Diam yang Nyaring di Antara Gedung
“Di kota, kabar berlari lebih cepat daripada kebenaran. Maka siapa yang terburu-buru bicara, akan tertinggal dari mereka yang sabar menimbang.”
.
Lampu-lampu kota seperti paku cahaya di langit rendah. Hujan sore baru hampir usai, tapi sisa-sisa rinainya masih menetes dari kabel listrik dan bibir atap ruko. Dari mulut gang, suara penjual ronde berdenting, bercampur deru bus malam, dan dengung flyover yang tak kunjung lelah. Warung kopi Domas setengah temaram, kursi kayu miring satu kakinya, meja berbekas lingkar cangkir. Di sana Kerta mengaduk kopinya yang sudah mendingin, sementara kepalanya memanas oleh kalimat yang barusan menembus telinganya.
“Sur—kau tahu sendiri—itu yang membocorkan dokumen,” bisik Peksi, mendekat sampai nafasnya beraroma rokok cengkeh. “Ke kompetitor. Dari emailnya. Pakai akun kantor. Jelas ada jejaknya.”
Kerta menatap lampu merah di ujung persimpangan. Di kaca mobil yang berhenti, ia melihat bayangannya sendiri: seseorang yang bertahun-tahun mempercayai Sura—teman kerja, teman pulang naik KRL, teman bercerita soal masa kecil di kampung, teman tertawa waktu ban motor kempis di tengah hujan. “Jelas” adalah kata yang paling gampang diucapkan ketika orang belum benar-benar memeriksa.
“Siapa yang bilang?” tanya Kerta.
“Semua orang,” jawab Peksi. Kata yang paling rapuh di kota ini—dan justru paling sering dipakai untuk menuding.
.
Di kantor—lantai sembilan gedung yang menatap leher sungai kota—“semua orang” berarti grup-grup WhatsApp: Pantry Update, Tim Tender, Anak Lantai 9, Arisan Jumat, dan satu grup rahasia yang isinya lebih banyak stiker daripada empati. Di sana, kabar adalah bola salju. Sekali didorong, ia bergulir, menabrak apa saja, dan membesar, menangkap dahan, potongan rumput, batu kerikil, sampai sulit dikenali mana inti, mana tempelan.
Sura tak tampak hari itu. Namanya disambungkan dengan kata “investigasi” dan “HR”. Lodra—kepala penjualan yang senyumnya selalu seperti poster promosi—mengirim pesan privat pada Kerta: Kita harus cepat ambil jarak. Nama kita bisa terbawa.
Kerta membaca dua kali. Ambil jarak adalah kalimat paling dingin untuk persahabatan. Ia menutup ponsel, menatap jendela. Di jalan layang, garis lampu mobil seperti tali cahaya ditarik tegang. Suara ibunya dari kampung datang seperti rintik di kepala: “Dengar, lihat, pikir; baru bicara.” Ia memilih diam. Untuk saat itu.
.
Kerta mengenal Sura sejak hari pertama magang. Mereka merantau nyaris tanpa apa-apa selain alamat kos bertingkat tiga yang catnya mengelupas. Sura, yang waktu itu masih membawa tas sekolah dengan resleting macet, mengajari Kerta cara bertahan: harga ojek yang wajar, menahan lapar sampai sore dengan gorengan satu bungkus dibagi dua, bergerak lincah di trotoar yang selalu diserobot parkir liar, menawar hati-hati pada tukang laundry yang lebih galak dari bos.
Sura punya mimpi yang diucapkan tanpa ragu: membeli rumah kecil untuk ibunya, Rengganis, di pinggiran kota. “Aku mau ibuku tidak lagi memandang kota dari kejauhan,” katanya suatu malam di atap kos. “Aku ingin ia merasa bagian dari lampu-lampu itu.”
Mimpi membuat Sura rajin. Ia hafal angka-angka, jalur distribusi, istilah tender yang membingungkan orang awam. Orang kantor bercanda: kalau listrik mati, minta Sura bicara, karena dia lebih terang dari neon. Candaan yang lebih jujur dari pujian resmi.
Karena itu, ketika kabar buruk datang, Kerta ingin percaya pada yang sudah dilihatnya bertahun-tahun, bukan pada suara yang baru kemarin sore masuk ke ponsel. Tapi kantor bukan museum—bukan ruang yang memajang masa lalu. Kantor adalah pasar, riuh, dan setiap hari harga orang bisa naik turun.
