; hanya karena hatinya meminta jeda. Seperti sumur yang ditimba terlalu sering, ia butuh waktu untuk kembali jernih.
Suatu sore, Jatiwening—keponakan semata wayangnya—datang membawa gambar hati retak dari pelajaran seni. “Bulek,” katanya, “ini hati kalau dibelah. Tapi bisa ditempel lagi kan? Pake lem.”
Sekar mengelus rambut si kecil. “Bisa, Nak. Tapi ingat, lem itu menempelkan pecahan, bukan mengembalikan benda pada bentuk asal. Kadang, retaknya tetap berbicara meski suara kita diam.”
Jatiwening mengangguk; anak-anak selalu lebih paham mengenai kejujuran visual. Di dapur kecil, Sekar mendidihkan air, menyeduh teh melati. Di luar, hujan seperti kalimat-kalimat pendek yang jatuh dari langit. Ia menulis satu halaman di buku harian: “Aku belajar, ketika air mata enggan jatuh, diam adalah bentuk perlawanan terakhir.”
Waktu bergerak tanpa suara. Surabaya maju tergesa-gesa: tol lingkar bertambah, pusat belanja mengembang, apartemen-apartemen baru menubruk awan. Di sebuah sudut radio talkshow, seseorang memuji generasi baru yang “lincah, adaptif, selalu terhubung.” Sekar mematikan radio. Ada “terhubung” yang memutus.
Malam-malam tanpa kabar itu ditenun oleh Sekar menjadi kain. Motifnya menyerupai jalan raya: jalur padat, jalur lambat, dan simpang yang membelah. Kain itu kemudian menjadi selendang untuk ibunya, juga sarung bantal untuk kursi baca. Pada benda-benda rumah tangga yang sederhana, Sekar menyembunyikan seluruh peta hatinya.
Suatu hari ia menerima kabar ibunya sakit. Ruang UGD Rumah Sakit Katolik di Kalisari menjadi ruang tunggu doa. Ia menunggu bersama keluarganya; ada bau antiseptik, ada perawat yang berganti shift, ada televisi kecil yang menayangkan berita kecelakaan tol. Dokter keluar, menyebut kata-kata yang terdengar teknis namun sinis: stenosis, rentan, evaluasi. Sekar mengelus telapak tangan ibunya yang dingin. “Bu, kalau hidup ini kain, kita cuci lagi ya. Pelan-pelan, sampai bersih,” bisiknya.
Malam itu, ia pulang sendirian menembus Gubeng. Angin menampar daun ketapang. Surabaya tetap terang: billboard beralih dari diskon gawai ke undian mobil. Di lampu merah, seorang penjual tisu mengetuk kaca, menyodorkan seikat tisu yang diikat karet. Sekar menggeleng pelan, tapi matanya panas.
“Tak semua yang berkedip adalah cahaya,” tulisnya saat tiba di rumah. “Kadang itu hanya iklan.”
.
Lima tahun bergulir, secepat iklan habis masa tayang. Jatiwening beranjak remaja; tinggi badannya mengejar; suaranya mulai kira-kira. Sekar kembali memberi kelas literasi, kali ini di ruang komunitas kecil dekat Perpustakaan Bank Indonesia. Ia ajarkan anak-anak menulis surat yang benar—alamat, isi, salam penutup—meski mereka lebih fasih mengirim pesan singkat dan sticker. “Surat adalah cara terbaik menyimpan doa,” katanya; anak-anak mengangguk, beberapa mencibir, sebagian lainnya menaruh pena di telinga seperti di film.
Di sebuah Senin yang lembab, sehabis hujan pendek, Reksabumi kembali ke Surabaya. Tidak dengan gagah, tidak pula dengan koper kulit yang dulu diceritakan teman-temannya. Ia datang dengan ransel lusuh, sepatu yang solnya terkelupas, mata yang seperti baru selesai menatap layar yang terlalu terang. Perusahaannya tumbang. Istrinya menggugat cerai. Teman-teman rapatnya menyusut menjadi nama-nama yang tersisa di grup tanpa balasan. Jakarta mengajarinya kecepatan—dan cara tercepat untuk hilang.
Ia berdiri di depan pintu rumah Sekar yang berwarna hijau kusam. Mengetuk. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Pintu membuka, tidak selebar dulu. Sekar berdiri di ambang, sederhana, dengan kaus putih dan kain batik yang dililit rapi. Di meja ada sebuah kendi air dan gelas kaca.
“Sore,” ujar Reksabumi.
“Sore,” jawab Sekar, suaranya datar seperti halaman kosong.
“Boleh aku—”
“Silakan duduk.”
