Jembatan dari Batu-Batu Cibiran

“Jangan buru-buru membalas. Kumpulkan saja semua batu yang dilemparkan orang, dan bangun tangga pulang ke dirimu sendiri.”

.

Malam itu, Surabaya seperti menahan napas. Dari balkon rumah petak di gang sempit dekat Kalimas, Jayengrana memandangi lampu merah di kejauhan, berkedip seperti mata yang lelah. Derung kendaraan, klakson bersahut-sahutan; kota bergoyang dengan ritme yang tak pernah memejam. Di atas meja, rencana bisnisnya tergeletak seperti ikan yang baru diangkat dari air: licin, berkilat, lemah.

Ia baru saja pulang dari rapat dengan calon investor. Penolakan ke-tujuh belas. “Konsepmu muluk, Jay,” kata mereka. “Siapa yang peduli pada ruang komunitas dari bata bekas di tengah kota? Kota butuh mal, bukan musala bagi orang-orang letih.”

Jay menyeduh kopi — kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar mati. Uap memenuhi hidungnya, pahit yang hangat. Di layar ponsel, notifikasi berdesakan: komentar-komentar dari unggahannya sore tadi tentang proyek yang ia sebut “Jembatan dari Batu”. Ada yang menertawai, ada yang menuduhnya ambisius tanpa arah. Beberapa akun anonim memaki. Satu komentar seperti paku menembus papan: “Kamu cuma pemimpi yang nanti akan minta sumbangan warga. Malu atuh.”

Ia meletakkan ponsel, menutup mata. Pitutur simbah melintas lirih: “Sak bejo-bejone wong lali, isih bejo wong sing eling lan waspada.” Ia mengucapkannya pelan, seperti mantra untuk menjinakkan malam.

.

Rengganis menunggu di ujung gang dengan motor matic yang setia. Jaket denimnya berhias tempelan kecil berbentuk matahari. Dari helm yang belum ia lepas, rambutnya menyembul sedikit, membuat wajahnya tampak seperti tokoh komik yang baru saja melompat dari panel. “Kamu libur bermuram?” katanya begitu Jay muncul.

“Seandainya muram bisa diliburkan,” jawab Jay, mencoba bercanda. Mereka berboncengan menuju Suramadu—tempat favorit mereka menambal harapan. Angin malam menelusup, membawa aroma laut, getir, dan minyak goreng dari warung-warung tepian jalan.

“Masih tentang batu-batu bekas itu?” tanya Rengganis ketika mereka berhenti di sisi jembatan, memandang lampu-lampu berderet seperti zikir yang tidak putus.

“Bukan soal batunya,” Jay menarik napas. “Soal orang-orang yang keberatan melihat sesuatu berdiri tanpa izin dari rasa sinis.”

Rengganis terkekeh kecil. “Kertolo update lagi. Katanya kamu cuma mau cari panggung.”

Jay mengangkat bahu. Nama itu, Kertolo, baginya semacam hantu kecil di ujung jari—tukang komentari semua yang ia lakukan, bekas teman satu komunitas kreatif yang kini menikmati peran sebagai pengulas pedas di media sosial. “Sekali-kali aku pengin mengucapkan terima kasih,” kata Jay, “karena batu-batu paling keras sering datang dari orang yang paling dekat.”

“Jangan jadi batu juga,” ledek Rengganis. “Coba dengarkan dirimu sendiri.” Ia menatap lurus, ke arah cahaya di ujung jembatan. “Mungkin kamu memang perlu panggung, tapi semoga itu panggung untuk orang banyak.”

Jay tak membalas. Di dada, kerikil-kerikil kecil berputar. Di kepalanya, rencana itulah yang selalu datang: mengubah gudang tua tak terpakai menjadi ruang terbuka bagi siapa pun—ruang membaca, ruang membuat, ruang berdoa, ruang tertawa. Bata-bata bekas yang mereka kumpulkan dari sisa pembongkaran rumah-rumah lawas akan disusun jadi tembok kata-kata; setiap bata ditempeli kisah: kritik, ejekan, penolakan. Semua yang pernah menyakitkan akan menjadi pijakan. Ia ingin orang masuk, membaca tembok, lalu tersenyum: kita semua pernah dilempari batu. Dan lihat, kita berdiri di atasnya.