.
Sore itu hujan turun lagi, serapat bunyi rintik di seng. Kerta menunggu di lobi, berpura-pura menatap pameran foto kota tua. Sebenarnya ia menunggu Wira dari keamanan—orang yang tahu jam, pintu, dan siapa saja yang terlambat pulang.
“Mas,” sapa Wira, payungnya masih menetes.
“Semalam siapa yang lembur?” tanya Kerta, nada dibuat ringan seperti menanyakan harga bakso.
“Banyak, namanya juga akhir bulan.” Wira berhenti sejenak. “Mas Sura tidak. Dia di rumah sakit. Ibunya masuk IGD. Dia titip kartu parkir ke saya. Jam sebelasan lewat.”
Jam sebelas lewat. Waktu yang sama ketika, kata Peksi, email bocor dikirim dari akun Sura. Dua fakta beradu. Dalam kepala Kerta, yang pecah bisa saja bukan faktanya, melainkan wajah seseorang—reputasi yang dibangun pelan-pelan dan runtuh dengan satu dorongan.
“Terima kasih,” kata Kerta. Hatinya seperti jalan basah: licin, tapi harus berani dilalui.
.
Pagi berikutnya, HR mengumumkan: akun Sura digunakan mengirim file presentasi ke alamat di luar perusahaan pada pukul 23.17. Kata “pelanggaran berat” melayang seperti debu halus yang menempel di paru-paru. Di grup WhatsApp, emotikon sedih bertebaran seperti daun kering; satu-dua diselipi stiker motivasi. Peksi menagih tanda tangan petisi pemecatan. Lodra mengunggah foto matahari terbit dengan caption: Integritas adalah segalanya.
Kerta menahan diri. Ia melihat sebelum bicara. Ia minta pada Wira data akses pintu, pada Jayeng—orang IT yang lebih akrab dengan angka—log komputer. Catatan menunjukkan: ruang rapat dibuka dengan kartu Lodra pukul 23.15. Akun Sura login dua menit kemudian dari komputer ruang rapat. Saat itu Sura di rumah sakit.
“Bisa saja password tersimpan di komputer itu,” jelas Jayeng, suaranya datar, seperti membaca manual. “Atau ada yang tahu password-nya. Orang kita suka pakai kombinasi gampang. Tanggal lahir. Nama kucing.”
“Siapa yang tahu password Sura?” tanya Kerta.
“Yang dekat,” kata Jayeng. Kata yang dekat sekaligus berbahaya.
.
Di kereta sore yang mendorong pulang, Kerta duduk di samping Anom dari tim desain. Pipi Anom berbintik; kepalanya penuh nama-nama font.
“Mas,” kata Anom, “minggu lalu Sura nitip slide final ke saya. Katanya cuma saya yang pegang backup. Dia hati-hati sekali. Masa dia yang bocorin?”
“Kebingunganmu sehat,” jawab Kerta.
“Kenapa?”
“Karena kau belum tergesa menyimpulkan.”
Anom tertawa singkat. Di luar jendela, kota seperti bergerak mundur—sebuah film yang diputar balik ke adegan awal.
.
Malam sebelum town hall, Kerta berdiri di atap parkir. Angin kota mengibaskan kemejanya. Ia menatap lampu-lampu gedung sebelah; banyak yang menyala—berarti banyak yang masih bekerja, atau banyak yang takut pulang pada sunyi. Ia memejamkan mata, membayangkan kota sebagai tubuh manusia: telinga besar, mata kecil, mulut lebar. Telinga mudah menangkap hembusan; mata sering malas memeriksa; mulut—ahli berekspresi. Ia tak ingin menjadi bagian dari mulut itu.
Ia menyusun catatan—bukan untuk membela Sura, melainkan membela cara melihat. Ia menuliskan pertanyaan, bukan vonis: Kenapa ruang rapat dibuka dengan kartu Lodra dua menit sebelum login? Di mana Sura pada jam itu (ada saksi)? Siapa yang punya akses komputer ruang rapat? Adakah jejak USB di log? Bagaimana pola saved password? CCTV koridor?
Pertanyaan, kalau tenang, lebih tajam daripada tuduhan.
