Ketika Respek Menjadi Titik Akhir
“Pelajaran paling mahal bukan tentang siapa yang mengkhianatimu,
melainkan kapan kamu akhirnya berhenti menyuapi harapan yang tidak lapar.”
.
Kota ini menyala sejak pukul lima pagi. Lampu-lampu toko berganti tugas dengan sinar matahari yang merayap pelan di antara deretan ruko. Aroma roti baru keluar oven berbaur dengan bau solar dari metromini yang mendecit saat menepi. Dari lantai dua kantor penyedia venue tempat Wilis bekerja, kota terlihat seperti panggung raksasa: ada yang mengangkat rolling door, ada yang mengikat spanduk diskon, ada pula yang hanya berdiri memandangi sepi sebelum dagangannya ditata. Wilis menatapnya sebentar, lalu kembali ke layar komputer yang memantulkan wajahnya: mata kurang tidur, senyum yang rapi tapi menahan banyak hal.
Di garis waktu seperti itulah, ia dipertemukan dengan Umar dan Retna—nama-nama yang seolah pinjaman dari kisah Menak Madura: Umar Maya yang gagah sekaligus ganas dalam menentukan arah; Retna Kencana yang tenang tetapi tajam membaca gelombang. Tapi ini bukan kisah bangsawan; ini kisah orang-orang kota yang jatuh-bangun di aspal panas dan trotoar retak, di antara rapat, baksos, dan notifikasi yang tak berhenti.
Awalnya sederhana. Publik tahunya mereka bestie. Jogging subuh di taman kota, jalan-jalan mendadak ke pasar antik, makan bakmi tengah malam di gang yang berbau kaldu dan bawang goreng. Persahabatan itu lahir dari organisasi sosial—sebuah klub kemanusiaan yang membungkus niat baik dengan seragam biru, pin kecil, dan doa yang sering diucap pelan. Umar yang mensponsori masuknya Wilis. “Keluar dari diri sendiri adalah cara terbaik untuk pulang,” ujar Umar, menepuk bahu, suatu pagi saat membagi-bagikan paket sembako. Kalimat itu menempel di dinding hati Wilis, seperti poster lama yang tetap teguh menempel meski cat dindingnya mengelupas.
Lalu datang awal tahun yang mengguncang. Pagi masih pucat ketika headline media nasional menggedor telepon genggam: perusahaan tempat Wilis bekerja terseret isu ketidakpatuhan pajak. Notifikasi mengucur deras seperti hujan batu: pesan, telepon, mention. Salah satunya dari Umar: “Ada apa sih ini dengan kantormu? Aku malu ditanya teman-temanku.” Kalimat itu merambati hati Wilis seperti lumut; hijau, licin, dingin. Wilis membalas singkat, menyertakan penjelasan audit internal dan rencana korektif. Centang biru muncul tanpa balasan. Dan sejak itu, seperti ada pagar yang tak diminta—tapi berdiri juga—di antara mereka.
Organisasi tetap berjalan. Rapat bulanan digelar di ruang makan sebuah rumah makan legendaris: meja panjang, lampu gantung kuning yang membuat warna kulit setiap orang tampak letih, dinding dihias foto-foto pendiri rumah makan yang tersenyum di masa muda. Di sana, struktur baru dibahas, rencana baksos disusun. Umar ditunjuk sebagai project manager; ia mengangguk, memutar gelas air mineral, dan berkata, “Santai, aku pegang.” Wilis memilih percaya. Kepercayaan adalah mata uang pertama di organisasi. Tapi yang lebih mahal darinya adalah respek—sekali harga jatuh, tidak ada pasar yang bisa memulihkannya.
Malam selepas rapat, Wilis bertemu seseorang yang kerap jadi lawan politik pribadi Umar. Orang itu mengajukan pertanyaan sederhana: apakah venue kantor Wilis tersedia untuk arisan komunitas. Wilis menjawab profesional: paket, opsi, jalur evakuasi, lahan parkir. Ia tak mencampur urusan organisasi. Malam berlalu tenang, seperti sungai yang tampak halus di atas, padahal di bawah arusnya deras.
Pagi berikutnya, ponsel Wilis memamerkan serangkaian “This message was deleted.” Lalu sunyi. Ia mengirim pesan ke Umar. Centang satu. Diblokir. Suara yang dulu punya pintu, hari itu berhadapan dengan tembok. Wilis paham: ini bukan cuaca buruk sebentar—ini musim yang berganti. Dan yang paling dingin dari musim itu adalah hilangnya respek; diam yang bukan elegan, melainkan penolakan.
