Luka yang Disulam Diam-Diam

“Jangan terlalu cepat iri pada orang yang terlihat paling ceria, paling ramah, paling tulus. Bisa jadi, dia adalah orang yang paling sering menyembuhkan lukanya sendiri, tanpa pernah meminta siapa pun untuk tinggal.” — Unknown

.

Pada suatu sore yang basah di jantung kota, lampu-lampu jalan menyalakan dirinya lebih awal. Hujan memantulkan nyala neon papan nama kafe-kafe di koridor gedung perkantoran yang berjejer seperti cermin—raksasa-raksasa kaca yang dingin namun selalu penuh janji. Di teras sebuah kafe di kawasan bisnis yang disebut orang-orang sebagai “segitiga emas”, Lintang Jayengsari duduk mengaduk latte yang sudah lama tidak panas. Senyumnya—senyum yang menolong orang lain merasa aman—kembali dipakai seperti jas kerja.

Di layar ponselnya, notifikasi rapat berdesakan: pitching kampanye CSR, evaluasi program beasiswa, review konten kampanye donasi. Lintang, manajer program pada sebuah yayasan yang bermitra dengan korporasi-korporasi mapan kota, terbiasa menjadi suara yang menenangkan di ruang-ruang rapat yang terlalu tajam. Di kota ini, semua orang berlari. Tugasnya membuat mereka ingat kenapa mereka mulai berlari.

Di luar kaca, lalu lintas bergeser pelan—ban mobil mengiris air seperti gunting tua yang sabar. Ada sesuatu yang konstan dan absurd di kota: betapa sibuknya manusia-manusia yang, jika pulang ke apartemen masing-masing, seringkali hanya ditemani sunyi.

Lintang mengenakan setelan sederhana berwarna abu-abu, rambut diikat rapi, dan ransel yang selalu tampak lebih berat daripada yang diakui bahunya. Seorang barista memanggil namanya, menyodorkan sepotong brownies yang sudah dibayar seseorang di meja sebelah. “Katanya, untuk hari yang panjang,” ucap barista.

Lintang menoleh. Meja sebelah kosong. Di sana hanya tersisa jejak air hujan di kursi dan secangkir kopi setengah. Sejenak, ia ingin percaya bahwa seseorang masih sempat peduli, bahkan jika orang itu memilih tetap namanya: entah. Ia menahan diri agar tidak terlalu berharap.

“Jangan terpesona pada derasnya tepuk tangan,” pernah tulisnya pada catatan pribadi, “karena yang sering menyelamatkan kita justru satu tangan yang diam-diam menggenggam kuat di peron stasiun.”

.

Lintang tumbuh di rumah susun lama yang bertetangga dengan gang-gang bersuara radio dangdut dan suara hafalan anak SD. Ibunya meninggal ketika adiknya lahir. Sejak itu, ia tinggal bersama ayahnya, Wijil Jayeng—guru matematika yang mengajarinya menahan tangis seperti orang belajar menahan napas di kolam renang: masuk pelan, keluar pelan. “Kesedihan adalah angka pecahan,” kata ayah. “Kita tidak harus menyebut semua bagian di hari yang sama.”

Maka, sejak kecil, Lintang belajar senyum. Bukan senyum palsu—ia benar-benar suka melihat orang lain merasa aman di dekatnya—namun ia juga belajar mengunci pintu kamar dengan lembut agar tidak ada yang melihatnya menghitung napas di lantai, menempelkan pipi ke keramik yang dingin.

Ayahnya meninggalkan dua hal sebelum stroke mengajarinya bicara dengan mata: peti kayu kecil warisan nenek, dan selembar kertas bertinta pudar berisi catatan: “Hidup tidak selalu adil. Tapi kita bisa selalu memilih cara berjalan. Ingat, luka itu milikmu. Yang paling setia merawatnya—ya kamu.”

Lintang menyimpannya di laci meja kerja apartemen mungilnya di atas pusat perbelanjaan. Dari sana, ia bisa melihat kota mengedip tanpa henti.

.

