Mutiara dari Luka
“Keberanian bukan soal melompat ke cahaya, melainkan kesediaan duduk di dasar laut, membungkus gangguan kecil dengan sabar, hingga ia menjadi alasan untuk tetap hidup.”
“Luka yang tidak ditolak, bila dibungkus sabar lapis demi lapis, akan menjadi mutiara. Kita bukan diminta melupa, melainkan merawat hingga berkilau.”
.
Umaraya selalu percaya bahwa kota adalah jam pasir yang berdetak pelan. Butiran harinya jatuh satu per satu—rapat Zoom, rapat tatap muka, antrean tol, lampu kota yang menyala seperti gugusan rasi. Ia tinggal di apartemen tinggi di jantung Jakarta, lantai dua puluh tiga, di mana jendela besar menatap ke arah koridor Sudirman yang sibuk. Di meja makan, berdampingan dengan laptopnya, ada kerang kecil yang ia bawa dari Pulau Gili bertahun-tahun lalu. Kerang itu retak halus, di lubang retaknya ada titik mutiara yang belum sempurna: semburat purnama di balik kabut.
Ia menyebutnya “Ragil”.
“Kenapa menamai benda?” tanya Ragil—manusia Ragil—pada suatu pagi. Perempuan itu datang dengan rok kerja warna navy, memegang cangkir kopi yang masih bernafas. Di telapak tangannya ada garis-garis hidup yang tegas; ia selalu mengatakan bahwa garis itu bukan nasib, melainkan jejak dari semua yang pernah dipegang kuat-kuat lalu dilepaskan.
“Aku butuh alasan untuk bertahan,” jawab Umaraya. “Benda-benda mengingatkan. Nama membuatnya pulang.”
Mereka teman lama, sama-sama anak kota besar yang tumbuh di tengah kelas menengah ke atas yang ambisius—ayah-ibu yang menabung untuk sekolah bagus, kursus piano, tim basket, les bahasa, liburan dua kali setahun, dan sistem nilai yang tidak pernah benar-benar dijelaskan tapi dipersyaratkan: jangan gagal. Umaraya kini direktur kreatif di perusahaan teknologi periklanan. Ragil mendirikan klinik terapi wicara dan pusat pembelajaran untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Bintaro; di sela itu, ia mengajar kelas daring tentang komunikasi empatik untuk profesional muda yang lelah. Mereka pernah nyaris berpacaran di kampus, sebelum laju kota membelokkan mereka ke persimpangan yang berbeda.
Siang itu, Umaraya harus mempresentasikan proposal kampanye nasional untuk sebuah bank digital. Timnya berminggu-minggu membangun narasi “kepercayaan baru”—tagline yang terasa pas untuk generasi yang lebih percaya notifikasi ketimbang tanda tangan basah. Tapi malam sebelumnya, klien mengirim pesan: “Kita pivot. Fokus ke pinjaman usaha kecil menengah. Ada isu regulasi untuk rilis awal.”
Di kantor, Umardi—rekan kerjanya yang flamboyan dan cerdas seperti lampu neon—menggeleng dramatis. “Kalau mereka pivot, kita pirouette,” katanya sambil menautkan rambutnya ke karet gelang. Umardi dari keluarga saudagar perhiasan di Sumenep—darah pemberani yang suka dagang dan menawar nasib. Dari dia, Umaraya belajar satu frasa Madura yang selalu menenangkan: “ta’ ongguy tak ettabang”—tidak terapung tidak juga tenggelam; seni bertahan di permukaan.
Presentasi berjalan nyaris mulus. Hanya satu momen ketika direktur bank bertanya, “Bisakah Anda menjamin end user tidak akan merasa dieksploitasi?”—yang seketika membuat ruangan sunyi seperti kubus kaca. Umaraya menatap layar: grafik, persona, heatmap. Jawaban logis sudah ada di ujung lidah. Tapi di belakang kepalanya, gambar lain muncul: seorang ibu di kios kecil, menandatangani perjanjian yang ia tidak sepenuhnya pahami karena butuh tambahan modal untuk beli stok bumbu basah menjelang Lebaran. Setiap angka punya wajah, dan wajah itu mengawasi.
