Tulus yang Terluka

“Kadang, manusia bukan tak tahu balas budi; ia hanya takut kehilangan panggung. Maka ia memilih mengorbankan yang tulus, agar topengnya tetap dianggap benar.”

.

Jakarta di Antara Hujan dan Kenangan

Jakarta, 2023. Hujan turun tak lama setelah matahari tenggelam. Di antara raungan knalpot dan gemuruh air yang membentur atap seng, seorang pria duduk termenung di dalam Avanza abu-abu yang usianya sudah lebih pantas disebut sahabat ketimbang kendaraan. Namanya Wirapraja—Wira bagi kawan-kawannya—anak bungsu dari keluarga Jawa yang menua tanpa istana, menyimpan tata krama tanpa tata upacara. Ia kini menjadi Manajer SDM di sebuah startup agritech yang sedang mencari napas di tengah badai pendanaan.
Ponselnya bergetar. Muncul video pendek: “Orang pertama yang muncul saat kamu share video ini adalah orang yang kamu cintai.” Di atas nama pengirim, ada satu nama yang mengubah ritme detaknya: Ratri.
Wira menatap butir air yang berlomba di kaca jendela. Kenangan paling jernih justru turun pada saat-saat paling keruh: lampu merah berkilat, wiper mengusir hujan, dan suara notifikasi yang menyiratkan pintu lama—yang sempat dikira rapat—ternyata masih punya celah.

Ia membuka video. Seperti biasa, algoritma tahu apa yang tak semestinya diingatkan. Dan pada saat yang sama, ia tahu betul: Ratri bukan sekadar masa lalu. Ia adalah potongan hidup yang Wira rawat dengan doa, meski tubuh dan hati mereka tak lagi berdekatan.

.

Mereka yang Pernah Saling Menguatkan

Wira tumbuh dari rumah yang senyap di pinggiran Jogja. Ayahnya, Aryo Mertakusuma, dulu dosen filsafat yang punya keahlian merangkum hidup dalam satu kalimat yang memerihkan: “Bahagia itu kemampuan mengikhlaskan hal yang tak kembali.” Ibunya, Sekarningsih, pedagang buku bekas yang selalu mengajarkan rapi—bukan supaya terlihat sopan, tapi supaya yang lain mudah menemukan apa yang mereka cari.

Ratri datang dari keluarga Batak-Jawa yang menegakkan disiplin dengan suara tegas dan rencana lima tahun yang dipasang sejak kelas tiga SMA. Mereka bertemu di kampus, di sebuah organisasi sosial yang mengurus beasiswa untuk adik-adik panti. Wira si pendengar tekun; Ratri si penutur visi.
Wira jatuh cinta pada cara Ratri menjelaskan peta hidupnya—bukan karena peta itu tanpa ragu, tetapi karena Ratri mengakui ketakutan di baliknya. Ratri, pada gilirannya, jatuh cinta pada cara Wira mengikat dunia pada kalimat sederhana: “Kalau kita sibuk mengukur jarak, kita lupa melangkah.”

Dalam tiga tahun, mereka merajut sore-sore panjang: menyusun proposal, mengantar parcel sembako, belajar menawar harga sayur untuk acara buka puasa komunitas, hingga debat tentang arti “berdaya.” Mereka dua kutub yang saling menyala, dan—seperti semua nyala—keduanya membutuhkan oksigen yang sama: kepercayaan.

.

Merendahkan yang Pernah Menopang

Lulus kuliah, Ratri melangkah gesit. Dunia konsultan branding membukakan pintu, bukan hanya karena IPKnya, tapi karena presentasinya yang tajam—metafora mengalir, angka berpaut, grafik menanjak dengan meyakinkan. Pekerjaan pertama Ratri ia dapat berkat jaring yang Wira lemparkan lewat jejaring inkubator wirausaha sosial. Wira rela menjadi bayang-bayang agar Ratri mendapat panggung yang terang.
Tapi panggung sering membuat gelap penontonnya.
“Wir, kamu terlalu halus,” kata Ratri suatu malam di kafe Kemang, setelah pitch deck-nya memukau satu ruang yang dipenuhi investor. “Dunia ini buat yang berani mendobrak, bukan yang terlalu pengertian.”
Wira tersenyum kecil. Ia paham pernyataan itu bukan vonis, melainkan doa agar ia memberanikan diri. Namun, kata-kata yang lahir dari lelah sering menyimpan serpih yang menoreh. Ketika PHK massal melanda dan Wira kehilangan kerja pertamanya, ia menghubungi Ratri. Pesan itu terbaca, tapi tak dibalas. Wira menunggu, dari menit jadi jam, dari jam jadi malam, dari malam jadi minggu. Pada suatu titik, menunggu berubah nama menjadi mengerti: ada yang memilih diam bukan karena lupa, melainkan karena takut menatap cermin yang pernah memantulkan kelemahannya.

