Di Antara Suara dan Senyap

“Kadang bukan isi kata yang salah, tapi luka di dada yang terlalu keras menyaring makna.”
“Semua orang berbicara, tapi tak banyak yang benar-benar mendengar.”
“Kamu tidak perlu berteriak agar didengar. Kamu hanya perlu jernih.”

.

Jakarta tidak pernah benar-benar tidur; ia hanya mengganti riasan. Siang memakai setelan panas, malam memakai lampu. Dari jendela apartemen di lantai dua puluh tiga, Umar Tarsan menatap kota yang berkilau dan berisik sekaligus. Di ponselnya, notifikasi berkedip seperti detak kecemasan—email, chat kerja, undangan rapat. Usianya tiga puluh satu, lulusan pascasarjana psikologi komunikasi, konsultan SDM di perusahaan multinasional yang kantornya menatap langsung ke Jl. Jenderal Sudirman. Di kartu namanya tertulis rapi: “Organizational Communication Consultant.” Di dadanya, sesuatu yang tak tercetak: noise yang mengganggu cara ia mendengar dunia.

Ia membuka laptop, berniat menyelesaikan materi untuk rapat bulanan: “Program Kesejahteraan Karyawan—Gelombang 2.” Di layar, angka-angka, grafik, kata kunci. Di kepala, gumam: apakah semua ini terdengar, atau hanya hilang di sela-sela notifikasi?

.

Kota yang Tak Pernah Tidur

Pagi berikutnya, Umar turun ke lobi. Barista memanggil namanya, “Untuk Umar.” Secangkir latte, seduhan kebiasaan. Di MRT, ia memerhatikan wajah-wajah yang sama lelahnya: mata berkabut, tangan menggenggam ponsel, telinga tertutup earphone. Begitu sampai di kantor, udara AC yang terlalu dingin menyergap seperti kabar buruk.

Rapat dimulai. Di ruang yang wangi karpet baru dan lampu panel, satu per satu presentasi mengalir. Giliran Umar, ia memaparkan gagasan: program mentoring dua arah, listening lab, pulse survey sederhana. Ia menyisipkan konsep mendengar tanpa niat membalas—sebuah jeda yang ia pinjam dari literatur yang dipacunya malam-malam.

“Pendekatan ini terlalu teoritis,” potong Karta Pradipta, rekan kerja yang dikenal lincah. “Kita butuh yang cepat dirasakan, bukan kelas-kelas yang membuat orang mengantuk.”

Umar menahan napas. “Kita perlu pondasi. Kalau budaya mendengar tidak ada, setiap program akan dipahami sebagai instruksi—bukan percakapan.”

Karta mengangkat alis. “Kau kira aku tidak paham budaya? Kalau begitu, kau saja yang ambil alih.”

Hening yang janggal segera memenuhi ruang. Beberapa pasang mata menoleh ke layar, ke meja, ke kopi, ke mana saja—asal bukan ke kedua orang itu. Manajer rapat menengahi dengan tawa kering, lalu memindahkan agenda. Kata-kata terakhir Karta menempel seperti serpihan kaca di kerongkongan Umar.

“Banyak konflik bukan karena ucapan yang kasar, tapi karena hati yang terlalu rapuh.”

Malamnya, di apartemen, Umar menulis pada jurnal digitalnya:

Semakin keras dunia bersuara, semakin susah aku mendengar diriku sendiri. Bukan apa yang ia katakan yang menyakitkan—mungkin caraku memahami. Mungkin aku mendengar untuk menang, bukan untuk mengerti. Mungkinkah diam bisa menyelamatkan?

.

Retak Halus yang Menjadi Jurang

Hari-hari setelahnya seperti rekaman yang diputar ulang. Email berbalas dingin, chat kerja pendek-pendek seperti napas tercekik. Di ruang makan kantor, Umar duduk sendirian, memandangi potret dirinya di sendok garpu. Pottre Koneng—disebut Koneng oleh semua—duduk di hadapannya tanpa bertanya izin, seperti bias sinar yang menerobos tirai.

“Kau tahu, Mar,” Koneng tersenyum dengan mata yang jernih, “di Madura ada kisah Umar Maya dan Umar Madi, dua saudara yang dua-duanya kuat tapi sering salah paham. Mereka bisa menaklukkan lawan, tapi sering kalah oleh prasangka sendiri.”

Umar memandangi Koneng. “Aku bukan Umar Maya atau Madi. Aku Umar Tarsan yang kebetulan capek.”

“Capek karena merasa benar atau capek karena tidak dimengerti?” tanya Koneng.