.

Keesokan harinya, Jay berjalan menyusuri lorong-lorong Pasar Pabean. Bau ikan, garam, dan gula merah mengaduk udara. Ia menemui Wiraraja, tukang batu sepuh yang terkenal sabar dan cerewet. Tangannya berurat, kukunya hitam, kulitnya seperti kulit kayu yang dipahat musim.

“Bekas atau baru, batu tetap batu,” kata Wira setelah Jay menjelaskan idenya. “Yang membedakan cuma cara meletakkannya.”

“Itu dia,” ucap Jay, matanya menyala. “Aku mau belajar cara meletakkan.”

Wira mengerling. “Dalam membangun, ada tiga hal: niat, ukuran, dan perekat. Banyak orang niatnya besar, ukurannya ngawur, perekatnya comot sana-sini. Didorong angin sedikit, rubuh.” Ia menepuk bahu Jay. “Kamu bawa niat. Ukuran bisa kita pelajari. Perekat?” Ia menunjuk dada Jay. “Itu urusan hatimu.”

Sejak hari itu, Jay lebih sering berada di gudang tua yang ditemukannya di dekat pinggir Kali Pegirian. Bangunan bekas pabrik rokok itu dindingnya bolong, atapnya bocor. Jay membuka semua jendela, membiarkan cahaya masuk seperti anak-anak yang pulang sekolah. Rengganis datang membawa buku-buku bekas; Wira, bersama beberapa tukang harian, menata bata-bata yang Jay kumpulkan dari pembongkaran.

Pada dinding paling depan, Jay menyusun bata yang diukir dengan kata-kata yang pernah menyakitinya: gagal, lebay, ngapain sih, cari simpati, pemimpi. Setiap kali tangan menaruh satu bata, di dalam dirinya ada pintu tertutup yang perlahan terbuka.

“Kamu beneran mau tempel semua kata buruk itu?” tanya Rengganis suatu siang, napasnya bau mint dari permen.

“Biar orang lihat apa yang bikin kita ingin berhenti—dan apa yang bikin kita jalan terus.” Jay tersenyum. “Urip iku urup. Kalau api kecilku cuma menyala buat aku sendiri, buat apa?”

.

Kabar tentang gudang yang dipugar menyebar. Ada yang menuduh Jay ingin bikin markas politik. Ada yang bilang ia memanfaatkan kemiskinan sebagai komoditas. Ada juga yang bilang ia menunggu momentum banjir untuk jadi pahlawan. Kertolo, tentu, tak ketinggalan menulis status panjang yang dibagikan ratusan kali: “Jembatan dari Batu? Halah. Batu di kepalanya sendiri belum dikeluarin. Siapa yang kasih mandat?”

Jay tidak membalas. Ia menempel gulungan kertas coretan rencana di dinding gudang, menyisakan ruang untuk nama-nama relawan. Perlahan, daftar itu terisi: Mahmud—si tukang foto yang rerata upahnya habis buat beli film; Intan—anak magang arsitektur yang suka mengukur hari dengan meteran; dan Rengganis, tentu, yang sekarang membawa tim kecil jurnalis alternatif.

“Saat kita memulai,” kata Jay pada mereka, “kita akan disalahkan karena melangkah. Saat kita berhenti, kita disalahkan karena tidak bergerak. Pilih salah yang kita sanggupi, ya?”

Wiraraja menyodorkan helm proyek. “Pilihan yang lebih waras adalah bekerja.” Lalu mereka bekerja, dalam kebisingan gurinda yang mengiris besi, dalam debu yang membuat rambut jadi abu, dalam tawa yang menghangatkan jam-jam panjang.