Setelah itu, mata Wilis melihat masa lalu dengan fokus baru. Ia ingat, Umar kerap menyisipkan namanya di spanduk, tetapi lupa mengucapkan terima kasih. Ia ingat, Umar meminjam waktu tanpa benar-benar mengembalikan. Ia ingat pujian di depan, dibiarkan melumer jadi gosip di belakang. Pelan-pelan Wilis menyadari: ketulusannya telah dijadikan asas manfaat. Persahabatan tanpa respek hanyalah proyek; dan setiap proyek ada tanggal kadaluarsanya.
Akhir bulan, Wilis mengeksekusi rencana baksos. RAB disiapkan rapi. Share cost diminta. Umar melempar tugas ke anggota lain, yang menolak. Hari-H tiba, panitia kosong. Justru tim kerja perusahaan Wilis—orang-orang nonmember—yang turun tangan. Mereka mengangkat kardus, menyusun kursi, memanggul tenda. Baksos berjalan dengan sisa kas seperempat biaya, ditutup oleh kantong pribadi Wilis. Foto diunggah, caption generik, nama penggerak tak digubris. Wilis menelan udara. “Niat baik bisa berjalan tanpa respek,” batinnya, “tapi rasanya seperti menanam bunga di tanah yang menolak hujan.”
Minggu-minggu sesudahnya, Wilis memutus kanal satu per satu. Nomor Umar ia blokir. Bukan balas dendam; ini pagar. Pagar bukan untuk menyakiti, melainkan untuk menyelamatkan sisa respek yang masih ia punya untuk dirinya sendiri.
Lalu datang kabar dari tim reservasi: ulang tahun Umar akan diadakan di venue tempat Wilis bekerja, masuk melalui jalur orang lain. Tim meminta approval. Wilis membaca rincian menu, tata lampu, rute evakuasi, parkir—semua ia setujui sesuai prosedur. Malam sebelum acara, Direksi menelpon, mempertanyakan tumpang tindih keputusan. Wilis menampilkan bukti tangkapan layar persetujuan awal. Selesai. Ia kian paham pola Umar: “Kalau tak dapat darimu, aku cari dari bosmu.” Respek diubah menjadi barter—dan setiap barter tanpa kejujuran kehilangan harga.
Hari H, Wilis tak di kota. Ia memberi materi di sebuah forum kecil: etika layanan, kerja tim, dan nilai yang tidak boleh ditukar dengan tepuk tangan. “Tepuk tangan bisa berhenti,” katanya di depan dua puluh orang, “tapi nilai harus tetap berdiri.” Orang-orang mencatat. Di jeda kopi, ada yang mengucap terima kasih pelan. Kebaikan tak butuh sorot lampu, hanya butuh ruang yang cukup untuk bernapas. Wilis pulang dengan lelah yang rapi: letih, tetapi tidak lagi kusut.
Masa jabatan tuntas tanpa konfeti. Pada momen handover, justru Umar mengumumkan pengunduran diri dengan alasan “tak bisa disampaikan.” Wilis menarik napas. Banyak hal di dunia yang tak bisa disampaikan, tetapi bisa dimengerti. Respek yang mati tak akan hidup kembali hanya dengan kata-kata.
Suatu sore, Retna mengirim pesan: “Maaf ya, aku lama diam. Aku bingung berdiri di mana.”
Wilis membalas, “Duduk saja. Kadang duduk lebih jujur.”
Mereka bertemu di kedai kopi dekat perempatan. Hujan tipis mengetuk jendela, menulis abjad abu-abu di kaca. Retna berkisah: di grup kecil yang tak pernah Wilis masuki, Umar menuduh Wilis memakai organisasi untuk menjaga citra tempat kerja. Wilis tersenyum; senyum yang lelah tapi tidak kalah.
“Kalau pun citra itu terjaga,” katanya, “mestinya bukan karena aku. Karena kami sungguh-sungguh membantu.”
Retna menatapnya. “Aku percaya kamu. Tapi kepercayaan kadang seperti mata uang lama—dihargai rendah di pasar yang ribut. Respek hilang duluan, lalu semua harga jatuh.”
Wilis menatap gerimis yang mengaburkan lampu lalu lintas. “Ret, kamu tahu kisah Menak Madura? Umar Maya gagah, tapi sering tersesat karena merasa paling benar.”
Retna terkekeh tipis. “Kalau begitu kamu siapa?”
“Entahlah. Mungkin hanya kurir pesan: menjadi baik bukan berarti membiarkan diri diatur oleh yang bukan niat baik. Respek bukan kebaikan murahan—ia adalah harga diri.”
Di luar, seorang bapak penjual payung menenteng dagangannya setinggi kepala. Ia menawarkan pada orang-orang yang ragu melangkah. Hidup barangkali seperti itu: pilihan jarang sekali tentang benar atau salah, lebih sering tentang tepat waktu atau terlambat.