Pertanyaan itu menggema. Umar teringat ibunya di Pamekasan, yang selalu berkata sebelum menutup telepon, “Engkok ajunan bedeh?”—“Kau, masih ada di sana?” Bukan sekadar menanyakan lokasi, tapi keberadaan batinnya. Ia teringat pada ayah yang pendiam, yang kalau marah malah menjemur padi lebih lama. Umar dibesarkan dengan jeda, tetapi hidup di kota yang abai pada jeda.

Di malam yang lain, Karta mengirim pesan: “Sorry, emosi tadi. Tapi aku juga lelah. Program ini dikejar waktu.”

Umar mengetik panjang, lalu menghapus, mengetik lagi, lalu hanya mengirim satu kalimat: “Mari kita bicara lagi, tanpa ingin menang.”

.

Pergi untuk Menemukan Frekuensi Tengah

Ia mengajukan cuti sebulan. Kabar itu membuat manajer mengangkat bahu—tak ada yang tak bisa ditangani oleh handover rapi. Jakarta ia tinggalkan dengan koper kecil, beberapa buku, dan niat untuk meminjam kesunyian dari tempat yang punya udara lebih lapang. Ia memilih Bandung. Dago atas.

Di sana, ia menyewa kamar kecil yang jendelanya memandang rimbun. Setiap pagi ia berjalan kaki ke warung roti, menghirup kopi yang tak dicampur-baur oleh kecemasan. Ia mengikuti kelompok mindfulness dan komunikasi empatik yang diampu Ki Madyasta, seorang fasilitator yang pendekatan bahasanya lembut, logis, dan praktis.

“Apa kamu tahu,” kata Ki Madyasta pada sesi pertama, “kenapa kita lebih sering salah paham daripada benar paham? Karena kita tidak mendengar untuk memahami, kita mendengar untuk membalas.”

Umar menunduk. Ia menulis: mendengar untuk membalas.

Sesi demi sesi tak berisi petuah murahan. Mereka berlatih bernapas, berlatih mengulang kalimat lawan bicara dengan bahasa sendiri, berlatih bertanya lebih dulu ketimbang menyimpulkan. Mereka mempelajari “luka-luka kecil”—micro-wounds—yang lazim ditertawakan padahal memicu badai. Mereka diberi tugas pulang: setiap kali meninggikan nada suara di kepala, tarik napas tiga ketukan, lalu tanyakan pada diri sendiri, “Aku sedang melindungi apa?”

Pada suatu sore, hujan Bandung turun rapi seperti garis partitur. Umar duduk di bangku kayu, memandang kelembutan cahaya, dan baru menyadari betapa keras suara dalam dirinya selama ini. Noise itu bukan berasal dari orang lain semata, tapi dari luka yang lama ia sebut ambisi.

“Salah paham lahir dari pikiran yang belum tenang.”

Dalam percakapan kelompok, seseorang bercerita bagaimana ia selalu menyela. Ki Madyasta menimpali, “Menyela seringkali bukan ingin menguasai panggung, tapi takut kehilangan peluang dimengerti.” Umar mengangguk. Apakah aku takut tidak dimengerti, sampai-sampai aku bicara terlalu cepat?

Ia mulai menetapkan tiga kebiasaan: (1) menunda respons minimal tiga detik; (2) mengulang inti pesan lawan bicara dengan kata “jadi”; (3) bertanya kebutuhan di balik kalimat: butuh dihargai, dipahami, atau diikutkan? Di dinding kamarnya, ia menempel catatan: “Diam yang jernih, bukan diam yang menahan amarah.”

Seminggu, dua minggu. Bandung memperdengarkan jenis sepi yang tidak menghakimi.

.

Pulang: Menguji Yang Dipelajari

Sebulan berlalu. Umar kembali ke Jakarta. Udara AC kantor masih dingin, lampu panel masih terlalu terang; tetapi di dalam dadanya, ada ruang baru yang tak dimiliki sebelumnya. Ia mengajak Karta bertemu di kafe yang cahayanya hangat.

“Aku tidak ingin membicarakan siapa benar siapa salah,” kata Umar setelah salam, “Aku ingin memahami dan dipahami.”

Karta mengaduk es kopi. “Aku gampang tersulut karena merasa dikejar. Aku butuh dukungan, bukan sekadar koreksi.”

“Jadi,” Umar mengulang, “kau butuh dirangkul dulu sebelum diajak mengubah.”

Karta mengangguk, pelan-pelan tersenyum. “Kau juga butuh apa?”

“Aku butuh didengar sampai selesai. Bukan untuk dimenangkan, tapi untuk tidak dipotong-potong.”

Dua jam berlalu seperti dua puluh menit. Mereka tidak membahas timeline maupun deliverables. Mereka bicara tentang kebutuhan yang selama ini disamarkan oleh target dan ketegangan. Di akhir pertemuan, Karta berkata, “Kau tahu kisah Jokotole? Ia kuat karena tahu kapan menahan pedang.” Umar tertawa. “Kita menahan pedang kita hari ini.”

