Yang Tumbuh di Antara Kita
“Di kota, kita sering berlari lebih cepat dari hati sendiri; padahal pulang yang sejati adalah ketika langkah berani menyusul rasa yang tertinggal.”
.
Hujan turun seperti tirai halus yang menutup separuh wajah kota. Dari jendela apartemen lantai dua puluh, Jayeng menatap lampu-lampu yang melebur jadi garis. Lalu lintas di bawah meluncur seperti arus sungai: tegas, deras, tak pernah benar-benar berhenti, hanya melambat dan kembali menerjang. Di meja makan yang sekaligus menjadi meja kerja, layar-layar menyala: satu memutar rekaman rapat dengan investor, satu lagi menampilkan dashboard penjualan kedai kopi yang baru lima bulan dibuka, dan sebuah tablet memperlihatkan pesan dari ibunya di Malang yang belum sempat dibalas.
Malam itu, ada tiga notifikasi besar di kepala Jayeng: presentasi putaran pendanaan seri A untuk startup edutech-nya besok pagi, pembukaan cabang kedua kopi KOE di Surabaya lusa, dan berita dari dokter tentang Retna—pasangannya—yang menyarankan “istirahat komersial” dari program bayi tabung setelah dua kali gagal. Kata-kata dokter terasa seperti pintu yang menutup pelan; bukan menggedor, tapi diam-diam menahan napas.
Retna duduk di sofa, memeluk bantal, rambutnya masih lembap oleh rinai yang terasa seperti sisik ikan menempel di kulit. Ia menatap televisi tanpa benar-benar melihat. Tangannya sesekali meraih cangkir teh kamomil, lalu meletakkannya lagi.
“Aku capek, Jay,” katanya. “Capek jadi angka.”
Jayeng mendekat. “Kita berhenti dulu.”
Retna tersenyum tipis. “Berhenti bukan berarti kalah, ya?”
“Berhenti itu strategi,” sahut Jayeng. “Supaya nafas tidak hanya jadi kebiasaan.”
Di layar ponselnya, pesan masuk dari Umarmaya—Maya, adik sepupu Retna—yang bekerja sebagai arsitek lanskap di proyek revitalisasi taman kota. “Mas, besok pagi jadi rapat di Balaikota? Ada opsi kolaborasi program kelas keterampilan buat anak-anak pekerja informal. Edutech-mu bisa masuk.”
Jayeng mengetik cepat: “Jadi. Kirim TOR malam ini.” Lalu ia menambahkan emotikon jempol, dihapus, diganti dengan, “Terima kasih, May.” Ia menatap Retna. “Maya sedang bikin program ruang belajar di taman. Kamu sempat cerita dulu pingin bikin kelas literasi finansial buat ibu-ibu PKL. Masih pingin?”
Retna mengangguk, tatapannya jernih seperti permukaan cermin yang baru dicuci. “Masih. Aku ingin orang-orang yang bekerja dari fajar punya alat untuk mengukur harapan, bukan sekadar menakar kembalian.”
Di luar, bunyi sirene memantul di kaca, memanjang seperti pita. Malam Jakarta selalu punya cara menaruh dunia di pundak tanpa terlihat menindih.
.
Pagi berikutnya, langit sewarna baja. Ruang rapat di lantai 35 berkaca ke selatan: deret bangunan, menara, atap seng, pepohonan yang tersisa, dan garis MRT yang melesat senyap. Investor—Pranacitra, atau Citra—perempuan berambut pendek dengan blazer biru tua, membuka buku catatan kecil berkulit hitam. “Jayeng, aku suka angka pertumbuhanmu. Tapi aku lebih suka cerita yang membungkus angka itu. Ceritakan padaku siapa yang terbantu paling konkret.”
Jayeng menatap layar. Ia memutuskan untuk tidak menayangkan slide. “Namanya Damar. Dia anak sopir taksi online. Ayahnya bekerja malam, ibunya berjualan kue pagi. Damar suka matematika, tetapi benci beban PR yang menumpuk karena ia sering mengantar adiknya ke posyandu. Di platform kami, dia belajar lewat modul video sepuluh menit. Ia suka modul ‘Aljabar di Warung Sayur’—menghitung persediaan dengan selera humor sederhana. Nilai matematikanya naik. Lebih dari itu, ia mengajar adiknya menghitung kembalian. Damar bilang, ‘Mas, aku tidak merasa sendirian lagi.’ Kadang pendidikan hanyalah cara lain menyebut persahabatan.”
