Langkah Terakhir Sang Menak
“Kadang kau harus berhenti berlari agar bisa benar-benar sampai.”
“Yang genting bukanlah cepat sampai, melainkan tak salah arah.”
“Hidup adalah urusan merapikan hati lebih dulu, baru merapikan dunia.”
“Hidup ini seperti sebuah perjalanan jauh. Kadang kita harus menepi, menata ulang ransel, dan memilih kembali arah yang benar.” — Pitutur Jawa
.
Ketika Hujan Menjadi Simfoni Sunyi
Hujan jatuh di Yogya seperti lembar-lembar partitur yang disobek pelan. Dari atap rumah warisan yang mengelupas catnya, tetes-tetes itu memercik di lantai semen, membentuk kolam kecil yang memantulkan lampu neon pucat. Di bangku kayu yang sudah meriang usia, Menak Jati duduk dengan punggung sedikit bungkuk, jemari meremas pinggiran map krem berisi selembar kertas yang masih bau tinta: pengunduran diri.
Tak ada panggilan rapat dadakan. Tak ada notifikasi biru yang meledak-ledak minta keputusan instan. Tidak ada lagi suite yang menunggu inspeksi terakhir. Hanya suara hujan dan detak jantungnya sendiri, jarang-jarang tapi jujur.
“Kadang, keputusan terbaik bukanlah naik pangkat,” gumamnya, “melainkan berhenti agar tetap waras.”
Di dinding, foto-foto hidupnya berbaris seperti bingkai film: masa training di Kuta; promosi di Palembang; malam-malam banjir deadline di Surabaya; dan puncak tujuh tahun terakhir—General Manager hotel bintang lima di jantung kota Yogya, kota yang mengajarinya menaruh hormat pada yang senyap.
Di foto paling kanan, Sekar berdiri dengan kebaya sederhana. Senyumnya menyejukkan. Dua tahun lalu, di tikungan selepas hujan yang sama, sebuah mobil menabrak dari sisi yang tidak ia duga. Jati tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Sejak itu, hidupnya adalah mesin espresso yang tetap menyala: menghasilkan panas, uap, aroma prestasi, tetapi membuat ruang-ruang sunyi dalam dada menjadi semakin kering.
.
Jejak Nama, Jejak Duka
Namanya “Menak Jati”, pemberian ibunya—guru bahasa Jawa yang membesarkan anak tunggal dengan kisah-kisah Menak dari Madura yang diceritakan sebagai dongeng sebelum tidur. Tentang Jayengrana yang teguh, Umarmaya dan Umarmadi yang setia, Kelaswara yang sabar, Sabrang yang berani menyeberang batas, dan Potre Koneng yang membuat langit terasa lebih dekat. Ibunya percaya, nama adalah panah: melesat ke masa depan membawa doa.
Jati tumbuh menjadi profesional yang dirindukan target-target: occupancy, ADR, RevPAR—tiga serangkai yang membuat para pemilik tersenyum atau mengetuk meja. Ia dikenal tegas namun hangat, keras tapi empatik. Di meja rapat, suaranya jarang meninggi, namun keputusan-keputusannya seperti garis lurus yang menyejukkan peta. Semua orang memujinya—kecuali satu suara kecil dalam dirinya yang makin sering bertanya: “Untuk siapa ini semua?”
Sejak kehilangan Sekar, ia pandai menyamar. Di lobby, ia adalah parfum citra yang tak pernah habis. Di back office, ia metronom yang membuat orkestra berjalan rapi. Tetapi di kamar rumah tua ini, ia hanyalah laki-laki yang kerap takut pada malam.
.
Antara Target dan Kenyataan
“Jati, AC suite executive error. Tamu komplain.”
“Jati, banquet VIP minta upgrade menu. Chef bilang perlu biaya ekstra.”
“Jati, review bulan ini under target. Corporate minta action plan esok.”
Ia menjawab semuanya: terukur, profesional, seperti biasa. Namun setiap jawaban terasa seperti menambah satu batu lagi ke dalam ransel yang sudah terlalu penuh. Hingga suatu malam, mencari buku puisi yang kira-kira bisa menidurkan kantung matanya, ia malah menemukan brosur kusam di laci tua: “Kelas Pelatihan Hospitality untuk Remaja Desa – Pacitan.”
