Pada Waktunya Kita Akan Pulang Juga

“Kesabaran bukan berarti diam. Kesabaran adalah keberanian untuk tetap berharap, bahkan ketika dunia tidak memberi kita alasan.”

.

Hujan selalu punya cara merayap masuk ke ruang-ruang yang paling sunyi dalam diri manusia—begitu halus hingga kadang kita lupa kapan persisnya ia mulai mengetuk. Sore itu, Jakarta diguyur hujan tipis seperti kapas basah yang jatuh perlahan. Langit abu-abu, lampu-lampu mobil memantul pada genangan, dan angin membawa aroma tanah basah bercampur aspal panas.

Di dalam mobil SUV hitam miliknya, Raras duduk tanpa menyalakan wiper. Ia membiarkan titik-titik air menempel di kaca, membiarkan dunia memudar, membiarkan dirinya tenggelam dalam sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya—kehilangan yang lama menunggu untuk diakui.

Cincin tipis emas putih melingkar di jarinya, bukan cincin pernikahan, namun cincin hadiah untuk dirinya sendiri saat ia dipromosikan menjadi Direktur Pemasaran di perusahaan konsultan gaya hidup ternama. Gelar itu—Direktur—telah ia pertahankan dengan darah. Dengan lembur. Dengan rapuh yang disembunyikan di balik blazer mahal.

Namun sore itu, ia tak merasa seperti seorang direktur. Ia merasa seperti seorang perempuan yang tersesat di antara ambisi dan hatinya sendiri.

Ponselnya bergetar.

Pesan dari Panji:

“Ras, klien minta pitch deck final malam ini. Bisa kamu cek sebelum jam 10?”

Raras memejamkan mata. Dunia menuntutnya bahkan di tengah hujan.

Ia ingin menjawab “Tidak,” tapi jari-jarinya terlalu terlatih untuk bekerja. Ia menunda. Tidak dibalas. Untuk pertama kalinya dalam bulan ini, ia membiarkan notifikasi itu berlalu begitu saja.

Di kursi penumpang sebelah, tergeletak foto ayahnya yang baru ia temukan di rumah. Wajah lelaki itu—kuat, keras, namun penuh kasih—membuat dadanya hangat dan sesak bersamaan.

Ayahnya sedang sakit, dan ia pulang ke Jakarta bukan untuk cuti, tapi untuk merawat orang yang selama ini ia abaikan demi karir.

Dan seperti sebuah magnet tak terlihat, ingatannya membawa dirinya kembali ke seseorang yang dulu pernah menjadi rumahnya di tengah kesibukan yang gila.

Ardika.

.

Pertemuan Pertama

Mereka pertama kali bertemu di Bandung, dalam seminar brand strategy untuk industri hospitality. Raras hadir sebagai pembicara muda yang sedang naik daun, Ardika hadir sebagai konsultan independen yang reputasinya pelan tapi pasti menguat di kalangan profesional urban.

Tatapan mereka bersinggungan ketika keduanya memesan kopi yang sama: flat white dengan tingkat foam rendah.

“Aku selalu percaya orang yang memilih flat white biasanya punya banyak hal yang ingin diceritakan tapi jarang menemukan pendengar yang tepat,” kata Ardika sambil tersenyum kecil.

Raras terkekeh. Ia jarang tertawa pada orang asing.

Percakapan itu menjadi lebih panjang dari sesi seminar yang mereka hadiri. Sejak saat itu, Bandung menjadi tempat di mana hati mereka berani membuka sedikit celah.

Ardika adalah seseorang yang tenang. Terlalu tenang bagi hidup Raras yang selalu penuh kampanye, meeting, target, dan flight ke luar kota. Tapi justru ketenangan itulah yang membuatnya sulit dilepaskan.

Ia seperti jeda di antara dua rapat besar. Seperti waktu bernapas di antara presentasi yang kompetitif. Seperti ruang kosong di elevator yang tiba-tiba terasa hangat.

