Menyimak Umur Orang Lain
“Jika engkau keras kepala di dunia yang cepat berubah, lunakkan hatimu dengan menyimak umur orang lain.”
— Pesan dari seorang Mbah kepada cucunya yang tumbuh di kota.
.
Di antara berkas dan tagihan di meja kerjaku, terselip sebuah buku catatan tua. Kertasnya menguning, baunya seperti hujan yang tertinggal di papan jati. Aku tak ingat kapan terakhir kali menyentuhnya. Barangkali saat hidup masih sederhana dan aku masih punya waktu untuk menulis hal-hal yang tak penting tapi menenangkan. Sekarang, tiap lembar waktu seperti faktur yang jatuh tempo. Namun entah kenapa, hari ini, aku ingin membuka lembaran itu lagi.
Aku, Panji. Usia empat puluh dua, hidup di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur. Aku tidak sedang mencari romantika hidup, hanya mencoba bertahan di antara perubahan yang terlalu cepat. Hari-hariku terbelah antara kerja konsultasi, proyek digital, dan kuliah magister yang belum juga rampung karena jadwal kerja yang padat. Aku tinggal di apartemen kecil di sudut selatan kota—di sana, jendela menghadap ke gedung-gedung tinggi yang malamnya seperti parade cahaya tanpa arah.
Pagi hingga malam, hidupku berputar pada layar: laporan keuangan klien, rencana brand identity hotel, modul pelatihan karyawan. Aku bicara pada orang setiap hari, tapi sering merasa tidak benar-benar didengar. Di tengah kesibukan itu, kadang muncul rasa sepi yang tak berisik tapi menempel seperti debu—tak terlihat, tapi menumpuk pelan.
Sore itu, di antara kopi dan pikiran yang berserakan, aku menemukan selembar tulisan di dalam buku harian lama: tulisan tangan Mbah dengan tinta hitam yang sudah pudar.
“Jika engkau keras kepala di dunia yang cepat berubah, lunakkan hatimu dengan menyimak umur orang lain.”
Kalimat itu menampar lembut. Aku menutup buku, menatap jendela, dan entah mengapa merasa seperti sedang diajak bicara. Mbah sudah lama tiada, tapi suaranya masih memantul di kepala: pelan, dalam, penuh jeda.
.
Jejak Waktu yang Tak Hilang
Beberapa hari kemudian aku menelepon Paman Umar, satu-satunya orang yang masih menyimpan memori keluarga seperti museum kecil. Kami janjian bertemu di rumahnya—sebuah rumah lama yang menolak roboh di tengah ekspansi perumahan elit. Pintu kayunya berwarna hijau pudar, dan di terasnya masih tergantung sangkar burung yang tak lagi berpenghuni.
“Panji,” sapa Paman, menepuk bahuku, “kau kelihatan capek tapi matamu menyala. Apa yang sedang kau cari?”
Aku tersenyum. “Mungkin bukan mencari, Paman. Lebih ke mengingat. Aku sedang membuat proyek branding hotel, konsepnya warisan keluarga. Tapi di tengah pekerjaan, aku malah merasa kehilangan arah. Rasanya seperti menulis sesuatu yang tidak kupahami lagi akar katanya.”
Paman Umar tertawa kecil. “Dulu, kakekmu sering bilang, orang kota itu pandai menata masa depan tapi pelit pada masa lalu. Padahal, tanpa masa lalu, kita cuma kabut yang disorot lampu.”
Ia membuka sebuah kotak kayu dari lemari, mengeluarkan potongan kertas berisi kaligrafi tangan tua. “Ini salinan tulisan buyutmu. Ia menulis kisah Menak bukan sebagai legenda perang, tapi perjalanan batin. Jayengresmi bukan pahlawan, melainkan pejalan yang tahu kapan harus berhenti. ‘Ajining diri saka lathi,’ tulisnya. Harga diri seseorang dari ucapannya. Begitu buyutmu menutup kisah, ‘Sing iso nyawiji ora kudu nyampuri’—yang mampu menyatu, tak perlu ikut campur.”