Brosur itu seperti peta yang pernah dilipat lalu diabaikan. Di sana, bertahun lalu, ia sempat berjanji pada dirinya sendiri: kelak akan membuka kelas kecil, mengajari anak-anak kampung cara menyapa dengan mata jernih, cara merapikan meja dengan cinta, cara mengingat nama tamu seperti mengingat judul-judul lagu yang disukai ibu.
“Untuk siapa aku berlari selama ini?” Jati berbisik. “Untuk siapa semua penghargaan ini dideretkan di rak?”
.
Mundur untuk Melangkah ke Arah yang Baru
Keesokan paginya, ia datang lebih awal dari satpam pertama. Mengantar sebuah amplop putih ke meja pemilik—orang baik yang juga terikat angka-angka.
“Ini terlalu mendadak, Jati. Kami siapkan promosi ke corporate director. Tahun ini—”
“Terima kasih. Tapi aku tak ingin lagi jadi tokoh utama dalam cerita orang lain.”
Ia pulang ke rumah tua di Yogya untuk pamit pada kenangan. Sore itu juga, Jati melaju ke Pacitan, menyusuri jalanan memanjang seperti kesabaran. Tidak ada karpet merah. Hanya bau garam dari Teleng Ria, bunyi panci dari warung ikan bakar, dan salam-salam yang tidak mewangi kolonia tapi terasa sampai dada.
Di depan sekolah TK tempat cat dindingnya pudar, ia bertemu Mentari—teman kecilnya. Kini seorang guru yang matanya bening, suaranya seperti pagi.
“Jati? Serius kamu pulang?”
“Aku ingin berhenti berlari, Ri. Mungkin waktunya belajar berjalan lagi.”
Dari obrolan yang tidak buru-buru itu, lahirlah gagasan yang tidak gaduh: membuka kelas pelatihan hospitality di balai desa, untuk anak-anak yang barangkali terbiasa mengalah pada nasib.
.
Kelas Sederhana, Cita-Cita Mulia
Mereka menyewa bangunan tua milik lurah, meminjam tikar mushola, membuat papan tulis dari bekas triplek yang diamplas mentah-mentah. Di hari pertama hanya ada enam peserta: Aksa, Kinasih, Umarmaya, Umarmadi, Retna Kelaswara, dan Sabrang. Nama-nama yang seperti doa lama, tetapi suara mereka gugup dan pendek.
Jati tidak berceramah. Ia memulai dari yang paling sepele: cara menatap mata.
“Layanan yang paling memikat dimulai dari mata. Bukan dari kalimat,” katanya.
Lalu cara mengingat nama—mereka berlatih menyebut satu sama lain sampai tawa pecah. Cara menyusun peralatan makan—bukan sekadar kiri-kanan, tetapi rapi seperti cara merapikan pikiran. Cara merapikan tempat tidur—bukan sekadar menarik selimut, tetapi memastikan mimpi orang lain tidak terantuk sudut-sudut yang tajam.
Mentari mengajar etika dan komunikasi. Ia mengubah “permisi” menjadi jembatan, dan “terima kasih” menjadi lampu jalan. Jati mengajar SOP kamar, banquet flow, front office simulation, compliant handling, sampai upselling yang tidak memaksa.
“Luwih becik ngladeni soko ati tinimbang mung ndeleng soko tampilan,” ulang Jati saban pagi. Melayanilah dari hati sebelum menilai dari tampilan.
Minggu kedua, peserta bertambah tiga. Lalu dua minggu kemudian jadi dua belas. Di bawah kipas angin yang bersuara serak, anak-anak itu mulai percaya diri. Umarmaya yang dulu menunduk, kini tersenyum menatap lurus. Sabrang yang terbiasa bicara dengan nada keras, kini mencoba mencondongkan tubuh saat mendengar. Retna Kelaswara, yang orang tuanya pedagang sayur, mendadak jadi ahli grooming untuk teman-temannya.
.
Senja, Laut, dan Arah
Sore di Teleng Ria bagaikan habis disikat sinar oranye. Ombak memijat telapak kaki Jati dan Mentari. Mereka duduk tanpa terlalu ingin menjelaskan apa-apa.
“Jati, kamu tidak menyesal meninggalkan semua itu?”