Di usia tiga puluh dua, karier Lintang mapan. Ia tidak punya mobil sport, tidak punya jam tangan yang harus disimpan di brankas, tetapi punya akses ke ruang-ruang rapat di lantai yang hanya bisa dicapai dengan lift privat. Ia bicara tentang dampak sosial, memetakan “beneficiaries”, menyusun indikator, menyiapkan laporan yang bisa membuat komisaris merasa lega. Ia tahu betul bahwa kebaikan di kota ini seringkali butuh data.

Daniswara masuk lagi ke hidupnya pada suatu pagi yang tidak diberi tanda. Mereka bertemu di auditorium kampus, pada acara kuliah umum tentang kesehatan publik. Danis, dokter peneliti yang baru pulang dari penugasan panjang di timur, berdiri di podium, memaparkan temuan tentang layanan primer dan realitas mental health di kota-kota besar: “Banyak orang hidup di ketinggian gedung bertingkat, tetapi jiwanya menetap di lantai dasar.”

Habis acara, di meja coffee break, mereka bertemu mata. Danis memegang cangkir kertas, Lintang memegang folder proposal. “Kita pernah janji, ya?” kata Danis sembari tertawa, “untuk tidak ketemu begini—mendadak—karena terlalu dramatis.”

Nama itu—janji—seperti jemari yang menyentuh bekas luka. Danis pernah menjadi terang yang dijanjikan pulang. Lalu pulang sebagai orang lain, meninggalkan sebuah surel pendek: “Kamu terlalu baik buat aku.”

Di selasar yang panjang, dengan poster-poster motivasi memantulkan diri mereka seperti kilas balik, Lintang menjawab dengan tenang, “Kita tidak sedang ketemu. Kita cuma sedang melewati tempat yang sama.”

“Boleh makan siang? Aku ingin minta maaf,” kata Danis. Ada yang tulus di matanya, ada yang lelah.

Lintang memikirkan kalendar yang penuh, memikirkan ruang-ruang rapat yang menunggu. Lalu memikirkan apa yang pernah ia pelajari dari kota: “Tidak semua yang kembali harus ditampung. Tapi beberapa hal perlu diselesaikan agar tidak menjadi hantu di malam-malam kita.”

“Boleh,” katanya, “asal kamu tahu, aku tidak lagi hidup di halaman yang sama.”

.

Makan siang itu terjadi di restoran yang menghadap ke sungai kota yang disulap menjadi koridor wisata. Dinding bata ekspos, musik jazz pelan, servis yang tepat. Mereka duduk di kursi yang jaraknya cukup untuk dua orang tidak salah paham.

“Aku pengecut,” Danis memulai. “Aku pulang dengan seseorang karena aku takut miskin, takut gagal, takut menjadi dokter yang tidak cukup menolong. Dia menawarkan jaringan, stabilitas. Aku memilih aman. Lalu aku belajar bahwa aman yang tidak jujur rasanya seperti ruangan ber-AC yang terlalu dingin.”

Lintang menatap sendoknya, menggambar lingkaran-lingkaran kecil di kuah sup. “Aku pernah marah,” katanya, “tapi aku lebih sering malu karena menyalahkan diriku. Aku bertahun-tahun menyangka ada yang kurang dariku. Lalu aku belajar bahwa tidak semua yang patah harus diperbaiki. Ada yang cukup diletakkan.”

Mereka makan tanpa banyak suara. Pelayan datang, menakar ruang yang pantas bagi dua orang yang melipat masa lalu dengan rapi. Di akhir makan, Danis mengeluarkan sesuatu—bukan cincin, bukan kunci rumah—melainkan sebuah kartu nama klinik psikosomatik. “Ini tempat yang membantuku menamai takut. Aku tidak tahu apakah kamu perlu. Tapi kalau suatu saat kamu mau, bilang namaku.”

Lintang mengangguk. “Terima kasih,” katanya. Ia memasukkan kartu itu ke dompet, berdiri, dan tersenyum seperti orang yang mengunci pintu dengan lembut. Mereka berjabat tangan seperti rekan lama yang tahu: tidak semua yang baik harus berakhir bersama.

Di luar, langit kembali mengecil oleh awan. Kota berdehem. Lampu-lampu siang menyala.

