Kota yang Merajut Masa Depan
“Ilmu tanpa budi pekerti ibarat cahaya yang menyilaukan, namun membutakan mata hati.”
.
Hujan tipis menutup langit Jakarta sore itu. Di balik kaca gedung berlapis film UV, lampu-lampu kota mulai menyala, beradu dengan pantulan layar-layar digital yang berkelip di sepanjang Sudirman. Dari lantai 21 sebuah coworking space, Karim berdiri memandang jalanan yang macet. Tangannya memegang secangkir kopi hitam, uapnya menari perlahan, seperti mengulur waktu sebelum ia harus kembali menatap layar laptopnya yang penuh jadwal mentoring.
Karim, 46 tahun, adalah sosok yang jarang ditemui di industri teknologi Indonesia—seorang mentor yang menguasai banyak bahasa pemrograman, manajemen proyek, hingga kecerdasan buatan, tapi juga hafal pitutur luhur Jawa seperti hafalnya ia pada syntax Python. Wajahnya yang teduh kontras dengan dunia cepat yang ia geluti. Dalam setiap sesi mentoring, ia tidak hanya mengajarkan iOS Swift atau Fullstack Javascript, tetapi juga cara menjaga hati tetap jernih saat dunia digital terus berlari.
Hari itu, ia dijadwalkan memandu kelas hybrid: sebagian peserta hadir langsung di ruang meeting bergaya industrial, sebagian lagi bergabung lewat layar Zoom yang terpampang besar di dinding. Pesertanya beragam: Milenial yang sedang membangun startup, Gen Z yang baru lulus kuliah, hingga anak SMA generasi Alpha yang sudah bisa membuat prototipe aplikasi sendiri.
“Mas Karim, kita mulai?” tanya Rian, asisten muda yang setia mencatat setiap momen pelatihan.
Karim mengangguk, menutup laptopnya sebentar. Ia memandang ke seluruh ruangan, lalu berkata pelan, namun jelas, “Hari ini kita bicara tentang masa depan, tapi dengan kaki yang tetap menapak di tanah.”
.
Karim membuka sesi dengan sebuah kisah. Ia bercerita tentang bagaimana di masa mudanya, ia pernah bekerja di sebuah kota kecil, mengajar coding hanya bermodalkan papan tulis dan kapur. “Zaman berubah. Dulu saya menulis kode di kertas, sekarang kalian bisa membangun aplikasi dunia nyata dari ponsel. Tapi satu hal yang tidak berubah: nilai yang kalian bawa dalam setiap karya.”
Ia lalu mengaitkan setiap materi dengan filosofi Jawa. Saat menjelaskan tentang Agile Scrum, ia mengutip “Alon-alon waton kelakon”, menjelaskan bahwa iterasi singkat dalam Agile bukan berarti terburu-buru, tapi memastikan setiap langkah benar. Saat masuk ke UI/UX Design, ia mengangkat filosofi “Ajining diri saka lati, ajining raga saka busana”, menggambarkan bahwa desain bukan hanya estetika, melainkan penghormatan pada pengguna.
.
Di tengah penjelasan, layar menampilkan seorang peserta online: Nadya, mahasiswa dari Malang. Suaranya sedikit bergetar. “Mas, saya ini bisa coding, tapi di rumah saya dianggap main komputer saja. Gimana caranya meyakinkan mereka kalau ini masa depan saya?”
Karim tersenyum hangat. “Nadya, di Jawa ada pepatah, Becik ketitik ala ketara. Kerja kerasmu akan terlihat dari hasilnya. Tugasmu sekarang adalah membuktikan lewat karya yang bermanfaat. Ingat kata Mahatma Gandhi, The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others. Bangun sesuatu yang memudahkan orang lain, dan keluargamu akan mengerti.”
Nadya terdiam, tapi matanya menyala. Di chat box, beberapa peserta menuliskan emoji jempol.
Adegan di Luar Kelas
Usai kelas, Karim berjalan pulang melewati trotoar yang basah oleh sisa hujan. Ia melewati mural bergambar wayang kulit yang dilukis berdampingan dengan rangkaian kode biner. Simbol yang anehnya terasa menyatu. Di sebuah kafe kecil, ia bertemu Arman, mantan murid yang kini memimpin tim AI di perusahaan multinasional.
“Makasih sudah ngajarin saya dulu, Mas,” kata Arman sambil menyerahkan kartu nama. “Kalau bukan karena Mas, mungkin saya cuma jadi operator mesin fotokopi.”
Karim hanya tertawa kecil. “Ilmu itu titipan, Man. Kalau berhenti di kita, artinya kita mengkhianati yang memberi.”
Mereka berbincang lama tentang etika dalam teknologi. Tentang bagaimana AI bisa menggantikan pekerjaan, tapi juga bisa menciptakan peluang. Tentang data yang bisa memprediksi perilaku, tapi juga bisa disalahgunakan. Karim menutup obrolan dengan kalimat, “Teknologi itu seperti keris. Indah, tajam, dan punya daya. Tapi tanpa budi pekerti, ia hanya alat untuk melukai.”
.
Beberapa minggu kemudian, Karim mendapat tawaran dari perusahaan asing untuk menjadi kepala inovasi dengan gaji yang sulit ditolak. Namun, kontraknya mengharuskannya pindah ke luar negeri dan menghentikan semua program mentoring di Indonesia. Malam itu ia duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan modul pelatihan yang ia susun bertahun-tahun.
Di luar, suara adzan Isya terdengar, diikuti aroma hujan yang masih menggantung. Ia teringat wajah-wajah para muridnya—Nadya, Rian, Arman—dan ratusan lainnya. Ia teringat pepatah “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Ia tahu, jika pergi, ia akan meninggalkan ruang kosong di hati para pembelajar yang mempercayainya.
Karim memutuskan menolak tawaran itu. Ia mengirim email singkat: “Thank you for the opportunity. But my purpose is here.”
.
Setahun kemudian, program mentoring yang ia jalankan tumbuh menjadi komunitas teknologi lintas kota. Mereka mengadakan hackathon bertema “Merajut Masa Depan” di Balai Kota, memadukan workshop coding, diskusi etika AI, dan pertunjukan seni wayang kulit yang dikemas digital. Ribuan anak muda hadir, dan ratusan proyek lahir dari sana.
Di panggung, Karim menutup acara dengan kalimat yang membuat auditorium hening:
“Teknologi tanpa nilai hanya akan menciptakan mesin. Nilai tanpa teknologi akan tertinggal. Tugas kita adalah menjahit keduanya, agar masa depan tidak kehilangan ruhnya.”
.
Malam itu, di atap gedung acara, Karim berdiri sendirian memandangi langit kota yang penuh lampu. Di sakunya, ada secarik kertas berisi tulisan tangan Nadya: “Mas, sekarang orang tua saya bangga. Terima kasih sudah percaya sama saya.”
Ia tersenyum, merasakan berat yang hilang dari dadanya. Jakarta di bawahnya tampak seperti rangkaian kode bercahaya—rumit, tapi indah—dan di antara semua cahaya itu, ia tahu perannya hanyalah menjadi satu baris kecil yang membuat keseluruhan program tetap berjalan.
.
.
.
Jember, 15 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #TeknologiDanBudaya #MentorshipDigital #FilosofiJawa #InspirasiGenerasi