Menanti di Seberang Kabut
“Jangan berharap semuanya berjalan sesuai keinginanmu. Harapkanlah semuanya berjalan sebagaimana mestinya, dan kamu akan hidup tenang.”
“Orang yang kuat bukan yang tak menangis, melainkan yang berani berkata: ‘hari ini cukup, besok aku lanjut lagi.’”
“Setiap kehilangan punya alamat pulang: ia kembali saat kita berani memaafkan diri.”
.
Langit Sepi di Atas Bandung Timur
Petang jatuh seperti tirai beludru di atas Bandung Timur. Angin dari utara membawa aroma tanah lembap, menembus jaket wol tipis yang dipakai Langit. Ia berhenti di sebuah warung kecil di tikungan Lembang Atas—warung yang menolak gentrifikasi, tetap bersetia pada papan nama kusam dan kursi plastik yang diganti-tambal-ganti lagi. Uap wedang jahe naik perlahan dari cangkir kaleng, menyentuh wajahnya seperti sapaan yang telat datang.
Di balik kabut yang menggambar garis lembut di punggung bukit barat, memori mengambang seperti koral tua di dasar laut. Sekar. Adik satu-satunya. Delapan musim kemarau berlalu sejak namanya tinggal sebagai gema. Sepasang sandal jepit ditemukan tergeletak di pinggir sungai Cikole. Tubuhnya tak pernah pulang.
Hari ini Langit kembali. Bukan untuk mencari. Bukan untuk membantah takdir. Ia ke sini untuk melakukan satu hal yang paling lama ia tunda: menerima.
Di layar ponselnya, notifikasi dari grup kantor meletik-letik: revisi rancangan, undangan rapat daring, surel klien dari Jakarta yang minta “cepat, tapi detail.” Langit mengetuk-ngetuk bodi ponsel, lalu mematikan nada. Di kejauhan, lampu-lampu vila baru di tepi tebing menyalakan ambisi kota; sebuah garis neon yang dibangun di atas resah.
“Teh manis anget satu lagi, Mang,” katanya. Suaranya terdengar seperti seseorang yang baru belajar bicara setelah lama menahan kalimat.
Pemilik warung—lelaki tua yang dipanggil Umar—mengangguk. Umar dulu seorang sopir bak terbuka, kini penjaga warung yang lebih banyak melayani pelanggan dari kelas menengah naik: para pesepeda dengan jersey bertuliskan “finish line is a decision,” keluarga urban yang singgah demi semangkuk mie rebus tanpa MSG, dan pasangan muda yang memotret langit jingga untuk ditaruh di feed.
“Masih sering datang, Kang?” tanya Umar.
Langit tersenyum miring. “Kalau rindu punya kaki, di sinilah ia berhenti sebentar.”
Umar tak bertanya lagi. Di kota yang sibuk menyusun bayangan, setiap hening bekerja sebagai obat.
.
Jejak yang Hilang, Luka yang Tinggal
Malam sebelumnya, di rumah kayu yang sengaja mereka pertahankan di Dago Pojok, Ningsih menatap Langit dari balik meja makan. Lampu gantung bohlam kuning menghadirkan kehangatan yang sering kalah oleh jarak yang tak diucapkan.
“Masih sering mimpiin Sekar?” tanya Ningsih, pelan, seperti meletakkan gelas di atas meja kaca.
Langit menatap bayangan dirinya pada jendela. “Ada suara air… dan sandal jepit di pinggir batu.”
“Mas,” Ningsih menyentuh punggung tangannya, “mimpi bukan akta bersalah.”
Langit tersenyum tanpa gigi. Ada luka-luka yang menolak penjelasan. Ada nasehat yang jatuh seperti gerimis—menghibur, tapi tak mengubah banjir di dalam.