.
Town hall seperti panggung sandiwara. Semua tersenyum, tapi mata ingin tahu siapa tokoh jahatnya. HR membaca pernyataan, kata “integritas” dipukul berkali-kali. Sura tak hadir. Lodra menambah pidato—suara disetel seperti radio: “Kita keluarga besar. Satu saja salah, semua ikut tercoreng. Karena itu, kita harus tegas.”
Kerta mengangkat tangan. “Sebelum kita menandatangani sesuatu, mari lihat dulu. Log menunjukkan ruang rapat dibuka dengan kartu Lodra pukul 23.15, akun Sura login 23.17. Saat itu Sura ada di rumah sakit—ada saksi Wira. CCTV koridor seharusnya bisa menjelaskan siapa yang masuk. Mari periksa, lalu bicara.”
Sunyi turun. Sunyi yang nyaring. HR memberi isyarat pada keamanan. Rekaman diputar. Dalam layar, siluet berjalan tergesa, buka pintu, menoleh sekilas—kita semua pernah mengenal siluet itu: Lodra. Senyum poster promosi tertinggal di dinding; orangnya terlihat seperti kehilangan suara.
“Ini salah sudut kamera,” katanya pelan. “Saya cuma memastikan ruangan terkunci.”
“Setelah dibuka, pintu baru dikunci dua jam kemudian,” ucap Wira tanpa intonasi.
Keringat mengalir di pelipis Lodra. “Ada kekeliruan,” katanya cepat. Tapi kata-kata yang biasanya rapi mulai tersandung.
Tak ada sorak-sorai. Hanya tarikan napas panjang yang tak serempak.
.
Audit menyusul. Saved password dibersihkan. USB-log diperiksa. Jejak mata-mata digital menghadap ke arah yang sama. Sura dipulihkan namanya. Lodra mengundurkan diri diam-diam, meninggalkan dasi biru dan senyumnya di arsip newsletter internal. Peksi mendekat pada Kerta di koridor, menunduk.
“Aku… salah,” katanya.
“Kita semua pernah salah,” balas Kerta. “Yang penting, setelah mendengar, kita belajar melihat.”
“Dan berpikir,” tambah Peksi lirih. “Selama ini pikiranku sering kuajak lari, jarang kuajak duduk.”
Mereka tertawa, sependek sabar yang tumbuh di kota.
.
Rengganis keluar dari rumah sakit seminggu kemudian. Rambutnya disanggul rapi, kain selimut kotak-kotak tersampir di pundak. Sura menuntun pelan. Kerta datang membawa buah. Di teras bangsal, Rengganis menatap kota seperti menatap cucu rewel—sayang, tapi merepotkan.
“Jangan benci orang,” katanya sambil mengiris jambu. “Benci itu seperti memelihara api di telapak tangan. Kalau tidak kau buang, kau sendiri yang terbakar.”
“Kadang diam itu sulit, Bu,” kata Kerta.
“Diam bukan tidak bergerak,” jawab Rengganis. “Diam itu menahan mulut berjalan duluan. Biar mata dan pikiran sampai lebih dulu.”
Mereka tertawa. Rengganis memasukkan potongan jambu ke mulut Kerta. Asam-manisnya mengingatkan pada hidup kota—membuat kening berkerut, tapi ingin lagi.
.
Di kantor, suasana seperti sore setelah hujan: lebih sejuk, tapi masih ada genangan. HR mengadakan lokakarya kecil: Etika Informasi dan Budaya Bicara. Kerta diminta berbagi. Di depan rekan-rekan yang duduk di kursi lipat, ia tidak bercerita tentang heroisme—tidak ada yang heroik dari menahan diri. Ia hanya mengulang pitutur yang membawanya ke sini.
“Kita hidup di kota yang sibuk,” katanya. “Tentang orang lain, kita lebih sering mendapat ‘suara’ daripada ‘gambar’. Suara bisa sepotong, bisa dimanipulasi. Gambar bisa kabur. Tapi sebelum teriak, ada urutan sederhana yang menyelamatkan: dengar, lihat, pikir… baru bicara. Kalau mulut hanya punya batu, simpan batu itu dulu di saku.”