Tak ada pelukan, tak ada mata berkaca-kaca yang disiapkan sinetron. Ada udara yang berhenti di antara kursi tamu dan kursi tuan rumah. Reksabumi mencoba menaruh kata pertama, tetapi Sekar meletakkannya di meja seperti sendok yang terlalu bising.
“Tidak semua luka perlu dijelaskan,” ujar Sekar. “Dan tidak semua sesal datang untuk dimaafkan.”
“Sekar, aku… salah.” Ia menelan ludah. “Aku pikir—”
“Kau pikir hidup selalu punya pintu darurat,” potong Sekar, masih tenang. “Kau pikir seseorang yang mencintaimu akan memegang gagang pintu itu selamanya.”
Ia menuang air ke gelas. Menggeser perlahan. Reksabumi meminum, bukan untuk haus, tapi untuk menyamarkan gemetar di tangannya. Di dinding, jam tetap berdetak, mengukur jarak antara dulu dan sekarang.
“Zahra?” tanya Sekar akhirnya, singkat.
“Tidak cocok. Atau… mungkin aku yang tak pernah cocok dengan kejujuran.” Senyum pahit itu jatuh seperti kursi plastik yang ditarik tergesa. “Maaf.”
“Maaf adalah doa yang baik,” kata Sekar. “Tapi doa juga butuh alamat.”
Reksabumi menunduk. Ia ingin mengatakan bahwa ia rindu. Ia ingin menyebut film yang dulu mereka tonton di bioskop Grand City, kopi sanger di kedai Aceh dekat Tugu Pahlawan, perjalanan ke Sumenep untuk melihat matahari jadi jeruk. Ia ingin membongkar semua kotak di dadanya. Tetapi ia tahu, yang di hadapannya bukan masa lalu yang menunggu dipanggil. Di hadapannya ada perempuan yang menua dengan terhormat, yang memilih menulis daripada berteriak.
“Kau terlihat sehat,” katanya, akhirnya—kalimat bodoh yang selalu muncul saat semua kata berat tak menemukan tangga.
Sekar tersenyum kecil, hampir tak terlihat. “Sehat itu pilihan yang dipungut setiap pagi. Sama seperti sedih.”
“Bolehkah… aku memulai lagi?” Reksabumi bertaruh pada keajaiban yang terlambat.
Sekar menatapnya. Ada pantulan dirinya di pupil lelaki itu: bayangan seorang perempuan yang dahulu menunggu di balkon kecil, menusuk malam dengan jarum dan harap. “Kau tahu, Reksabumi,” ucapnya datar, “menyulam motif parang itu berat. Garisnya harus konsisten. Putus satu, rusak semua. Begitu pula janji.”
Hening. Seekor kucing menyeberang halaman. Di radio tetangga, seorang penyiar menyebut kata “resesi” dengan intonasi riang. Asap nasi dari dapur belakang mengalun menyejukkan.
“Aku pergi,” kata Reksabumi akhirnya, menegakkan badan. “Terima kasih untuk airnya.”
Sekar mengangguk.
Di ambang, Reksabumi berbalik. “Sekar, apa kau… membenciku?”
“Benci itu seperti noda tinta,” jawab Sekar tanpa menoleh. “Sulit dihapus, mudah berpindah. Aku memilih tidak memakainya.”
Pintu menutup dengan bunyi seret halus. Seperti seseorang yang menidurkan bayi.
.
Malam itu, Sekar menulis surat—bukan untuk dikirim, melainkan untuk dilipat rapi dan disimpan di sela halaman buku harian.
“Aku pernah mencintai seseorang dengan seluruh nyawa,” tulisnya. “Tetapi aku tidak akan meminta untuk dicintai kembali. Aku pernah menunggu dalam diam, namun aku tidak akan menunggu selamanya. Kadang, diam adalah bentuk paling pilu dari kecewa yang tak lagi bisa dijelaskan dengan kata-kata.”
Ia meniup lilin kecil di meja kerja. Di luar, Surabaya berganti bab: lampu-lampu jalan redup, lalu padam, lalu menyala lagi. Seperti hati yang sedang latihan.
Esok paginya, Sekar berjalan ke tepi Kalimas. Matahari terbit pelan dari sela bangunan tua dan crane pelabuhan yang seperti jari-jari besi menunjuk langit. Ia membawa sehelai kain batik motif parang rusak yang tak pernah selesai. Ditepisnya perlahan ke angin; kain itu berkibar, berdebar, lalu jatuh ke tangan seorang anak kecil yang berlari sambil tertawa. Anak itu menoleh sekali, dua kali, lalu melambai. “Matur nuwun, Mbak,” teriaknya. Sekar mengangguk. “Jadikan bendera, Nak,” balasnya lirih, “untuk hal-hal yang tidak ingin kau lupakan.”
