Seperti Hujan yang Jatuh Tanpa Permisi
“Cukup sekali menjelaskan sesuatu. Jika tidak didengarkan dan jika tidak dipahami, maka itu bukan urusan kita lagi. Hargai dirimu sendiri dan hindari perdebatan.”
“Tentang kamu tak pernah usai, seperti hujan yang jatuh tanpa permisi.”
.
Di kota yang nyaris tak pernah benar-benar kering dari hujan, Dewi Murtasimah duduk di balik kaca kafe favoritnya. Tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi, matanya menatap keluar, ke jalan basah, ke langit kelabu, ke kenangan yang tak kunjung reda—tentang Wong Agung Jayengrana.
Dan tentang Umarmaya yang kini duduk di seberangnya, diam seperti petir yang tak jadi menyambar.
Lampu-lampu kendaraan memantul pada aspal, bergoyang seperti sisik ikan. Jalan Dago sore itu seperti peta kecil yang ditekuk, penuh simpang dan kejutan, persis hatinya yang pernah berbelok ke arah yang salah lalu berusaha menghafal jalan pulang.
“Kalau kamu mau pulang, kita pulang,” kata Umarmaya sambil mengusap embun di gelasnya. Suaranya pelan, tidak memburu-buru, tidak pula menahan.
Murtasimah menggeleng. “Biar saja. Hujan hari ini cuma mengingatkan, bukan menenggelamkan.”
Ia belajar mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu, bukan untuk gagah, melainkan sebagai tatal yang ia ambil sendiri setelah kapal dalam dadanya retak—diperbaiki tidak dengan paku besar, melainkan serbuk-serbuk kecil keberanian.
.
Murtasimah dan Hujan yang Tak Pernah Pergi
Dewi Murtasimah mencintai hujan. Atau lebih tepatnya, ia terbiasa hidup bersama hujan. Lahir dan besar di Bandung, hujan adalah bagian dari denyut nadinya. Aroma tanah basah adalah bahasa ibu kedua yang terucap tanpa huruf. Ia hafal suara air yang memukul kanopi ruko, nyanyian serangga setelah reda, dan cara orang-orang menyelipkan payung kecil di tas kerja mereka.
Sama seperti Wong Agung Jayengrana, lelaki pertama yang membuatnya percaya bahwa cinta bisa sederhana. Mereka bertemu di sebuah seminar kewirausahaan—Jayengrana sebagai pembicara muda yang sedang naik daun, Murtasimah sebagai peserta yang datang dengan CV tebal dan mimpi yang lebih tebal. Di panggung, Jayengrana bercerita tentang membangun jaringan logistik dingin untuk UMKM kuliner, tentang keberanian pivot saat pasar berubah, tentang data, resiliensi, dan intuisinya akan cuaca—baik cuaca langit maupun cuaca ekonomi.
Di luar panggung, ia mengulurkan tangan dan menatap mata Murtasimah seolah tak ada orang lain di ruang seratus kursi itu.
“Kamu tahu, Mah, cinta itu kayak hujan. Nggak usah dikejar, dia datang sendiri pas waktunya,” kata Jayengrana dulu, sambil tertawa kecil—enteng, meyakinkan, memikat.
Tapi Jayengrana lupa melanjutkan kalimat itu: dan pergi seenaknya juga.
.
Tentang Penjelasan yang Tidak Perlu Diulang
Murtasimah bukan tipe perempuan yang suka drama. Sekali bilang ya, ya. Sekali bilang tidak, tidak. Di kantor konsultan brand tempatnya bekerja, ia terkenal rapi menyusun brief, jernih mempresentasikan insight, dan tajam memotong kalimat yang tak perlu. Klien menyukainya karena ia memadukan angka dan rasa, menyandingkan survei pelanggan dengan cerita kasir yang kerap lupa tersenyum saat jam padat.
Namun, pada Jayengrana, ia pernah mengecualikan semuanya. Berkali-kali ia menjelaskan perasaannya. Berkali-kali ia meminta kejelasan. Mereka sering bertemu di Jakarta—di SCBD, di Pasar Santa, di perpustakaan modern dengan lampu-lampu kuning. Ia menyusun alasan seperti deck presentasi: hipotesis, bukti, rekomendasi. Tapi jawaban Jayengrana selalu seperti kabut.
“Aku lagi bingung, Mah. Bukan kamu masalahnya, aku aja yang belum selesai dengan diriku,” kata Jayengrana di suatu malam di bawah jembatan penyeberangan Sudirman, ketika citylight menempel di pipi orang-orang seperti sticker diskon.