.

Di malam yang panjang—malam yang menguji siapa yang benar-benar betah tinggal di kepala sendiri—Lintang membuka peti kayu warisan. Ada kain jarik dengan motif pesisir yang disukai neneknya, ada foto hitam putih ayah tersenyum di depan papan tulis, dan ada beberapa catatan berlapis bekas tumpahan teh. Salah satunya berisi kalimat tangan ibunya yang nyaris kabur: “Kalau kamu lelah, bukalah jendela. Kalau jendela tidak ada, bukalah hati. Jangan lupa, orang lain juga sedang belajar.”

Lintang menghela napas panjang. Di apartemen, suara AC menyusup seperti napas kucing. Ia mengambil buku catatan, menulis:

“Aku belajar memintal ulang benang hidupku. Ada helai-helai yang sudah kusimpan terlalu lama karena takut dibilang kurang ajar pada masa lalu. Tapi masa lalu tidak seharusnya menjadi tuan rumah. Ia cukup penghuni kos—datang, tinggal sebentar, pergi dengan baik.”

Besi hujan mengetuk kaca. Kota menyalakan lampu-lampu balkon. Di gedung sebelah, seorang perempuan menjemur pakaian gym, seorang lelaki muda menunduk di depan layar laptop, sebuah keluarga kecil tertawa di meja makan. Hidup-hidup kecil terjadi bersisian, tanpa saling tahu. Lintang menutup gorden—bukan untuk menolak dunia, melainkan untuk merapatkan dirinya sendiri.

.

Keesokan harinya, Lintang memutuskan berhenti pura-pura kebal. Ia menghubungi nomor di kartu nama. Klinik itu berada di ruko yang bersih, dindingnya warna krem tenang, ruang tunggunya tanpa TV, hanya rak buku yang bersih dan aroma kayu manis. Di sana, ia bertemu seorang konselor bernama Rengganis—perempuan dengan tatapan yang tak menghakimi, tetapi juga tidak mengasihani.

“Apa kabar napasmu?” tanya Rengganis, bukan “Apa kabar kamu?”

Pertanyaan itu menyeberang seperti perahu kecil di sungai kepala Lintang. “Cukup lelah,” jawabnya jujur. “Aku terbiasa menenangkan ruangan. Namun ketika sendirian, ruangan di dalam diriku berisik. Seperti gedung kantor yang AC-nya lupa dimatikan.”

Rengganis tersenyum. “Banyak jiwa di kota ini yang lupa mematikan AC. Kita akan belajar.”

Mereka bertemu setiap Rabu sore. Bukan untuk memperbaiki masa lalu—masa lalu tidak rusak, ia hanya selesai—melainkan untuk memberi nama pada rasa, memberi pagar pada batas, dan merayakan yang kecil-kecil: tidur tanpa mimpi buruk, makan siang tanpa rasa bersalah, berkata “tidak” tanpa perlu membuat kuliah panjang.

Rengganis menyarankan tiga kebiasaan yang sederhana:

  1. Jurnal Tiga Baris: “Pagi—satu harapan; siang—satu fakta; malam—satu syukur.”

  2. Napas 4-6: tarikan empat hitungan, hembus enam. “Beri tahu tubuh bahwa kita tidak sedang dikejar.”

  3. Batas Baik: “Kalimat ‘terima kasih, aku tidak bisa’ adalah doa untuk masa depan.”

Lintang mengaminkannya. Ia menempelkan tiga catatan kecil di pintu kulkas: Harapan. Fakta. Syukur. Ia menulis dengan spidol yang bisa dihapus agar ingat: hidup boleh diperbarui.

.

Kota, dengan setia, tetap meminta setoran kecepatan. Proposal harus selesai; target, capaian, indikator—semuanya harus rapi. Namun sesuatu bergeser pelan: Lintang tidak lagi memaksa rohnya untuk selalu hadir di setiap undangan. Ia mulai memilih rapat yang benar-benar perlu. Ia pulang lebih awal sesekali, menanak nasi sendiri, menumis kangkung, menyeduh teh melati, menyalakan musik lawas yang membuat kamar terasa seperti rumah.