“Tidak ada yang bisa menjamin,” katanya akhirnya. “Tapi kami bisa memastikan desainnya mengembalikan martabat pengguna: tanpa biaya tersembunyi, bahasa yang bisa dibaca oleh ibu saya, dan tombol ‘uraikan’ untuk setiap konsekuensi. Kami tidak perlu menjadi cahaya; cukup menjadi cermin yang jujur.”
Rapat usai, sebagian besar setuju, sebagian lain ingin dua minggu lagi untuk uji A/B. Di lift, Umardi menyikutnya. “Kau terlalu jujur. Tapi justru itu yang membuat orang ingin ikut.”
Malamnya, Ragil datang dengan kresek berisi rawon beku yang dibuat ibunya. “Serius, kamu kerja atau berkotbah?” katanya sambil meletakkan rawon di freezer. “Kamu tahu, anak-anak di klinikku, sebagian besar bukan dari keluarga sederhana. Mereka punya uang untuk terapi, tapi yang paling butuh kesembuhan tak selalu kekurangan dana, melainkan kekurangan keberanian untuk menerima.”
“Apa maksudmu?”
“Banyak orang kaya takut punya anak ‘tidak sempurna’. Mereka berganti-ganti terapis, dokter, pengajar, mencari ‘keajaiban’ yang memastikan anaknya lulus seleksi dunia. Tapi yang mereka butuhkan seringkali satu: berhenti menolak luka.”
Ragil duduk di lantai, menyandarkan punggung pada sofa, menatap kota yang berkedip. “Aku ingin memperbesar klinik. Tambah ruang, tambah program, kolaborasi dengan kampus. Aku ingin membuka kelas beasiswa, mempekerjakan ibu-ibu yang anaknya menjalani terapi untuk jadi asisten. Tapi aku tidak berani pinjam modal.”
“Kenapa?”
“Karena aku tahu tanggung jawab adalah kuku. Ia menempel selamanya.” Ia tersenyum tipis. “Lalu aku lihat kamu, berdiri di ruangan penuh orang penting, mengakui bahwa tidak ada yang bisa menjamin apa-apa. Mungkin itu jawabannya: aku harus berhenti menunggu lampu hijau dari langit.”
.
Sebulan berikutnya, kota seperti mendukung mereka. Kontrak proyek bank digital diteken; klinik Ragil mendapatkan kerja sama riset dari fakultas psikologi sebuah universitas ternama. Mereka merayakan dengan makan malam di Menteng, restoran Perancis yang menghidangkan masakan seolah-olah tiap piring adalah kartu pos dari Eropa. Umardi ikut—ia baru saja mengumumkan akan membuka toko perhiasan kontemporer bekerja sama dengan pengrajin di Pamekasan.
“Namanya ‘Maya&Madi’,” kata Umardi sambil tersenyum pada Umaraya. “Dari kisah Menak Madura—Umar Maya dan Umar Madi yang saling mengingatkan bahwa keberanian tanpa kasih sayang hanya akan jadi keangkuhan. Di toko itu, kita akan menjual cincin tanpa gender, kalung yang bisa dipakai siapa saja, dan sepasang anting yang didesain dari bentuk karapas kerang. Simbol luka yang berubah jadi tanda.”
Ragil tertawa kecil. “Aku suka konsepnya.”
“Datanglah saat grand opening,” kata Umardi. “Bawa kerangmu.”
Suatu pagi mendung di bulan November, saat lalu lintas memadat karena hujan memanjangkan jarak, Umaraya mendapat telepon dari adiknya, Sasi, yang mengelola rumah makan keluarga di Surabaya. “Mas, Ibu jatuh di dapur. Kepalanya terbentur. Kami di UGD.”
Sisa hari itu jadi kaleidoskop: tiket pesawat dibeli tergesa, Slack kantor ditinggalkan tanpa ucapan pamit, laptop dijepit di ketiak saat bertemu dengan orang asing yang menahan tangis di bandara. Ragil mengirim pesan: “Aku temani, kalau kamu mau.” Umaraya menolak—bukan karena tak mau ditemani, tapi karena ada luka-luka yang harus ditemui seorang diri agar kita tahu cara menyebut namanya.
Di rumah sakit, Ibu terbaring dengan perban dan selang. Ia membuka mata ketika Umaraya memegang tangannya. “Kamu datang,” katanya serak. “Lihat wajahmu sendiri.”