Aku mengangguk. Kata-kata itu seperti menyalakan lentera kecil di kepala. Hidup modern memang memintaku serba cepat: target, rapat, performa, insight, engagement, konversi. Tapi di tengah itu semua, adakah ruang untuk berhenti dan menyatu?
Paman menatapku lama. “Panji, mungkin bukan kisah leluhur yang kau cari. Mungkin dirimu sendiri yang ingin kau temui lagi.”
.
Kota yang Terlalu Cepat
Keesokan harinya aku kembali ke rutinitas. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di setiap rapat, di antara angka dan strategi, telingaku menangkap gema kata-kata Mbah. “Lunakkan hatimu dengan menyimak umur orang lain.”
Saat timku berdebat soal strategi digital untuk hotel baru, aku berhenti bicara dan mencoba mendengar. Di wajah anak muda itu, aku melihat semangat yang dulu kumiliki: idealisme yang kerap disalahpahami sebagai keras kepala. Dulu aku juga begitu—ingin membuktikan diri, ingin dikenal, ingin berlari. Tapi semakin tinggi pencapaian, semakin sunyi ruangnya.
Kota ini mengajariku banyak hal: bahwa keberhasilan tak selalu berarti bahagia, bahwa jabatan bukan jaminan arah. Di tengah jalan-jalan berlampu neon, orang-orang mengejar validasi yang semakin cepat usang. Semua berlomba untuk “eksis”, tapi lupa “ada”.
Setiap malam aku pulang lewat jalan yang sama, melewati papan reklame bertuliskan Live Brighter, Move Faster. Aku tersenyum getir. Mungkin, seharusnya kota ini mengganti slogan: Breathe Slower, Listen Deeper.
.
Arsip yang Mengajarkan Manusia
Pekerjaan berikutnya datang dari proyek dokumentasi sejarah keluarga untuk perusahaan besar. Aku diminta menulis ulang narasi pendirinya agar lebih “inspiratif” dan “modern”. Saat membuka arsip lama mereka, aku menemukan foto hitam putih pendiri perusahaan itu: berdiri di depan toko kecil, mengenakan kemeja lusuh, tapi matanya tenang. Di belakangnya, terpajang papan kayu bertuliskan “Usaha dan Doa.”
Kalimat itu sederhana tapi menggugah. Aku menatapnya lama, lalu menulis catatan kecil di laptop:
“Kadang, perusahaan kehilangan arah bukan karena pesaing, tapi karena lupa siapa dirinya di awal.”
Kalimat itu kemudian kuucapkan dalam presentasi di hadapan direksi. Ruangan hening. Seorang eksekutif paruh baya menatapku dengan mata basah. “Terima kasih,” katanya pelan, “kalimat itu menampar.”
Aku pulang dengan dada yang hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa pekerjaanku bukan hanya menjual ide, tapi menyalakan makna.
.
Ruang yang Perlu Ditempati
Beberapa waktu setelah itu, aku menatap dapur apartemenku. Kecil, rapi, tapi dingin seperti ruang rapat. Di sanalah aku memutuskan untuk melakukan proyek kecil: merombak dapur menjadi ruang pulang. Aku mengecat dinding dengan warna biru tua—warna yang menenangkan, kata Paman, seperti samudra yang menampung semuanya tanpa banyak bicara.
Saat mengecat, aku teringat pesan Paman: “Setinggi apa pun istana, orang tetap pulang ke dapur.”
Ia benar. Di dapurlah aku mulai belajar pelan-pelan: merebus air, menyeduh teh, menunggu uapnya naik. Ada terapi yang tidak bisa dibeli di kafe mana pun: menunggu sesuatu matang dengan sabar.
Dapur biru itu menjadi ruang heningku. Di sana aku menulis ulang jadwal hidup: bukan sekadar proyek dan target, tapi juga waktu untuk mendengar diriku sendiri. Aku belajar menikmati suara panci beradu, aroma bawang goreng, dan detak jam yang seolah ikut memasak waktu.