Kebingungan itu panjang, memelintir hari, mengubah pesan “pagi” menjadi “nanti kita bicara ya”. Mengganti janji makan malam dengan “maaf ada rapat dadakan”. Dan Murtasimah, yang biasanya tegas menata batas, mendadak menjadi orang yang menunggu di kursi paling jauh, takut terlihat menunggu.
Sampai akhirnya, pada hujan yang ke entah, ia menutup payungnya dan membiarkan dirinya basah. Lalu ia pulang. Bukan ke rumah, melainkan ke dalam diam yang mengeras seperti kaca. Di sana ia bercermin: melihat dirinya yang memohon penjelasan pada seseorang yang bahkan tak jelas untuk dirinya sendiri.
Ia pun menulis pada buku catatan kecil yang selalu ia bawa, kalimat yang kini menjadi jimat: “Cukup sekali menjelaskan sesuatu.”
.
Datang Saat Semesta Jenuh Melihat yang Terluka
Umarmaya hadir seperti senja yang tak memaksa untuk indah. Ia tidak menjanjikan langit cerah. Tapi juga tidak pernah membuat Murtasimah kebasahan tanpa perlindungan. Mereka bertemu di ruang kelas pascasarjana—Murtasimah mengambil mata kuliah perilaku konsumen; Umarmaya, arsitek kota yang meneliti ruang pejalan kaki dan psikologi trotoar. Di pertemuan kedua, ia menawarkan jas hujan dari motor maticnya, dan pada pertemuan ketiga, ia menawarkan telinga.
“Kamu nggak perlu jelasin semuanya, Mah. Aku tahu kamu pernah patah. Tapi aku di sini bukan untuk membetulkan kamu. Aku cuma pengen nemenin kamu nyusun ulang semuanya, bareng-bareng.”
Kata-kata Umarmaya tak berdesing, tapi mendarat. Ia tidak pintar bermain metafora, ia lebih cepat menggambar denah. “Lihat,” katanya suatu kali, menggambar di tisu kafe: tiga garis yang kemudian ia jelaskan sebagai jalur evakuasi emosional. “Kalau macet di sini,” tunjuknya pada garis tengah, “kita punya jalur alternatif. Kita nggak harus lewat jalan yang sama setiap kali.”
Di hari-hari berikutnya, mereka berjalan di Braga, menonton film dokumenter di Taman Film, mencoba sate maranggi di pinggir jalan, dan sesekali berdebat kecil tentang desain kota—apakah bangku taman harus menghadap jalan atau rumput, kenapa halte bisa seindah stasiun, dan bagaimana lampu zebra cross bisa menyala seperti harapan kecil.
Umarmaya membiarkan Murtasimah lupa. Bukan memaksa untuk melupakan, tapi menciptakan ruang-ruang kecil tempat kenangan lama tidak bisa memekik terlalu keras.
.
Nama yang Masih Tertinggal di Lembaran Lama
Ada masa ketika Murtasimah hampir membuka lembar baru. Ia dan Umarmaya berlibur singkat ke Yogyakarta, menumpang kereta malam, memesan kamar kecil di kampung wisata di pinggiran kota. Dini hari, mereka sarapan gudeg dan kopi hitam. Di siang hari, mereka berkeliling galeri dan toko buku kecil di Kotabaru.
Namun buku itu tetap membawa jejak tinta lama. Kadang tanpa sadar, Murtasimah membandingkan. Kadang tanpa sengaja, ia menyebut nama itu dalam mimpi. Di suatu malam, ia terbangun dengan dada tercekik, memanggil pelan, “Grana…”
Umarmaya bergeser, menyalakan lampu kecil. “Kamu mimpi?” tanyanya—tanpa curiga, tanpa tatapan yang menuntut.
Murtasimah mengangguk, malu pada kata yang menyelusup dari bawah sadar. “Maaf.”
Umarmaya menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kalau kamu masih nyebut nama dia dalam doamu, aku rela. Asal kamu juga mau nyebut namaku suatu hari nanti dengan doa yang sama.”
Kata “rela” bergeming lama di dadanya. Siapa yang sanggup menggunakan kata itu dengan sungguh-sungguh? Siapa yang ikhlas menjadi perahunya, bahkan ketika angin dalam kepala pasangannya masih membawa wangi pelabuhan lama?
.
