Lilin di Saat Lampu Berkedip
“Daya tarik sejati lahir dari ketulusan: mendengar lebih dulu, bekerja lebih banyak dari yang diucap, dan melayani tanpa perlu terlihat.”
.
Di Jakarta, lampu-lampu malam seperti kumpulan bintang yang jatuh dan gagal mendarat. Di sela-selanya, seorang lelaki bernama Jayengrana berlari kecil menyusuri koridor hotel bintang lima yang memantulkan bayang-bayangnya. Jam di ponselnya menunjukkan 05.17. Ia baru saja menutup laporan audit malam saat pesan singkat dari bagian teknik berdering: “Genset maintenance. Ada risiko drop tegangan beberapa menit.”
Jayengrana menahan napas. Hari ini hotelnya menjadi tuan rumah konferensi tahunan industri kreatif—ratusan peserta, tiga belas negara, media lokal dan internasional, dan seorang pembicara yang sedang naik daun. Semua yang rapuh di sebuah hotel akan tampak telanjang di hadapan acara seperti ini: senyum yang telat, kopi yang terlalu dingin, mikrofon yang tak menyala.
Di kantong kemejanya terselip secarik kertas, tipis seperti doa: empat angka yang menjadi mantranya—84, 17, 70, 95—angka-angka yang ia catat dari berbagai laporan yang dibacanya. 84: pelanggan kembali karena keramahan. 17: produktivitas naik bila kolaborasi dikuatkan. 70: peluang sukses saat organisasi lebih bertindak ketimbang bicara. 95: tingkat kepuasan tamu yang pernah ia raih di hotel kecil di Bali setelah timnya menggabungkan tradisi lokal dan teknologi sederhana. Angka-angka itu menenangkan, sekaligus menuntut.
Ia menjejak lobi, menyapa Umar Maya, kepala F&B yang menata meja untuk coffee break pertama.
“Pagi, Jay,” kata Umar Maya. “Kopi single origin dari Jember sudah siap. Kamu pasti suka.”
“Kita pastikan semua barista dengar instruksi tentang milk temperature. Tidak boleh lewat 65 derajat,” jawab Jayengrana pelan. “Dan tolong… kita bergiliran untuk floor-walk. Aku duluan.”
Mereka saling tatap, paham tanpa banyak kata. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Di hotel, pepatah bisa menjadi peraturan tak tertulis.
.
Di back office, Retna Kencana—chef pastry hotel—sedang menata kue mini. Tangannya gesit, matanya jernih, tetapi garis lelah menyelinap di pelipisnya.
“Kau belum tidur?” tanya Jayengrana.
Ia menggeleng, lalu tersenyum. “Kue ini pesan khusus. Ada tamu yang dairy-free dan gluten-free. Aku bikin dua versi.”
“Kau menyelamatkan pagi banyak orang,” kata Jayengrana. Ada cara sederhana untuk menjaga orang tetap bertumbuh: memberi pengakuan kecil yang tulus.
“Jay,” Retna menahan suaranya. “Kamu kelihatan cemas.”
“Genset. Ada kemungkinan drop tegangan. Aku tidak mau panggung padam saat orang bicara masa depan.”
Retna tak menjawab. Ia meraih seloyang financier almond, menambahkan serpihan jeruk nipis. “Kalau mati lampu…” katanya lirih, “kita masih punya lilin.”
Jayengrana tertawa kecil. “Kau ini, Retna, selalu punya rencana cadangan yang wangi.”
.
Pukul 08.02, lobi mulai penuh. Adaninggar, content creator yang menjadi pembicara, tiba dengan rombongan kecil. Kelaswara, general manager yang dikenal tenang, menyambut di pintu putar. Umar Maya mengatur arus tamu menuju registration desk.
Jayengrana memantau dari jauh. Ia menghafal rute tamu-tamu utama. Dalam kepalanya, ia mendengar suara ibunya dari Jember—sederhana, luwes—ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana. Hormat lewat kata dan sikap: begitu ia diajarkan.