Ia mengingat hari itu delapan tahun lalu, sebelum kota-kota ini berlomba membuka kafe dengan nama yang diambil dari bait puisi. Sekar—yang rambutnya selalu ia kepang asal-asalan saat kecil—mengirim pesan singkat, “Aku ke Cikole sebentar. Pingin denger lagu sungai.” Langit sedang di tol Pasteur, mengejar rapat tender. Ia membalas: “Jangan lama-lama. Hujan.” Jawaban tak pernah datang. Hujan itu yang datang, memanjang, memekat, menutup hari.
“Kalau saja aku bilang jangan pergi…” Kalimat itu tinggal sebagai fosil di tenggorokannya.
“Mas,” kata Ningsih, “cinta itu ingin melindungi. Tapi ada hal-hal yang bahkan cinta tak bisa cegah.”
Di luar, Bandung menyusun malamnya: suara Trans Metro di kejauhan, sirine ambulans di tanjakan, musik dari bar yang mengundang genap dan ganjil untuk melupakan hari. Di dalam, dua manusia duduk berhadapan, menimbang kata-kata yang lebih ringan dari duka, lebih berat daripada sunyi.
.
Pekerjaan, Kota, dan Rasa Bersalah yang Hinggap
Langit—lulusan arsitektur yang kini menyandarkan hidup pada sebuah studio desain—terkenal karena tampilannya yang bersih dan fungsional. Ia merancang ruang dengan logika yang tenang, seperti orang yang menata kepanikan menjadi sketsa.
Klien-kliennya datang dari kaum urban yang percaya bahwa kaca lebar dan garis minimalis bisa menyusun ulang biografi. Mereka bicara tentang “flow,” tentang “keterbukaan,” tentang “udara dan cahaya masuk dari dua arah.” Di kepala Langit, setiap ruang adalah perundingan antara perlu dan ingin, antara bangga dan benar.
Anehnya, desain yang ia buat selalu menang tender, tetapi tidur yang ia dapat selalu kalah. Di atas kasur empuk dan seprai linen mahal, rasa bersalah bersarang. Ia membayangkan Sekar sebagai kalimat yang tak selesai: “…paling dia balik sendiri, bawa cerita lucu lagi.” Kalimat itu seperti palu yang ia jatuhkan ke kakinya sendiri.
“Mas,” Ningsih pernah berkata, “kamu merancang rumah untuk orang-orang tinggal. Tetapi kamu sendiri belum tinggal di dirimu.”
Ada kebenaran yang terdengar terlalu lugas sampai menyakitkan.
.
Pelajaran dari yang Tak Bisa Diulang
Di ponselnya, Langit menyimpan foto-foto lama: Sekar memegang gitar kecil di halaman rumah, Sekar memaksa semua orang berdiri di tepi sungai karena “arusnya menyanyi,” Sekar tertawa sambil menutup mulut—kebiasaan yang selalu membuat Langit ingin bercanda lebih sering.
Ia ingat kutipan dari seorang kawan, Amir, yang gemar mengirimi pesan tengah malam: “Luka bukan kejahatan, kecuali kau mengizinkannya menodai caramu melihat.” Langit tersenyum getir. Banyak petuah memancar terang, namun suchi-nya ikut padam ketika menempel di kenyataan.
Tetapi manusia, pada akhirnya, adalah makhluk yang mencoba lagi. Dan mencoba lagi. Dan entah bagaimana, setiap “lagi” membuat hari bergerak sedikit.
.
Perjalanan untuk Melepaskan
Pagi ini Langit menyusuri jalan setapak menuju lembah Cikole. Ilalang setinggi lutut bergoyang, menyerupai salam yang tak ingin mengganggu. Ia membawa foto Sekar yang mulai pudar, sehelai jarik bermotif parang kecil—milik ibu mereka—dan sebuah kendi. Ia sudah lama merencanakan upacara kecil ini, tetapi selalu gagal berangkat.
Di tepi sungai, gemericik air terdengar seperti kalimat yang tidak ingin dikutip, hanya ingin didengarkan. Langit menunduk, meletakkan bunga kenanga. Ia melarungkan kendi yang di dalamnya ada secarik kertas: “Maafkan aku, dan terima kasih karena pernah tumbuh bersamaku.”
“Sekar,” bisiknya, “aku tak datang lagi untuk bernegosiasi.”