Citra menutup bukunya. “Bagus. Kamu punya dua sayap: misi dan model keuangan. Pastikan keduanya tidak saling menakuti.” Ia tersenyum. “Satu lagi, kamu tampak membawa beban lain. Apa pun itu, jangan jadikan pengguna sebagai pelarian. Jadikan mereka sebagai alasan.”
Kalimat itu seperti menggeser knop di dada Jayeng. “Terima kasih,” katanya, dan sungguh-sungguh.
Rapat selesai dengan catatan positif. Citra tak menjanjikan apa pun selain pesan singkat, “Lanjutkan. Kirim data retensi dua kuartal terakhir.” Itu sudah cukup untuk hari itu: pintu sedikit terbuka dan angin yang masuk tidak lagi dingin.
.
Di Malang, jalanan basah menampakkan refleksi pohon trembesi yang tua. Kota itu seperti halaman buku yang warna hurufnya tidak pernah pudar. Di sebuah rumah kuning pucat, ibunda Jayeng menjemur kain tenun sambil mendengarkan radio. “Kapan pulang?” tanyanya lewat telepon. “Bapaknya rindu anak lanang yang dulu suka lari di gang, jatuh, bangkit, tertawa.”
“Segera, Mak,” jawab Jayeng. “Aku bawa Retna. Kita mau diam di sana beberapa hari.”
“Diam itu doa yang paling jujur,” ibunya mengucapkan pelan, seperti menandai.
Retna mengemasi tas dengan praktis: dua gaun longgar, sepatu kets, buku catatan, dan satu foto ultrasonografi yang kosong. Ia menatap gambar itu seperti melihat peta pulau yang belum ditemukan.
“Kita tidak gagal,” kata Jayeng, seolah-olah menegaskan pada udara.
“Kita tidak berhenti berharap,” balas Retna.
Di kereta eksekutif menuju Malang, pada gerbong yang perlahan penuh dengan cerita-cerita orang yang menjejak, mereka bertemu Madi—Umarmadi—teman lama Jayeng di SMA, kini menjadi manajer pengembangan bisnis di jaringan rumah sakit swasta. Madi memiliki tawa yang serak tapi hangat, seperti gitar tua yang sering dimainkan. “Kalian tampak lelah,” katanya jujur. “Aku juga. Klien memaksa, target mengejar, hidup menawar.”
“Lalu apa yang kita pertahankan?” tanya Retna.
“Yang bisa kita bagi,” jawab Madi. “Itu satu-satunya aset yang nilainya bertambah ketika dibagi.”
Mereka tertawa kecil, bukan karena lucu, tetapi karena merasa ditangkap.
.
Malang menyambut dengan hujan yang lebih rapi, udara yang menempel lembut di kulit, dan aroma kopi yang muncul dari rumah tetangga setiap jam enam pagi. Di rumah ibunda, Retna bangun lebih dini, menatap halaman belakang: tanaman sirih gading menyusuri dinding, pot cabai yang digerogoti ulat, dan kolam ikan kecil dengan suara gemericik.
Malamnya, mereka berkunjung ke Pasar Oro-Oro Dowo. Retna membeli rambutan, Jayeng menawar bunga sedap malam. Penjual bertanya apakah mereka baru menikah. Retna tersenyum dan berkata, “Kami sedang belajar menikah lagi setiap hari.”
Kalimat itu melesak ke jantung Jayeng.
Di sebuah kedai kecil, Maya bergabung. Ia membawa map berisi gambar taman kota: jalur joging, sudut-sudut membaca, area bazar produk lokal, dan ruang kecil yang dinamai “Ruang Tumbuh”. “Aku ingin program edutech-mu mengisi Ruang Tumbuh,” katanya pada Jayeng. “Kelas-kelas singkat, tidak mahal, tidak menggurui. Aku ingin orang datang bukan untuk disuruh paham, tapi untuk merasa ditemani paham.”