Ia menepi saat seorang petugas kebersihan, Umar Madi, mendorong troli. “Pak Jay, ada serpih kaca kecil di lorong ballroom B. Mungkin sisa dekor tadi malam.”
“Terima kasih, Mar,” kata Jayengrana. “Aku ke sana sekarang.” Ia berjalan bersama Umar Madi, tidak memberi perintah dari jauh. Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Datang, melihat, membereskan. Masa kecilnya mengjaritkan ini: ikut mengangkat galon air, mengantar tetangga sakit, menggeser kursi saat kenduri. Hal-hal kecil adalah fondasi hal-hal besar.
Mereka sampai di lorong. Jayengrana jongkok, memungut serpih kaca, memasukkannya ke kantong. Umar Madi mengibas kain pel. “Terima kasih,” kata Jay.
“Harusnya saya yang bilang begitu,” sahut Umar Madi. “Tidak banyak bos yang mau jongkok bareng. Hati-hati, Pak Jay.”
Jay tersenyum tipis. “Sini saja, Mar. Hari ini kita banyak tamu.”
Ia berjalan lagi, hati-hati. Ia teringat catatan kecil di saku: 84. Ucapan terima kasih tak pernah rugi.
.
Sesi pembukaan dimulai. Adaninggar berbicara tentang keberanian. Panggung memantulkan suaranya ke dinding-dinding tinggi. Di layar, kota-kota dunia berkelebat.
Jay berada di sisi panggung, memperhatikan indikator listrik. Lampu-lampu kontrol di backstage seperti barisan serdadu siap siaga. Ia menatap penonton: wajah-wajah muda, antusias, sebagian sesekali menunduk memeriksa ponsel. Ia paham: jari-jari itu bisa membunuh reputasi dalam satu unggahan, atau menyelamatkan dalam satu kalimat apresiatif.
Di sela tepuk tangan, ponselnya bergetar. Pesan singkat dari teknik: “Voltage drop 2 menit lagi. Siapkan prosedur.”
Dunia hening. Jay menggigit bibir, lalu menekan tombol walkie talkie. “Tim, scenario B. Umar Maya, siapkan manual brew station di lobi. Retna, kirim tea light candle ke ballroom—tanpa panik. Kelaswara, saya butuh Bapak di front untuk menyapa tamu. Aku di panel.”
Ia berlari. Udara terasa lebih berat dari biasanya. Di ruang panel, dua teknisi menunduk di bawah lampu neon. “Kita bisa alihkan beban, tapi akan tetap ada kedip,” kata salah satu.
“Baik,” kata Jay. “Aku ke panggung.”
Ia menarik napas panjang. Di ujung panggung, ia membisikkan sesuatu pada operator. Musik latar ingin dinaikkan, volume mikrofon Adaninggar siap diatur.
Dan saat itu terjadi: lampu-lampu berkedip, layar bergerak tak teratur, mikrofon berhenti sejenak, udara seperti menarik diri. Sepersekian detik yang terasa seperti seribu hari.
Jay menatap Adaninggar. Mereka bertukar tatap, secepat kilat. Adaninggar mengendurkan senyum, mendekat ke tepi panggung, lalu—dengan tenang—meninggalkan mikrofon, mengambil napas, dan berbicara tanpa pengeras suara: “Kalau kota tiba-tiba sunyi, mungkin Tuhan minta kita mendengar.”
Hening pecah menjadi desah lega. Orang-orang paling belakang mendekat; seseorang menyalakan perekam di ponsel. Jay memberi kode pada retna. Lilin-lilin kecil muncul di sisi ruang, seperti serangga yang bermimpi jadi bintang. Di lobi, Umar Maya menyiapkan hand-pour; aroma kopi menyelinap ke ruang konferensi. Penonton terkekeh, lalu menatap, lalu mendengar.
Dua menit kemudian, listrik stabil. Tepuk tangan meledak. Adaninggar melambai ke kru. “Terima kasih pada tim hotel yang menyiapkan cadangan skenario. Tindakan lebih berbicara dari janji.” Wajah Jay memanas, bukan karena malu, tapi karena rasa syukur.