Sepulang dari rapat nasional organisasi, Wilis mengirim pesan terakhir ke grup: ucapan terima kasih, daftar aset, kontak pengganti, dan penutup: “Terima kasih sudah mempertemukan kita di jalan niat baik. Jika suatu saat berpapasan, semoga kita saling menunduk dengan sejuk.” Lalu ia keluar. Ikon aplikasi di layar jadi lebih sepi. Sepi yang bukan kosong, melainkan ruang untuk merawat diri.
Beberapa minggu kemudian, Wilis pindah ke kota lain. Di organisasi baru, ia disambut rapat sederhana di balai RW: kipas angin tua berderit, gelas plastik, risoles yang tidak terlalu hangat. Ketua barunya, lelaki berkacamata dengan suara tak tergesa, berkata, “Baksos kecil, tanpa spanduk berlebihan. Hanya kita-kita.”
“Aku bawa dua hal,” kata Wilis, “tenaga dan daftar belanja.”
Balasan datang dengan emotikon jempol—tidak berlebihan. Di sana, dapur hidup dengan ukuran realitas: api biru, panci pas, garam secukupnya.
Di perjalanan pulang, angin sore menepuk wajah. Ia menepuk balik, seperti sahabat lama yang berjumpa lagi di stasiun kereta. Banyak yang ia ingat—Umar, Retna, rapat-rapat, baksos yang jadi bukan karena panitia, melainkan karena mereka yang tak tercantum namanya—tapi kini semua tinggal bab, bukan buku. Ia belajar menulis ulang definisi:
Niat baik tak selalu berteman dengan tata krama.
Keikhlasan tetap butuh pagar.
Memaafkan orang lain tak berarti mengundang mereka kembali ke ruang tamu.
Beberapa pertemanan lahir dari proyek, wafat di sana.
Dan hilang respek adalah tanda semua itu selesai.
Pagi lain, di halte bus yang catnya mengelupas, Wilis membaca coretan spidol: “Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.” Ia terkekeh. Hari itu, ia merasa dianggap ada oleh dirinya sendiri. Dan itu cukup.
.
Namun kisah yang baru jarang benar-benar baru. Suatu siang, di kota barunya, Wilis menerima undangan diskusi publik tentang “Etika Relawan dan Ruang Kerja.” Aula perpustakaan kota penuh wajah ingin mengerti. Moderator meminta Wilis berbagi pengalaman. Ia memulai pelan, memilih kata seperti menata piring kaca.
“Bagi saya,” katanya, “relawan bukan panggung, tapi dapur. Di panggung, orang menilai tepuk tangan; di dapur, orang menjaga api. Dan respek adalah suhu yang membuat makanan matang—kalau terlalu rendah, mentah; terlalu tinggi, hangus.”
Seorang mahasiswa mengacungkan tangan. “Bang, kalau respek sudah habis, kita harus bagaimana?”
Wilis menatap jam dinding yang berdebar pelan. “Kita matikan kompor. Kita rapikan meja. Kita pulang. Kalau perlu, kita cari dapur lain.”
Seusai acara, seorang ibu menghampiri, menyodorkan kotak bekal. “Ini tempe orek buatan saya,” ujarnya. “Buat bekal, supaya kamu ingat: yang kecil-kecil, kalau dimasak dengan respek, jadi enak.”
Wilis hampir menahan tawa dan air mata sekaligus. Ia berterima kasih, memeluk pengalaman itu seperti jaket tipis pada sore berangin.
Malamnya, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Foto profil kosong, nama hanya angka. “Kau senang ya, bikin aku tampak jahat di hadapan orang lain.”
Satu menit, dua menit, tiga menit. Wilis tak membalas. Ia mematikan ponsel, menyeduh teh, membuka jendela. Di bawah, suara kota mengalun seperti radio yang disetel kecil-kecil. Ada hal-hal yang diselesaikan bukan dengan kata-kata, tapi dengan mematikan sumber bebannya. Dan sumber beban itu kadang bukan orang, melainkan cara kita memaknai diri.
.
Retna menghubungi lagi, suatu pagi yang sunyi. “Aku diterima kerja di klinik baru, jam kerjanya manusiawi. Aku akhirnya belajar duduk.”
“Alhamdulillah,” jawab Wilis.
“Masih marah sama Umar?”
“Tidak. Aku sudah selesai marah. Yang tersisa hanya titik.”
“Ah, kamu selalu dramatis,” Retna bercanda.
“Bukan drama. Titik itu perlu, supaya kalimat tak bertele-tele menua.”
Retna tertawa. Mereka janjian bertemu kalau jadwal memungkinkan. Percakapan itu ringkas, seperti udara yang masuk keluar paru-paru tanpa perlu diumumkan. Di akhir chat, Retna mengirim satu kalimat yang lama menggantung di notifikasi: “Jaga dirimu. Jangan sampai baikmu membunuhmu.”
