Jejak yang Tak Konsisten
“Kejujuran tidak butuh pentas; ia berdiri sendiri. Kebohongan selalu butuh panggung, penonton, dan naskah cadangan.”
.
Malam di Jakarta sering sibuk dengan lampu yang berpura-pura jadi bintang. Di lantai 32 sebuah gedung kaca, ruang rapat menatap kota seperti panggung teater. Di meja panjang, presentasi tentang “Revitalisasi Brand dan Ekspansi Cabang” berganti-ganti slide. Anggraini, perempuan dengan blazer abu-abu dan kuku yang rapi, mengedarkan pandang ke rekan-rekannya: Jayengrana, Wirapati, Sekartaji, dan Klana—nama-nama yang seolah terambil dari kisah lama, kini berlayar di zaman korporasi yang serbabaru.
Mereka bekerja di Mitra Langit, sebuah holding keluarga kelas menengah ke atas yang tumbuh cepat: hotel butik, kafe rintisan, studio konten, hingga sekolah keterampilan. “Diversifikasi portofolio,” kata brosur yang disusun Jayengrana, kepala strategi yang belakangan naik pamor karena tiga proyeknya terlihat kinclong di Instagram.
Malam itu, rapat dibuka dengan angka—seperti biasa—lalu bergulir ke cerita—seperti selalu. Jayengrana fasih. Sungguh fasih. Ia memegang marker seperti konduktor orkestra. “Kita tutup kuartal ini dengan pertumbuhan 28% YoY,” suaranya mantap. “Kolaborasi dengan influencer X juga mengantar engagement rate organik ke 11,2%.”
Sekartaji, yang memimpin sekolah keterampilan, hanya tersenyum kecil. Ia belajar, bertahun-tahun, bahwa angka bisa jadi kain penutup. Yang menentukan bukan tampilannya, melainkan jahitannya. Dan semua kain, cepat atau lambat, akan bersuara lewat benangnya sendiri.
.
Pagi berikutnya, di kafe Kembang Pagi milik jaringan mereka, angin AC menari di sudut-sudut meja. Wirapati, yang mengetuai legal dan tata kelola, menatap catatan kecil. Ia punya hobi yang jarang diketahui orang: mencatat detail remeh. Letak cangkir. Waktu tanda tangan. Nada suara saat orang bicara tentang hal yang bagi mereka tidak penting. “Detail yang kecil itu, Gre,” katanya pada Anggraini, “sering membuka pintu yang besar.”
Anggraini mengangguk, lalu membuka WhatsApp. Seorang pemasok mengeluh, faktur tiga bulan belum terbayar padahal di rapat Jayengrana menyebut arus kas sehat. “Saya akan urus,” balas Anggraini. Namun saat ia mengangkat wajah, Sekartaji sudah curi pandang ke arah Jayengrana yang baru masuk kafe dengan tawa.
“Gimana rapat investor semalam?” tanya Klana yang duduk di sofa, kakinya disilangkan.
“Bagus, progress aman. Mereka suka sama story kita,” jawab Jayengrana sambil memamerkan tautan artikel media yang memuat profil perusahaan. “Narasi itu penting, kan?” Ia melirik Anggraini.
“Penting,” jawab Anggraini pendek. “Lebih penting saat narasi diuji ulang.”
Jayengrana tertawa, ringan seperti orang yang tahu semua sudut ruang menyukainya. “Ujian seperti apa, Gre? Kita kan tim.”
“Yang membuat kita tim adalah kemampuan menguji tanpa saling merasa dihakimi,” sela Sekartaji, suara lembutnya seperti teh hangat. “Cerita yang baik tidak takut diulang.”
Kalimat itu dibiarkan jatuh seperti daun di atas meja.
.