Di pasar ikan, aroma anyir bercampur es balok dan percakapan yang cepat. Seorang ibu menawar barang sambil menggendong bayi, seorang bapak menimbang udang, seorang remaja memotret langit untuk diunggah. Surabaya menampung semuanya: air mata, tawa, pamer, kerja keras, juga diam yang kukuh.
Sekar pulang membawa beberapa ikat kangkung, sebungkus tempe, dan sebuah keputusan. Di rumah, ia membuka lembaran kerja: proposal kecil untuk memperluas taman bacaan. Kali ini ia mengetuk pintu perusahaan-perusahaan yang selama ini ia hindari—mereka yang memerlukan “program CSR berkelanjutan.” Ia menulis rencana yang terukur: sesi membaca, beasiswa kecil untuk anak-anak penjaja tisu lampu merah, lokakarya batik dengan pewarna alam. Ia tahu sebagian akan menertawakan idealisme, sebagian lagi akan menawar angka, namun ia juga tahu: menawar tidak sama dengan menghinakan.
“Membangun bukan berarti melupakan,” tulisnya di pengantar proposal. “Melupakan bukan berarti membenci. Memilih bukan berarti dikuasai masa lalu.”
Kabar kecil bergerak cepat. Seorang manajer PR di sebuah hotel di Tunjungan merespon; mengundangnya mengisi pameran kecil di lobby untuk tema “Kota dan Ingatan.” Sekar ragu, tetapi menyanggupi. Ia tidak ingin suara hatinya selalu bersembunyi di catatan; sesekali perlu keluar, berdiri di depan orang-orang, menyapa.
Malam pameran itu datang membawa gaun-gaun, sepatu, foto-foto, dan gelas-gelas yang berisik. Di belakang panggung kecil, Sekar memeriksa kain yang digantung. Di sudut kanan, ia menyelipkan selendang indigo yang dulu ia simpan untuk hari yang ia anggap “besar.” Hari ini bukan hari besar, hanya hari yang cukup baik. Itu saja sudah cukup.
MC memanggil namanya. “Sekar Arum, pegiat literasi dan perajin batik motif Panji.” Tepuk tangan. Lampu menyorot. Sekar berdiri.
“Selamat malam,” ucapnya. “Kota adalah mesin berat yang menggilas sekaligus mengangkat. Kita adalah bagian kecil yang belajar berjalan di sisinya. Batik bagi saya adalah cara berkata pelan kepada mesin itu: ‘Aku ingin lewat.’”
Tawa halus. Sekar melanjutkan, suaranya tenang, tak bergetar. Ia bercerita tentang motif parang dan garis yang tak boleh putus; tentang air yang harus berganti, tentang pewarna alami yang tidak memanipulasi kain, hanya menyedekahkan dirinya agar menempel. Ia tidak menyebut siapa-siapa. Tetapi orang yang pernah merasa kehilangan akan menemukan diri mereka di sela kalimat.
Usai acara, seseorang menunggu di koridor—bukan Reksabumi. Seorang perempuan bernama Nadira, yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit tempat ibunya dulu dirawat. “Saya suka kata-kata Mbak,” katanya. “Tentang garis yang tak boleh putus. Di ruang ICU, kami menonton garis lain, yang kami harap tak meregang.”
Sekar tersenyum. Mereka mengobrol singkat: tentang jam malam kerja, tentang kopi yang terlalu manis, tentang pasien yang meninggalkan baju kepergian tanpa nama. Pertemuan biasa, tapi rapi, seperti meja yang tak menyisakan remah. Nadira kemudian meminta izin membawa beberapa buku untuk didonasikan ke ruang tunggu. “Supaya keluarga pasien punya sesuatu untuk dipeluk selain cemas,” ujarnya.
Sekar mengangguk. “Sesuatu untuk dipeluk selain cemas.” Kalimat itu ia catat di ingatan, seperti menandai halaman yang ingin kembali dibaca.
Di luar hotel, Surabaya memasang lagi langitnya. Mobil-mobil melaju, orang-orang mengejar makan malam yang tertunda, sepasang muda-mudi berdebat tentang arah angin sambil menunggu ojek. Sekar berjalan pelan ke halte; ia memilih naik bus kota. Di kursi belakang, ia menatap pantulan wajahnya di kaca. Tidak cantik seperti iklan, tidak juga lelah seperti iklan obat. Wajah orang yang hidup dan memilih.
Di lampu merah, baru ia melihat: Reksabumi duduk di bangku taman, menatap ponselnya yang layar retaknya seperti peta kecil bencana. Sekar menarik napas. Bus melaju. Kota menutup percakapan yang tak lagi perlu dilanjutkan.
.