Minggu pertama, mereka membuka satu sisi dinding, membuatnya menjadi amben panjang tempat duduk. Di atasnya, cahaya pagi menimang; anak-anak kampung datang membawa bola plastik. Minggu kedua, Rengganis mengadakan open mic kecil; penyair dadakan mengeluarkan bait dari kantong baju, suara sumbang tapi jujur. Minggu ketiga, Wira mengajarkan anak-anak membuat mozaik dari pecahan keramik; setiap kepingan dianggap selembar hidup yang patah, yang bisa menyatu menjadi gambar utuh bila disusun dengan sabar.

“Kalau ini cuma jadi tempat main, apa gunanya?” tanya seseorang pada kolom komentar artikel Rengganis yang naik di portal kecil milik mereka. Jay menahan diri untuk tidak mengetik balasan. Ia memotret seorang ibu yang tertawa melihat anaknya melukis; ia memotret Wira yang tertidur dengan topi belel menutupi wajah; ia memotret Rengganis yang menghapus keringat dengan punggung tangan. Lalu ia menyimpannya saja: sanggahan paling kuat adalah napas yang masih bergerak.

.

Suatu siang yang lembab, Kertolo datang. Tanpa janji. Tanpa senyum.

“Kamu makin terkenal ya,” katanya datar, berdiri di depan dinding bata yang bergurat tulisan: Blame. Discouraging comments. Denial. Negative criticism.

Jay menaruh sekop. “Kamu lihat-lihat dulu, baru komentar.”

Kertolo melangkah pelan, menatap sekitar. “Kamu tahu kan, ada kesan kamu ini cari panggung.”

“Semua orang cari panggung,” sahut Jay tenang, “soal untuk apa panggung itu dipakai.”

“Untuk citra,” singkat Kertolo.

“Untuk menampung orang yang kecapekan di dunia yang kebisingannya makin tinggi.” Jay membetulkan helmnya. “Kalau kau punya panggung yang lebih lapang, yuk kita sambungkan.”

Kertolo terkekeh, lalu suaranya melunak, seperti api yang baru dihembus. “Kamu tahu tidak, aku dulu pernah ajukan ide serupa?” Ia menyebutkan tahun, tempat, nama-nama yang akhirnya memilih proyek lain. “Sejak itu aku muak dengan kata ‘komunitas’. Gampang digembar-gemborkan, sulit dirawat.”

Jay memandangnya, dan akhirnya memahami. Tentu saja Kertolo bukan hanya pengganggu. Ia pernah terluka. Ngundhuh wohing pakarti. Buah pahit bisa membuat orang memaki bibirnya sendiri.

“Kalau kamu mau, bantu kami membangun perpustakaan kecil,” kata Jay, setengah ragu. “Aku tahu kamu suka buku-buku filsafat urban.”

Kertolo menahan cengiran. “Biar aku pikirkan.” Ia pergi. Jay tidak yakin apakah itu awal atau akhir. Tapi sejak saat itu, komentar-komentar dari akun Kertolo mulai jarang muncul.

.

Musim hujan datang seperti tamu yang lama disangkal, lalu tiba-tiba menuntut ruang. Air Kalimas naik; Kali Pegirian membawa lumpur. Peringatan banjir berkelip di layar berita. Wira mengusulkan agar gudang mereka disulap jadi tempat singgah sementara untuk warga yang rumahnya kebanjiran.

“Kita belum punya banyak kasur,” kata Intan. “Anggaran tipis.”

“Kita punya karpet gulung dari sisa pameran tetangga ruko,” sahut Mahmud. “Dan selimut sumbangan—aku bisa minta ke masjid sebelah.”

Jay memandang dinding bata dengan kata-kata yang dulu menyakitinya. Ia menepuk dinding itu, seperti menepuk bahu teman lama. “Baik. Kita buka pintu lebar-lebar.”

Pada malam pertama air menelan jalanan, mereka menyalakan lampu-lampu gudang hingga tampak seperti kapal yang parkir di atas kegelapan. Orang-orang datang menggenggam tas plastik; ada yang memeluk ayam; ada yang menyeret koper kecil dengan roda yang macet. Rengganis mencatat nama, menyeduh teh manis, memanggil anak-anak untuk bermain. Wira memeriksa talang, menambal bocor.