Ia duduk, memejamkan mata. Angin menyentuh kening. Di balik kelopak, wajah Sekar hadir tidak sebagai hantu, melainkan sebagai anak perempuan yang menggerai rambut, menyanyi pelan, “aruuus, aruus, tolong bawakan kabar rumah.”
Langit tidak lagi menangis seperti tahun-tahun pertama. Kini air matanya datang sebagai tetes tunggal yang hangat, jatuh tidak dalam keadaan kalah, melainkan selesai.
“Melepaskan bukan berarti mengusir. Melepaskan berarti menempatkan sesuatu di alamat yang benar.”
.
Kota yang Terus Maju, Kita yang Belajar Pelan
Di Bandung, pagi menyeberang menjadi siang. Lalu lintas di layang Pasupati menggambar garis cepat yang tidak menyisakan waktu untuk menoleh. Gedung-gedung baru di koridor Riau menunjukkan wajah seragam: kaca kebiruan, lobi marmer, resepsionis dengan senyum yang dilatih.
Studio Langit menempati lantai dua sebuah ruko yang mereka ubah menjadi ruang kerja: meja panjang dari kayu jati, rak-rak yang menampung model maket, lampu-lampu gantung sederhana yang seolah memintal kejujuran. Ada tim kecil yang mempercayai Langit bukan semata-mata sebagai pemimpin, melainkan sebagai kompas yang tahu arah pulang.
Hari itu Amir datang, menenteng kotak kardus berisi kue pukis. “Gua dapet dari Jaya. Katanya buat ngerayain anaknya bisa tidur siang dua jam penuh.”
“Pencapaian era modern,” jawab Langit.
Amir menatapnya lama, lalu berkata tanpa basa-basi, “Lo kelihatan lain.”
“Lain gimana?”
“Capeknya sama. Tapi kayaknya lo udah berhenti berantem sama capek.”
Langit tertawa. “Gue cuma habis ngomong sama sungai.”
Amir mengangguk, seakan itu jawaban yang paling sesuai dengan dunia yang sedang mereka tempati.
.
Surat untuk Sekar
Malamnya, di bengkel kecil di belakang rumah—ruang yang dulu ia pakai mengasah hening—Langit duduk menghadap meja kayu yang penuh bekas sayatan. Ia menulis.
Sekar,
Aku berhenti bertanya kenapa. Aku tak lagi menawar hari agar memutar arah. Aku membaca lagi sebuah kalimat: “Jangan berharap dunia adil seperti yang kau inginkan. Terimalah sebagaimana mestinya, dan kau akan lebih kuat.”
Hari ini aku mencoba cara yang tidak mengutuk masa lalu: menyusun masa depan yang tidak menyakitkanmu.
Kau tidak lagi memanggilku dari deru arus. Yang tersisa adalah keberanian kecil untuk hidup baik.
Dari kakakmu, yang akhirnya belajar menerima.
Ia melipat kertas itu dan menaruhnya di laci yang berisi peta-peta lama. Bukan untuk dilupakan. Untuk disimpan di tempat yang benar.
.
Retna, Dapur, dan Pelajaran dari Suara-Suara Kecil
Ketika Langit pulang, Ningsih sudah tertidur di sofa, buku resep terbuka di dada. Mereka tidak punya anak, tetapi rumah mereka tidak pernah kehabisan suara. Retna—tetangga sebelah yang punya usaha katering kecil—sering datang membawa makanan sisa order, menyelipkan rumpi dan tawa.
“Mas,” kata Retna suatu sore, “kalau besok aku pakai halaman belakang buat jamuan kecil pelanggan, boleh? Kupasukan lampu-lampu bohlam di pohon.”
“Boleh,” jawab Langit. “Asal kabelnya jangan diikat di batang, ikat di tali. Biar pohonnya tidak luka.”
Retna menatapnya, kagum pada seseorang yang memikirkan batang pohon sebagaimana ia memikirkan rasa gurih di lidah tamu. “Mas ini arsitek atau penyair?”