Sore hari, di ruang kelas Mitra Langit Academy, Sekartaji memfasilitasi pelatihan “Komunikasi Strategis Tanpa Manipulasi.” Peserta datang dari berbagai latar—manajer hotel, pengusaha kafe, PR, dan dosen tamu yang mengantar mahasiswanya observasi. Ia memulai dengan cerita ringan: “Menurut riset di Amsterdam, delapan puluh dua persen pembohong gagal menjaga konsistensi narasinya setelah tiga kali bercerita ulang. Kebohongan memang tidak dirancang untuk bertahan lama. Yang membuatnya bertahan hanyalah orang-orang yang tidak tahu cara mengujinya.”
Dari pintu kaca, Anggraini menyimak. Di depan layar, Sekartaji menulis enam poin sederhana:
-
Biarkan mereka bicara lebih banyak dari yang perlu.
-
Catat detail kecil, bukan kalimat besar.
-
Jangan buru-buru menyanggah; ubah jadi klarifikasi halus.
-
Gunakan pertanyaan waktu tunda.
-
Jangan menghakimi; ciptakan ruang kejujuran.
-
Gunakan kekuatan diam di akhir percakapan.
Kalimat-kalimat itu tidak berteriak. Justru karena tenang, ia menempel.
.
Pekan berganti. Pada agenda pembaruan proyek “Kafe Selasar—Cabang Menteng,” Jayengrana menceritakan kembali skema kemitraan. “Vendor fit out sudah dibayar 60% karena progress mereka 65%. Kita ahead of schedule,” katanya.
“Lalu setelah itu apa?” tanya Anggraini santai.
“Setelah itu kita masuk soft opening—dua minggu lagi.”
Wirapati melirik jam. “Vendor mana yang 65%? Kemarin email-nya menyebut 40%.”
“Beda cabang,” jawab Jayengrana cepat, “yang 40% itu Surabaya.”
“Yang Surabaya kan baru kick-off. Apakah kita bicara dokumen yang sama?” Sekartaji bertanya halus, tidak menantang, hanya ingin “paham alurnya.”
Jayengrana menghela napas sejenak. “Maksud saya overall progress jaringan.”
“Oh, jadi maksudmu bukan Menteng saja?” tanya Anggraini, netral.
“Ya,” katanya akhirnya, “overall.”
Hening lima detik. Tak ada yang mengisi. Jayengrana meneguk air putih, lalu menambahkan penjelasan yang tidak diminta: “Vendor Menteng memang 40%, tapi pembayaran 60% untuk material pre-order, sesuai kebiasaan industri.”
Wirapati mencatat waktu, tempat, urutan. Di catatan kecilnya, ia menuliskan: “Pertama: 65% progress Menteng. Revisi: 40% Menteng, 60% pre-order. Catatan: time stamp 15.43.”
“Baik,” ujar Anggraini. “Kita noted material pre-order.”
Tak ada bantahan. Hanya ruang lapang tempat sebuah cerita dibiarkan berdiri sendiri.
.
Dua hari kemudian, di rapat lain, Anggraini bertanya ulang: “Waktu itu progres Menteng 65% atau 40% ya? Aku lupa. Kamu datang ke lokasi jam berapa?”
“Pagi. Jam delapan. 65%,” jawab Jayengrana cepat.
“Waktu itu kamu bilang pre-order dibayar 60% kan?” Anggraini merendahkan nada seolah mencari kepastian dari seseorang yang ia percaya.
“Ya. Vendor meminta begitu karena imported tile harus dikunci.”
“Imported tile?” Wirapati berdehem pelan. “RAB kita menimbang alternatif lokal.”
“Ya, tapi kita upgrade—biar brand image naik,” jawab Jayengrana. “Itu strategic move, saya pikir semua setuju.”
“Siapa yang menyetujui kapan?” tanya Sekartaji lembut.
“Rapat kecil minggu lalu. Ada kamu juga, Sekar.”