Retna menyahut, “Bolehkah aku bikin kelas literasi keuangan ringan? Judulnya ‘Uang Bukan Musuhmu.’ Modulnya soal mencatat, memisahkan kebutuhan dan keinginan, dan cara menawar harga tanpa merasa rendah diri.”
“Boleh,” jawab Maya. “Aku menamai program ini: ‘Yang Tumbuh di Antara Gedung.’”
Jayeng menatap desain taman di map itu dan seperti melihat masa depan yang bersahaja. “Nama yang bagus,” katanya.
.
Kota-kota besar selalu mengajak warganya menafsir ulang kebahagiaan. Di Jakarta, kebahagiaan bisa berarti lolos dari rapat tanpa diundang grup baru. Di Surabaya, kebahagiaan adalah parkir di bawah pohon besar yang benar-benar teduh. Di Malang, kebahagiaan ialah menyeberang jalan pada jam sekolah tanpa klakson mengasari. Jayeng dan Retna menemukan kebahagiaan kecil versi mereka: bangun sebelum jam tujuh tanpa alarm, membuat sarapan sederhana, dan berjalan ke taman kota sambil membawa buku untuk kelas pertama.
Kelas dimulai dengan lima orang: Damar yang sedang liburan ke rumah bibinya di Malang, Sari pedagang jamu yang lapar ilmu, Doni sopir ojek online yang ingin berjualan online tanpa ditipu, dan sepasang suami-istri yang tampak heran kenapa mereka ada di situ tapi tidak ingin pulang. Retna menulis di papan kecil: “Uang Bukan Musuhmu.” Ia lalu bertanya, “Apa musuh kita hari ini?”
“Rasa malu bertanya,” jawab Sari.
“Takut dibilang pelit,” sambung Doni.
“Takut diketahui kurang,” kata si suami pelan.
Retna tersenyum. “Kalau begitu kelas ini benar. Karena tempat paling aman untuk memperbaiki sesuatu adalah di ruang di mana tidak ada yang menonton untuk menilai.”
Ia mengajarkan mereka membuat catatan harian pengeluaran dengan tiga warna: biru untuk kebutuhan, kuning untuk keinginan, merah untuk kebocoran. “Kebocoran itu, misalnya, ongkos tambahan karena kita tidak memeriksa cetak kecil di aplikasi,” katanya. “Atau karena kita malu menawar, padahal harga memang disediakan untuk dinegosiasikan.”
Sementara itu, Jayeng mengajar modul “Aljabar di Warung Sayur”, mengajak Damar menjumlahkan laba kotor dan bersih, lalu memperkenalkan konsep retensi di kehidupan sehari-hari: “Kalau pelanggan kembali beli sayur di warung yang sama, itu retensi. Kenapa dia kembali? Mungkin karena senyum, mungkin karena catatan utang yang rapi, mungkin karena cabenya benar-benar pedas sesuai janji.”
Maya mengamati dari ujung bangku. “Kita butuh ruang-ruang yang tidak membuat orang merasa ketinggalan kereta. Di sini, keretanya berhenti menunggu.”
.
Di Surabaya, cabang kedua kopi KOE dibuka. Madi membantu mencarikan jaringan pemasok susu lokal, Citra mampir diam-diam dan menaruh kartu namanya di buku saran. Ia menulis singkat: “Pertahankan rasa, tambahkan cerita.” Retna mengatur tata letak interior: tidak ada neon signage yang berteriak, hanya lampu-lampu hangat, meja kayu yang benar, dan dinding foto hitam putih tentang orang-orang yang menunggu: menunggu hujan reda, menunggu pesanan matang, menunggu keputusan hidup.
Pada hari ketiga, terjadi kesalahan sederhana: barista baru salah menakar espresso, membuat beberapa minuman lebih pahit dari seharusnya. Seorang pengunjung menulis ulasan pedas di media sosial. “Kopi ini pahit seperti hubungan yang tidak diperjuangkan.” Lalu beberapa akun lain menirukan, menambah bumbu.