“Dulu aku pikir sukses adalah suite paling mahal, grafik revenue naik, dan jabatan di kartu nama. Sekarang aku tahu, sukses itu tidur nyenyak tanpa merasa berkhianat pada diri sendiri, lalu bangun pagi dengan semangat memberi.”
“Kalau begitu, selamat datang pulang,” ujar Mentari. “Ke tempat di mana orang menjemur hati bersama baju.”
Angin membawa bau garam, juga kenangan pada Sekar. Rasa rindu itu tidak lagi tajam; ia sudah dipelihara menjadi tanaman yang tumbuh pelan, berbunga pada waktunya.
.
Air Mata yang Tidak Dipamerkan
Tiga bulan berlalu. Kabar datang dari Jakarta: Gendis—yang awalnya ikut kelas sekadar ingin merapikan caranya tersenyum—diterima kerja sebagai guest relation di hotel bintang empat. Ia kembali ke Pacitan hanya untuk pamit.
“Aku pikir aku cuma anak yang dititipi sawah. Ternyata aku bisa dipercaya menyambut dunia,” katanya, gemetar.
Jati menahan air mata seperti menahan hujan agar tidak deras-deras amat. Ia memotret mereka berpelukan. Gendis berangkat dengan koper kecil, harapan yang lebih besar, dan selembar kertas laminating bertuliskan “Jangan lupa menyapa namamu sendiri setiap pagi.”
Kabar baik mengundang kabar berat. Ayah Mentari mendadak sakit. Rumah sakit daerah menggeleng pelan. Mereka harus ke Solo. Biaya tidak kecil. Jati menjual mobilnya tanpa drama.
“Kita bisa naik bus, bisa pinjam motor, tapi jangan meminjam harga diri,” katanya.
Mentari menangis diam-diam. Ada cinta yang tidak memerlukan kata “pacaran” untuk tetap merawat makan siang dan menjaga malam.
.
Kota yang Selalu Bergerak
Yogya tidak hilang dari hidup Jati. Ia masih sering diundang sebagai konsultan bayangan. Sekali-sekali ia kembali ke lobby yang mengilap itu—kali ini dengan baju yang tidak disponsori label. Ia mengisi training setengah hari untuk tim front office: tentang seni menghafal nama, tentang service recovery yang tidak defensif, tentang kalimat sederhana yang menyelamatkan situasi:
“Terima kasih sudah percaya cerita ini kepada kami. Boleh saya perbaiki mulai dari sini?”
Di lain kesempatan, ia terbang ke Jakarta atas undangan sebuah jaringan hotel. Ia naik economy, tidur singkat di kamar temannya, muncul jam delapan pagi sebagai pembicara. Di ruang konferensi dingin, ia bicara pelan.
“Layanan adalah tentang memperpendek jarak. Antara meja dan tamu, antara tamu dan kota, antara kota dan hati. Angka-angka menolong kita mengukur. Tetapi yang menjaga dari kehancuran adalah sikap.”
Ia pulang membawa honor yang lumayan—sebagian untuk membayar biaya rumah sakit ayah Mentari, sebagian lain untuk membeli kain blackout agar kelas kecil mereka tidak lagi silau jika siang terlalu terang.
.
Anak Panah dan Sasarannya
Setahun enam bulan. Alumni mereka tersebar: di Ubud, di Malioboro, di Batam, bahkan seorang—Aksa—mendapat offer sebagai bellman di Dubai. Ia mengirim video pendek: Aksa mengantar koper seorang nenek berdarah Filipina, berjalan pelan, membukakan pintu taksi, menunggu sampai taksi lenyap di kelokan, lalu membungkuk penuh terima kasih, seorang Asia kecil di negara yang tidak terlalu kenal kata “sungkan.”
“Bangga sekali, Mas,” tulis Aksa. “Aku kirim sedikit rejeki untuk beli standing fan di kelas.”
Dinas Pariwisata kabupaten datang mengecek. Tidak ada baliho, tidak ada flyer berbayar. Jati hanya menempelkan jadwal di papan softboard yang dibawa dari sisa gudang hotel dulu, menulis dengan marker hitam yang hampir habis. Mereka menyaksikan simulasi sambutan tamu. Sabrang, yang dulu bicaranya suka menabrak, kini membuka telapak tangan seperti menyodorkan kursi:
“Selamat datang. Nama saya Sabrang. Apa panggilan yang Anda sukai?”