.

Perselisihan dan Pembenaran Diri

Jakarta menambah cerita dengan cepat, seperti hujan yang tiba-tiba deras tanpa awan peringatan. Beberapa bulan kemudian, gosip beredar bahwa Ratri menyebut Wira “mengendalikan secara emosional”—istilah populer yang gampang menempel di dinding-dinding profesional. Ia mendengar itu dari teman lama, Jokotara—founder fintech dari Bangkalan yang dikenal sekota sebagai “anak rantau yang tak pernah kehabisan akal.”
“Gue nggak ambil posisi, Wir,” kata Jokotara sambil mengaduk kopi di Harmoni. “Tapi cerita Ratri udah mutar di lingkaran klien besar.”
Wira ingin membantah, tapi ia memilih pulang ke kost dan menulis. Bukan untuk dikirim, melainkan untuk menurunkan beban ke kertas:
_Ratri, aku tahu kamu bukan jahat. Kamu hanya takut dicatat orang sebagai seseorang yang pernah ditopang. Kamu takut kehilangan pancaran yang kamu bangun dengan susah payah. Aku bukan korbanmu. Aku saksi ketakutanmu—ketakutan kita bersama.”

Ia menutup buku catatan. Pada halamannya, ia menulis satu kalimat yang seolah melompat dari bibir ayah: “Jika terjadi perselisihan, seseorang akan membuat cerita untuk membenarkan dirinya. Maka, belajarlah mengobati bukan untuk dilihat, tapi untuk pulih.”

.

Saat Terdesak, Manusia Berkhianat

Tahun berganti. Wira masuk ke NGO internasional yang mengurus ketahanan pangan desa. Ia menemukan kembali makna kata “berdaya” di lumbung padi, bukan di slide deck. Ia sering diminta bicara tentang rekrutmen adil, meritokrasi yang empatik, dan bagaimana menyusun KPI yang tidak menghapus manusia dari angka. Namanya mulai disebut di ruang-ruang yang dulu memunggunginya.
Suatu hari, pada konferensi kewirausahaan sosial di Senayan, Ratri tampil sebagai moderator panel. Sesi Wira adalah yang terakhir. Di panggung, mereka bertatap sejenak—cukup lama untuk menyadari bahwa waktu tak selalu menyelesaikan; kadang ia hanya memberi jarak bagi kalimat yang belum sempat diucapkan.
Sesudah acara, Ratri mendekat. Bukan tatapan yang menghakimi, melainkan tatapan seseorang yang memahami rasa bersalahnya sendiri.
“Wir… maafkan aku,” katanya pendek. “Waktu itu aku lagi terdesak. Aku butuh terlihat kuat.”
Wira menatapnya, bukan untuk mencari celah, tapi untuk memastikan pintu maaf memang ada di sana. “Aku sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kamu sadar kamu menyakitiku,” jawabnya.
Mereka berdiri canggung di koridor yang dihiasi poster sponsor. Lalu Ratri menambahkan kalimat yang jujur sekaligus getir: “Saat dalam keadaan terdesak, manusia rela mengkhianati seseorang demi menjaga nama baiknya. Aku menghianatiku sendiri, Wir—bukan cuma kamu.”
Wira mengangguk. “Yang paling berat adalah memaafkan diri sendiri.”

.

Kota-Kota yang Mengajari Pulih

Bandung memanggil Wira dengan udara yang lebih manusiawi. Ia pindah ke sana, menempati rumah kontrakan di Dago Atas, menanam kopi di lahan sewaan, menulis buku tipis tentang etika kerja—buku yang tak hendak viral, hanya ingin berguna. Sesekali ia turun ke Jakarta untuk mengisi pelatihan. Ia berteman dengan Lodra, pemilik roastery yang dulu pemain band kampus, dan Saka, barista yang mengajari Wira membedakan cokelat “fruity” dari “nutty” dengan kesabaran seorang guru TK.
Di kotak surat email, undangan demi undangan datang. Bukan panggung besar, tetapi ruang-ruang kecil tempat orang sungguh mendengarkan. Di sana, Wira menemukan jawaban yang dulu ia cari secara tergesa: “Karier yang baik adalah karier yang menumbuhkan kemampuanmu mencintai orang di sekitarmu tanpa kehilangan batas.”