Suatu malam, adiknya mengirim pesan video dari kota lain—ia bekerja di startup yang tumbuh terlalu cepat. “Mbak, aku capek. Orang-orang di kantor berlomba jatuh cinta pada jam kerja. Semua mau terlihat paling loyal.”

Lintang menatap wajah adiknya di layar. “Istirahat yang cukup bukan pengkhianatan,” katanya pelan. “Loyalitas yang baik selalu menyisakan tempat duduk untukmu sendiri.” Ia mengirimkan jadwal napas 4-6 dan gambar tiga catatan di kulkas. Adiknya tertawa, “Anda ini #TeamJurnal, ya?” Mereka tertawa bersamaan, menutup sambungan seperti orang menutup jendela dengan sopan.

.

Pada hari Sabtu yang lembab, Lintang berjalan kaki ke taman kota. Ia duduk di bangku, memperhatikan keluarga-keluarga kelas menengah atas bersepeda dengan helm mahal dan sepatu yang tampak seperti pesawat kecil. Ia tidak iri. Ia memilih memandang perempuan muda yang mengajarkan anaknya mengeja tulisan pada papan petunjuk jalan. “B-u-k-i-t. Bukit.” Anak itu bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Kemenangan kecil, namun terasa lengkap.

Di taman itulah, tanpa rencana, lahir ide Pojok Jayengsari—ruang baca kecil yang ia rintis di lobi apartemen, memanfaatkan kios kosong di pojok yang selama ini jadi tempat paket-paket menumpuk. Ia berdiskusi dengan pengelola, mengajukan proposal ringan: rak buku, karpet, lampu kuning hangat, satu dispenser, dan papan tulis berbingkai kayu. “Bukan perpustakaan lengkap,” katanya, “tapi ruang yang membuat orang merasa cukup sebentar.”

Pengelola setuju. Tetangga-tetangga menyumbang buku—novel, buku pengembangan diri, komik. Seorang tetangga yang jarang tersenyum menawarkan bean bag. Seorang lainnya, yang biasanya pulang larut dengan dasi longgar, meninggalkan majalah-majalah lama. Di dinding, Lintang menuliskan kalimat:

“Luka tak selalu harus disembuhkan oleh orang lain. Kadang, cukup kita sendiri yang pelan-pelan menjahitnya dengan doa, waktu, dan keberanian.”

Setiap malam, selepas kerja, Lintang duduk di Pojok itu dengan lampu kuning. Orang-orang datang, tidak selalu untuk membaca. Ada yang hanya duduk, ada yang menulis kartu pos untuk dirinya sendiri, ada yang menggambar gunung dengan spidol. Seorang anak SMP dengan seragam yang kebesaran menempelkan sticky notes: “Hari ini aku tidak marah-marah di rumah.”

Lintang menjaga ruang itu seperti orang menjaga lilin di teras saat angin lambat lewat. Ia menyiapkan permainan sederhana tiap pekan: memilih kata, menulis tiga baris, menghela napas bersama. “Tanpa paksaan,” selalu katanya. “Tanpa foto. Tanpa kewajiban memamerkan.”

.

Danis datang suatu malam, membawa dua kantong kertas berisi buku anak. “Untuk Pojok,” katanya canggung. Lintang menerima, memintanya duduk. Mereka tidak membahas masa lalu, tidak membahas kemungkinan. Mereka membahas harga kacang mete yang naik, membahas betapa sepinya kota saat hujan, membahas kewajaran merasa takut. “Kita kerap tersesat dengan mencari rumah di mata orang lain,” kata Danis. “Padahal rumah itu, pada akhirnya, selalu di dada sendiri.”

Lintang mengangguk. “Rumah adalah kata kerja,” jawabnya. “Dikerjakan.”

Di papan tulis, malam itu, mereka menulis bergantian:

Jika kamu pulang, pulanglah tanpa menyalahkan jalan.
Jika kamu tinggal, tinggallah tanpa menutup jendela.

Orang-orang yang datang membaca, menghela napas, menempelkan kalimat mereka sendiri. Pojok itu menjadi mosaik yang memantulkan cahaya kecil-kecil. Kecil, ya. Tetapi bukankah kota ini dibangun dari lampu-lampu kecil yang menyala bersama?