Sekartaji menatap Jayengrana, lalu menatap kalender di ponselnya. “Minggu lalu aku di Surabaya mengajar, Jay. Kita tidak rapat.” Senyumannya tak menyudut. Hanya menyalakan lampu di sebuah ruangan yang lama dimatikan.
Ruang rapat kembali tenang. Lalu, seperti biasa, kebohongan berusaha menolong dirinya sendiri. “Maksud saya bukan rapat formal,” Jayengrana memperbaiki, “hanya obrolan quick call.”
“Kalau quick call, boleh minta call log—biar mudah menelusur,” ujar Wirapati, tetap sopan.
Hening lagi. Lima detik. Delapan detik. Tiga belas detik.
“Ponsel saya reset,” kata Jayengrana lirih. “Nanti saya cek.”
.
Malam itu, Jakarta berhenti hujan. Jalan-jalan memantulkan sisa lampu. Anggraini pulang dengan kepala penuh simpul. Ia duduk di meja makan, memandang panci sup bening yang dibikin ayahnya—mantan guru teknik yang kini hobi menanam padi di rooftop karena rindu sawah masa kecil. “Bapak dulu juga pandai bercerita,” kata Anggraini dalam hati. “Tapi yang paling bapak banggakan selalu detail kecil: mata air yang tidak pernah menipu.”
Telepon berdering. Pesan dari pemasok: “Bu, terima kasih. Finance menghubungi. Katanya ada holding pembayaran karena upgrade material yang tidak ada di RAB. Kami siap ikuti kebijakan, asal jelas SOP-nya.”
Anggraini menutup chat, lalu membuka catatan: Jika narasi berubah-ubah, jangan marah. Beri ruang, beri waktu, beri pertanyaan yang mengatur ulang. Diam setelah titik-titik penting. Biarkan kata-kata mereka bekerja melawan mereka sendiri.
Ia tidak sedang hendak menjatuhkan Jayengrana. Ia hanya ingin rumah yang mereka bangun bersama tidak retak karena fondasi yang berbohong.
.
Tiga minggu berlalu. Menteng belum juga soft opening. Vendor mengeluh—bukan karena uang, melainkan karena arahan yang berubah-ubah. Imported tile batal. Sekarang vintage local tile dengan motif kotak-kotak yang lebih homey. Sementara itu, modul sekolah “Etika Digital dan Narasi Data” mendapat pendaftar membludak, paradoks yang membuat Sekartaji kerap tersenyum getir: dunia selalu penuh orang yang ingin bicara tentang integritas, sementara integritas sendiri memilih untuk tidak bicara.
Suatu siang, town hall bulanan digelar. Semua karyawan—dari barista Kembang Pagi sampai instructor Academy, dari housekeeping hotel butik sampai content producer—berkumpul di auditorium kecil. Di layar, tercetak misi perusahaan: Membangun usaha yang tumbuh dari rasa, cerdas dengan data, dan jujur dalam cerita.
Anggraini maju pertama. Ia membuka dengan pertanyaan yang tampak ringan: “Kalau kalian mendengar kata ‘narasi’, apa yang terbayang?”
“Storytelling,” jawab seorang content producer.
“Branding,” sahut manajer kafe.
“Kadang… alasan,” celetuk seorang barista dan ruangan tertawa.
Anggraini tersenyum. “Narasi adalah cara kita merawat makna. Tapi makna tidak bisa dirawat dengan—maaf—kebohongan kecil yang kita anggap tak apa. Karena kebohongan kecil adalah bibit untuk kebohongan yang lebih mudah tumbuh di tanah subur yang bernama ‘percaya’.”
Ia lalu memutar video pendek—kompilasi recording rapat yang sah, potongan timeline proyek Menteng, konfirmasi vendor tertulis, dan catatan-catatan Wirapati yang dirangkai tanpa komentar. Tidak ada tuduhan. Hanya kronologi. Ia menutup video dengan jeda. Lima detik. Delapan detik. Dua belas detik.