“Yang menolak dua-duanya,” seloroh Langit.
Retna tertawa. Beberapa tawa memiliki kualitas tertentu: ia tidak mengobati, tetapi mengafirmasi bahwa dunia, meski berat, masih bisa didorong bareng-bareng.
.
Kota, Kehilangan, dan Cara Kita Memaknai Peringatan
Beberapa bulan kemudian, di rooftop sebuah hotel butik di koridor Dago, Langit berdiri di antara undangan pernikahan teman lama. Kota di bawah memamerkan lampu-lampu yang terlihat manis dari jauh, pahit dari dekat. Ningsih menggandeng lengannya.
“Aku senang kita datang,” katanya.
“Aku juga,” jawab Langit. Dan untuk pertama kalinya, kalimat itu tidak terdengar sopan santun.
Di sana ia bertemu Jaya—ayah muda yang tertawa pelan, mantan rekan proyek yang dulu mengajarinya meminum kopi tanpa tergesa. “Anakku udah dua jam tidur siang,” kata Jaya, bangga. “Aku baru ngerti, kemenangan orang dewasa itu setengahnya logistik.”
Langit tertawa, lalu diam pada kalimat berikutnya. “Kau tahu,” Jaya menambahkan, “kehilangan mengajarkanku satu hal: kita berhenti menunggu hari yang sempurna, dan mulai memperbaiki yang ada di depan mata.”
“Begitu ya caranya?” tanya Langit.
“Kalau tidak, kita habis di ruang tunggu,” kata Jaya, menatap kota yang memantulkan dirinya sendiri di kaca-kaca tinggi.
“Bahagia, rupanya, bukan tempat yang dicapai. Ia adalah kerajinan tangan yang dikerjakan ulang setiap hari.”
.
Seren Taun, Tumpeng, dan Doa yang Tidak Menggurui
Pada akhir musim hujan, kampung mereka mengadakan seren taun kecil-kecilan: tumpeng nasi kuning, sayur lodeh, anak-anak bernyanyi lagu-lagu yang tidak masuk tangga lagu mana pun, orang-orang tua duduk mengamati dunia yang tidak lagi seratus persen milik mereka.
Langit membawa tumpeng dengan toping sederhana. Ia duduk bersama Umar, Retna, Amir, dan beberapa tetangga. Ningsih sibuk memastikan ibu-ibu tak kekurangan sendok.
“Aku ingat Sekar kalau ada acara begini,” kata Amir.
“Kenapa?”
“Ia selalu rebutan nyanyi lagu penutup. Lalu lupa lirik.”
Langit tersenyum. “Lupa itu menyelamatkannya dari malu.”
“Dan mengingatnya menyelamatkan kita dari sombong,” kata Umar, menatap nasi kuning seperti menatap jam.
Malam itu, Langit memandang langit jingga yang pindah ke gelap tanpa jeda. Ia tidak berdoa panjang. Ia hanya menaruh satu kalimat di bibirnya: terima kasih. Dan anehnya, itu cukup.
.
Ketika Semua Menemukan Tempatnya
Suatu siang yang dibasuh gerimis, seorang pemuda datang ke studio. Ia memperkenalkan diri, menyebut namanya Sekara—nama yang membuat ruang tiba-tiba bertambah gema. Mahasiswa antropologi, sedang menulis skripsi tentang jejak lisan di Lembang dan perubahan lanskap kultural setelah kafe-kafe baru mengganti bale-bale bambu.
“Boleh saya belajar di sini, Kang?” tanya Sekara. “Tentang bagaimana arsitektur berdamai dengan tanah.”
Langit ingin tertawa dan menangis bersamaan. “Di sini, kita belajar berdamai dengan diri. Arsitektur menunggu giliran.”
Sekara meletakkan ranselnya, mengeluarkan buku catatan. Ia menatap maket-maket kecil di rak seperti menatap makhluk hidup. “Kota itu, Kang,” katanya, “kadang terasa seperti museum dari orang-orang yang terlalu cepat.”