“Ibu, jangan bercanda.”
“Aku serius. Di wajahmu ada wajah kecil yang dulu kubawa ke pantai untuk mencari kerang. Kau bilang ingin menemukan mutiara. Aku bilang, mutiara lahir dari luka. Kau marah, menuduhku merayakan sakit. Tapi sebenarnya, aku hanya ingin kau belajar membungkus luka dengan sabar, bukan menyembunyikan.”
Malam itu Umaraya duduk di kursi besi, mengingat masa kecil: ayah yang jarang di rumah karena bisnis properti di luar kota, ibu yang mengelola toko roti, bau gula hangus, oven yang berdengung seperti doa. Ia ingat semasa SMP ia mencuri catatan ibunya yang penuh daftar utang-piutang, angka-angka yang disusun seperti bait puisi tentang pengorbanan. Ia ingin percaya bahwa semua itu tidak sia-sia: sekolah bagus, karier, apartemen dengan jendela besar, pertemanan yang bisa membayar makan malam di restoran mahal. Tapi di hadapan ibunya yang lemah, semua definisi tentang sukses terasa seperti kursi lipat yang bisa robek kapan saja.
Keesokan paginya, hasil CT-scan menunjukkan pendarahan kecil yang harus dipantau, tidak operasi. “Bawa pulang saja,” kata dokter. “Berikan waktu, berikan tenang. Luka seperti ini perlu dirawat, bukan disangkal.” Seolah-olah kalimat itu ditulis langsung di dinding batinnya.
Umaraya tinggal seminggu di Surabaya. Ia mengubah jadwal rapat, mempresentasikan lewat video, mengerjakan revisi di sudut kamar Ibu—pancaran layar menari di dinding seperti ikan kecil di akurium. Ragil menelepon setiap malam, mengabarkan klinik akan memperluas program. Umardi mengirim foto: tukang memasang lampu di butik barunya, cermin-cermin ditata, lantai semen dihaluskan.
“Bawa Ibu ke grand opening, ya?” canda Umardi.
“Kalau beliau mau,” jawab Umaraya.
Seminggu setelah Ibu membaik, mereka pulang ke Jakarta. Malam pertama di apartemen, Umaraya membuka jendela. Kota menghembuskan napas panjang. Di meja, kerang kecil itu ditemani amplop cokelat—Ragil meninggalkan proposal bisnis untuk klinik: perhitungan biaya, proyeksi, kurikulum pelatihan asisten, bahkan rencana konten edukasi untuk orang tua. Ada tulisan tangan di halaman pertama: “Jika kamu tidak menolak luka, kamu tak perlu menolak rasa syukur.”
Umaraya tersenyum. Ia membalas dengan secarik kertas: “Aku ikut investasi sedikit.”
Ragil memprotes lewat telepon. “Jangan, nanti kamu yang repot jika—”
“Kalau klinikmu berjalan, aku akan belajar dari caramu merawat. Kalau pun tersandung, aku akan belajar dari cara kita bangkit. Modal yang paling mahal adalah keberanian untuk jujur atas pilihan sendiri.”
.
Grand opening “Maya&Madi” berlangsung di bilangan SCBD. Butik itu kecil, dengan jendela besar—di dalamnya, perhiasan tampil di atas batu kapur dan meja kayu bekas geladak kapal. Ada sudut pameran sementara: foto-foto pengrajin dari Pamekasan, wajah-wajah yang tersenyum tanpa memamerkan gigi, tangan-tangan yang bertuliskan waktu. Di kiri, dua anting yang desainnya meniru lapis nacre pada kerang, dinamai “Lapisan Ragil”.
Umaraya datang bersama Ragil, Umardi memeluk mereka seperti memeluk kerabat lama. Musik mengalun pelan; sampanye disajikan berdampingan dengan es teh. Pelanggan berdatangan: seniman, pengusaha muda, dosen, dokter bedah, atlet e-sport, selebriti yang dikenal dari satu serial streaming. Mereka berbicara soal keberlanjutan, soal pasar, soal tren minimalisme, tapi di balik itu ada semacam kesepakatan tak tertulis: kita semua tumbuh dari luka, hanya caranya berbeda.