Pejabat itu mengangguk, menulis sesuatu di buku catatan, lalu menatap Jati:
“Pak—eh, maaf—Jati. Kami ingin program ini jadi pilot project. Public private partnership. Mau?”
“Kami mau, selama ruhnya tetap: melayani dari hati.”
“Kami tulis itu di MoU,” jawab mereka sambil tertawa.
.
Kembali ke Kota: Menghadap Cermin
Yogya suatu pagi menyuguhkan aroma kopi dan roti mentega. Jati diundang menjadi pembicara kunci di forum nasional—hotel-hotel, restoran, travel tech, pemilik modal, para pemikir. Gedung pertemuan itu dingin, karpetnya tebal, mikrofon memantulkan nada emas. Jati berdiri tidak terlalu tegap, tapi kalimatnya rapi seperti meja yang baru selesai dibersihkan.
“Banyak orang mengejar revenue. Wajib. Itu darah perusahaan. Tetapi pelayanan tak hanya soal angka—ia soal hati. Ketika hati dikerjakan dengan benar, angka akan mencari kita. Yang kita butuhkan bukan hanya manajer yang andal, tetapi manusia yang menyala.”
Hening dua detik, lalu tepuk tangan. Di sisi kiri ruangan, Mentari berdiri. Matanya basah, senyumnya rapi. Jati mengangguk. Ada kalimat yang tidak perlu diucapkan di hadapan ratusan orang.
Selesai acara, seorang pemilik hotel kelas menengah-atas menghampiri.
“Jati, aku ingin layanan yang tidak pretentious, tapi menggerakkan. Kamu mau merancang service blueprint untuk kota kami?”
“Aku mau, selama anak-anak dari kelas kami boleh magang.”
“Deal.”
Mereka berjabat tangan seperti dua orang yang lebih dulu bersepakat pada cara memandang manusia.
.
Luka yang Diberi Nama
Malam turun seperti selimut tipis. Di balai desa, lampu neon bergema putih. Jati duduk sendiri, memeriksa berkas pendaftaran batch kelima. Di atas meja, ada baju seragam baru: kemeja putih yang dijahit ringan oleh penjahit kampung. Di dinding, terpajang jam bundar yang suka telat lima menit.
Sekar hadir lagi malam itu, bukan sebagai hantu, melainkan sebagai nama yang dipelihara.
“Aku rindu,” katanya pada udara. “Tapi aku belajar, rindu bisa tumbuh tanpa menyakiti.”
Ia menulis di halaman belakang modul:
“Pelayanan terbaik lahir dari orang yang telah menamai lukanya. Yang tidak lagi menuntut tamu menyembuhkan sesuatu dalam dirinya. Yang merawat, bukan mengutang.”
Di luar, motor melintas. Di dalam, Jati menutup mata. Ada pedih yang ditaruh di tempatnya. Ada lega yang tidak mengarang alasan.
.
Jakarta, Surabaya, dan Pelajaran Jalan Raya
Undangan datang bertubi. Jati menolak banyak, menerima sebagian. Ia memilih kota-kota yang bersedia mengizinkan anak-anak magang. Jakarta dengan kaca-kaca tinggi yang memantulkan matahari. Surabaya dengan mulutnya yang jujur. Bandung dengan rindu kreativitas. Denpasar dengan para dewata harian yang sudah ahli menghadapi jam padat.
Di Surabaya, ia bertemu seorang manajer muda bernama Koneng—panggilan dari Potre Koneng, nama yang diberikan neneknya karena kulitnya langsat cerah.
“Kami sering salah paham, Mas,” kata Koneng pada sesi coaching. “Tamu minta maaf karena marah, kami minta maaf karena menjelaskan. Selesai, tapi tidak selesai.”
“Coba begini,” Jati tersenyum. “Bilang: ‘Terima kasih, bu/mas/mbak sudah percaya cerita ini kepada kami. Kami mau memperbaiki mulai dari sini. Apa satu hal yang paling penting bagi Anda saat ini?’ Lalu dengar, jangan buru-buru.”
Koneng mempraktikkan kalimat itu pada tamu yang overstay karena penerbangan batal. Tamu itu menangis pelan. Tidak semua marah adalah amarah; sebagian adalah radar yang menemukan tempatnya.