Biarkan yang Pergi Menjadi Pergi
Suatu hari, Jayengrana kembali. Seperti hujan yang turun lagi setelah seminggu cerah. Pesannya muncul dengan suara ting yang sudah lama ia matikan notifikasinya. “Aku di Bandung. Boleh ketemu?”
Murtasimah menatap layar lama-lama. Ia menimbang, bukan karena rindu, melainkan karena ingin menutup halaman dengan tenang. Mereka bertemu di kafe yang dulu sering mereka datangi—tempat yang pelayannya hafal pesanan: kopi hitam untuknya, latte untuk Jayengrana, dan satu pot teh hangat yang tidak pernah habis.
Jayengrana datang dengan jaket mahal dan lelah yang tidak bisa ditutup-tutupi. Perusahaannya tumbuh cepat, tapi ada rumor tentang investor yang menggandeng dan menarik, tentang ekspansi yang terlalu banyak cabang dan terlalu sedikit akar.
“Aku kangen kamu, Mah. Aku sadar kamu yang terbaik buat aku,” katanya, suaranya serak yang agak dibuat-buat, tapi mungkin juga sungguhan.
Murtasimah tersenyum. Tapi senyumnya bukan untuk menyambut, melainkan untuk berpamitan. “Aku dulu juga kangen, Grana. Dulu. Sekarang aku udah nggak nunggu kamu. Aku udah belajar… kalau aku berhenti menghargai diriku sendiri demi menunggumu, aku cuma menyakiti diri.”
Jayengrana menatap ke luar jendela, menelan ludah, lalu mengubah strategi—seperti selalu. “Aku berubah, Mah. Aku bisa jelasin.”
Murtasimah menggeleng pelan. “Cukup sekali menjelaskan sesuatu. Kamu tidak mendengarkan waktu itu. Dan ketika kamu tidak mendengar, itu bukan urusanku lagi.”
Hujan di luar menebal. Payung-payung mekar seperti jamur. Di meja sebelah, sepasang mahasiswa berdebat tentang tesis. Di sudut, seorang ayah merapikan tas anaknya. Hidup bergerak tanpa menunggu dua orang yang menatap masa lalu.
.
Berjalan Tanpa Menginjak Bayangan
Sejak hari itu, Murtasimah membiarkan kenangan menjadi apa adanya: kenangan. Tidak dibenci, tidak juga dielu-elukan. Hanya dikenang. Ia menulis lagi di buku catatannya: “Kenangan baik bukan berarti harus kembali. Kenangan buruk bukan berarti harus dibakar.” Ia memilih menaruhnya seperti foto tua: disimpan, sesekali dilihat, tidak dibawa-bawa ke rapat kerja atau meja makan.
Bersama Umarmaya, ia belajar bahwa perasaan yang tak perlu dijelaskan pun bisa dimengerti. Bahwa cinta tak butuh alasan panjang lebar—cukup hadir dan bertahan. Mereka membeli tanaman hias bersama, meletakkannya di balkon mungil apartemen. Mereka memasak sup saat hujan, menonton serial dokumenter arsitektur kota, dan sekali-sekali mengajar kelas daring untuk mahasiswa tingkat akhir tentang etika kerja dan seni mendengarkan klien.
“Aku bukan pilihan kedua, kan?” tanya Umarmaya suatu malam ketika listrik sempat padam dan mereka menyalakan lilin.
“Kamu bukan pilihan, Maya. Kamu itu keputusanku,” jawab Murtasimah.
Di kalimat itu, ada klik kecil di dalam dirinya—bukan dentang besar, bukan petasan—melainkan klik yang menandai pintu telah tertutup dengan baik.
.
Yang Mau Tinggal
Di kafe yang sama, di balik kaca yang sama, Dewi Murtasimah kini tersenyum memandang hujan. Ia tak lagi mencari bayangan masa lalu di rintik air. Ia tahu, cinta bukan tentang siapa yang datang duluan, tapi siapa yang mau tinggal saat badai datang. Ia teringat kalimat ibunya: “Yang meneduhkanmu saat kau demam, itulah rumah.”
Umarmaya menatapnya, mengangkat alis, bertanya tanpa suara: kita masih di sini?
Murtasimah mengangguk kecil: kita di sini.
Di layar ponselnya, ada pesan masuk dari juniornya di kantor: “Kak, klien minta revisi positioning statement. Mereka ingin menekankan keberlanjutan, tapi masih pakai plastik sekali pakai.”