Jayeng membaca, menelan. Ia ingin membalas: “Datang lagi, kami perbaiki.” Tapi menulis di dunia maya sering kali seperti berteriak di lembah: suara kembali lebih keras, tapi tetap kosong. Ia memilih mengundang si penulis ke kedai untuk kelas kopi gratis. “Biar pahitnya punya kata,” tulis Jayeng.
Penulis itu datang: seorang mahasiswi tingkat akhir bernama Cempaka. Ia mengakui sedang banyak tekanan tugas akhir. Jayeng dan Retna mendengarkan. “Maafkan perilaku kami yang terburu-buru,” kata Jayeng. “Kesalahan barista itu kami olah menjadi SOP baru.”
Cempaka menatap cangkir latte art berbentuk daun. “Kadang kita hanya butuh diingatkan bahwa yang pahit pun bisa dibentuk.”
.
Malam-malam di Malang, Retna mulai menulis lagi. Bukan angka, bukan rencana, melainkan catatan perenungan yang ia sebut “Kurikulum Sunyi”. Ia mengisi halaman-halaman dengan temuan-temuan sederhana: “Orang yang jujur pada letihnya akan tiba lebih utuh,” atau “Rumah tangga bukan proyek yang selesai ketika foto dipajang; rumah tangga adalah peta yang diperbarui setelah menemukan jalan buntu.” Catatan itu ia unggah ke blog kecil, tanpa promosi, dan entah bagaimana mulai dibagikan orang. Ada yang mengutip, ada yang menentang, ada yang meneteskan air mata di kolom komentar.
Suatu hari, seorang perempuan dari Jember bernama Candra menulis: “Terima kasih. Aku baru saja menjanda dan baru tahu bahwa mengelola utang dan rasa bersalah ternyata bisa dipelajari bersama.” Retna menatap layar lama sekali. Ia merasa, untuk pertama kalinya sejak ruang praktik dokter itu, ia tidak hanya menunggu hasil. Ia menumbuhkan hasil yang berbeda.
Jayeng menatap Retna yang tertunduk di depan laptop, rambutnya berantakan, pipinya pucat tapi matanya terang. “Kamu lebih dari angka,” katanya. “Kamu bahasa.”
Retna tertawa kecil. “Kamu berlebihan.”
“Biarkan aku berlebihan untukmu,” jawab Jayeng.
.
Waktu berjalan seperti pedagang keliling yang selalu punya dagangan baru. Program “Yang Tumbuh di Antara Gedung” pelan-pelan mengundang orang dari kota-kota sekitar. Madi datang membawa materi tentang kesehatan mental di tempat kerja: cara mengenali tanda tubuh meminta jeda, cara mengajukan cuti tanpa bersalah, cara mengucapkan “tidak” yang sehat. Ia bercerita tentang burnout tanpa membuat ruangan semakin sempit. “Kita boleh mengakui lelah tanpa menjadikannya merek,” katanya. “Kita boleh kuat tanpa menjadikan orang lain sebagai panggung untuk membuktikannya.”
Citra kembali menghubungi: “Kami masuk dengan kontribusi bertahap. Tidak hanya uang, tapi juga jejaring untuk memperluas modul ke kota lain. Syaratnya satu: jaga agar kelas tetap terdengar seperti obrolan, bukan kuliah.”
Jayeng mengiyakan. Di kepalanya, kota-kota tumbuh seperti titik-titik lampu di peta malam: tidak menyilaukan, tapi saling menyapa.
Retna, pada suatu sore, mengajak Maya jalan di taman. “Aku ingin angkat satu topik yang lebih sensitif: kegagalan menjadi orang tua,” katanya. Angin sore membawa bau tanah basah. “Bukan untuk mengajari siapa pun, tetapi untuk membuka jendela. Biar yang lain tahu bahwa jendela itu ada.”
Maya menatap jalur lari yang kosong. “Buka jendela, jangan teriak dari jendela,” katanya pelan.
“Baik,” Retna tersenyum. “Aku akan menyalakan lampu kecil.”
Mereka menggelar sesi: “Ruang Tunggu yang Tidak Sepi.” Hadir lima pasangan, dua perempuan, satu laki-laki sendirian. Tidak ada dokter. Tidak ada ceramah. Hanya cerita yang diletakkan di tengah seperti roti: dipatahkan, dibagi, disisakan. Ada yang menangis, ada yang diam. Ada yang menulis di secarik kertas: “Aku tidak ingin menjadi angka lagi.” Retna menjawab, “Kamu adalah huruf pertama dari namamu sendiri.”
