Cakil dan Cangik: Dalam Dunia Bertopeng
“Kemarin ada yang menguatkanku. Esok ada harapanku. Hari ini, aku malu karena aku apa adanya di antara dunia yang semua tampil bertopeng.”
.
Di Balik Gemerlap Kota yang Penuh Citra
Kota itu hidup dari cahaya lampu dan suara bising mesin. Di setiap sudutnya, orang-orang tampak bergegas, mengejar sesuatu yang bahkan mereka sendiri tak tahu apa. Jalan-jalan dipenuhi wajah-wajah yang lelah tapi tersenyum di depan kamera. Di balik semua gemerlap itu, kejujuran jadi barang langka—terlalu polos untuk dunia yang gemar berdandan.
Di salah satu komplek hunian menengah di Yogyakarta bagian utara, tinggal Cangik, perempuan paruh baya dengan rambut keperakan dan mata tajam yang selalu mencari makna di balik basa-basi. Dulu, ia guru Bahasa Indonesia di sekolah swasta terkenal. Tapi ia berhenti—atau lebih tepatnya dipaksa berhenti—karena menolak menandatangani laporan nilai fiktif untuk anak pejabat yayasan.
Kini, ia hidup sendiri. Rumah dua lantainya sederhana, tapi dipenuhi buku, kain batik tua, dan catatan-catatan kecil yang disusunnya seperti mozaik kehidupan. Di dinding ruang tamunya, tergantung sebuah kalimat yang ia tulis sendiri dengan tinta hitam:
“Kebenaran tidak harus indah untuk layak diperjuangkan.”
Di seberang gang kecil, di apartemen murahan yang berderet di belakang kafe kopi modern, tinggal Cakil, pemuda dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tinggi besar, rambutnya gondrong sedikit kusut, dan matanya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Ia mantan mahasiswa seni rupa yang di-DO karena menolak ikut proyek mural “kampus berprestasi.” Kini ia hidup dari pekerjaan serabutan: desain grafis, ojek daring, dan menulis puisi di media sosial yang nyaris tak ada pembacanya.
Mereka berdua tak pernah bicara. Tapi tanpa sadar, mereka saling tahu: sama-sama orang yang menolak topeng di tengah dunia yang menjadikannya aturan.
.
Dunia yang Menilai dari Penampilan
Setiap pagi, Cangik duduk di balkon sambil menatap jalan. Orang-orang lewat dengan pakaian rapi, membawa laptop dan secangkir kopi instan. Ia mengamati mereka dengan tenang, seolah sedang menonton lakon wayang tanpa dalang.
Suatu pagi, tetangganya menyapa dari pagar:
“Bu Cangik, kok sendirian terus? Ayo ikut arisan RT, biar gak dibilang anti-sosial.”
Cangik tersenyum samar. “Saya sudah pernah ikut arisan hidup, Bu. Ujung-ujungnya yang dapat cuma rasa kecewa.”
Tetangganya terkekeh kikuk, lalu pergi.
Cangik tahu, dunia tak suka kejujuran yang terlalu telanjang.
Sementara itu, di seberang jalan, Cakil menatap layar laptopnya. Klien korporat meminta revisi desain dengan catatan: “Tolong lebih cerah, lebih positif, lebih menjual semangat hidup.”
Padahal, konsep awalnya tentang realita anak muda yang tertekan target sosial. Tapi ia tahu, kejujuran tak akan laku di dunia yang suka kemasan.
Ia menulis di Instagram:
“Dunia menilai dari warna pakaianmu, bukan isi kepalamu. Tapi aku akan tetap melukis kejujuran, meski itu warna yang tak disukai.”
Unggahan itu disukai 19 orang.
Baginya, cukup. Ia tak butuh banyak, hanya yang sungguh.
.
Lomba yang Menguji Hati
Bulan itu, pengurus RT mengumumkan lomba “Kampung Bersih dan Kreatif.” Semua warga mendadak sibuk: mengecat pagar, menanam bunga plastik, menempel poster motivasi. Slogan berbunyi “Cintai Kebersihan, Wujudkan Harmoni” menempel di setiap tiang, padahal got di belakang rumah masih bau busuk.