Di tengah keramaian, Sasi mengirim video: Ibu menatap televisi yang menyiarkan berita mengenai UMKM yang meraih pendanaan dan pendampingan. “Ibu senang,” tulisnya. “Kata Ibu, kota butuh lebih banyak orang yang mengajarkan menunggu yang benar.” Umaraya menatap jendela, mengangkat gelas ke arah langit yang belum sepenuhnya gelap.
Malam itu juga, kabar lain datang: server aplikasi bank digital mengalami kebocoran kecil saat uji coba. Tidak fatal, tapi cukup untuk membawa segala orang kembali ke meja rapat. Di grup kerja, beberapa orang panik; beberapa menyalahkan vendor. Umaraya mengetik: “Mari bertemu besok pagi. Tidak ada saling menyalahkan. Kita selam, bukan main air.”
Ragil memandangnya. “Kamu selalu memilih kata yang menenangkan.”
“Aku hanya mengulang kata-kata yang kubutuhkan.”
Keesokan paginya, ruangan rapat berbau kopi dan kegelisahan. Di layar, peta arsitektur sistem terbentang; di papan tulis, catatan kecil tentang titik kemungkinan kebocoran. Umaraya memulai dengan cerita: tentang kerang yang terganggu oleh butiran pasir kecil, tentang lapisan nacre yang melindungi, tentang proses yang lambat tapi tekun. “Kita bukanlah cahaya,” katanya. “Kita adalah kerang yang tidak menolak gangguan. Kita bungkus, kita telusuri, kita ajarkan pada sistem untuk sabar.”
Tim bekerja dua puluh jam, bergantian tidur di ruang istirahat. Saat fajar mendekat, bug terakhir ditemukan di modul notifikasi yang jarang diperhatikan—sebagian kecil pengguna mengaktifkan dua perangkat sekaligus. “Seperti cinta yang dibagi dua tapi tetap berharap utuh,” gumam Umardi, yang sengaja datang menjelang pagi membawa roti. Semua tertawa tanpa suara.
Proyek berlanjut. Peluncuran ditunda dua minggu, namun pada akhirnya berjalan lancar. Bank digital mengirim kue tart dan kartu ucapan tangan: “Kepercayaan baru bukan janji, melainkan proses.” Di klinik Ragil, ruangan baru dibuka; seorang ibu yang dulu menolak menerima label pada putranya kini menjadi asisten terbaik—ia tahu persis cara menenangkan anak yang tidak suka lampu terang.
Sebuah malam yang tampak biasa, Umaraya pulang lebih cepat. Ia menyalakan lampu hangat, mencuci dua gelas tanpa alasan, membuka jendela. Gedung-gedung menyala seperti susunan ubin di papan catur. Ia menatap kerang di meja dan memikirkan semua yang telah bergeser: Ibu yang belajar melambat, Sasi yang ingin menambah cabang rumah makan dengan konsep dapur terbuka agar anak-anak melihat proses memasak sebagai pelajaran, Umardi yang mempekerjakan empat pengrajin muda dan memberi mereka saham kecil di butik, Ragil yang bersiap mendirikan yayasan beasiswa terapi.
Teleponnya berdering. Ragil.
“Aku habis sesi dengan ayah seorang anak,” katanya. “Latar belakangnya top—kampus luar negeri, perusahaan konsultan, portofolio sahamnya kalau dipajang bisa jadi katalog. Tapi ia bilang kalimat paling sederhana yang kudengar bulan ini: ‘Saya tidak mau anak saya menjadi sempurna. Saya mau ia menjadi manusia yang berani mencintai dirinya.’ Lalu ia menangis.”
“Bagus sekali.”
“Kau sibuk?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, tolong jaga dirimu seperti caramu menjaga timmu. Luka lama suka menagih, tahu?”
Umaraya menatap kerang. “Aku sedang melapisinya, pelan-pelan.”
.
Suatu akhir pekan, mereka bertiga—Umaraya, Ragil, Umardi—pergi ke Ancol. Bukan untuk liburan glamor, melainkan untuk menyelam dangkal bersama relawan yang membersihkan sampah di laut dekat pantai. Mereka memakai wetsuit sederhana yang sedikit kebesaran, tertawa di bawah matahari yang belum sepenuhnya naik. Airnya keruh, tidak ada pemandangan karang berwarna; hanya plastik yang menari seperti ubur-ubur dan botol yang berguling dari satu gelombang ke gelombang berikut.