“Karena kita bergegas, lupa jembatani yang lama dan yang baru,” jawab Langit.
“Bagaimana caranya?”
“Pelan-pelan. Dan jangan malu bilang belum bisa.”
Sekara mengangguk. Ada kesabaran baru yang ditanam kalimat itu.
.
Kabar dari Seberang Kabut
Musim berganti. Di Lembang Atas, kabut kembali sering turun telat sore. Umar mengganti kain lap yang kusut dengan yang baru. Retna memperluas kateringnya, menambah menu lodeh labu siam yang lebih bersahabat dengan kolesterol. Amir merenovasi rumah kecilnya agar satu kamar bisa jadi ruang kerja; jam-jamnya kini habis untuk menulis cerita yang tidak lagi berutang pada masa lalu.
Langit menata ulang studio: menambah rak untuk buku-buku yang tak ingin mengajari, hanya ingin menemani. Ia menulis daftar kecil yang ditempel di dinding:
-
Makan tepat waktu, bukan tepat mood.
-
Berjalan 20 menit setiap hari.
-
Telepon orang tua hari Minggu.
-
Berterima kasih pada diri setelah menyelesaikan hal kecil.
-
Memaafkan diri sebelum tidur.
Di malam yang lain, Ningsih membawanya menonton pertunjukan kecil di ruang komunitas, menampilkan tari kontemporer yang diinspirasi dari cerita Menak: Umar, Amir, Retna, Jaya—nama-nama yang pernah hidup sebagai tokoh hikayat, kini berjalan di panggung keseharian sebagai penjual kue, sopir ojek, arsitek, peracik kopi, ibu yang menggendong bayi, mahasiswa yang meneliti kata.
Langit memikirkan satu hal: barangkali semua tokoh legendaris di dunia ini, jika kembali hari ini, akan memilih duduk di warung kecil, memesan teh manis, dan belajar mengucap “maaf” pada orang yang menatap balik dari kaca jendela.
“Kita sering kelelahan mengejar sembuh, padahal yang kita perlu kadang hanya berhenti melukai.”
.
Bandung, Jakarta, dan Jalan Pulang yang Sering Berubah
Studio mendapat proyek baru: merancang sebuah rumah untuk keluarga muda di daerah Antapani. Kliennya, pasangan pekerja kantoran di Jakarta yang memutuskan pindah ke Bandung “demi udara yang bisa dihirup.” Mereka ingin rumah yang menyambut pagi, yang tidak membuat anak mereka takut pada koridor panjang, yang menyediakan ruang untuk tak melakukan apa-apa tanpa merasa bersalah.
Langit menggambar halaman dalam dengan pohon ketapang kencana, bangku kayu tanpa sandaran, dan kolam kecil yang tidak mengundang banyak komposisi, hanya memantulkan langit. Di presentasi, ia berkata, “Saya percaya rumah yang baik mengizinkan penghuninya menua bersama. Bukan sekadar memamerkan masa muda sepanjang tahun.”
Klien itu menangis pelan. “Kami tidak punya kata untuk perasaan itu,” kata istrinya, “tapi gambar ini seperti yang mau kami ucapkan.”
Langit pulang lebih larut dari biasa, melewati Pasupati yang malam itu tampak seperti garis kaligrafi menggantung di udara. Di dalam mobil, ia menyalakan radio yang memutar lagu-lagu lama. Suara penyiar berkata, “Malam ini, untuk yang sedang berusaha, tenang saja: kamu tidak tertinggal. Kamu hanya mengambil napas.”
Ia menepi di rest area kecil, menatap kota yang tertidur dengan mata setengah terbuka. Ia mengetik pesan pada Sekara: Besok ke studio lebih pagi. Kita mulai belajar dari jalan kaki. Sekara membalas cepat: Siap, Kang.
Di kaca jendela mobil, wajahnya kembali menatap. Ia mengangguk pada orang yang delapan tahun hidup di ruang tunggu. “Kita pulang,” katanya.
.