.
Tumbuh Pelan-Pelan, Tidak Diiklan
Kini kelas kecil mereka sudah punya nama yang lucu dan menghangatkan: Menak Service House. Tidak ada kata “institut”, tidak ada “academy.” Cukup “house” karena rumah tidak membuat orang merasa diperiksa. Di pintu, papan kayu ditulis tangan: “Belajar Menjadi Pelayan yang Utuh.”
Mereka menanam pohon ketapang di halaman. Pada graduation day, para alumni berdiri berbaris dengan seragam putih, celana kain hitam, sepatu yang mengilap seadanya. Mentari membacakan nama-nama. Orang tua duduk di kursi plastik, menahan tangis rindu dan bangga yang tidak terbiasa diumbar.
Jati tidak memberikan pidato panjang. Ia hanya berkata:
“Tidak setiap orang terlahir untuk memimpin. Tapi setiap orang bisa belajar melayani. Dan dunia yang rapi adalah dunia di mana pelayanannya berkelas, karena manusianya berkelas.”
Di pojok, Aksa menayangkan video dari Dubai melalui proyektor bekas. Semua tertawa saat melihatnya salah menyebut “sir” menjadi “sure.” Kebahagiaan memang lebih mudah tumbuh di kebersamaan yang tidak mengoreksi setiap detik.
.
Kota, Kelas Menengah-Atas, dan Bahasa Baru
Cerita tentang Menak Service House pelan-pelan menyusup ke kota. Para HR manager dari hotel bintang lima mengundang mereka untuk pelatihan bahasa tubuh, dikombinasikan dengan micro-etiquette untuk tamu kelas menengah-atas:
— Bagaimana menyapa pebisnis yang sibuk tanpa menambah beban waktunya.
— Bagaimana mengantar keluarga yang membawa bayi tanpa membuat mereka merasa merepotkan.
— Bagaimana melayani pasangan lansia yang ingin lambat-lambat menikmati sarapan, tanpa membuat turnover meja kacau.
Jati memperkenalkan satu istilah sederhana yang jadi highlight di banyak presentasi: “Persembahan Hening.”
“Ini layanan yang tidak mengumumkan diri. Seperti menambahkan sendok kecil untuk anak tanpa diminta, membuka door stopper agar kursi roda mudah lewat, menyisihkan meja dekat jendela untuk mereka yang butuh cahaya. Tidak ada ‘biar kami saja’ yang keras. Hanya hening yang tahu tempatnya.”
Para pemilik menyukai istilah itu. Mereka menulisnya di SOP, sebagian mengutipnya di LinkedIn, sebagian menempel di staff entrance. Namun Jati mengingatkan:
“Jangan menghafal istilahnya. Hafalkan rasanya.”
.
Surat dari Ibu
Suatu subuh, hujan tidak turun. Pagi memasuki halaman seperti tamu yang tahu cara memegang gagang pintu. Jati membuka laci di kamar ibunya—pernah ia abaikan bertahun-tahun. Di sana, sepucuk surat kuning. Tulisan tangan ibunya yang miring halus.
Jati, anakku panah yang kusayang,
Ingatkah dongeng-dongeng Menak yang dulu Ibu ceritakan? Bukan karena Ibu ingin kau jadi raja, tapi karena Ibu ingin kau menjadi orang yang mengusahakan damai. Jayengrana itu bukan jabatan; ia cara menepati janji. Umarmaya dan Umarmadi itu bukan nama; mereka cara menjaga setia. Kelaswara itu bukan perempuan; ia sikap sabar yang membuat pintu selalu bisa diketuk.
Jika kelak kau bingung memilih jalan, pilihlah jalan yang membuat orang di sekitar merasa lebih manusia.
— Ibu
Air mata Jati menetes tanpa suara. Ia duduk lama, lalu menyalin satu kalimat di sisi buku modul: “Pilih jalan yang membuat orang lain merasa lebih manusia.”
.
Pernikahan yang Tidak Tergesa
Ayah Mentari sembuh pelan-pelan. Pipa infus diganti senda gurau. Rumah mereka kembali penuh suara panci dan doa. Jati, yang semula hanya teman lama yang kebetulan pulang, kini menjadi seseorang yang sering lupa pulang.