Cangik menatap pemandangan itu dari jendela sambil menggeleng.
Ketua RT lewat, membawa kamera.
“Bu, tolong halaman rumahnya ditata, nanti dinilai juri provinsi,” katanya ramah.
“Kalau cuma bersih seminggu, nanti juri dapat piala, kita dapat capek,” jawab Cangik ringan.
Ketua RT tertawa hambar, lalu pergi.
Sementara itu, Cakil diminta memotret kegiatan lomba. Ia menolak, tapi akhirnya menyerah. Ia tahu, lebih aman diam.
Sore itu, ia merekam anak-anak menanam bunga plastik sambil diatur gaya senyumnya oleh istri RW.
Di malam hari, ia menulis di media sosial:
“Negeri ini suka panggung. Semua jadi aktor, lupa siapa penontonnya.”
Unggahan itu viral di lingkup lokal. Tapi keesokan harinya, wajahnya terpampang di grup WhatsApp warga dengan komentar pedas: “Anak itu nggak sopan, nggak punya rasa hormat.”
.
Ketika Listrik Padam dan Hati Terang
Malam itu, hujan turun deras. Petir menyambar tiang listrik dan seisi komplek gelap gulita. Orang-orang panik. Tapi di tengah gelap, dari balkon rumah tuanya, Cangik menyalakan lilin. Di seberang jalan, Cakil duduk di tangga kontrakan sambil menatap langit.
Cangik menatapnya dari kejauhan. “Masih kuat hidup di antara orang-orang yang pura-pura?” teriaknya setengah bercanda.
Cakil menoleh. “Kadang pura-pura bahagia itu lebih aman, Bu.”
Cangik tersenyum. “Tapi bahagia yang pura-pura itu cepat basi.”
Ia lalu mengundang Cakil berteduh di rumahnya. Mereka duduk di ruang tamu, menyeruput teh panas sambil mendengarkan suara hujan.
Malam itu, dua manusia yang tak dikenal saling membuka diri.
“Aku dulu percaya, kalau kita jujur, dunia akan berubah,” kata Cakil.
“Dunia memang berubah,” jawab Cangik. “Tapi sering ke arah yang kita tak mau.”
Hening. Hanya hujan yang berbicara.
Dan di antara suara itu, lahir rasa saling mengerti—rasa yang langka di zaman serba cepat.
.
Lakon Tanpa Topeng
Beberapa minggu kemudian, RW setempat mengadakan acara “Malam Seni dan Budaya.” Ada lomba nyanyi, tari, dan drama bertema “Pemuda Inspiratif.” Tapi pemerannya justru anak pejabat RW yang terkenal malas.
Cangik menatap panggung itu dan berkata lirih, “Mereka tidak sadar sedang memainkan lakon hidup mereka sendiri.”
Cakil menatap lampu panggung yang menyilaukan. “Semua orang ingin tampak baik, Bu. Padahal jadi baik itu gak butuh kamera.”
Cangik tersenyum. “Kau mirip tokoh wayang: Cakil. Lantang, tapi disalahpahami.”
Cakil tertawa getir. “Kalau begitu, Ibu Cangik: cerewet tapi tulus.”
Malam itu mereka menulis naskah pendek untuk ditampilkan di acara berikutnya—tanpa musik, tanpa lampu sorot, hanya kata dan keberanian.
.
Malam Pertunjukan
Hari itu tiba. Di antara panggung gemerlap dan musik keras, Cangik dan Cakil naik ke atas panggung kecil di pojok taman.
Cangik membuka dengan suara serak tapi tegas:
“Saya dulu guru. Saya mengajar anak-anak agar berani jujur. Tapi saya dipecat karena menolak berbohong.”
Penonton mulai diam.
Cakil menyambung:
“Saya pernah berteriak di kampus, membela buruh. Tapi saya justru dikeluarkan. Hari ini saya tidak marah. Saya hanya ingin kalian tahu, kebenaran kadang kalah karena tak punya sponsor.”
Sunyi panjang.
Beberapa ibu-ibu menunduk, anak-anak berhenti berlari.