.

Pada bulan yang sama, yayasan tempat Lintang bekerja meminta laporan dampak. Angka-angka itu selalu dingin di atas kertas, namun di balik angka selalu ada wajah. Lintang mengundang timnya ke Pojok. Di sana, mereka menyusun laporan sambil sesekali berhenti untuk membaca catatan-catatan yang ditempel pengunjung. “Kita buat lampiran,” usul Lintang, “bukan statistik baru, tetapi halaman ‘Suara Kecil’. Biarkan komisaris melihat kota yang kita maksud.”

Laporan itu dikirim. Sebuah surel kembali beberapa hari kemudian: papan direksi menyetujui pendanaan tambahan untuk program kesehatan mental di tempat kerja. Mereka meminta Lintang menjadi narasumber untuk pemimpin-pemimpin unit. “Kita tidak akan bicara rumus besar,” katanya pada tim, “kita bicara kebiasaan kecil: jurnal tiga baris, napas 4-6, dan keberanian mengatakan tidak.”

Di aula kantor pusat, di hadapan orang-orang dengan jas rapi dan kartu identitas menggantung, Lintang membuka dengan kalimat yang sering ia simpan untuk dirinya: “Yang kuat itu bukan yang tidak pernah jatuh, melainkan yang selalu punya cara pulang.”

Ia bercerita tentang Pojok. Tentang sticky notes yang ditulis bocah. Tentang kartu pos untuk diri sendiri. Tentang napas yang lupa pulang. Aula hening dengan cara yang baik—hening yang tidak menghakimi, hening yang memberi ruang.

Selesai acara, seorang direktur mendekat. “Saya tidak tahu cara minta maaf pada diri sendiri,” katanya lirih. “Saya pikir saya hanya perlu kerja lebih keras.”

Lintang menatapnya seperti menatap kaca yang tidak memantulkan. “Coba jurnal tiga baris dulu,” katanya. “Tidak perlu heroik. Mulai malam ini.”


Hidup tidak berubah menjadi dongeng. Kota tetap menuntut. Ada target yang meleset, ada rapat yang berakhir basi, ada teman yang pergi terlalu jauh dan tidak kembali. Ada pagi-pagi ketika Lintang ingin mengurung diri, menutup semua notifikasi, memandangi tetes hujan yang turun tanpa alasan. Pada pagi-pagi itu, ia menyalakan lilin kecil di meja makan, menulis tiga baris: harapan, fakta, syukur.

Harapan: “Semoga hari ini aku menyelesaikan satu hal, bukan semuanya.”
Fakta: “Aku cemas menghadapi presentasi.”
Syukur: “Aku masih bisa merasakan hangatnya teh melati.”

Tidak spektakuler. Tetapi siapa bilang hidup yang tulus harus selalu spektakuler?

.

Suatu malam, kota kehilangan listrik. Gedung-gedung yang biasa terang mendadak menjadi siluet. Di Pojok, lampu padam. Para penghuni apartemen berdiri di koridor, saling memeriksa kabar. Ada yang kembali mengenal nama tetangganya. Ada yang tertawa gelagapan mencari lilin.

Lintang menyalakan senter kecil, menaruhnya di dalam gelas agar cahayanya memantul lembut. Orang-orang berkumpul. Mereka tidak bisa membaca, tetapi bisa mendengar.

“Cerita, Mbak,” pinta seorang ibu muda. “Yang pendek saja.”

Maka Lintang bercerita: tentang anak yang belajar mengeja “bukit” di taman, tentang ayah yang mengajarinya menghitung napas, tentang surat bertinta pudar yang selalu ia simpan. Ia tidak menyebut kata-kata besar malam itu. Ia menutup cerita dengan kalimat yang pelan:

“Yang membuat kita kuat adalah cara kita merawat yang lembut.”

Di kegelapan yang tidak lagi menakutkan, seseorang menepuk pelan bahu orang lain. Seseorang menahan tangis tanpa malu. Seseorang mengirim pesan pada seseorang: “Aku minta maaf telat pulang, tapi aku pulang.”