Ruang kelas sunyi dalam kenyamanan. Anom mencoret-coret sketsa poster. Wira mengangguk. Jayeng menulis catatan: hapus saved password otomatis. Di ujung ruangan, Peksi mengangkat tangan, suaranya pelan: “Bisa nggak kita mulai kebiasaan baru? Kalau ada kabar, kita tanya dulu: sudah lihat? Baru tanya: sudah dengar?”
“Bisa,” jawab Kerta. “Bisa sekali.”
.
Kota tetap melaju. Jalanan pagi tetap macet, tukang parkir tetap muncul dari balik pepohonan, pedagang kaki lima tetap sabar disuruh geser oleh petugas, lalu kembali lagi setengah jam berikutnya. Timeline tetap ramai; akun anonim kantor gosip masih hidup, tapi entah mengapa kini kirimannya berkurang. Orang-orang, setidaknya di lantai sembilan, belajar mengetik pelan.
Malam yang berbeda datang ketika listrik padam setengah kota. Gedung kantor menggigil dalam gelap darurat. Orang-orang menyalakan senter ponsel, seperti kunang-kunang modern berkelana. Di pantry, Kerta, Sura, Peksi, Anom, Wira, dan Jayeng berkumpul. Domas mengirim termos kopi dari warung, “Gratis, khusus mati lampu.”
Dalam gelap, suara lebih jernih. Tanpa layar, orang kembali bertemu wajah. Mereka bercerita hal-hal kecil yang biasanya tersapu notifikasi: Kerta tentang ibu yang suka menulis daftar kebutuhan dengan huruf tegak; Sura tentang rumah kontrakan yang bocor di kamar mandi; Anom tentang font favorit yang ironisnya bernama Humanist.
“Kadang kita butuh gelap,” kata Wira, mengaduk kopi. “Supaya ingat: lampu bukan satu-satunya yang bisa menerangi.”
“Dan supaya ingat,” timpal Jayeng, “jangan simpan password di komputer orang.”
Tawa pecah, jujur seperti bunyi sendok mengaduk gelas.
.
Sehabis mati listrik, kantor punya kebiasaan baru yang konyol tapi menyenangkan: setiap Jumat sore, orang bebas bercerita tentang satu kesalahan yang baru mereka sadari sepanjang minggu—bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk belajar. Mereka menamai sesi itu Jumat Jujur. Di papan tulis: Saya menilai dari dengar, belum lihat (Peksi). Saya menyusun kata lebih cepat dari pikiran (Anom). Saya menyimpan password di sticky notes (seseorang yang namanya ditutup spidol).
Kerta menulis kalimat: Saya ingin menang lebih cepat, hampir lupa bahwa yang penting benar lebih dulu. Sura menambahkan di bawahnya: Benar itu seperti lampu minyak. Nyala tak besar, tapi tahan lama.
Rengganis suatu siang datang membawa getuk dan menulis di sudut papan: Sabda kudu metu sawisé rasa lan nalar. Tulisan tegaknya membuat orang memperhatikan. “Itu bahasa apa, Bu?” tanya Anom.
“Bahasa hati yang ditinggikan sedikit,” jawab Rengganis. Semua tertawa, mengangguk, entah paham entah tidak, tapi merasa hangat.
.
Di luar kantor, hidup tetap menggoda orang untuk tergesa. Pada saat kampanye diskon belanja, sebuah video viral menampilkan orang berkelahi saling serobot antrean. Di grup komplek kos, ada tuduhan maling helm padahal helmnya lupa dititipkan. Di timeline kota, seseorang menulis esai panjang tentang moral orang lain, lalu keesokan harinya minta maaf karena salah orang. Kota bekerja seperti kompor di warung: apinya kecil, tapi selalu menyala, siap mengepul jadi besar jika ditambah minyak.
“Kalau semua hal direspon,” kata Domas, “warungku tutup. Capek marah-marah setiap hari.”
“Lalu apa?” tanya Kerta.
“Bikin mulut tidak kejar-kejaran sama kabar,” jawab Domas, mengisi gelas. “Pelan. Kalau lidah mau ngebut, tunggu sampai hati ikut duduk di jok.”
.
Bulan berganti. Lodra menghilang dari lingkar kerja, seperti iklan yang berhenti tayang. Konon ia pindah ke kota lain. Di hari Sabtu, Kerta menerima pesan yang tidak ia duga: dari nomor tak dikenal, kalimat pendek: Maafkan. Aku tergesa. Lebih dari mulut, aku tergesa mengejar angka. Tanda tangan: Lodra.
