Romantisme Kota Malang: Sunyi yang Mengajar Di Antara Ruang Dosen

“Tidak semua pelajaran harus disampaikan dengan suara lantang. Ada yang hanya bisa dipahami lewat sunyi.”

.

Pagi yang Lambat di Kota yang Pelan

Kabut turun lebih tebal dari biasanya pagi itu. Di tepi kampus, warung-warung mahasiswa baru membuka tirai plastiknya, aroma mi instan bercampur kopi sachet beradu dengan dingin pagi Malang. Di tengah itu, Anggraini melangkah cepat namun terasa berat. Seperti ada tarikan halus dari udara sekitar yang mengingatkannya bahwa belum semua hal di dalam dirinya selesai dibicarakan.

Ia memasuki Gedung Fakultas Ilmu Komunikasi—tempat yang sudah ia akrabi selama empat tahun terakhir. Tempat yang memberikan gaji cukup untuk kontrakan, cicilan motor, tagihan listrik, dan sedikit tabungan tiap bulan. Tapi juga tempat yang memberinya kegelisahan yang tumbuh diam-diam seperti jamur di musim hujan.

Staf administrasi menyapanya sambil memegang map penuh dokumen.
“Bu Anggraini, mohon nilai-nilai mata kuliah semester lalu segera masuk ya. Banyak orang tua menanyakan progres anaknya.”

Ia mengangguk sopan.
“Iya, Pak. Saya percepat.”

Tetapi hati kecilnya bertanya: Sejak kapan nilai kuliah menjadi barang yang dinegosiasikan?
Sejak kapan orang tua mahasiswa lebih sering memantau nilai daripada anaknya sendiri?

Namun ia tidak menyuarakan itu.
Belum saatnya.

.

Kelas Pagi: Antara Teori dan Realita

Mahasiswa sudah duduk ketika ia tiba. Sebagian membuka laptop, sebagian membuka ponsel. Hanya sedikit yang membuka buku.

“Selamat pagi,” katanya.

“Pagi, Bu…”

Ia menyalakan proyektor. Slide pertama berbunyi:

“Etika Komunikasi Digital: Ketika Informasi Tidak Lagi Netral.”

Di depan kelas, Anggraini mengajar hampir tanpa jeda. Tiga puluh pasang mata menatapnya—ada yang fokus, ada yang lelah, ada yang merasa ini hanya mapel yang harus diambil agar bisa lulus.

Saat mengajar, ia sering menemukan dirinya pecah dua:

  • setengah ingin memberi idealisme,

  • setengah harus memenuhi tuntutan kurikulum yang semakin pragmatis.

Di tengah penjelasan, seorang mahasiswa mengangkat tangan.
“Bu, di industri kan yang penting cepat. Etika itu realnya masih kepakai nggak sih?”

Pertanyaan itu sederhana.
Tapi bagi Anggraini, menusuk.

Karena ia sendiri pernah merasakan dunia kerja yang membuat etika terasa seperti barang mahal yang tidak laku dijual.

Ia tersenyum pelan.
“Etika itu penting justru karena jarang dipakai. Yang jarang dipakai biasanya justru yang menyelamatkan kita dari kesalahan besar.”

Kelas hening. Jawaban itu masuk—pelan tapi dalam.

Ketika kelas selesai, dua mahasiswa menghampirinya.
“Terima kasih, Bu. Penjelasannya beda dari kelas-kelas lain.”

Ia tersenyum, menyembunyikan getir.
Beda bukan selalu berarti dihargai di kampus.

.

Ruang Dosen: Keramaian yang Diam

Ruang dosen panjang itu selalu penuh suara, tapi tidak pernah benar-benar ramai. Ada gelak tawa topik ringan, ada gosip kenaikan jabatan, ada keluhan soal SKS dan beban mengajar. Tetapi tidak ada ruang untuk membicarakan hal-hal yang betul-betul mengguncang jiwa seorang pendidik.

Anggraini membuka laptop sambil mendengarkan rekan sebelahnya mengomel.