Murtasimah tertawa kecil. Dunia bisnis, seperti cinta, sering lupa menyelaraskan kata dengan tindakan. Ia mengetik balasan, menawarkan workshop internal tentang brand integrity dan rancangan pilot project untuk pengurangan plastik. Edukatif, solutif. Ia tahu, menolong orang lain mengoreksi arah adalah cara terbaik untuk menjaga kompas sendiri tetap bekerja.
“Pulang?” tanya Umarmaya.
“Bentar. Satu halaman lagi,” jawabnya. Ia membuka dokumen, menambahkan catatan: ‘Kebijakan bukan slogan. Perubahan butuh sistem. Mulailah dari satu titik yang berani.’ Lalu ia menutup laptop, memasukkan ke tas. “Sudah.”
Mereka beranjak, membayar, berbagi payung. Hujan masih turun, tapi kali ini, Murtasimah tahu ia tidak perlu lagi takut. Ada tangan yang tidak menggenggam terlalu erat, tapi tidak juga melepaskan di tengah jalan.
.
Catatan Kota, Catatan Dada
Mereka menyeberang di zebra cross yang lampunya baru—pekerjaan yang dulu diteliti Umarmaya. Garis-garis putih memantulkan sinar lampu kendaraan, seperti halaman yang siap ditulis. Di tepian jalan, pedagang asongan menjual jas hujan tipis; supir ojek online berkumpul di bawah atap minimarket; seorang ibu muda menggendong bayi yang tertawa setiap kali tetes air memantul dari kanopi.
“Kenapa lampu zebra cross-nya begini?” tanya Murtasimah, menunjuk kotak-kotak kecil yang berkedip.
“Biar pengemudi sadar ada orang lewat. Kita sering lupa bahwa jalan bukan cuma untuk mesin,” jawab Umarmaya.
Murtasimah mengangguk. “Kita sering lupa bahwa hidup bukan cuma untuk menang.”
Di kepalanya, sebuah pemahaman yang santun mengendap: menyeberang dengan benar, bukan dengan berani; menunggu hijau bukan karena takut, melainkan karena menghargai; dan kalaupun ada yang menerobos, ia sudah siap menepi—bukan untuk kalah, melainkan untuk tetap hidup.
.
Bandung–Jakarta, Pulang–Pergi
Beberapa bulan setelah pertemuan terakhir dengan Jayengrana, Murtasimah diminta kantornya menangani proyek di Jakarta. Ia pulang-pergi, menghafal jadwal whoosh dan MRT, hafal juga jam macet di Semanggi. Di sebuah ruang rapat di Kuningan, ia mempresentasikan customer journey sebuah brand perawatan kulit yang ingin beralih ke bahan alami, sambil tetap mewah. Di slide terakhir, ia menulis: “Keberlanjutan adalah estetika baru.”
Usai rapat, ia berjalan sendiri di trotoar yang kini rapi. Hujan tipis menyapu rambutnya, wangi tanah Jakarta berbeda dari Bandung—lebih asin, lebih panas, lebih padat. Ia merindukan hiruk-pikuk yang tertata, dan teringat pada Umarmaya yang sore itu mengajar studio arsitektur.
Di perempatan, lampu pejalan kaki berubah hijau. Ia melangkah.
Di seberang, seorang lelaki berdiri di bawah payung transparan. Sekilas, siluetnya mengingatkan pada seseorang—bahu, tinggi, cara menatap. Dadanya sempat berdegup—masa lalu selalu tahu cara menyamar. Tapi ketika lelaki itu mendekat, ia sadar: bukan. Bukan siapa-siapa. Hanya seorang asing yang kebetulan membawa payung yang sama.
Ia tersenyum pada dirinya sendiri, karena kali ini ia tidak terseret. Bukan karena ia membenci masa lalu, melainkan karena ia tahu persis alamat masa kini.
.
Kabar Burung dan Kabar Hati
Kabar tentang Jayengrana sampai juga—sebagian dari media bisnis, sebagian dari percakapan kawan lama. Ekspansinya berlebihan, rantai pasoknya tersengal, beberapa toko tutup lebih cepat dari rencana. Ada foto-foto di internet: dia di panggung, masih rapi; dia di ruang kantor, menatap layar; dia di kedai kopi, tersenyum lelah.
Murtasimah membaca, bukan untuk bersorak gembira atau mengutuk nasib. Ia hanya memikirkan ini: betapa mudahnya manusia menjadi berita, betapa cepatnya sebuah nama berubah menjadi cerita orang lain. Ia menutup gawai, merapikan rambut, lalu kembali ke pekerjaannya. Ia tahu luka yang disetel pada nada yang tepat bisa menjadi pelajaran, bukan dendam.