Ketika listrik kembali menyala, kota seperti mengedipkan mata. Pojok bersinar lagi. Lintang menatap papan tulis, menambahkan satu kalimat:

Jangan buru-buru menghapus duka. Kadang, ia perlu duduk sebentar agar kita paham di mana harus menaruh kursi.

.

Beberapa bulan kemudian, Pojok Jayengsari berpindah dari lobi apartemen ke sebuah ruko mungil perpaduan kaca dan kayu di pinggir jalan kompleks. Ia mendapat dukungan kecil dari program CSR—kontrak setahun untuk biaya listrik, sewa, dan dua rak baru. “Ini bukan proyek,” kata Lintang pada tim, “ini rumah singgah.” Ia menolak membuat akun media sosial khusus Pojok. “Biar kabarnya menyebar lewat mulut yang pelan,” ujarnya. “Biar yang datang memang mencari, bukan sekadar mampir karena tren.”

Di dinding, selain kalimat-kalimat yang sudah akrab, Lintang menempelkan satu kutipan barunya sendiri:

“Bukan semua senyum adalah topeng. Sebagian adalah jahitan. Dan jahitan adalah seni memulangkan luka tanpa membuatnya malu.”

Kota meminta resumenya. Seseorang dari media menulis profil singkat tentang Pojok, menyebutnya “oase”. Orang-orang datang dengan label: direktur, wiraswasta, pengacara, perancang busana, mahasiswa pascasarjana, ibu rumah tangga, satpam. Di Pojok, label-label itu tertinggal di pintu. Di dalam, yang ada adalah manusia yang belajar membisikkan namanya sendiri dengan baik.

Danis sesekali datang, duduk tanpa hak istimewa, menulis juga. Ia bercerita singkat bahwa hidupnya bergerak ke arah yang jujur. Ia tidak mengundang masa depan, tidak pula menagih masa lalu. Mereka berada pada tempat yang tepat: sekarang.

Pada suatu senja, menjelang Pojok tutup, seorang remaja meletakkan gitar kecil, menyanyi pelan. Orang-orang ikut tanpa menyanyi keras. Suaranya seperti selimut tipis yang membungkus lutut-lutut rapuh.

Lintang berdiri di ambang pintu. Di luar, kota menyalakan lagi lampu-lampu jalan. Di dalam, orang-orang mengembuskan napas yang sama.

Ia merasa lega bukan karena hidupnya selesai—tidak akan pernah selesai—melainkan karena ia tidak lagi sendirian menyulam. Ada benang-benang yang disumbangkan orang-orang: tawa kecil, permintaan maaf yang tulus, keheningan yang tidak menghakimi. Luka-luka mereka—yang dulu seperti kain robek—kini didudukkan di meja kayu, disulam pelan-pelan, tidak sempurna, namun cukup indah untuk membuat mereka bertahan.

Malam itu, sebelum menutup pintu, Lintang menulis satu kalimat terakhir di papan:

“Jika suatu hari kamu bertemu orang yang paling ceria di ruangan, peluklah ia dengan doa. Mungkin, diam-diam, ia sedang menyulam.”

Dan di bawahnya, ia menandatangani dengan nama yang sama yang dulu dipanggil anak-anak gang, rekan-rekan kerja di lantai tinggi, dan orang-orang Pojok yang kini pulang lebih ringan:

Lintang Jayengsari.

.

Catatan Penutup
“Orang yang paling banyak memberi, adalah mereka yang paling tahu rasanya kehilangan.” — Wijil Jayeng

“Jangan menunggu seratus orang memahami. Cukup satu orang yang mendengarkan tanpa menyela. Kadang-kadang, orang itu adalah kamu sendiri.”

“Kebaikan tidak harus berisik. Ia cukup konsisten.”

“Bahagia bukan pameran; ia perawatan harian.”

“Jika kau ingin kuat, jadwalkan rapuh.”

.

.

.

Jember, 14 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KehidupanUrban #KesehatanMental #SelfHealing #RuangBaca #KompasMingguVibes #Reflektif #EdukasiSolutif #JurnalTigaBaris #Napas46

Leave a Reply