“Mahasiswa sekarang, nilai jelek dikit langsung orang tua protes. Kayak supermarket aja kampus ini.”

Yang lain tertawa.
“Ya itu. Kita harus melayani pelanggan.”

Anggraini diam. Kata “pelanggan” membuat tengkuknya dingin. Itu bukan kata yang seharusnya muncul di ruang pendidikan.

Ia membuka inbox e-mail. Ada satu pesan yang membuatnya ingin menutup laptop kembali.

“Mohon perhatian: Semua dosen wajib menyesuaikan materi dengan kebutuhan industri. Kurangi materi konseptual. Fokus pada output kerja.”

Ia menutup mata.
Kampus ini, seperti banyak kampus lain, mulai kehilangan jiwanya:
pendidikan menjadi layanan, mahasiswa menjadi komoditas, dosen menjadi operator.

Ia merasa seperti sedang berdiri di dua dunia: yang ia percaya, dan yang kampus inginkan.

.

Orang Tua di Ujung Telepon

Malam itu, saat ia menata berkas nilai, pintu ruang dosen diketuk seorang mahasiswa, Rama.

“Bu, maaf. Mama saya ingin bicara.”

Angraini mengangguk.
Panggilan video disambungkan.

Wajah seorang ibu muncul, tersenyum manis—senyum yang sering digunakan untuk membungkus intimidasi halus.

“Begini Mbak Dosen, saya cuma ingin memastikan nilai anak saya aman. Rama anak baik. Masa dapat C? Kan kurang cocok untuk nanti melamar kerja.”

Anggraini menjawab lembut, “Ibu, penilaian berdasarkan tugas. Kalau Rama perbaiki tugasnya, nilainya naik.”

“Mbok ya dibantu lah, Mbak. Kita sama-sama orang Jawa. Wong cilik. Nanti kalau butuh apa-apa, keluarga kami siap bantu.”

Entah bagaimana, kalimat ‘orang Jawa’ selalu dipakai sebagai alat tawar.

“Maaf, Bu,” kata Anggraini. “Saya hanya bisa bantu Rama belajar, bukan memberi nilai tanpa dasar.”

Wajah ibu itu berubah.
Tatapannya dingin.
Ia menutup telepon tanpa salam.

Rama menunduk.
“Maaf, Bu…”

Setelah ia pergi, ruang dosen kembali sunyi.
Tapi sunyi itu terasa menusuk.

Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Anggraini merasa benar-benar lelah menjadi dosen.

.

Rumah Kontrakan yang Menyimpan Sunyi

Kontrakannya hanya satu kamar.
Sederhana, murah, apa adanya.
Tapi sunyi di dalamnya sering menyerupai teman, dan kadang menjadi musuh.

Malam itu, ia membuka laptop. Draft modul menunggu. Tetapi jemarinya tidak mau bergerak.

Ia membuka jendela, membiarkan angin malam Malang masuk. Lampu-lampu gang memantulkan cahaya kuning redup. Kucing tetangga menguap di bawah kursi plastik.

Lalu ponselnya berbunyi. Pesan dari Ajeng.

“Anggra, kalau kamu butuh ruang untuk bernapas, aku di kafe Ijen. Kita lagi nyusun modul buat sekolah.”

Ajeng menambahkan,

“Ayo sini. Nggak semua perjuangan harus sendirian.”

Anggraini menoleh ke meja kerjanya.
Ke modul yang belum selesai.
Ke ruang dosen yang penuh tekanan.
Ke dirinya sendiri yang mulai letih.

Ia mengambil jaket.
Melangkah keluar.
Menuju cahaya lain selain lampu kontrakan.

.

Kafe Ijen: Malam yang Mengubah Arah

Kafe itu dipenuhi wangi kopi dan hujan. Ajeng, Panji, dan Jayengrana sudah duduk dengan catatan dan laptop terbuka.

Begitu Anggraini datang, Ajeng berseru,
“Dosen favorit kami datang!”

Panji mengangkat tangan, “Tolong kami selamatkan dari kebodohan.”

Jayengrana menambahkan, “Kami butuh struktur. Kami butuh otak akademis. Kami butuh kamu.”