Di ponselnya, notifikasi media sosial berdatangan. Seseorang menulis: “Pengalaman paling manusiawi di konferensi: lilin-lilin kecil dan suara yang tetap sampai pada kami.” Yang lain menulis: “Kopi manual brew di saat glitch—kalian hebat.”
70: lebih bertindak daripada berpidato—angka itu berdenyut lagi di sakunya.
.
Siang hari, rintik hujan menepuk kaca jendela. Sesi-sesi paralel berlangsung. Jay berjalan dari satu ruang ke ruang lain, memastikan signage terbaca, breakout room tidak bising, wifi stabil. Ia mengatur ritme gerak seperti tukang kebun yang memeriksa tanaman satu per satu. Di mana-mana: tatap mata, senyum, satu dua kalimat, lalu mundur.
Di sela itu, notifikasi lain muncul: “Seorang tamu mengeluh via DM: menu gluten-free habis.” Jay bergerak ke dapur dingin. Retna memeriksa persediaan.
“Kita tak menyangka permintaan sebanyak ini,” kata Retna. “Aku bisa bikin lagi, butuh empat puluh menit.”
“Baik. Aku akan temui tamunya.” Jay mencari tamu itu—seorang perempuan muda berkerudung, membawa tote bag kain, matanya lelah. Ia memperkenalkan diri; duduk setara, bukan berdiri mengawasi.
“Maafkan kami. Ini kelalaian prediksi,” kata Jay. “Chef kami sedang menyiapkan batch baru. Sambil menunggu, kami punya fruit plate dan sorbet markisa tanpa susu. Apakah boleh saya antar langsung ke tempat Ibu?”
Perempuan itu tak segera jawab. Ia menatap jam tangan, lalu ke layar ponsel: “Saya ada sesi 30 menit lagi. Tapi… terima kasih karena Anda datang sendiri.” Suaranya melembut. “Saya sering diabaikan karena ‘spesial request’. Padahal bagi saya, ini bukan gaya hidup—ini kesehatan.”
“Kami yang belajar hari ini,” kata Jay.
Ia mengantar fruit plate itu sendiri, lalu kembali ke dapur membantu Retna menimbang tepung almond. Tangan mereka bergerak cepat. Keringat, tepuk tangan, bunyi oven, aroma. Jay ingin mengingat momen ini: kerendahan hati tidak jatuh dari langit, ia tumbuh dari tangan yang rela kotor.
.
Menjelang sore, Kelaswara mengajaknya duduk di balkon executive lounge. Jakarta di bawah tampak seperti lukisan yang belum selesai.
“Kau memimpin hari ini tanpa banyak bicara,” ujar Kelaswara. “Aku mengingatmu ketika pertama kali masuk sebagai front desk. Kau pemalu, tapi matamu menyala saat orang bercerita.”
Jay tertawa kecil. “Aku masih pemalu. Tetapi kupikir, orang yang datang ke meja resepsionis membawa hidupnya seutuhnya—lelah, bahagia, rindu, marah. Tugas kita, ya, setidaknya membuat hidup itu tidak tambah berat.”
Kelaswara mengangguk. “Kau tahu pepatah Jawa itu: andhap asor. Kerendahan hati yang bukan mengecilkan diri, melainkan menaruh hati di tempat yang tepat.”
Jay menatap jauh—atap rumah-rumah kecil yang berdekatan seperti rahasia yang saling berbisik. Ingatannya melayang ke Jember: ibunya menjemur pakaian, bau kopi dari kedai gang, suara adzan sore, suara pedagang sate dengan lonceng dan asap gemuk yang menari. Ia datang ke Jakarta membawa doa-doa seperti peta lipat. Di kota, terkadang doa hanya setipis sinyal. Tapi hari ini, ia merasa doa bisa setebal dinding.