“Teman-teman,” lanjutnya pelan, “kalau ada yang merasa narasinya perlu diluruskan, panggung ini aman. Kita tidak menghakimi. Kita ingin paham alurnya.”
Jayengrana mengangkat tangan. Ruangan menahan napas—bukan karena drama, melainkan karena manusia selalu ingin percaya bahwa kebenaran masih mungkin dipilih. Ia berjalan ke depan, menatap layar yang baru saja dimatikan, lalu menatap semua orang.
“Saya…,” suaranya serak, “saya mulai bermain-main dengan detail sejak dua proyek lalu. Awalnya niatnya menyemangati. Lalu saya terbiasa. Dan saya takut jika momentum turun, saya dianggap gagal. Saya… memutar fakta. Maaf.” Ia mengatup bibir. “Saya akan bertanggung jawab. Kalau harus mundur, saya mundur. Kalau harus memperbaiki, saya siap.”
Sekartaji berdiri, melangkah ke sampingnya. “Kita belajar, bukan menghukum,” katanya. “Tapi belajar butuh garis. Garisnya disebut kejujuran.”
Wirapati menambahkan, “Mundur atau bertahan bukan sorotan. Yang kita tetapkan adalah tata kelola: audit proyek, pembayaran vendor terverifikasi, semua upgrade melewati komite. Dan modul pelatihan ‘Narasi Data’ menjadi wajib untuk semua kepala unit.”
Ruangan bergemuruh kecil. Tepuk tangan bukan untuk kejatuhan seseorang, melainkan untuk gerak bersama ke arah yang lebih jelas.
.
Setelah town hall, hidup tidak langsung menjadi puisi. Vendor harus dinegosiasi ulang, timeline direvisi, investor dijelaskan dengan wajah penuh data dan suara yang tidak bergetar—bukan karena tak takut, melainkan karena memilih berdiri di atas pijakan yang benar. Jayengrana mengambil cuti dua minggu, menetap di rumah orang tuanya di pinggir kota. Ia menghabiskan waktu menandai kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu disebutnya strategi, padahal cuma pelarian dari ketakutan diukur dengan angka.
Suatu pagi, ia mengirim pesan kepada Sekartaji: “Maukah kau mendengar ulang ceritaku, tanpa aku membela diri?”
Sekartaji membalas: “Aku mendengar, Jay. Datanglah ke ruang kelas sore ini.”
Mereka bertemu di kelas yang kosong. Di papan, masih tertulis enam poin yang dulu diajarkan Sekartaji. Jayengrana duduk seperti murid.
“Aku takut,” katanya.
“Takut apa?”
“Takut jadi biasa-biasa saja.” Ia menunduk. “Di rumah, aku mendengar bapakku mengeluh tentang masa mudanya: ia menyisipkan angka yang diangankan dalam laporan karena bosnya waktu itu hanya peduli hasil. Bapakku akhirnya dimutasi. Aku berjanji tidak akan seperti itu. Aneh, ya? Aku justru mengulangnya.”
“Ketakutan yang tidak kita urai sering memilih jalan pintas yang paling kita ingat,” kata Sekartaji.
“Aku ingin memperbaiki, tapi… dari mana?”
Sekartaji menunjuk papan tulis. “Kau sudah tahu jawabannya. Mulai dari diam. Di akhir setiap rapat, jangan menutup jeda. Biarkan orang lain bertanya. Biarkan dirimu diperiksa. Dan saat kau bercerita ulang, periksa dirimu sendiri: waktu, tempat, urutan, nada emosi. Jika satu saja bergeser, jangan edit agar tampak bagus. Akui saja. Itu bukan kekalahan; itu perawatan makna.”
Jayengrana mengangguk. “Terima kasih.”
“Terima kasih sudah berani.”
.