Anggraini tertawa kecil—tawa yang sudah lama tidak keluar.
Ia membaca draft modul mereka.
Dan tiba-tiba ia merasa hidup kembali.

“Ini bagus,” katanya. “Tapi kurang fondasi etis. Anak-anak harus diberi kerangka dulu sebelum praktik.”

Ajeng menatapnya lembut.
“Makanya kami butuh kamu.”

Tiga jam mereka menyusun modul:

  • Etika bermedia

  • Identitas digital

  • Cara membangun kredibilitas

  • Bahaya informasi menyesatkan

  • Jejak digital dan tanggung jawab jangka panjang

Saat kafe hendak tutup, Ajeng memandang Anggraini.

“Kamu cocok mengajar di dunia nyata juga, Gra. Bukan hanya di kampus yang membatasi gerakmu.”

Dan malam itu, Anggraini merasa pertama kali dalam waktu lama: bukan sebagai dosen yang kehilangan arah, tapi sebagai manusia yang sedang menemukan tempatnya.

.

Mengajar di SMA: Pelajaran Baru

Seminggu kemudian, Anggraini berdiri di depan ratusan siswa SMA di Batu.
Kelas besar itu gaduh dalam cara anak-anak muda yang penuh energi.

Namun ketika ia berbicara, ruangan perlahan hening.

Ia menjelaskan tentang jejak digital—bahwa apa pun yang mereka unggah akan hidup lebih lama dari ingatan mereka sendiri.

Ia menunjukkan contoh nyata, tentang anak yang kehilangan kesempatan beasiswa karena unggahan lama.

Seorang siswa bertanya,
“Bu, sebenarnya kita harus dengar siapa? Influencer? Guru? Atau diri sendiri?”

Ia tersenyum.

“Dengar semua. Tapi yang kalian ikuti harus yang membuat kalian tumbuh. Bukan yang membuat kalian kehilangan diri.”

Selesai sesi, para guru mengucapkan terima kasih.

Anggraini terdiam di parkiran.
Di sana, antara kabut Batu dan suara kendaraan, ia merasa sesuatu berubah dalam dirinya:

Ia masih dosen,
tapi jiwanya punya jalur lain untuk mengajar.

.

Jembatan Antara Dua Dunia

Kolaborasi dengan Ajeng dan RupaRasa berlanjut.
Modul demi modul mereka bangun: untuk sekolah, komunitas, bahkan UMKM.

Perlahan, Anggraini mulai melihat masa depannya bukan hanya dalam kampus, tetapi di antara dua dunia—dunia yang memintanya berpikir, dan dunia yang memintanya bergerak.

Dan di tengah perjalanan itu, ia tidak lagi merasa sendirian.

Ia kini mengajar bukan hanya dengan kepala, tetapi dengan pengalaman. Dengan manusia lain yang membuat ruangnya lebih luas.

.

Sunyi yang Kini Bersahabat

Suatu malam, Anggraini duduk di ruang dosen yang telah kosong. Lampu kuning temaram memantul di meja kayu. Suara AC terdengar pelan.

Ia menatap layar laptop.
Ada banyak hal belum selesai.
Banyak tekanan belum hilang.

Namun hatinya lebih tenang.

Hari itu ia memahami:

“Sunyi yang dulu menghukummu kini bisa menjadi sahabat, jika kamu belajar mendengarkannya.”

Ia menutup laptop.
Mematikan lampu.
Melangkah keluar.

Di lorong, ia melihat pantulan dirinya di kaca:
Dosen muda yang tidak lagi kecil di dalam dunia yang besar.

Karena kini ia tahu—tempatnya bukan hanya di ruang dosen, tetapi di ruang hidup yang ia bangun sendiri.

Perlahan. Pasti.
Dengan suara yang tidak perlu lantang.

.

.

.

Malang, 8 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #CerpenIndonesia #DosenMuda #KehidupanKampus #MalangStory #AkademisiMuda #UrbanMiddleClass #EtikaDigital #RuangDosen #CeritaInspiratif

Leave a Reply