.
Di Jakarta, sebuah media menulis tentang program mereka. Judulnya: “Kelas-Kelas Kecil yang Memperbaiki Kota.” Foto-foto memperlihatkan anak-anak menempel stiker warna di buku catatan. Di satu foto, ada tangan Retna memegang spidol hitam, kukunya tanpa cat, gelang kecil di pergelangan. Di foto lain, Jayeng menatap seorang bapak yang sibuk menghitung harga modal untuk dagangan lontong sayur, dengan kesabaran yang jarang ditaruh di ruang bisnis modern.
Jayeng membaca artikel itu di kereta malam kembali ke Malang, sambil menatap penumpang yang tertidur dengan kepala miring ke jendela. Ia teringat foto lama di ponsel: sebuah gambar kota dari ketinggian, lampu-lampu seperti bintang yang tersisa di bumi. “Kota ini tidak pernah tidur,” kata legenda pop di benaknya. “Tapi seharusnya kota ini tahu cara beristirahat.”
Ia menulis pesan pada dirinya sendiri: “Jadwalkan jeda. Tetapkan hari tanpa rapat, jam tanpa ponsel, ruang tanpa ambisi. Bukan untuk menolak dunia, tapi untuk menerima diri.”
.
Suatu malam, hujan kembali. Hujan yang rapi, lembut, seperti tulisan halus di surat cinta. Retna dan Jayeng duduk di beranda. Mereka tidak membicarakan angka, rencana, atau target. Mereka hanya mendengarkan air. Listrik sempat padam beberapa menit, dan kegelapan tiba seperti tamu yang tidak diundang tapi tidak mengganggu. Ketika lampu menyala kembali, mereka saling menatap, seperti baru menemukan satu sama lain.
“Kamu ingin kembali mencoba?” tanya Jayeng pelan. Ia tidak menyebut apa.
Retna memegang tangan Jayeng. “Aku ingin melanjutkan hidup, dan di dalamnya ada ruang untuk mencoba lagi.”
“Kalau tidak berhasil?”
“Kita tetap tumbuh. Di antara gedung-gedung yang tinggi, di antara janji-janji yang kadang meleset, di antara doa-doa yang tidak punya jam kerja.”
Jayeng mengangguk. “Kita tumbuh.”
Malam itu, mereka mengirim pesan pada Maya: “Program berikutnya: ‘Bertumbuh Tanpa Bukti.’” Maya membalas: “Aku siapkan ruang.”
.
Beberapa bulan kemudian, ketika pohon-pohon tabebuya berbunga di pinggir jalan, kota-kota itu seperti bersedia melunak. Program “Yang Tumbuh di Antara Gedung” telah mengisi tiga taman di tiga kota. Kelas literasi finansial bertambah topik: “Menawar Tanpa Merendahkan,” “Menabung untuk Kejutan, Bukan untuk Ketakutan,” “Menyusun Dana Darurat yang Tidak Darurat untuk Jiwa.” Kelas edutech menambah modul: “Matematika di Dapur,” “Bahasa Indonesia di Halte Bus,” “Sains di Atap Rumah saat Jemuran Tidak Kering.” Orang-orang mulai datang bukan karena diundang, melainkan karena ingin mengundang diri mereka sendiri.
Citra mengajak mereka ke sebuah konferensi kota berkelanjutan. “Paparkan bukan keberhasilan,” katanya, “melainkan cara kalian menanggung hari-hari ketika kelas sepi, dana kurang, tenaga habis.”
Jayeng dan Retna sepakat. Di panggung, mereka bercerita tentang sore-sore ketika hanya dua peserta datang. Tentang pagi-pagi ketika suara hujan di atap lebih keras daripada keberanian keluar rumah. Tentang malam-malam ketika login-user berkurang, dan angka-angka terasa seperti langit-langit yang merendah. Dan tentang bagaimana di hari-hari itu mereka tetap datang, menaruh kursi, menulis di papan, dan menyalakan lampu kecil.