Malamnya, ia menulis lagi: “Sebelum minta dunia mendengar, dengarkan dirimu. Sebelum meyakinkan orang, yakinkan cara bernafasmu sendiri.” Dan pada halaman berikutnya, ia menulis daftar kecil: hal-hal yang ingin ia rawat tahun ini—kesehatan, tidur cukup, telinga untuk teman, tabungan darurat, sabtu pagi tanpa layar, doa yang pelan tapi rutin.
.
Rumah
Suatu Minggu sore, langit berhenti mengancam. Hujan mereda menjadi kelembapan yang wangi. Umarmaya mengajak Murtasimah ke pameran foto kota. Di salah satu dinding, ada foto zebra cross yang mereka lewati saban hari. Ada juga foto shelter bus yang luas, tempat seorang kakek duduk sambil memegang tas belanja, dan di belakangnya mural bertuliskan: “Kota yang baik adalah kota yang mau menunggu.”
“Setuju?” tanya Umarmaya.
“Setuju,” jawab Murtasimah. “Orang yang baik juga begitu.”
Mereka berjalan pulang menyusuri gang kecil yang menanjak. Di depan sebuah rumah kecil, seorang perempuan tua menyapu halaman, sementara seekor kucing jingga duduk di pagar, mengawasi dengan mata setengah terpejam. Dunia, pikir Murtasimah, ternyata tidak keras kepala. Kadang ia lunak pada mereka yang bersabar.
Di depan pintu apartemen, Umarmaya berhenti. “Aku tahu kita belum sempurna. Tapi aku di sini,” katanya. “Bukan karena tidak punya tempat lain, tapi karena aku memilih.”
“Sama,” kata Murtasimah. “Aku memilih.”
Mereka masuk. Bau kayu dan kain lembap menyambut—bau rumah yang tidak sempurna, tapi cukup. Di meja, ada tanaman kecil yang daunnya baru. Di balkon, awan beringsut, dan cahaya sore menumpahi lantai seperti cat.
Murtasimah menulis satu kalimat terakhir di buku catatan sebelum menutupnya: “Yang tinggal bukan yang paling puitis, tapi yang paling jujur.”
Dan ketika hujan turun lagi tanpa permisi, ia hanya menoleh sebentar, memastikan pintu tertutup rapat, dan hatinya terbuka sewajarnya. Tidak semua tamu harus dipersilakan masuk; sebagian cukup disapa dari jendela.
.
Pelajaran yang Mengering Perlahan
“Jangan mengejar ketika kamu sudah dibuang. Jangan mencari ketika kamu sudah diabaikan. Jangan mengemis perhatian ketika kamu sudah tidak diperlukan. Kadang yang menyakiti kita bukan orang lain, tapi diri kita sendiri yang terus berharap pada orang yang salah.”
“Hargai dirimu, karena dirimu terpenting bagi orang lain.”
Ketika kota menutup malam dengan suara gerimis halus, Dewi Murtasimah menyadari: tidak ada hujan yang benar-benar abadi, yang abadi adalah cara kita menanggapi. Ada yang berlari, ada yang memaki, ada yang memayungi diri sendiri sambil bernyanyi pelan. Ia memilih yang terakhir.
Besok pagi, ia akan bangun lebih awal, menyiapkan presentasi, menyiram tanaman, dan menulis pesan singkat pada ibunya, menanyakan apakah punggungnya masih sakit. Ia akan memasukkan payung ke tas, bukan karena takut hujan, melainkan karena menghormati kemungkinan. Ia akan tersenyum pada satpam apartemen, menunggu lampu hijau untuk menyeberang, dan membalas email dengan kalimat yang bersih.
Karena hidup di kota besar tidak selalu tentang berlari lebih cepat. Kadang ia tentang tahu kapan berhenti, kapan menepi, kapan melanjutkan, dan terutama—kapan menutup buku dengan damai.
Dan ketika seseorang bertanya, “Kenapa kamu tidak kembali pada yang dulu?”
Ia akan menjawab, singkat, tanpa marah, tanpa dendam:
“Karena aku sudah kembali pada diriku.”
.
.
.
Jember, 10 Juli 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #KotaDanHujan #MenakMadura #SelfWorth #RelationshipHealing #UrbanStory #Bandung #CintaDewasa #Reflektif #Solutif