Hujan tidak reda-reda. Keesokan hari, banjir bertahan. Gudang penuh. Jay kurang tidur. Ia menulis pada papan tulis: Kita bertahan bersama. Yang punya tenaga membantu, yang punya cerita berbagi. Di bawahnya ia menempel kertas kecil: “Alon-alon asal kelakon.”

Di tengah kesibukan, sebuah mobil hitam berhenti di depan gudang. Dari dalamnya turun seseorang dengan payung besar dan senyum yang sudah dilatih di depan cermin: orang dari corporate properti yang dulu menolak pitch Jay. “Kami ingin menawarkan bantuan—sekaligus kolaborasi,” katanya dengan suara seperti teh hangat yang ditambahkan gula berlebihan. “Kami bisa renovasi total tempat ini. Jadikan nama perusahaan kami menempel manis di depan. Apa pendapat Anda?”

Jay menatap Rengganis; Rengganis menatap Jay. Mereka tidak menjawab seketika. Bantuan tidak pernah sederhana. Di benak Jay, peta kota terbelah: di satu sisi, kesempatan mempercepat pembangunan; di sisi lain, bayangan gudang berubah jadi etalase citra. “Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake.” Menang tanpa mengalahkan siapa pun, tapi juga tanpa menyerah pada sesuatu yang menghapus substansi.

“Terima kasih,” Jay akhirnya berkata. “Kami terbuka untuk kerja sama. Tapi tempat ini harus tetap bebas dipakai warga tanpa syarat. Nama perusahaan Anda bisa muncul di papan donatur bersama nama-nama kecil lain yang menyumbang. Susunan bata tetap kami yang desain. Dan narasi ruang ini tetap milik warga.”

Eksekutif itu menimbang-nimbang, lalu bibirnya membentuk garis tipis. “Saya pikirkan dulu,” katanya, sebelum berbalik menuju mobil. Jay menghela napas—di sini, segalanya memang butuh dipikirkan dulu. Rasa syukur dan waspada harus memegang tangan bersama.

Malamnya, listrik padam. Hujan semakin deras; anak-anak menangis; seorang ibu menjerit karena suaminya tak bisa dihubungi. Jay berjalan dalam gelap membawa senter. Di dinding, kata-kata pada bata tampak seperti bintang-bintang kecil yang tidak tahu harus menerangi siapa. Ia duduk di sudut, tiba-tiba ingin menangis. Rengganis duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya.

“Kamu boleh lelah,” bisik Rengganis. “Tapi jangan sendirian.”

Jay tertawa kecil di sela sesak. “Terima kasih telah jadi orang pertama yang percaya pada batu-batu ini.”

“Saya percaya pada manusia yang memegangnya,” balas Rengganis.

Di luar, suara air beradu, sepetak kota yang terendam terus menghafal kata “bertahan”.

.

Banjir surut pada hari keempat. Warga pulang membawa selimut yang masih hangat sisa pelukan malam-malam berat. Di gudang, mereka meninggalkan catatan kecil di papan: Terima kasih sudah jadi pelabuhan. Terima kasih sudah meminjamkan bantal. Terima kasih untuk teh yang terasa seperti rumah.

Pada suatu sore yang kembali cerah, Kertolo datang lagi. Kali ini ia membawa dua kardus buku. “Perpustakaannya jadi?” tanyanya canggung.

Jay tersenyum. “Jadi kalau ada buku.”

Mereka membuka kardus: buku-buku urban studies, novel-novel lama, almanak kota. Kertolo menatap dinding bata yang kini dihiasi rak-rak kayu dari palet bekas. “Kamu mungkin menyebalkan,” katanya tanpa menatap Jay, “karena ora gampang nyerah.”

“Orang menyebalkan dibutuhkan untuk menumbuhkan dunia,” Jay menggoda.