.
Melihat dengan Cara Baru
Aku mulai mengajar lagi, bukan karena butuh penghasilan tambahan, tapi karena ingin berbagi cerita tentang kesabaran dalam bekerja. Dalam kelas “Komunikasi dan Kerendahan Hati”, aku menulis di papan:
“Public speaking bukan tentang bicara paling keras, tapi tentang mengundang orang untuk tenang bersamamu.”
Mahasiswa-mahasiswa itu menatapku bingung. Tapi setelah beberapa sesi, mereka mulai memahami bahwa bekerja bukan hanya tentang “apa yang dikerjakan”, tapi “bagaimana kita mengerjakannya.” Di akhir semester, seorang mahasiswa menulis di catatan kecil:
“Terima kasih sudah mengajarkan kami cara menunduk tanpa kehilangan wibawa.”
Aku menyimpannya di dompet, bersama foto Mbah.
.
Merekonstruksi Nilai Diri
Proyek besar terakhir tahun itu datang dari perusahaan properti yang ingin membangun hotel bernuansa arsip keluarga. Mereka meminta narasi tentang “keterhubungan antar generasi.” Aku menulis naskah pembuka:
“Sebuah rumah tidak dibangun dari bata dan semen, melainkan dari ingatan, kesabaran, dan doa yang tak putus.”
Dalam rapat final, direktur pemilik hotel menatapku dan berkata, “Kalimat ini… membuat saya ingin membangun hotel dengan hati, bukan ego.”
Aku tersenyum. “Mungkin itu makna sebenarnya dari heritage, Pak. Bukan bangunan tua, tapi nilai yang bertahan.”
Sejak saat itu aku sadar, tugasku bukan lagi sekadar konsultan, tapi penerjemah makna. Menyusun ulang bahasa agar manusia kembali ingat siapa dirinya.
.
Pulang ke Diri
Kini, setiap pagi aku bangun lebih awal. Menyeduh teh, membuka jendela, dan membiarkan cahaya pagi masuk. Di luar sana, kota masih berlari. Tapi di dalam sini, aku sudah menemukan ritmeku sendiri.
Aku bukan lagi Panji yang sibuk membuktikan diri, tapi Panji yang berusaha memahami bahwa keberhasilan sejati adalah bisa tidur nyenyak tanpa beban. Aku tidak menyesali masa lalu, tapi juga tidak menaruh masa depan di atas altar ambisi.
Setiap langkah kecil—mengajar, menulis, menata ruang, mendengar orang—adalah caraku merangkai ulang hidup.
Aku menutup jurnal baruku malam ini dengan satu kalimat:
“Pelajaran paling relevan dari masa lalu adalah ini: jangan tergesa-gesa meyakini bahwa hidup hanya bisa ditaklukkan dengan lari. Kadang, ia luluh oleh orang yang tahu caranya berhenti.”
Di dinding biru dapurku, aku menempelkan satu kertas kecil:
“Menang tidak selalu berarti duluan; kadang berarti paling lama bertahan di sisi yang kita percaya.”
Dan malam pun tenang, seperti rumah yang akhirnya mengenali penghuninya lagi.
.
.
.
Malang, 9 November 2025
.
.
#Cerpen #SastraKota #RefleksiHidup #KompasMingguStyle #KearifanJawa #HidupPelan #BelajarDariMasaLalu #PulangKeDiri #MenyimakUmurOrangLain
.
Kutipan Kunci
“Rumah adalah tempat menaruh panci dan luka—agar keduanya tidak dipamerkan, melainkan dirawat.”
“Menang tidak selalu berarti duluan; kadang berarti paling lama bertahan di sisi yang kita percaya.”
“Pelajaran masa lalu bukan untuk dikenang, melainkan untuk dipakai menyejukkan hari yang sedang kita jalani.”