Menanti di Seberang Kabut
Musim kemarau datang lagi. Warung Umar tetap berdiri, meski kafe-kafe di sekitarnya kini menjual kopi dengan nama yang sulit diucap. Di satu sore yang memelihara redup, Langit kembali duduk di kursi plastik, menatap kabut yang terlihat seperti kain tipis yang diangkat dan diturunkan tangan tak terlihat.
“Wedang jahenya, Kang,” kata Umar, meletakkan cangkir. “Kali ini, tanpa banyak jahe. Biar hangatnya cukup.”
Langit tertawa. “Hangat yang cukup, itu kemewahan.”
Ia menatap aliran kabut, dan di sana ia tidak lagi mencari. Ia menunggu tanpa kegugupan. Menunggu bukan pada kepastian Sekar kembali. Menunggu dalam arti lain: menunggu hatinya berada di tempat yang sama dengan tubuhnya. Dan entah bagaimana, sore itu, keduanya bertemu.
Ningsih mengirim pesan foto: halaman belakang dengan lampu-lampu bohlam yang merunduk pada malam. Retna melambai di latar, mengangkat panci. Amir duduk di kursi rotan, mengoreksi naskah. Sekara berdiri di dekatnya, memperlihatkan sketsa bangunan yang tumbuh dari tanah, bukan menindihnya.
Langit membalas dengan satu kalimat yang dulu terasa mustahil ia tulis: Terima kasih. Aku datang sebentar lagi.
Di ujung pandang, kabut terbelah tipis. Bukan karena angin. Barangkali karena seseorang di seberang sana juga melepaskan. Barangkali karena akhirnya Langit percaya: menanti bukan selalu tentang menagih kepulangan orang lain; kadang ia tentang mengantarkan diri masuk ke dalam rumah yang sudah lama menunggu.
“Kamu tidak pernah benar-benar kehilangan orang yang kamu cintai. Kamu hanya berhenti bersaing dengan waktu.”
.
Surat yang Dibiarkan Terbuka
Beberapa tahun sesudahnya, Langit dan Ningsih duduk di teras, memandangi halaman yang menyimpan rapi riwayat kecil: bekas tumpahan kopi, bekas paku yang dicabut, bekas pijakan yang menumbuhkan lumut. Mereka tidak tinggal di rumah yang sempurna, tetapi di rumah yang tahu cara memeluk.
Sekara datang membawa kabar, skripsinya rampung, ia diundang menjadi pembicara di sebuah forum anak muda tentang kota yang ramah. “Aku menulis satu bab dari percakapan kita tentang ‘rumah yang mengizinkan penghuninya menua,’” katanya. “Terima kasih.”
Langit mengangguk. “Kalau orang bertanya: darimana bab itu lahir?”
“Aku akan bilang: dari seseorang yang menatap sungai dan memutuskan berhenti bernegosiasi.”
Mereka tertawa. Lalu diam. Lalu tertawa lagi, dengan jarak yang pas.
Di rak buku, amplop berisi surat untuk Sekar dibiarkan terbuka. Tidak semua surat harus dikirim. Sebagian cukup dijaga bersama napas, sebab isinya tidak lagi menginginkan jawaban—ia hanya merayakan keberanian menulis.
Kota di luar terus berubah. Jalan baru dibuka, kafe baru dibangun, iklan baru dipasang. Tetapi ada hal yang tetap: orang-orang yang belajar memanggil pulang dirinya sendiri. Di antara gedung-gedung, di antara rencana-rencana yang tertunda, di antara kabut yang datang dan pergi, mereka menunggu dengan tenang.
Dan di seberang kabut, selalu ada seseorang—atau sesuatu—yang menunggu kita kembali, bukan sebagai pemenang, melainkan sebagai manusia yang akhirnya utuh.
“Jika hari ini kau hanya mampu melangkah setengah, lakukanlah. Separuh perjalanan tetap perjalanan.”
.
.
.
Jember, 17 Juli 2025
.
.
#CerpenMinggu #Bandung #KotaDanKita #Kehilangan #Penerimaan #MenakMadura #UrbanStory #JeffreyWibisonoStyle