Malamnya, Umar menulis:

Kedamaian bukan tempat sepi. Kedamaian adalah dua orang yang bicara tanpa niat saling melukai.

.

Suara yang Tak Melukai

Umar mengusulkan kelas kecil di ruang bersama kantor, bertajuk “Suara yang Tak Melukai.” Bukan seminar berjam-jam, hanya sesi empat puluh menit di jam makan siang. Materinya praktis: check-in emosional dua menit, latihan mengulang pesan, mengenali “kata-kata pemicu” dan cara menggantinya dengan “kata-kata penolong”. Ia tidak memakai istilah yang membuat orang menguap. Ia bercerita tentang MRT jam sibuk, tentang supir ojek yang salah arah, tentang invoice yang terlambat—hal-hal yang semua orang kenal.

Di pertemuan pertama, Koneng duduk di baris depan, Karta duduk menyembunyikan senyum. Sesi itu tuntas dengan tawa ringan dan beberapa jeda yang baru: orang menahan ingin menyela, orang mencoba mengulang, orang mengakui kebutuhannya.

Pada pertemuan ketiga, seorang staf bercerita tentang pasangannya yang merasa tak didengar. Umar menuntun dengan tiga pertanyaan: “Apa yang kamu dengar dia butuhkan? Apa yang takut kamu kehilangan? Apa yang bisa disepakati di hari ini saja, bukan selamanya?” Staf itu pulang dengan tugas sederhana: satu percakapan tanpa gawai selama lima belas menit. Keesokan harinya ia kembali dengan mata berbinar, “Rasanya seperti membuka jendela setelah berbulan-bulan tertutup.”

“Suara yang menyembuhkan adalah yang berasal dari hati yang tidak ingin menang sendiri.”

Kabar mulut menyebar. Sesi Suara yang Tak Melukai berpindah ruang: ke komunitas di Kemang, ke kelas sore di Tebet, ke undangan daring dari Surabaya, Yogya, Balikpapan. Umar menolak disebut guru. Ia menyebut dirinya pengingat jeda.

.

Luka-Luka Kecil

Suatu malam di SCBD, lampu-lampu gedung memantul di genangan sisa hujan. Umar dan Koneng duduk di bangku beton, menggigit roti, menghitung lampu. “Aku masih sering salah,” ujar Umar, “Masih ada hari ketika aku ingin menjawab cepat, ingin membuktikan aku benar.”

“Itu manusiawi,” kata Koneng. “Di kisah Menak, Umar Maya bisa menundukkan lawan, namun sering butuh Umar Madi untuk menundukkan hatinya. Kita semua butuh pasangan batin untuk mengingatkan.”

“Kalau tak ada Umar Madi di hidupku?” tanya Umar.

“Jadikan jeda itu Umar Madi-mu,” jawab Koneng. “Jadikan napasmu partner yang menyeimbangkan.”

Umar terkekeh. “Kau ini Pottre Koneng yang mana? Yang legenda atau yang barusan meminjam kalimat dari podcast?”

“Yang tahu bahwa cinta selalu butuh ruang,” sahut Koneng, “bahkan cinta pada pekerjaan, pada tim, pada dirimu sendiri.”

Umar terdiam. Di balik canda, ada kebenaran yang sederhana.

.

Krisis Kecil yang Menentukan

Krisis datang seperti notifikasi: tiba-tiba, banyak, mendesak. Program perusahaan untuk gelombang kedua harus diluncurkan lebih cepat. Anggaran dipotong. Tim lelah. Di rapat koordinasi, nada suara meninggi lagi. Karta, yang sudah lebih sabar, tetap saja tergelincir, “Kenapa sih harus ribet begini?”

Umar merasakan dorongan familiar untuk mengangkat argumen. Ia menahan tiga detik. “Jadi, yang kau butuhkan sekarang adalah kejelasan tugas hari ini, bukan teorinya?”

Karta menatapnya, seolah-olah baru menemukan peta. “Iya. Hakimkan detail hari ini dulu, teori belakangan.”

“Baik. Hari ini tiga hal: daftar mentor final, kalender check-in dua minggu, dan draft komunikasi untuk line manager. Sisanya kita bagi setelahnya.”

Rapat menutup tanpa drama. Tidak spektakuler, hanya rapi. Umar pulang dengan lelah yang wajar, bukan lelah eksistensial.

.

Rumah, yang Ternyata Bukan Alamat

Akhir pekan, Umar mengunjungi ibunya di Pamekasan. Rumah panggung itu masih menatap angin yang sama. Ibu menyiapkan soto, menanyakan hal-hal kecil: tidur, makan, teman. Di teras, suara ayam dan percakapan tetangga saling silang.