Tiga bulan berlalu. Menteng akhirnya soft opening. Bukan megah, tapi wangi kayu dan kopi membentuk peta yang ramah. Di dinding, terpajang foto-foto hitam-putih: seorang tukang ubin tertawa; seorang barista belajar latte art dari seniornya; seorang vendor menandatangani lembar persetujuan setelah membaca ulang dengan teliti. Di bawah foto, sebuah kutipan yang dipilih Anggraini:
“Diam lima detik setelah kebenaran membuat kebohongan menyerah.”
Investor datang mencoba single origin. Media menulis tampilan homey yang jujur. Di sesi tanya jawab, salah satu reporter bertanya, “Kalian sempat tertunda. Apa tantangan terbesar?”
Anggraini memegang mikrofon. “Menjaga agar angka tidak menelan akal sehat, dan menjaga agar cerita tidak menelan kebenaran. Kami belajar.”
“Dan kami terus belajar,” tambah Jayengrana di sampingnya, tersenyum kecil, “dengan membiarkan catatan-catatan kecil menuntun kami.”
.
Pada akhirnya, kota masih tetap sibuk dengan lampu yang berpura-pura jadi bintang. Namun mereka belajar menatap ke atas tanpa ingin jadi bintang palsu. Anggraini belajar bahwa ketegasan tidak sama dengan kemarahan. Sekartaji belajar bahwa mengajar yang paling ampuh adalah memberi ruang orang jatuh dan berdiri sendiri. Wirapati belajar bahwa catatan kecil bisa menyelamatkan kapal besar. Dan Jayengrana belajar bahwa panggung bukan tempat terbaik untuk mencari diri; kelas kosong dan jeda sunyi lebih jujur sebagai cermin.
Malam itu, setelah kafe tutup, mereka duduk di teras, memandangi Menteng yang mulai bernafas dengan ritmenya sendiri. “Kau masih takut jadi biasa-biasa saja?” tanya Sekartaji.
Jayengrana menghela napas. “Aku masih takut. Tapi mungkin, menjadi biasa yang jujur lebih sulit—dan lebih terhormat—daripada menjadi luar biasa yang palsu.”
“Betul,” jawab Anggraini. “Di kota ini, ordinary adalah revolusi ketika ia memilih jujur.”
Mereka tertawa kecil. Lampu-lampu memantul di aspal. Di kejauhan, suara taksi melintas. Jakarta, seperti biasa, bergerak. Dan di tengah gerak itu, mereka menaruh sesuatu yang tenang: keputusan untuk tidak memutar fakta, untuk membiarkan kebenaran berjalan dengan kaki sendiri, untuk merawat makna dengan disiplin yang pelan tapi konsisten.
.
“Kebenaran tidak menuntut tepuk tangan; ia hanya meminta kita sanggup menatapnya tanpa berkedip.”
.
.
.
Malang, 20 November 2025
Jeffrey Wibisono V.
.
.
#CerpenKompasMingguStyle #Integritas #EtikaBisnis #NarasiData #KelasMenengahUrban #Hospitality #Leadership #Storytelling #Jakarta
.
Catatan Praktis dari Cerita (Reflektif–Edukasi–Solutif)
-
Biarkan Narasi Mereka Panjang. Banyak bicara membuka celah inkonsistensi—tangkaplah dengan tenang.
-
Tulis Detail Kecil. Waktu, tempat, urutan, nada—detail adalah pagar yang melindungi kebenaran.
-
Klarifikasi, Bukan Konfrontasi. “Oh, jadi maksudmu begitu ya?”—membuat mereka memperkuat narasinya sendiri.
-
Pertanyaan Waktu Tunda. Ulangi pertanyaan di lain hari, konteks berbeda—versi yang berubah akan tampak.
-
Ruang Aman. Tanpa penghakiman, orang cenderung membuka diri—bahkan kebohongan mereka.
-
Jeda Diam. Lima detik cukup untuk membuat kata-kata berproses dan kebenaran muncul ke permukaan.