Ia merancang modul “SDM yang Tulus Namun Tegas”—mencari titik temu antara kelembutan dan kejelasan batas. Ia mengajarkan manajer muda untuk mengatakan “tidak” dengan kalimat yang tidak merendahkan: “Tidak sekarang, tapi mari kita susun prasyaratnya. Ini yang perlu kamu siapkan.” Ia mengingatkan HR agar berhenti memakai kata “keluarga” untuk menutup kekurangan struktur. “Kantor bukan keluarga,” tulisnya di slide, “Kantor adalah tim. Di keluarga, cinta mendahului peran. Di tim, peran menjaga cinta bekerja.”

.

Ratri, Cermin, dan Jalan Pulang

Suatu malam, Ratri mengirim email panjang. Isinya bukan permintaan maaf ulang, melainkan cerita tentang ibunya yang sakit, tentang insomnia yang makin parah, tentang prestasi yang terasa seperti memanjat tangga tanpa dinding.
“Aku capek jadi orang yang tepat di mata orang yang bahkan tak melihatku sebagai manusia,” tulisnya. “Aku ingin belajar mulai dari batas. Kamu bisa ajari?”
Wira menatap layar cukup lama untuk mendengar detak jam dinding. Ia menulis balasan:
“Belajar batas dimulai dari kalimat yang paling kita takutkan: ‘Maaf, aku juga butuh ruang.’ Datanglah ke Bandung. Kita minum kopi. Aku tak punya jawaban seratus persen, tapi aku punya telinga.”

Ratri datang. Mereka duduk di teras roastery Lodra. Malam telah lama turun, dan Bandung menepukkan udara sejuk pada percakapan yang lambat.
“Aku menyebarkan cerita supaya aku terlihat benar,” ucap Ratri pelan. “Aku takut dianggap lemah karena pernah ditopang. Padahal semua manusia pernah ditopang.”
Wira menghela napas. “Ketika kita menolak mengakui penopang, kita justru menggantung diri pada pujian. Pujian habis, kita terjatuh.”
Ratri mengangguk, mengusap mata. “Bagaimana caranya bekerja baik tanpa jadi orang lain?”
“Dengan berhenti mengukur dirimu di mata orang yang tak penting,” jawab Wira. “Dan dengan menyusun sistem—bukan menjanjikan budaya. Sistem melindungi manusia dari manusia.”

.

Jakarta, Hujan, dan Keputusan

Setahun berlalu. Video yang sama kembali viral, seperti kalender yang memaksa ulang tahun untuk dirayakan. Wira meneruskan video itu ke seseorang yang baru: Dyah Sekar, jurnalis muda yang ia kenal di pelatihan literasi warga. Sekar menjawab dengan satu kalimat: “Yang dulu menyakitimu adalah masa lalu. Yang kini bersamamu adalah masa depan.”
Wira tersenyum. Bukan karena ia menemukan pengganti, melainkan karena ia menemukan cara berdiri: tak lagi menunggu pintu lama terbuka, tak pula membantingnya. Ia membangun rumah kecilnya sendiri: lahan kopi yang pelan, tulisan yang jujur, kelas-kelas yang menyusun ulang harapan.
Di suatu Sabtu, ia diundang menjadi pembicara kunci di sebuah forum HR nasional di Jakarta. Di panggung, ia membacakan dua paragraf dari bukunya:
“Kita diajari dunia kerja seperti arena politik: simpan kartu, pasang senyum, jaga jarak. Padahal tim yang sehat tumbuh dari energi yang jernih: jelaskan ekspektasi, beri umpan balik, lindungi waktu. Empati bukan kelembutan tanpa tulang; empati adalah keberanian mengucapkan yang sulit dengan cara yang layak.”
Ia menutup presentasi dengan kalimat yang kelak jadi kutipan menempel di dinding-dinding kantor:
“Seseorang yang terlalu sering hidup dari pujian akan merasa kosong saat pujian itu berhenti. Maka, tumbuhlah dari ketulusan, bukan dari tepuk tangan.”