Hingga akhirnya mereka bersama. Tanpa janji besar, tapi dengan kebersamaan yang terasa cukup.

Untuk sementara.

.

Kehilangan yang Tak Diucapkan

Kesuksesan Raras naik seperti ledakan.

Ia diundang berbicara di konferensi internasional. Ia diminta memimpin divisi baru. Ia dipercaya menangani klien-klien premium. Ia mulai bepergian terlalu sering, makan malam bersama Ardika berubah dari dua kali seminggu menjadi dua kali sebulan.

Ardika tidak marah. Ia hanya semakin diam.

“Ras, kamu bahagia dengan hidupmu yang sekarang?”
Pertanyaan itu ditanya pada suatu malam, di tengah makan malam sederhana.

Raras menjawab cepat. “Tentu.”

Ardika menatapnya lama, seperti ingin membaca sesuatu di balik jawaban itu.

“Kalau begitu… aku harus belajar bahagia dengan cara mencintaimu dari kejauhan.”

Raras tertawa kecil, menganggapnya bercanda.

Ia tidak tahu bahwa itu adalah pengantar perpisahan.

Perpisahan yang tidak datang dengan amarah. Tidak dengan air mata. Hanya dengan kalimat yang sederhana:

“Ras, aku pergi. Bukan karena aku tidak cinta. Tapi karena aku tidak tahu bagaimana cara mencintaimu tanpa kehilangan diriku sendiri.”

Dan malam itu, Ardika menutup pintu apartemen tanpa menoleh.
Sesederhana itu.
Sesakit itu.

.

Di Antara Kerja dan Luka

Tiga tahun lewat tanpa jeda.

Raras menumpuk prestasi satu demi satu.
Gaji tinggi, penghargaan, apartemen baru di kawasan elit, tas-tas bermerek yang ia beli untuk menambal malam-malam sepi.

Namun tubuh dan hatinya memprotes diam-diam.

Ia bekerja sampai dini hari. Hidupnya dibangun sepenuhnya dari kalender, reminder, dan meeting code Zoom. Relasi dengan keluarga renggang. Teman dekat jarang ditemui.

Dan di balik semua itu, ia selalu melihat bayangan seseorang dari masa lalu yang masih tinggal di sudut matanya.

Seseorang yang tidak pernah benar-benar pergi.

**

Sampai suatu pagi, telepon masuk dari adiknya:

“Ras… Ayah jatuh. Sekarang di rumah sakit.”

Kalimat itu memotong laju hidupnya.

Raras pulang tanpa menutup laptop. Tanpa membawa tas kerja. Hanya dengan tubuh yang gemetar dan hati yang berdenyut tanpa pola.

Saat ia tiba di rumah sakit, melihat ayahnya terbaring dengan selang oksigen, seluruh dinding ambisi yang ia bangun retak pelan.

Untuk pertama kali dalam bertahun-tahun, ia menangis tanpa menahan diri.

.

Kembali ke Rumah yang Terlupakan

Merawat ayahnya membuat Raras mengingat banyak hal—tentang siapa dirinya sebelum dunia korporat membentuknya menjadi mesin.

Ia melihat foto-foto lama: dirinya waktu kuliah, bersama keluarga, bersama Ardika. Ada gambar mereka di bawah pohon trembesi, tertawa tanpa alasan.

Pada malam ketiga, saat ia duduk di samping ranjang ayahnya, ada pesan masuk.

Nama itu muncul seperti tamparan lembut:

Ardika.

“Mutia cerita tentang kondisi ayahmu. Aku berdoa yang terbaik. Jika butuh sesuatu, kabari.”

Raras menutup mulut dengan tangan.
Air matanya jatuh.

Di dunia yang luas dan sibuk ini, ternyata ada satu orang yang masih mengingatnya.

Ia membalas dengan gemetar:

“Terima kasih. Aku… sedang mencoba kuat.”

Balasannya datang setelah lima menit yang terasa seperti lima tahun.