“Engkok ajunan bedeh?” tanya ibunya, seperti biasa.

“Ada, Bu,” jawab Umar, kali ini dengan pengertian baru. “Ada beneran.”

Ibu tertawa kecil. “Duduklah lama-lama. Kalau terlalu cepat pergi, kau akan salah dengar angin.”

Umar memejam mata dan membiarkan kata-kata itu menetes. Ia teringat semua jeda yang diselamatkan oleh napas, semua percakapan yang diulur tiga detik agar tidak melukai. Ia tahu: rumah bukan alamat, rumah adalah cara ia mendengar.

.

Kelas Terbuka

Kembali ke Jakarta, Umar membuka kelas terbuka di ruang kerja komunitas, “Suara yang Tak Melukai—Edisi Pasangan & Tim.” Peserta beragam: karyawan bank, startup teknologi, dosen, perawat, pasangan muda. Umar mengawali dengan permainan: setiap orang diberi kartu bertuliskan kebutuhan: diakui, dipahami, diajak, dihargai, dipeluk. Mereka diminta bercerita selama satu menit tanpa menyebut kata kerja—hanya perasaan dan kebutuhan.

Tertawa pecah, lalu sunyi-hangat berlangsung ketika seseorang mulai menangis pelan. “Aku capek selalu salah,” katanya, “Padahal aku hanya mau diajak.”

Umar memandu jeda. “Terima kasih sudah jujur,” ucapnya, “Kita semua pernah jadi dia—yang ingin diajak, bukan diatur.

“Ketika kamu merasa tidak didengarkan, tanyakan dulu: apakah kamu benar-benar sudah bicara dari tempat yang jernih, atau dari tempat yang penuh luka?”

Di akhir sesi, Umar menutup dengan tiga latihan harian:
(1) Tiga detik sebelum menjawab.
(2) Kalimat “jadi” untuk merangkum.
(3) Pertanyaan kebutuhan: “Kamu butuh apa dari aku hari ini?”

Kelas bubar, tetapi pesan tertinggal. Beberapa orang kembali seminggu kemudian membawa cerita: komunikasi yang lebih lembut di dapur, rapat yang lebih singkat di kantor, dan satu SMS dari ayah yang biasanya pendiam: “Terima kasih sudah mau mendengar.”

.

Senyap yang Mengajarkan

Suatu malam, Umar berdiri di jembatan penyeberangan yang memandang ke arah Bundaran HI. Air mancur berputar seperti kalimat yang menemukan ritme. Kota tetap bising, tetapi ada frekuensi tengah yang kini bisa ia temukan tanpa harus pergi ke Bandung. Ia paham bahwa diam bukan kehilangan suara, melainkan memurnikannya.

Ia menulis di jurnal:

Dunia tidak butuh lebih banyak suara. Dunia butuh resonansi. Butuh frekuensi tengah—ruang di mana hati bisa berjumpa tanpa topeng. Kedamaian bukan tempat yang hening; kedamaian adalah saat dua orang bisa bicara tanpa harus saling menyakiti.

Ia menambahkan satu baris, hadiah untuk dirinya sendiri:

Jika aku lelah, bukan karena dunia terlalu berisik, tapi karena aku lupa menurunkan volumenya dari dalam.

.

Di Antara Suara dan Senyap

Di kantor, program gelombang kedua diluncurkan. Tidak semua sempurna, tetapi cukup—dan kesanggupan untuk memperbaiki menjadi bagian dari desain. Karta kini suka mengawali rapat dengan kalimat, “Jadi, yang kita mau capai hari ini…” Koneng sesekali mengirim kutipan dari kisah Menak: tentang Umar yang menundukkan amarah sebelum menundukkan lawan. Ki Madyasta mengirim pesan singkat, “Jeda adalah senjata yang tidak meneteskan darah.”

Umar, yang dulu ingin didengar agar terbukti, kini ingin mendengar agar terhubung. Ia menemukan bahwa suara paling efektif adalah yang berangkat dari senyap yang dirawat.

Dan Jakarta, kota yang tak pernah tidur, pelan-pelan memberinya mimpi yang berbeda: bukan mimpi menjadi yang paling nyaring, melainkan yang paling jernih.

“Dunia ini terlalu bising untuk saling menyalahkan. Mari kita belajar saling menenangkan.”
“Yang pulang bukan tubuhmu saja, tapi pemahaman baru yang kau bawa.”
“Kedamaian bukan tempat sepi; kedamaian adalah dua hati yang memilih tidak saling melukai.”

.

.

.

Jember, 9 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#DiAntaraSuaraDanSenyap #KomunikasiEmpatik #PsikologiKomunikasi #UrbanJakarta #KelasMenengah #Mindfulness #MenakMadura #Storytelling #ListeningLab #WorkplaceWellbeing

 

Leave a Reply