Kerta menatap pesan lama-lama. Ia tak membalas dengan panjang; hanya dua kalimat: Semoga kau sehat. Semoga kau menemukan cara bicara yang baru.
Ia menyimpan nomor itu, bukan untuk kembali berkabar, melainkan sebagai pengingat di kontak ponsel: Jangan Tergesa.
.
Suatu malam, kota diguyur hujan lebih lebat dari biasanya. Air di sungai naik, menakutkan. Kerta dan Sura menepi di bawah jembatan, menatap arus yang mendesak. Di sisi lain, anak-anak kampung berteriak kegirangan mengejar kapal-kapalan dari daun pisang. Rengganis menelpon: “Jangan pulang dulu, nunggu reda.” Suara ibunya seperti bantal tipis—tidak tebal, tapi cukup membuat kepala tenang.
Di bawah jembatan, seorang bapak menyanyikan tembang pelan: “Ana kidung rumeksa ing wengi.” Sura menimpali dengan gumam yang hampir-hampir hanya napas. Kerta diam, mendengar, melihat, dan mencoba merasa. Hujan, arus, nyanyian, nafas kota. Di detik itu ia paham: ada diam yang bukan kosong. Ada diam yang berkepala, berkaki, berbahu—diam yang membawa sesuatu sampai ke seberang.
.
Pagi berikutnya, matahari datang seperti pemaaf. Jalanan basah berkilat, daun-daun bersih, udara lebih jujur. Di kantor, poster baru dipasang dekat lift. Desain Anom, kalimat Rengganis, judul yang dipilih bersama: Diam yang Nyaring. Di bawahnya: Dengar—Lihat—Pikir—Baru Bicara. Tidak banyak yang memfoto. Tidak ada lomba caption. Poster itu tidak jadi dekorasi; ia jadi cermin. Orang lewat, menangkap sekilas wajahnya sendiri, dan meneruskan langkah dengan sesuatu yang tidak kentara: ingatan bahwa mulut harus berjalan di belakang mata dan pikiran.
Siang hari, HR mengumumkan kebijakan: sebelum mengirim broadcast tentang isu internal, wajib menyantumkan sumber primer dan ringkas verifikasi. Jayeng menuntaskan skrip yang memaksa komputer kantor tidak menyimpan password. Wira mengusulkan lampu koridor ditambah agar wajah orang tidak selalu jadi siluet yang disangka orang lain.
Peksi—yang dulu paling semangat meramaikan grup—kini paling rajin mengawali kalimat dengan, “Sejauh yang kulihat…” atau “Dari yang kupegang…” Kalimat-kalimat kecil yang membuat suasana jadi lebih pelan.
.
Di warung kopi, Domas menempel tulisan kecil di dekat kasir: “Boleh berkomentar, tapi jangan lupa minum dulu.” Di bawahnya, spidol biru menambahkan: “Kalau mulut kering, biasanya kata-katanya kasar.” Tanda tangan tidak jelas, mungkin pelanggan yang pernah kepanasan.
“Kenapa tidak menulis ‘Bijaklah’ saja?” tanya Sura.
“Orang kota lebih paham tanda kecil yang lucu,” jawab Domas. “Kalau terlalu serius, mereka foto—lalu lupa.”
Kerta tertawa. “Kalau lucu, diingat?”
“Minimal mereka cerita ke orang lain. Dan kalau ceritanya lucu, biasanya tidak menyakiti.”
.
Pada bulan ketiga, Jumat Jujur berubah jadi Rabu Rembuk—forum, dua jam, tanpa gawai, untuk membahas kabar-kabar yang butuh kepala dingin. Di satu sesi, seorang staf baru bernama Panji—nama yang terdengar seperti legenda tapi orangnya pemalu—mengangkat tangan. “Saya pernah jadi orang pertama yang mengirim kabar ke grup. Rasanya seperti pemenang lari. Tapi setelah itu, saya merasa kosong. Kok saya menang tanpa memastikan garis akhirnya benar?”
“Selamat datang di klub,” sahut Anom.
Peksi mengangkat gelas air. “Untuk kalah yang menyelamatkan.”
Mereka bersulang dengan air putih. Tidak dramatis, tapi mengikat.