“Ras, kalau kamu butuh ditemani, aku ada di Jakarta minggu ini.”

Dada Raras serasa diremas pelan.

.

Pertemuan Kedua

Tiga hari kemudian, mereka bertemu di sebuah kafe kecil di Kemang. Tempat yang dulu sering mereka datangi.

Saat Ardika masuk, hujan baru saja mereda. Tetapi ada sesuatu pada lelaki itu yang terasa berbeda:
Matanya lebih dalam. Senyumnya tidak selebar dulu, tapi lebih tulus. Dan langkahnya… langkah seseorang yang sudah selesai berlari dari dirinya sendiri.

“Raras,” katanya pelan.

Hanya satu kata.
Tapi dunia bergerak lebih lambat karenanya.

Mereka berbicara. Tentang pekerjaan. Tentang keluarga. Tentang hidup yang kadang terlalu cepat, kadang terlalu sepi.

Sampai akhirnya, Ardika berkata:

“Kamu tampak letih. Bukan letih tubuh… tapi letih hati.”

Raras menahan napas.
Hanya orang yang pernah tinggal di hatinya yang bisa melihat sedalam itu.

“Dik… aku menyesal.”

Ardika tidak menjawab cepat. Ia menatap hujan di luar, menatap jalanan yang basah.

“Ras… tidak semua penyesalan harus diselesaikan dengan kembali. Kadang cukup dengan saling memahami. Tapi kalau kamu bertanya apakah aku masih peduli…” Ia berhenti sejenak. “Aku masih.”

Air mata Raras pecah.
Hening yang bertahun-tahun ia simpan akhirnya menemukan jalan keluar.

.

Pulang Tanpa Tergesa

Setelah pertemuan itu, tidak ada yang instan.

Mereka tidak langsung bersama kembali.
Tidak ada adegan dramatis yang memaksa takdir. Hanya komunikasi perlahan: pesan singkat, sapaan pagi, obrolan santai tentang buku, tentang film, tentang kopi.

Raras memperbaiki hubungannya dengan keluarganya.
Ia membatasi lembur.
Ia mulai berjalan pagi di komplek rumah.
Ia belajar membiarkan hatinya bernapas.

Anehnya, semakin ia menjaga dirinya sendiri, semakin dunia terasa ramah.

Suatu pagi, saat ayahnya sudah mulai membaik, ia menerima pesan:

“Aku ke Bandung minggu depan. Kalau kamu sempat… aku ingin mengajakmu melihat tempat yang dulu pernah kamu bilang ingin kunjungi.”

Raras tersenyum.

Ia tahu, semesta sedang membuka pintu kecil—tidak besar, tapi cukup untuk membuat harapan masuk.

.

Tempat Semua Doa Kembali

Mereka bertemu di Bandung, di sebuah bukit kecil yang menghadap kota. Pemandangannya sederhana: lampu-lampu rumah, gedung, dan jalanan berkelok.

“Kamu pernah bilang…” Ardika memulai, “…ingin melihat kota dari tempat yang tinggi, supaya kamu ingat bahwa hidup tidak harus selalu terasa sempit.”

Raras menatap cahaya kota.
Hatinya penuh, tapi tidak lagi sesak.

“Dik… apakah kita bisa mulai lagi?”
Pertanyaan itu akhirnya keluar.

Ardika menatapnya. Ada kehangatan, ada keraguan, ada keberanian.

“Kita tidak perlu mulai dari awal,” katanya.
“Kita bisa mulai dari sekarang.”

Hujan kembali turun. Kali ini lebih lembut.
Seperti restu.

Raras menutup mata. Di dalam dirinya, sesuatu akhirnya pulang.

Dan ia tahu—pada waktunya semesta memang berpihak juga.

.

.

.

Malang, 23 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #CerpenUrban #KisahCintaDewasa #HealingJourney #SemestaBerpihak #CerpenMengharubiru

Leave a Reply