Kelaswara kemudian menyodorkan berkas kecil: hasil sentiment analysis sementara konferensi. “Lihatlah. Mayoritas komentar menyinggung human touch. Lilin, kopi manual, staf yang menyapa dengan nama. Ini yang orang cari.”
Jay membaca cepat. 17 berbisik lagi: kolaborasi mengangkat produktivitas.
“Malam nanti,” kata Kelaswara, “kita punya jamuan. Aku ingin kamu memberi kata sambutan. Singkat, rendah hati, service-oriented.”
Jay mencari-cari alasan. Ia tak suka panggung. Tapi ia juga paham: panggung kadang diperlukan agar pesan sederhana terdengar. “Baik,” katanya.
.
Malam turun seperti tirai yang diikat. Jamuan makan malam berlangsung di atrium dengan kubah kaca, seluruh kota seperti turut hadir. Retna menata dessert table dengan batik cokelat tua sebagai alas, Umar Maya menyusun pairing teh dan kopi Nusantara, Jay memastikan semua gate menuju atrium tertata.
Di panggung, band akustik memainkan lagu-lagu tenang. Cahaya hangat menurunkan suara orang-orang. Kelaswara berbicara singkat, lalu memanggil Jay.
Jay menggenggam catatan secubit. Ajining diri saka lathi. Ia melangkah.
“Selamat malam,” katanya, suara sedikit bergetar tetapi jujur. “Terima kasih telah mengizinkan kami belajar hari ini. Kami belajar bahwa layanan terbaik bukan soal apa yang kami tunjukkan, tetapi apa yang Anda rasakan. Kami belajar untuk mendengar bahkan ketika ruangan menjadi sunyi. Dan kami belajar bahwa tindakan kecil—selembar catatan, secangkir kopi yang diseduh tangan, lilin-lilin kecil—bisa mengembalikan rasa tenang.”
Ia menatap para tamu. “Di kampung saya, orang bilang: sabar lan syukur—bersabar dan bersyukur. Kami akan terus memperbaiki diri dengan itu. Semoga malam ini nyaman, dan pulang nanti Anda membawa sesuatu yang sederhana: keyakinan bahwa manusia bisa saling melayani tanpa kehilangan dirinya.”
Tepuk tangan datang seperti ombak yang tidak tergesa tetapi pasti. Jay turun panggung. Di sisi ruang, perempuan muda yang siang tadi ia temui mengangkat piring kecil ke arahnya: “Kue almondnya lembut. Terima kasih.”
Jay menunduk. “Terima kasih kembali. Kami justru yang berterima kasih karena Anda bersedia menunjukkan cara kami bisa lebih peka.”
Sekitar pukul sembilan, hujan mereda; udara menajam. Jay menerima pesan dari ibunya: “Kulo pinarak nonton berita. Hotel e apik tenan, Mas. Sing sabar lan ati adem.” Ia tersenyum. Ia ingin menjawab panjang, tetapi memilih satu kalimat: “Nggih, Mak. Matur nuwun sanget.”
Di service corridor, ia berpapasan dengan Umar Madi yang mendorong troli sampah. “Capek, Mar?”
“Capek yang bikin tidur nyenyak,” kata Umar Madi. “Mas Jay, tadi waktu mati lampu, saya ingat waktu kecil di Pamekasan. Dulu tiap malam Jumat, kampung saya gelap sengaja. Biar orang ngobrol, bukan cuma lihat layar radio. Ternyata, kalau gelap sebentar, kita bisa ingat suara manusia.”
Jay menepuk bahunya. “Terima kasih sudah bersama kami hari ini.”
“Selalu,” jawab Umar Madi.
.
Tiga hari konferensi berlalu seperti film yang diproyeksikan tanpa putus. Ada adegan-adegan kecil yang tinggal: seorang peserta yang tersasar tapi akhirnya menemukan ruang tepat karena signage yang jelas; sepasang tamu lansia yang pulang dengan senyum karena staf menyanyikan lagu ulang tahun pelan-pelan di dekat fountain; sekelompok relawan mahasiswa yang dibimbing Jayengranalah satu per satu untuk front of house.