.
Suatu siang yang agak lengang, Sura menghampiri Kerta di jendela. Sungai tampak malas, perahu penyebrangan nyaris tak bergerak.
“Aku ingin meminta maaf pada orang yang ikut meneken petisi itu,” kata Sura.
“Kau yang disakiti, Sur.”
“Sakitku sembuh. Tapi mulut mereka sempat ikut luka. Mereka menelan kabar yang pahit, lalu sendawa. Aku ingin mereka pulih juga.”
Kerta menatap teman yang satu ini—yang dulu mengajarinya cara menawar di laundry dan sekarang mengajarinya cara menawar dengan hati. “Kau mau bagaimana?”
“Makan siang bersama. Di kantin belakang. Sambal yang pedas sekali. Pedas yang mengajarkan mulut pelan-pelan.”
Mereka tertawa. Itu cara mereka: mengubah perkara berat jadi sesuatu yang bisa dicicip seteguk.
Makan siang itu sederhana: nasi, telur balado, sayur lodeh, kerupuk yang meletus pelan di lidah. Mereka duduk dalam lingkaran tanpa notulen. Kalimat-kalimat pendek melayang seperti asap tipis dari wajan. “Maaf.” “Kita belajar.” “Aku akan lihat dulu.” “Aku akan pikir dulu.” “Password-ku sudah kuganti.” Tawa sesekali muncul—tawa yang merenggangkan jarak, bukan menertawakan.
Di akhir, Kerta menulis di kertas kraf: “Kita tidak membungkam mulut; kita mengajarkan mulut berjalan di belakang mata dan pikiran.” Ditempel di dinding kantin. Besoknya, ada coretan tambahan: “Kalau mulutmu kencang, hatimu harus lebih kencang menahannya.” Tanda tangan kecil: Rengganis.
“Wah, ibumu diam-diam influencer,” kata Anom.
“Beliau nano-influencer,” jawab Sura. “Pengaruhnya kecil-kecil tapi panjang.”
.
Hari berganti. Kota tetap bising. Tapi di tengah bising, ada ruang kecil-kecil tempat orang bernafas. Di halte bus, seorang ibu menegur sopan remaja yang memutar musik keras; si remaja menurunkan volume, saling tersenyum. Di rumah kontrakan, tetangga tidak lagi menuduh kucing mencuri ikan sebelum melihat jendela dapurnya sendiri yang terbuka. Di kantor, orang lebih suka mengatakan “aku belum tahu” daripada pura-pura tahu. Ini perubahan yang tak bisa dipotret, tapi bisa dirasakan: semacam suhu yang turun satu-dua derajat di dada.
Malam itu, Kerta berjalan sendiri di jembatan, memandang air sungai yang memantulkan neon. Ia menulis catatan di ponsel untuk dirinya sendiri:
“Di kota, mulut adalah mesin. Jangan nyalakan sebelum lampu indikator menyala: dengar—lihat—pikir. Bila tak menyala, matikan mesin. Jalan kaki saja.”
Ia tertawa pada metafornya sendiri. Jalan kaki memang lebih lambat. Tapi ada banyak yang bisa dilihat dari yang pelan.
Ia pulang. Di ujung gang, anak-anak masih main kelereng, teriak-teriak. Seorang bocah jatuh, lututnya lecet. Orang dewasa refleks berteriak menyalahkan aspal. Kerta menahan tangan orang itu, mengangkat sepeda kecil, meniup luka si bocah.
“Pelan-pelan ya,” katanya. “Kalau mau ngebut, lihat dulu jalan.”
Anak itu mengangguk. Orangtuanya berterima kasih. Jalanan masih basah. Bau gorengan mengambang.
Kerta masuk warung Domas. Dua gelas diletakkan. “Untuk dua orang yang lebih suka menahan daripada menuduh,” kata Domas.
Kerta tersenyum. “Dan untuk kota yang mulutnya mulai belajar berjalan di belakang matanya.”
Sura datang beberapa menit kemudian. Mereka tidak bersulang. Hanya meneguk secukupnya, dan diam secukupnya.
Diam yang nyaring di antara gedung-gedung kota.
.
.
.
Jember, 25 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #SastraPerkotaan #DiamYangNyaring #DengarLihatPikir #BudayaKerja