“Begini rupanya jika kita tidak menolak luka lalu tidak juga merawatnya,” kata Ragil, mengangkat jaring kecil berisi pecahan kaca dan tali rafia.
“Sebagian orang datang ke laut untuk bermain air,” sahut Umardi. “Sebagian lain belajar menyelam cukup dalam untuk memahami. Sisanya menjaga.”
Umaraya menahan napas, menyelam sejenak, memungut kerang kecil yang separuh cangkangnya hilang. Ia tidak tahu di mana mutiara berada, mungkin sudah dicuri waktu, mungkin belum jadi apa-apa. Di permukaan, ia menatap langit yang cerah. “Tidak semua kerang menghasilkan mutiara,” gumamnya. “Tapi semua kerang mengajari kita tentang rumah.”
Mereka duduk di dermaga, makan nasi bungkus—telur balado, tempe orek, sambal yang pedasnya jujur. Kota tampak lain dari sini: bukan hutan beton, melainkan kapal besar dengan banyak kamar mesin. Umaraya memotret kerang yang ia temukan, mengirimnya ke Ibu. Balasan datang cepat: foto dua tangan keriput memegang roti yang baru matang. “Yang masak bukan oven, tapi sabar,” tulis Ibu.
Malamnya, Umaraya menulis pesan untuk tim, untuk klien, dan untuk dirinya sendiri. Ia menulis seperti memperban sesuatu yang rapuh: tidak terlalu kencang agar tidak mematikan darah, tidak terlalu longgar agar tidak jatuh. Kata-kata itu kemudian menjadi semacam sumpah yang mereka pakai di proyek-proyek selanjutnya: “Kita tidak bekerja untuk menaklukkan pasar; kita bekerja untuk tidak mengkhianati manusia.”
Ragil membacanya dan menambahkan satu kalimat: “Dan tidak mengkhianati diri sendiri.”
.
Tahun berganti. Di klinik Ragil, ada anak yang untuk pertama kali memanggil “ibu” setelah berbulan-bulan melatih huruf vokal. Di butik Umardi, seorang perempuan membeli cincin untuk dirinya sendiri pada ulang tahunnya yang ke-40—ia berkata tidak butuh alasan selain “aku hidup.” Di rumah makan Sasi, menu baru dari resep Ibu ludes: roti gula aren yang renyah di luar, lembut di dalam. Di kantor Umaraya, timnya membuat kampanye sosial untuk literasi finansial yang ditayangkan di kereta dan halte bus: visualnya sederhana, bahasanya bukan jargon.
Pada suatu sore hujan, Ragil datang ke apartemen dengan mata yang terasa letih, tapi bibirnya menahan cerita baik. “Salah satu muridku pindah sekolah,” katanya. “Bukan karena ia ‘menjadi normal’, tapi karena sekolah baru bersedia menenggang cara belajarnya. Kepala sekolah lama mengirim pesan—ia minta maaf karena dulu menolak.”
“Kau menangis?”
“Sedikit. Aku ingat kata-kata Ibu: menunggu yang benar.” Ia menatap kerang di meja. “Apa kabar Ragil kecil?”
“Masih retak,” jawab Umaraya. “Tapi retak itulah yang membuatnya bernafas.”
Mereka berdiri di jendela, menyaksikan Jakarta dibilas hujan. Lampu-lampu terlihat seperti mutiara yang tumpah di talam gelap. Umaraya ingin memegang tangan Ragil, tapi ia menahan—bukan karena takut, melainkan karena ia tahu beberapa hal lebih baik tumbuh tanpa terburu-buru. “Kau tahu,” katanya pelan, “aku dulu ingin jadi penyelam.”
“Kenapa tidak jadi?”
“Aku takut kedalaman.”
“Kamu sudah menyelam selama ini,” kata Ragil. “Hanya saja bukan di laut. Di dalam dirimu.”
Umaraya tertawa. “Syarat jadi penyelam itu satu: jangan panik.”
“Kamu sudah lulus.”