Kertolo duduk, menyandarkan punggung. “Kamu tahu, setiap kali aku menulis status, sebenarnya aku sedang berdebat dengan diriku sendiri yang takut berharap.” Ia menengadah. “Kamu mau debat? Debatlah dengan pekerjaan. Itu lebih adil.”

Sejak hari itu, Kertolo rutin datang, menjadi kurator tak resmi perpustakaan kecil. Ia menempelkan kertas-kertas kecil pada rak: rekomendasi buku untuk mereka yang patah hati, untuk yang bangkit dari PHK, untuk yang baru berbaikan dengan orangtuanya. Namanya, perlahan, disebut dalam obrolan sebagai “Kertolo yang baik” — bukan “Kertolo yang suka nyinyir”.

.

Waktu berjalan, seperti kota yang tak habis-habis menelan jam. “Jembatan dari Batu” makin ramai. Komunitas senam ibu-ibu meminjam aula kecil tiap Sabtu. Anak-anak mengadakan lomba film pendek dengan kamera ponsel. Bapak-bapak melatih hadrah di malam-malam sepi. Intan berhasil mengubah salah satu sudut gudang jadi co-working sederhana: tiga meja panjang, empat colokan, satu dispenser yang bekerja terlalu keras. Wiraraja, di usia yang makin renta, tetap datang. Ia mengajarkan pada Jay satu pelajaran baru: bagaimana merawat hal yang sudah jadi.

“Bangun itu seperti jatuh cinta,” kata Wira. “Tapi merawat seperti pernikahan. Butuh sabar agar tak cepat bosan.”

Jay mengangguk. Ia belajar membuat jadwal piket, jadwal kebersihan, pertemuan bulanan yang isinya tidak hanya rencana tetapi juga rasa. Dia belajar menanggapi kritik proaktif: saat tetangga mengeluh karena parkir pengunjung memadati gang, mereka menyewa lahan kosong jadi parkir kecil. Saat ada pemuda yang membuat gaduh, mereka mengajak jadi panitia. Setiap batu masalah diletakkan di tempatnya; setiap batu, jika diletakkan benar, menjadi bagian dari jembatan.

Rengganis menulis rangkaian feature tentang perjalanan ini. Tulisannya seperti air yang mencari celah: mengalir, jernih, menyentuh. “Kota yang saling mengeraskan,” tulisnya, “perlu ruang yang mau saling melembutkan.” Tulisan itu menyebar. Media arus utama mulai melirik. Sebuah organisasi internasional menghubungi untuk memberikan penghargaan kecil: bukan uang, tetapi pelatihan manajemen komunitas di Bandung. Jay mengirim Intan dan Mahmud. “Kamu?” tanya Rengganis.

“Aku tinggal,” sahut Jay. “Ada talang yang harus dipaku.”

.

Namun kehidupan tidak pernah berhenti menguji. Sebuah proyek jalan baru akan dibangun; pemerintah kota mengumumkan akan memperlebar ruas di dekat sungai. Garis peta melewati gudang mereka. Surat sosialisasi tiba: bangunan yang berada di jalur perlu dibongkar sebagian. “Kita tidak menolak,” kata seorang pejabat dengan senyum administrasi. “Ini untuk kepentingan bersama.”

Jay menatap garis merah yang menembus bangunan: tepat di ruang baca anak. Rengganis meremas ujung jilbabnya. Kertolo menatap kosong. Intan menekuk peta, mengukurnya dengan penggaris seolah mengukur panjang luka.

“Adakah ruang bernegosiasi?” tanya Jay pada rapat umum.

“Ruang bernegosiasi selalu ada,” jawab Wira, “tapi jangan lupa ukurannya.” Ia menatap Jay. “Kalau tak bisa mengubah garis, ubah arah bangunanmu.”