Seusai sesi, seorang lelaki berjas rapi mendekat. “Saya Prana,” katanya. “Dulu saya jenis orang tua yang mengukur anak dari peringkat kelas. Sekarang saya sedang belajar menghitung dari pertanyaan yang berani ia ajukan.”
Retna tersenyum. “Pertanyaan adalah mata air.”
Prana menunduk. “Terima kasih sudah mengingatkan.”
.
Pada suatu pagi, ketika langit bersih dan angin mengusap kain jemuran, Retna menatap dua garis samar di alat uji yang ia pegang di kamar mandi. Ia tidak berteriak. Ia duduk. Air matanya menetes seperti seseorang mengetuk pintu dan tidak sabar menunggu dibukakan. Ia keluar dengan langkah pelan. Jayeng sedang menyeduh kopi, sendok kecil mengaduk searah jarum jam. Retna menunjukkan alat uji itu.
“Ini tidak pasti,” katanya.
“Tidak apa-apa,” jawab Jayeng. “Kita juga tidak pasti.”
Mereka tertawa, dan tertawa itu bukan euforia; itu adalah udara masuk ke paru-paru yang sebelumnya lupa caranya.
Minggu-minggu setelah itu, mereka tidak mengumumkan apa pun. Mereka hanya merawat diri, merawat kelas, merawat kota. Retna menulis di “Kurikulum Sunyi”: “Kita tidak butuh kepastian untuk mensyukuri proses. Kita hanya butuh keberanian untuk tidak mempermalukan harapan.”
.
Di akhir tahun, mereka kembali ke Jakarta untuk meresmikan ruang belajar kecil di sebuah kantor kelurahan. Damar datang menghadiri, sekarang ia sudah lulus SMA dan diterima di politeknik. Cempaka hadir dengan skripsi yang telah rampung. Sari membuka warung jamu dengan pembukuan harian yang rapi. Doni meluncurkan toko online kecil dan menolak dua penipu yang mencoba mengirim link palsu. Orang-orang berdiri di ruang sempit, saling menempel bau keringat yang jujur dan parfum yang mencoba menutupi.
Jayeng mengambil mikrofon. “Kota,” katanya, “adalah kelas tanpa jam pelajaran. Kita semua murid; kita semua guru. Kita tinggal memilih kapan duduk dan kapan berdiri.”
Retna melanjutkan, suaranya tenang. “Kita tidak bisa memaksa bunga mekar. Tapi kita bisa menyiapkan tanah, air, dan cahaya. Di antara gedung-gedung tinggi, kita bisa jadi pot yang tidak membatasi—hanya mengarahkan akar agar tidak patah.”
Maya menatap mereka dari baris belakang, matanya basah. Madi berdiri di samping Citra, keduanya diam namun mengangguk ke arah yang sama: sebuah masa depan yang tidak muluk-muluk tetapi terukur oleh bertambahnya orang yang tidak merasa sendiri.
Di luar gedung, hujan mulai turun lagi. Hujan yang rapi, menutup sebagian wajah kota, membuka sebagian lainnya. Lampu-lampu memantul, memanjang, menyatu. Orang-orang keluar dengan payung, ada yang berlari, ada yang berjalan. Retna dan Jayeng berdiri di ambang pintu, tidak tergesa.
“Kita pulang?” tanya Jayeng.
“Kita sudah pulang,” jawab Retna. “Sejak kita memutuskan untuk tinggal di dalam diri sendiri.”
Mereka melangkah ke hujan, ke kota yang tidak pernah selesai diajarkan, ke hari-hari yang tumbuh pelan. Di antara gedung, di antara angka, di antara harapan, mereka terus menyalakan lampu kecil—cukup untuk menuntun, tidak untuk menyilaukan.
.
“Di dunia yang memuja laju, kita berhak memilih langkah; sebab tujuan bukan selalu garis akhir, melainkan cara menghela napas tanpa kehilangan diri.”
.
.
.
Malang, 28 Oktober 2025
.
.
#YangTumbuhDiAntaraGedung #CerpenKota #KelasKecilDampakBesar #LiterasiFinansial #EdutechID #KurikulumSunyi #UrbanWellbeing #KompasStyle