Tak ada tepuk tangan, tapi ada getaran yang lain—yang masuk lewat dada, bukan telinga.
Malam itu, dua tokoh yang selama ini dianggap cerewet dan liar, justru jadi cermin bagi semua.
.
Setelah Lampu Padam
Setelah acara itu, Cangik makin sering sakit. Ia menolak ke rumah sakit. “Aku ingin tetap di rumah. Hidupku sudah cukup jadi pasien dunia,” katanya pada Cakil.
Cakil datang setiap sore. Mereka tak lagi banyak bicara. Kadang hanya duduk dalam diam, seperti dua orang yang tahu waktu sedang menulis akhir ceritanya sendiri.
Suatu sore, Cangik berkata pelan, “Kalau aku pergi nanti, teruskan. Biar dunia tahu, ada Cangik dan Cakil yang pernah menolak pura-pura.”
Cakil menunduk, menggenggam tangan tuanya. “Aku janji, Bu.”
Malam itu, hujan turun lagi. Dan di tengah suara derasnya, napas terakhir Cangik berpulang, tenang—tanpa topeng, tanpa penyesalan.
.
Ruang yang Dihidupkan Kembali
Beberapa bulan berlalu. Dunia tetap sibuk seperti biasa. Grup warga kembali ramai dengan gosip dan foto liburan. Tapi di basement apartemen, Cakil membuka ruang kecil dengan papan kayu bertuliskan “Ruang Cangik”.
Setiap Sabtu sore, anak-anak muda datang: menulis, membaca puisi, berdiskusi. Tak ada panggung, tak ada juri. Hanya suara jujur yang apa adanya.
Di dinding ruang itu, Cakil melukis wajah Cangik dengan mata lembut dan bibir tersenyum samar.
Di bawahnya tertulis:
“Jangan malu jadi dirimu sendiri. Dunia memang memuja topeng, tapi hati manusia tetap butuh kejujuran untuk bisa pulang.”
.
Lakon yang Tak Pernah Usai
Cakil kini tak lagi bekerja untuk perusahaan besar. Ia mengajar desain di sanggar kecil. Murid-muridnya memanggilnya “Mas Cakil,” dengan bangga. Ia mengajarkan bukan hanya teknik warna, tapi juga keberanian untuk tidak meniru.
“Warna paling berani,” katanya suatu hari, “adalah warna kejujuran.”
Setiap kali ia memandang mural wajah Cangik di dinding ruang komunitas, ia tahu: perempuan itu masih hidup—dalam setiap keberanian kecil untuk tidak ikut-ikutan, dalam setiap orang yang menolak memalsukan diri demi diterima.
Karena sesungguhnya, Cangik dan Cakil bukan dua tokoh wayang.
Mereka adalah kita:
Yang berani jujur meski dianggap aneh,
Yang menolak berbohong meski kalah,
Yang memilih menjadi manusia, bukan aktor di panggung sosial media.
.
Dunia Bertopeng dan Hati yang Telanjang
Kota kembali riuh. Billboard baru menampilkan senyum selebritas, politikus, dan pengusaha dengan slogan: “Percayalah pada masa depan yang bersinar.”
Cakil berjalan di trotoar, menatap iklan itu. Ia tahu, masa depan yang benar-benar bersinar bukan yang dibuat lampu, tapi nurani. Ia menulis di dinding bawah jembatan:
“Kita hidup di zaman di mana topeng dihargai lebih mahal daripada wajah sendiri. Tapi jangan lupa, saat kau mati nanti, yang dibawa ke liang lahat bukan pencitraan, tapi kebenaran.”
Malam turun. Kota kembali tenang.
Dan di antara suara motor, tawa, dan notifikasi ponsel, ada satu bisikan lembut dari masa lalu:
“Beranilah jadi dirimu. Dunia boleh bertopeng, tapi hatimu jangan.”
.
.
.
Jember, 11 Juli 2025
.
.
#CangikCakil #CerpenKompasMinggu #SastraUrban #DuniaBertopeng #NamakuBrandku #RefleksiHidup #Kejujuran