Kalimat itu melayang-layang di pikiran Wilis, menempel di dinding hari-harinya seperti ayat yang tak lelah diulang.
.
Di kota baru, Wilis mulai menulis. Bukan buku, bukan laporan, hanya catatan kecil di aplikasi ponsel: tanggal, suasana, satu-dua kalimat yang ingin ia ingat. Ia menyadari, menulis bukan perkara ingin dibaca orang lain; menulis adalah cara tubuhnya membuang sisa asap dari peristiwa yang terlalu lama menyala.
Ia menulis tentang bapak penjual payung, tentang risoles yang tak terlalu hangat tapi membuat rapat jadi manusia, tentang tempe orek dari ibu tak dikenal. Ia menulis tentang lift kantor yang suka berhenti di lantai yang salah, memaksanya keluar sejenak untuk melihat koridor asing—seperti hidup yang sesekali memaksa kita berhenti di lantai yang bukan tujuan, supaya kita sempat melihat lukisan yang tak pernah kita niatkan untuk lihat.
Ia menulis tentang respek yang tak bisa diminta-minta. “Respek,” tulisnya, “adalah kursi yang kita siapkan sendiri. Kalau ada yang mau duduk, silakan. Kalau tidak, kursi itu tetap berguna untuk kita meletakkan tas.”
.
Setengah tahun berlalu. Kota baru tak lagi terasa baru. Wilis berjalan melewati kios koran yang sisa eksemplarnya dipajang di tali rafia, melewati warung kopi yang menjerang air di panci aluminium-nya, melewati bengkel yang rolling door-nya baru diangkat setengah. Ia singgah di masjid kecil dekat pasar. Ustaz muda berceramah singkat: “Tak semua yang berbunyi nyaring itu benar; kadang kebenaran berjalan pelan, supaya kita sempat mengikuti tanpa terengah.” Wilis tersenyum tipis. Ia tak lagi terengah.
Di kantornya, ia mengajari staf baru menulis SOP sederhana—bukan yang berlembar-lembar memukau, hanya satu halaman yang jelas: siapa, kapan, bagaimana, di mana alatnya disimpan, apa plan B ketika lampu padam, siapa yang menelepon vendor saat hujan disertai angin. Ia menandatanganinya dengan nama kecil, tanpa jabatan. Saat seorang staf bertanya, “Kenapa tak ditambah jabatannya, Pak?” Wilis menggeleng, “Nama cukup. Kalau kerja kita benar, orang akan ingat tanpa embel-embel.”
Malamnya, ia menerima kabar dari kota lama—kabar yang datang seperti berita dari tempat jauh yang tak lagi wajib dibaca. Ulang tahun tahun depan akan di hotel bintang lima, katanya. Ada sponsor baru yang lebih tegas, katanya. Ada program baru yang lebih besar, katanya. Wilis menatap layar lalu menutupnya. Bukan karena benci. Bukan karena marah. Karena respek sudah habis, dan ketika respek menjadi titik akhir, semua cerita berhenti di sana—dengan tenang.
.
Bertahun-tahun dari hari itu, barangkali akan ada orang yang menyebut nama Umar, Retna, Wilis dalam satu kalimat. Barangkali ada yang menulis status panjang di media sosial, menafsir ulang peristiwa dengan sudut pandang yang lebih memihak. Kota akan tetap menyala pukul lima, roti akan tetap dipanggang, metromini akan tetap mendecit. Yang berubah hanyalah cara Wilis memegang harapannya: bukan disuapi, tetapi dibiarkan lapar dulu, supaya tahu saat kenyang itu benar-benar layak.
Dan setiap kali ia melewati halte bus dengan coretan spidol yang sudah pudar, ia menggumam pelan, seperti mengulang doa yang paling pendek di dunia: “Cukup.”
.
.
.
Jember, 24 September 2025
.
.
#CerpenIndonesia #SastraKota #Respek #OrganisasiSosial #Boundaries #NilaiDiri #MenakMadura #KompasMingguVibes #JeffreyWibisonoStyle #CeritaKota
.
Quotes dari Tema Cerita
-
“Respek adalah suhu dapur; terlalu rendah mentah, terlalu tinggi hangus.”
-
“Pagar bukan untuk menyakiti, melainkan menyelamatkan sisa hormat pada diri.”
-
“Tepuk tangan bisa berhenti; nilai seharusnya tetap berdiri.”
-
“Titik itu perlu, supaya kalimat tak bertele-tele menua.”
-
“Yang kecil-kecil, kalau dimasak dengan respek, jadi enak.”