Malam itu, sebelum tidur, Umaraya menulis satu kalimat di buku catatan: “Keberanian tertinggi bukan menantang badai, melainkan menolak menggulung karpet luka orang lain untuk dijadikan panggung.” Ia merasa, untuk pertama kalinya dalam hidup, jam pasir di kepalanya terbalik: butir waktu naik pelan, menambah, bukan menghabiskan.
.
Bertahun-tahun kemudian, ketika kota telah menua setahun lagi, mereka bertiga bertemu di tepi laut yang berbeda—bukan Ancol, melainkan pantai di Sumenep saat musim angin timur. Umardi baru saja membuka cabang kecil butik di pusat kota; Ragil datang untuk melatih guru-guru SD mengenai teknik berkomunikasi dengan anak yang sensitif suara; Umaraya menjadi pembicara di forum kewirausahaan kreatif. Di penginapan sederhana, pemiliknya bercerita tentang putranya yang merantau ke Jakarta menjadi barista. “Katanya, kopi itu soal air dan api,” ujarnya. “Saya bilang, hidup juga begitu.”
Malam itu, mereka berjalan ke tepi air. Bulan menggantung rendah, memantulkan garis tipis di permukaan laut. Di pasir, ada kerang-kerang yang dibawa ombak—beberapa masih utuh, beberapa pecah jadi bentuk tidak jelas. Ragil memungut satu, menggosoknya pelan. “Kau masih menyimpan ragil kecil di apartemenmu?”
“Ya.”
“Suatu hari, ketika kau siap, buka retaknya. Lihat apakah mutiara benar-benar ada. Kalau tidak ada, tidak apa-apa. Bukan untuk memiliki, hanya untuk belajar cara menjaga.”
Umaraya menatap ke arah cakrawala. Ia merasa hidupnya tidak lagi dikejar-kejar oleh prestasi yang harus diraih demi membuktikan sesuatu kepada namanya sendiri. Ada proyek-proyek baru, ada tanggung jawab yang tak habis, ada tagihan yang tetap datang, ada rasa takut yang tidak pernah benar-benar pergi. Tapi di antara semua itu, ada ruang kecil yang tidak lagi kosong: tempat untuk menunggu. Tempat untuk menyelam secukupnya. Tempat untuk membungkus.
Ia mengeluarkan ponsel, mengetik pesan pada Ibu: “Di sini, di tepi laut, aku belajar mengucapkan terima kasih pada semua yang pernah menyakitiku.” Balasan datang tak lama: “Jangan lupa, terima kasih juga pada dirimu yang mau merawat.”
Di kejauhan, kapal nelayan memantulkan cahaya seperti kalung sederhana. Umardi mengangkat tangan, seolah memberi salam pada sesuatu yang tidak terlihat. “Kukira akhirnya aku mengerti,” katanya. “Mutiara itu tidak lahir dari cahaya, seperti kata banyak poster motivasi. Ia lahir dari luka yang kita jaga, bukan kita ingkari.”
Ragil menatap keduanya. “Dan yang pantas memilikinya bukan yang datang sekadar bermain air.”
Mereka diam. Di bawah kaki, pasir dingin; di telinga, suara ombak yang tak pernah lelah. Umaraya tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia membayangkan kerang di apartemennya pecah dengan tenang, mengungkapkan sesuatu yang selama ini tidak ingin ia pastikan. Ia tidak tahu hasilnya akan apa. Ia tidak merasa harus tahu.
Kota, dengan semua kesempatan dan keriuhan kelas menengah ke atasnya—karier yang bertingkat, bisnis yang diversifikasi, pendidikan yang tak selesai-selesai—tetap menunggu mereka esok hari. Tapi malam ini, di pantai, mereka menjadi orang-orang yang tidak takut pada kedalaman. Mereka pulang tanpa membawa apa-apa, kecuali keyakinan bahwa tidak semua luka harus diusir; beberapa di antaranya layak diberi nama, dibungkus lapis demi lapis, sampai suatu saat memantulkan cahaya dari dalam.
Dan bila kelak ada yang bertanya apa yang mereka cari selama ini, mereka akan menjawab sederhana: rumah.
.
.
.
Jember, 4 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #FiksiUrbanIndonesia #LukaMenjadiMutiara #KelasMenengah #BisnisKreatif #TerapiWicara #MenakMadura #Storytelling