Pada hari terakhir, panitia menyerahkan sertifikat apresiasi kepada tim hotel. Adaninggar menyelipkan catatan kecil untuk Jay: “Terima kasih sudah membuktikan bahwa kota besar masih punya hati.” Jay menyimpannya bersama kertas angka empat serangkai di sakunya. Malam itu, ketika post-mortem meeting selesai, Kelaswara menutup dengan kalimat yang sederhana: “Kita tidak sempurna. Tapi kita bertindak dengan hati dan belajar dengan rendah hati. Itu membuat kita berharga.”
Jay pulang lewat lobi yang kembali tenang. Lampu-lampu meredup, musik lounge pelan, aroma diffuser melayang. Di luar, jalanan Jakarta memantulkan cahaya; hujan sisa menjadi cermin-cermin kecil. Ia duduk sebentar di bangku dekat pintu keluar—tempat ia pertama kali berdiri sebagai petugas penyambut tamu bertahun lalu. Ia menutup mata.
Dalam gelap itu, ia melihat dirinya kecil di Jember: menunggu ibunya pulang dari pasar, bapaknya mendorong sepeda berkarung kopi, tetangga mengetuk pintu untuk bertanya kabar. Daya tarik—ia menggumam—bukan hal yang datang dari panggung besar. Ia lahir dari pintu yang dibukakan, kursi yang digeserkan, nama yang diingat, tatap mata yang tidak buru-buru, maaf yang tidak diminta tetapi diberikan.
Ia melangkah lagi, menatap langit kota yang tidak pernah benar-benar gelap. Di sana, bintang-bintang kalah oleh gedung, tetapi tak menyerah. Di saku, secarik kertas angka ikut bergerak. Esok, ia tahu, akan ada tamu baru, rapat baru, protes baru, pelukan baru, kesempatan baru. Dan ia akan menyambut semuanya dengan satu kalimat yang dipinjam dari ibunya: “Sabar lan syukur.”
Karena di kota yang berisik sekalipun, manusia tetap bisa saling mendengar.
.
Pagi berikutnya, Jakarta kembali bergerak. Jay datang lebih awal. Ia mampir ke dapur pastry; Retna menguapkan teh melati, mengukur gula, mengukur lelah. “Mau coba madeleine rasa jeruk nipis?” tanya Retna.
“Selalu,” kata Jay. Mereka tertawa. Umar Maya masuk, membawa daftar menu of the day. Mereka berdiri bertiga, seperti keluarga kecil yang disatukan oleh oven, grinder, dan suara tamu.
“Jay,” kata Umar Maya, “kamu akan naik jabatan. Rumor dari HR. Siap?”
Jay menatap kedua temannya. Ia teringat pepatah, ajining diri saka lathi. Naik jabatan berarti naik tanggung jawab, bukan naik suara. Ia mengangguk, pelan. “Kita tetap sama. Lebih tenang, lebih rapi, lebih mendengar.”
“Dan lebih banyak kopi,” sambung Retna.
“Dan lilin,” tambah Umar Maya.
Mereka tertawa lagi. Di luar, matahari menembus sisa awan. Di lobi, seorang tamu muda berdiri canggung; koper kebesaran; mata mencari-cari sesuatu yang bisa dipercaya. Jay berjalan ke arahnya, menyebut namanya sebelum diminta, menawarkan segelas air, dan sebuah peta kecil kota.
“Selamat datang,” katanya. “Kami senang Anda ada di sini.”
Tamu itu tersenyum. Dan di senyum itu, Jay melihat kota yang bisa pelan-pelan belajar bernapas—mendengar lebih dulu, bergerak dengan hati, dan tidak lupa menyalakan lilin ketika lampu berkedip.
.
.
.
Jember, 27 Agustus 2025
.
.
#Hospitality #CerpenIndonesia #PituturJawa #ServantLeadership #AndhapAsor #Jakarta #Storytelling #CustomerExperience #KopiNusantara #HumanTouch