Musim berganti seperti lagu-lagu yang hitungan nadanya kita kira-kira. Taman bacaan Sekar berkembang menjadi ruang kecil dengan tiga rak, satu komputer bekas, dan jam dinding yang selalu lebih cepat tiga menit. Anak-anak datang selepas sekolah; remaja-remaja meminjam novel; para ibu singgah, memeriksa PR, menyambung obrolan. Sekar menyusun jadwal: Senin menulis surat, Rabu membaca puisi, Jumat praktik batik. Ia tak lagi mengejar pameran besar; ia membangun kebiasaan kecil. Kebiasaan yang, jika dirawat, akan tumbuh menjadi tempat pulang.
Suatu Jumat sore, langit tiba-tiba runtuh; hujan. Anak-anak menjerit, tertawa, memindahkan sandal. Sekar berdiri di pintu, menatap halaman yang berubah seperti kolam. Di sisi, Jatiwening—yang kini tinggi—mengayun-ayun kursi.
“Bulek,” kata Jatiwening, “aku baru paham.” Sekar menoleh. “Tentang diam itu. Bukan untuk membalas, ya?”
“Bukan,” jawab Sekar. “Diam itu seperti garis putih di zebra cross. Ia tidak melarang orang lewat, tapi mengingatkan: ada aturan untuk selamat.”
Jatiwening mengangguk, menulis sesuatu di buku. Sekar tersenyum. Ia mengambil sebuah spidol, menuliskan kalimat di papan:
“Saat hati sudah lelah, orang sabar tidak membanting pintu ketika pergi; ia menutupnya pelan. Tapi selamanya.”
Anak-anak menatap, beberapa tertawa karena “selamanya” terdengar seperti film. Hujan berubah rintik. Dari luar, masuk seberkas aroma petrikor yang dibawa angin dari arah Kali Mas. Waktu terasa berhenti sebentar; mungkin agar kita tahu kita sedang hidup.
.
Bertahun-tahun kelak, kota terus berubah. Gedung bertambah, reklame menua, kafe berganti nama, bus kota meremajakan interior. Taman bacaan Sekar beranak: lahir dua ruang di Kelurahan lain. Batik Sekar dikenakan tanpa ia ketahui di sebuah pidato kecil hari Kartini; fotonya dikirim seorang kawan. Sekar menonton dari layar sempit: sebuah motif parang indigo, jatuh dengan tepat di pundak perempuan yang menyebut kata “kesetaraan” tanpa terbata.
Suatu Minggu yang biasa, ia membuka laci dan menemukan lagi surat yang dulu ia tulis setelah Reksabumi datang. Ia membaca, kali ini dengan jarak yang besar. Kata-katanya tetap, tetapi rasa yang menempel telah berubah warna—seperti indigo yang telah dijemur berulang kali. Ia melipatnya ulang, memasukkan ke amplop, menuliskan di bagian luar: “Untuk diriku yang dulu ingin cepat-cepat baik.”
Ia berdiri di depan cermin. Rambutnya lebih pendek. Matanya lebih tenang. Di telinga, sisa bunyi kota merayap, tidak lagi mengganggu. Ia memakai selendang indigo. Mengunci pintu. Menuruni tangga.
Di luar, Surabaya—seperti biasa—mengajak warganya berjalan. Sekar melangkah, karena ia setia pada ajakan yang diucapkan baik-baik.
Dan di antara orang-orang yang melintas, ada satu kalimat yang tetap tinggal di dadanya, tidak sebagai beban, melainkan sebagai tanda penutup bab: “Pada puncak kecewa, kita bukan berhenti mencintai; kita berhenti meminta.”
.
.
Jember, 17 Juli 2025
.
.
#Cerpen #Surabaya #UrbanStory #BatikIndigo #TamanBacaan #Memaafkan #PuncakKecewa #KompasMingguVibes #MotifPanji #KisahKota
.
Quotes dari naskah
-
“Diam bukan berarti tak peduli. Kadang, itu adalah bentuk paling pilu dari kecewa yang tak bisa lagi dijelaskan dengan kata-kata.”
-
“Kejujuran itu seperti warna indigo: semakin lama direndam, semakin tua; tetapi butuh dijemur di cahaya agar benar-benar menjadi.”
-
“Maaf adalah doa yang baik, tapi doa juga butuh alamat.”
-
“Benci itu seperti noda tinta—sulit dihapus, mudah berpindah. Aku memilih tidak memakainya.”
-
“Membangun bukan berarti melupakan; melupakan bukan berarti membenci; memilih bukan berarti dikuasai masa lalu.”
-
“Pada puncak kecewa, kita bukan berhenti mencintai; kita berhenti meminta.”
-
“Saat hati sudah lelah, orang sabar tidak membanting pintu ketika pergi; ia menutupnya pelan. Tapi selamanya.”