Warga berkumpul. Mereka menulis surat. Mereka mengajukan rancangan perubahan: bersedia memotong sebagian bangunan, asal pemerintah membantu membangun ulang sisi belakang dan memberi izin penggunaan lahan kosong di samping sebagai taman kecil. Rengganis menulis artikel naratif, bukan sekadar protes, tetapi ajakan: kota yang baik adalah kota yang mau mendengar cerita warganya.

Jawaban datang dua minggu kemudian: disetujui dengan catatan. Mereka akan mendapat izin penggunaan lahan sebelah untuk taman; pemerintah membantu material seperlunya, tenaga kerja dari warga. “Kenapa kamu tidak marah besar?” tanya seseorang pada Jay. “Ini karena relasimu dengan media?”

“Karena kita tinggal dalam kota yang perlu diurus, bukan diperangi,” jawab Jay. “Marah besar mudah; menyusun bata ulang lebih sulit. Dan lebih bahagia.”

Musim baru pun dimulai: pembongkaran sebagian dinding, perpindahan rak buku, peletakan kembali bata-bata yang dulu berjasa. Mereka mengundang tetangga untuk menulis di satu bata—satu kata yang dulu menjatuhkan mereka. Ada yang menulis “bodoh”, ada “terlambat”, ada “gagal”. Lalu di sisi lain bata, mereka menulis kata yang kini menguatkan: “belajar”, “mulai”, “lagi”. Bata-bata itu disusun jadi gerbang taman, sehingga setiap orang yang masuk melewati pertemuan dua kata: luka dan penawarnya sendiri.

.

Pada malam peresmian taman kecil itu, Jay duduk di tangga, memandang orang-orang yang datang. Lampu-lampu digantung dari kawat seperti bintang yang turun sedikit lebih rendah agar bisa dipegang. Ada panggung kecil, tapi bukan untuk pidato panjang. Anak-anak menari, ibu-ibu menyanyi, bapak-bapak bermain musik. Rengganis membacakan penggalan tulisannya: “Bila ada yang bertanya, dari mana kau membangun harapan, jawablah: dari batu-batu yang dulu dilemparkan.”

Pada giliran Jay bicara, ia tak bisa menahan degup jantung. Ia berdiri, memandang dinding bata yang kini lebih kokoh dan indah. “Aku ingin mengutip simbah,” katanya, suaranya gemetar. “Urip iku urup. Hidup itu menyala. Kalau nyalaku kecil, semoga bisa menyalakan yang di sebelah. Kalau nyala kita berkumpul, semoga cukup untuk menerangi jalan pulang mereka yang tersesat.”

Ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah di hadapannya: Wira yang bersandar pada tongkat, Intan yang memeluk gulungan denah, Mahmud yang menahan air mata, Rengganis yang tersenyum, Kertolo yang menatap tanah. “Terima kasih,” lanjut Jay, “kepada semua yang pernah melempar batu. Tanpa kalian, jembatan ini tidak akan setinggi ini.”

Tepuk tangan meledak, bukan yang meriah, melainkan yang lama—seperti hujan yang akhirnya jatuh pada musim yang tepat.

.

Kota akan terus berganti. Peta akan terus digambar ulang. Tapi ada hal yang tetap: kebutuhan manusia untuk pulang ke tempat yang mengerti patah dan utuh sekaligus. “Jembatan dari Batu” tidak pernah menjadi proyek sempurna; ia hanya proyek yang mengakui ketidaksempurnaan. Pada suatu sore, seorang remaja menulis di kertas pengunjung: “Di sini, saya belajar bahwa kritik tidak mematikan. Hanya bikin sakit sebentar, lalu jadi obat kalau disusun baik.”

Rengganis menunjukkannya pada Jay. “Satu surat semacam ini cukup untuk melanjutkan setahun lagi,” katanya.

Jay tersenyum. Ia menatap kota dari pintu gudang: Surabaya yang keras tapi hangat, yang pedas tapi setia. Ia teringat malam-malam pertama ketika ide ini hanya sebatang korek yang takut pada angin. Betapa sering ia ingin mematikannya saja. Tapi setiap komentar sinis, setiap penolakan, ternyata justru menjadi kayu bakar.