“Jadi, kapan kamu minta restu?” tanya ayah Mentari sambil menepuk punggungnya.
“Kalau restu sudah doyan datang, kami tinggal menyiapkan minumannya,” jawab Jati, malu-malu.
Pernikahan mereka kecil. Di halaman Menak Service House. Kursi plastik putih berbaris. Kain jarik ibu-ibu mengepak seperti sayap burung kecil. Gamelan mengalun lewat speaker butut. Tidak ada wedding organizer, tetapi ada murid-murid yang mencatat timeline dengan serius: jam berapa menyuguhkan air mineral, jam berapa menggeser kipas agar tidak mengibaskan rambut tamu, jam berapa memastikan kakek-nenek duduk di bagian teduh.
Jati memandang Mentari. Senyum perempuan itu seperti jeda yang membuat musik bisa terdengar. Di sudut mata Jati, Sekar hadir sebentar—bukan sebagai bayang-bayang, melainkan sebagai cahaya yang memberi tempat. Cinta baru bukan penghapus; ia pengalih rindu ke arah yang tidak melukai.
.
Yang Tertinggal di Kota
Suatu siang, pesan WhatsApp dari mantan pemilik hotel muncul:
“Jati, kami kehilangan sesuatu sejak kamu pergi. Bukan skill, tetapi keheningan yang rapi. Bisakah kamu membuat curriculum untuk menanamkan itu lagi?”
Jati menatap Mentari. Mereka saling mengangguk.
“Kami bisa, asal program magang untuk anak-anak tetap jalan,” balasnya.
Malam itu, di depan papan tulis, mereka menulis judul besar: “Kurikulum Persembahan Hening.”
— Modul 1: Menata Mata.
— Modul 2: Mendengar Ulang.
— Modul 3: Merapikan Kalimat.
— Modul 4: Mengingat Nama.
— Modul 5: Menandai Luka, Agar Tidak Mencari Obat pada Tamu.
— Modul 6: Mengukur Tanpa Menggurui: angka, skala, dan rasa.
Kurikulum itu berjalan seperti air menetes dari bambu—tidak tergesa, tapi konsisten. Beberapa bulan kemudian, indeks kepuasan tamu di beberapa properti naik tanpa promosi agresif. Para owner mengira ini trik. Jati tersenyum:
“Bukan trik. Ini tata krama yang diingatkan ulang.”
.
Langkah Terakhir
Malam merunduk. Langit menipis. Lampu kelas sudah dimatikan. Di meja, formulir pendaftaran batch keenam mengantuk di tepi. Jati menatap halaman kosong yang disapu angin. Di kejauhan, suara motor anak-anak magang terdengar seperti kabar baik.
Ia menghela napas panjang, seraya menuliskan satu kalimat di catatan harian:
“Dulu aku berlari ke banyak kota untuk mencari makna. Ternyata ia pulang sendiri, duduk di kusen, menunggu aku belajar berjalan.”
Ia menutup buku, memeluk udara, dan seperti mendengar Sekar tertawa tipis.
“Teruslah melayani, Jati,” suara itu seperti sayap.
“Aku terus,” jawabnya dalam hati. “Dengan cara yang tidak lagi menyakiti.”
Di luar, ketapang menggesek-gesekkan daun. Di dalam, seorang lelaki yang pernah jadi headline korporat mematikan lampu, menutup pintu, dan menjejak langkah terakhirnya—bukan untuk berhenti, tetapi untuk memulai cara berjalan yang lain.
.
.
.
Jember, 12 Juli 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #UrbanHospitality #PelayananDariHati #ResignElegan #PersembahanHening #MenakMadura #LeadershipEmpatik #ServiceExcellence #CeritaMengharubiru #Indonesia
.
Kutipan-Kutipan Kunci untuk pembaca yang menandai
-
“Pelayanan terbaik lahir dari orang yang telah menamai lukanya.”
-
“Persembahan hening: kebaikan yang sengaja tidak diumumkan.”
-
“Sukses adalah tidur tanpa berkhianat pada diri, bangun dengan semangat memberi.”
-
“Pilih jalan yang membuat orang lain merasa lebih manusia.”
-
“Bukan lagi soal jabatan di kartu nama, melainkan nama yang tersenyum di kartu hati.”