Di ruang belakang panggung, Wira menatap hujan Jakarta lewat jendela tinggi. Ia teringat Ratri—bukan sebagai luka, melainkan sebagai guru yang tak pernah mendaftar untuk mengajar. Ia mengetik pesan:
“Terima kasih sudah datang sebagai cermin di masa lalu. Aku baik-baik saja sekarang. Doaku: semoga kamu juga.”
Ratri membalas pendek: “Aku belajar berjalan tanpa topeng, Wir. Terima kasih.”

.

Jokotara, Lodra, dan Kawan-kawan yang Menjaga

Persahabatan itu seperti sumur; kalau tidak dijaga, ia mengering tanpa suara. Jokotara, yang bisnisnya sempat nyaris kolaps akibat regulasi, akhirnya bangkit dengan model baru yang lebih ramah petani. Lodra membuka kelas gratis untuk anak-anak SMK yang ingin belajar roasting. Saka mendapat beasiswa barista ke Melbourne, lalu pulang membawa kebiasaan aneh menyebut suhu air dengan presisi angka di belakang koma.

Di sela-sela tawa, Wira sering berkata, “Kita ini nggak hebat-hebat amat. Kita cuma nggak menyerah saat salah paham membludak.” Lalu ia menyimpulkan dengan satu humor kecil, “Kalau kamu belum bisa jadi orang paling pintar di ruangan, setidaknya jadilah orang yang paling mau mendengarkan.”

.

Menyulam Solusi: Etika, Batas, dan Skenario

Dari ruang-ruang pelatihan, Wira merangkum tiga kebiasaan yang menumbuhkan organisasinya:

  1. Merumuskan batas sejelas visi. Batas bukan pagar besi; ia garis yang dilukis dengan kalimat “apa yang boleh dan kapan berhenti.” Tanpa batas, ketulusan jadi lumpuh.

  2. Membuat skenario konflik. Bukan karena berharap konflik terjadi, melainkan karena organisasi dewasa tidak panik saat badai datang. Skenario menyiapkan bahasa, bukan sekadar prosedur.

  3. Merehabilitasi pujian. Pujian boleh, tapi terukur: puji usaha dan proses, bukan personanya. Ini menjaga manusia agar tak menukar nilai dengan tepuk tangan.

Di akhir modul, Wira menuliskan kalimat penutup yang ia tujukan untuk dirinya sendiri:
“Yang tulus sering terluka. Tetapi luka yang dirawat dengan benar tumbuh menjadi mata air. Orang boleh meminum dan pulang lebih kuat.”

.

Damai Dalam Diri

Senja merayap di Bandung. Di teras roastery, Wira dan Sekar duduk menatap awan yang perlahan mengangkat topinya. Di meja, dua cangkir kopi dengan uap tipis.
“Kalau hujan nanti turun lagi?” tanya Sekar.
“Kita sediakan payung,” jawab Wira. “Kalau tak ada, kita menepi. Menepi bukan kalah; menepi itu cara lain untuk melanjutkan.”
Sekar tertawa kecil. “Kamu romantis tapi logis.”
“Aku realistis yang diajari luka agar tak menghakimi,” sahut Wira. “Dan aku berutang pada kota yang mengajarkan: kita boleh patah, tapi jangan patah arang.”

Di ponselnya, video yang dulu memantik resah kini hanya jadi notifikasi yang lewat. Wira menutup layar, menatap langit. Dalam hatinya, ia menyebut satu per satu nama yang pernah menguatkan: ayah, ibu, kawan-kawan, juga Ratri.
Sebab pada akhirnya, kebenaran paling sederhana adalah ini: tulus tak selalu menang di panggung dunia, tetapi selalu menang di dalam dada. Dan itulah satu-satunya panggung yang tidak pernah menipu.

.

.

.

Jember, 9 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#TulusYangTerluka #CerpenKota #EmpatiDanBatas #KarierSehat #KompasMingguVibes #UrbanIndonesia #BelajarPulih

.

Quotes untuk pembaca

  1. “Jangan gantungkan hidup pada tepuk tangan; ia cepat lelah dan mudah berpaling.”

  2. “Empati bukan lembek; ia tulang punggung untuk berkata jujur tanpa menusuk.”

  3. “Menepi bukan menyerah; ia strategi untuk tidak karam.”

  4. “Batas yang jelas menyelamatkan ketulusan dari disalahpahami.”

  5. “Yang tulus sering terluka, tapi luka yang dirawat menjadi mata air.”

Leave a Reply