Saat itu, Kertolo mendekat. “Aku bikin klub baca, ya,” katanya. “Untuk mereka yang tidak percaya pada buku, tapi diam-diam rindu dipeluk kata-kata.”

“Bikin,” sahut Jay. “Kamu pimpin.”

Kertolo mengangguk, bibirnya seperti menemukan senyum yang lama menghilang. “Kamu tahu,” ucapnya pelan, “dulu aku yakin kota ini tak akan mendengarkan. Sekarang aku pikir, kota ini sebenarnya tidak tuli—kita saja yang terlalu cepat berteriak.”

“Makanya kita susun bata,” jawab Jay, “biar suara kita bisa berdiri.”

Di luar, angin dari arah laut membawa bau garam, mengingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibersihkan—hanya dirayakan sebagai bagian dari kita. Jay memejamkan mata. Ia tak menuntut kota menjadi sempurna; ia hanya berharap kota bersedia terus menyusun bata.

.

Bertahun kemudian, ketika “Jembatan dari Batu” sering disebut dalam brosur pariwisata sebagai “ruang komunitas yang dibangun dari bata bekas dengan cerita-cerita baru,” Jay tetap datang pagi-pagi untuk membersihkan halaman. Rambutnya bertambah putih; Wira telah berpulang setelah menitipkan sendok aduk semen yang paling setia. “Simpan,” kata Wira di ranjang rumah sakit, “jika suatu hari bangunan runtuh, kau tahu dari mana memulai lagi.”

Rengganis kini mengajar jurnalisme—tentang menulis sebagai sarana merawat kota. Intan sudah membuka biro arsitektur kecil yang fokus pada ruang-ruang sosial, dan ia sesekali pulang, membawa mahasiswa magang untuk belajar pada bata-bata yang tidak pernah lulus dari universitas mana pun.

Di dinding depan, tepat di atas rak buku, ada sebaris kalimat yang diganti tiap bulan. Hari itu tertulis: “Jangan buru-buru membalas. Kumpulkan saja semua batu yang dilemparkan orang, dan bangun tangga pulang ke dirimu sendiri.” Di bawahnya, tanda tangan kecil: —Seorang Warga.

Seorang anak bertanya pada Jay yang sedang menyapu, “Pak, kenapa harus dari batu bekas?”

Jay tersenyum. “Karena yang bekas tahu jalan pulang,” katanya, “dan karena kita semua, pada akhirnya, adalah bekas sesuatu: bekas marah, bekas takut, bekas gagal. Kalau disusun dengan cinta, yang bekas bisa jadi jembatan.”

Anak itu mengangguk, lalu berlari menuju taman kecil, melompati gerbang bata yang pada satu sisinya bertuliskan “gagal” dan di sisi satunya bertuliskan “lagi”. Jay memandangnya, membiarkan hatinya bergerak pelan, seperti kota yang sedang berusaha mengingat kembali cara memeluk.

Malam itu, lampu-lampu dinyalakan. Rengganis datang membawa puding mangga, Kertolo membawa buku baru dan alasan-alasan untuk tertawa, Intan menenteng gulungan poster desain taman. Mereka duduk di tangga, menatap langit.

“Kalau besok ada yang melempar batu lagi?” tanya Rengganis, setengah bercanda.

“Kita suruh masuk,” jawab Jay, “lalu kita ajak pilih, mau jadi tembok atau jadi tangga.”

Mereka tertawa. Di kejauhan, suara kereta malam terdengar pelan-pelan, seolah kota sedang melantunkan doa. Dan di bawah doa itu, ada sebuah jembatan yang terus diperpanjang: dari batu, dari kata, dari orang ke orang—mengarungi runyamnya hari, menyeberangi lelah, menuju satu tempat yang bernama pulang.

.

.

.

Jember, 13 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#JembatanDariBatu #RuangKomunitas #KotaYangMendengar #UripIkuUrup #TransformasiDiri #PituturJawa #ArsitekturSosial #LiterasiKota #Surabaya

Leave a Reply