Cerita dari Sudut Kota yang Lain
“Yang kau terima belum tentu akhir. Kadang, justru itulah awal yang disiapkan semesta agar kau menemukan makna di balik semua luka.”
.
Langit Jakarta siang itu kelabu, seperti kaca helm ojek yang dilapisi gerimis dan debu. Asap knalpot menggumpal di mulut-mulut simpang, memantul pada dinding kaca gedung yang menyimpan bayangan ribuan langkah terburu. Di depan salah satu gedung tinggi di bilangan Thamrin, Umar berdiri menatap pantulannya sendiri: jas biru tua, kemeja putih yang rapi, tas kerja yang mengendut. Ia tampak lebih tegap dibanding sepuluh tahun lalu, tapi sorot matanya memendam sebuah jarak—jarak yang tidak dibikin oleh waktu, melainkan oleh harapan yang beberapa kali terpelanting.
Umar pernah merasa dunia bisa digenggam dengan telapak tangan. Ia pulang dari luar negeri dengan bekal bahasa asing, jaringan industri hospitality lintas benua, dan rencana membangun hotel butik berkarakter Nusantara. Ia sudah membayangkan lobi dengan bebatuan andesit, aroma kopi Arabika, musik gamelan lembut—sebuah tempat yang menjadi rumah bagi pelancong dan pulang bagi perantau. Tetapi hidup, seperti kata simbahnya, “ora mung soal menang—kadhang kalah iku uga wujud liya saka menang.”
Pagi itu, ia baru saja turun dari lift lantai dua puluh. Pertemuan yang tadi terasa menjanjikan berakhir dengan kalimat yang rapi: kami suka visinya, tetapi timing pasar sedang kurang bersahabat. Senyumnya sopan, hatinya tersisa getar halus yang sulit dibahasakan.
Ia melangkah ke Cikini; mencari selamat di antara bau roti panggang dan mesin espresso. Di sudut kedai, seseorang melambai. Wardi—teman masa kecilnya yang kini menjadi pengajar komunitas dan relawan urban—menyambutnya dengan batik yang sedikit kusut, wajah jernih, dan humor yang tak pernah absen.
“Mar, aku ndelok awakmu wingi nang TV, ngomong soal pariwisata berkelanjutan. Keren. Tapi kok isih koyo wong kesel urip?” godanya.
Umar tertawa kecil. “Aku ora kesel urip, Di. Mung kesel nunggu.”
“Lha nunggu opo, nek sing arep teko ya kudu disambut. Nunggu kok ora mbukak lawang?” Wardi menyodorkan kopi hitam. “Coba, ngomong karo aku—tenan.”
Umar menatap cairan hitam itu, mengangkatnya pelan. “Investor mundur lagi. Alasannya klasik.”
Wardi mendengarkan. Ia tak menyela, hanya mengangguk dan sesekali mencatat pada kepala. “Narimo, ngelmu, lan nuwun,” katanya kemudian. “Kowe wis latihan narimo, wis tekun ngelmu. Saiki waktune nuwun—ngucap matur nuwun marang sing gagal. Soale gagal iku guru sing ora pernah minta dipuja.”
Umar diam. Kata-kata itu memantul ke dalam. Di luar, suara klakson dan pengumuman halte TransJakarta berirama seperti ketukan metronom kota.
.
Kilasan Lalu-Lalang
Beberapa tahun lalu, sebelum epidemi mengubah wajah bandara dan meja front office, Umar berdiri di lobi hotel bintang lima di Dubai. Ia menyambut tamu-tamu dengan nama depan yang fasih ia ucapkan, mengukur jarak dengan senyum yang presisi, mengingat preferensi bantal dan suhu kamar. Ia mengerti satu hal: keramahan adalah sains halus yang tercetak di detail.
Lalu dunia berhenti. Restoran menutup tirai. Lobi mengosong, chandelier berpendar pada ruang yang sepi. Umar pulang ke Jakarta dengan koper yang terasa lebih berat dari daftar barang di bagasi. Ia memulai ulang sebagai konsultan kecil-kecilan, melatih staf hotel suburb, mengajarkan UMKM menata menu dan melayani dengan mata. Cukup demi bayar kontrakan, lebih dari cukup untuk belajar bahwa service adalah kata kerja yang bekerja paling baik ketika tak ada kamera.
Tetapi tak semua orang paham.
“Kamu lulusan luar negeri kok ngajar cleaning service?”
“Sayang banget potensimu.”
Kalimat-kalimat begitu lewat seperti motor dengan knalpot berisik: mengganggu, sebentar, lalu menghilang. Namun bekasnya menempel.
Di sela itu, Umar bertemu orang-orang yang membuatnya tetap percaya: Nisya, barista yang pernah takut menyapa tamu tetapi kini mampu mengingat pesanan pelanggan tetap; Beni, security yang mengubah cara menyapa menjadi cara menyelamatkan kesan; dan Abdu, pemuda Tanah Abang yang malamnya mengantar barang dan siangnya belajar di komunitas Wardi.
Pada suatu sesi pelatihan sederhana di rumah susun, Abdu bertanya, “Mas, pernah enggak malu karena hidup nggak sesuai ekspektasi orang lain?”
Umar menatapnya. “Pernah. Bahkan sering. Tapi kalau hidup ini cuma soal ekspektasi orang, kita takkan pernah selesai jadi diri sendiri.” Ia menarik napas. “Aku belajar tiga hal: narimo—menerima keadaan tanpa tumbang; ngelmu—terus belajar sampai hati punya alasan; dan nuwun—bersyukur meski belum seperti yang kita mau.”
Anak-anak muda itu mengangguk. Ada sesuatu yang bergeser di udara—semacam restu yang tak perlu dikatakan.
.
Jayeng, Kelaswara, dan Wiraraja
Jakarta mempertemukan orang-orang yang tak seharusnya bertemu—begitu kata Wardi—dan kali ini kota memperkenalkan Umar kepada Jayeng. Lelaki itu muncul di sebuah forum pariwisata kreatif, pembawaannya tenang, suaranya datar seperti jalan tol layang. Ia mendekati Umar setelah sesi tanya-jawab.
“Aku baca tulisanmu tentang hospitality sebagai cara merawat martabat,” kata Jayeng. “Aku butuh partner buat bikin Kelaswara—sebuah ruang makan kecil di Menteng yang bukan sekadar restoran, tapi ruang belajar rasa. Kita undang UMKM, kurasi menu Nusantara, latih layanannya. Kayak laboratorium kecil.”
Nama itu—Kelaswara—mengguncang memori Umar. Ia ingat cerita wayang Menak yang dulu diceritakan bapaknya: Jayengrana dan Retna Kelaswara; perjalanan, perpisahan, pertemuan. Umar merasakan getar halus pada satu kata: perjalanan.
“Kita ketemu besok?” kata Umar. “Bawa draft. Kita lihat realitasnya.”
Ke esokan hari, mereka bertemu di co-working space di Senopati. Dindingnya putih, biblioteka kecil berdiri di sisi, ada poster pameran seni yang nyaris luntur. Jayeng mempresentasikan rencana: investasi kecil, dapur terbuka, pelatihan etika pelayanan, kerja sama dengan komunitas kuliner daerah. “Yang kubutuhkan adalah sistem hospitality yang manusiawi. Nggak perlu mewah dulu, tapi standar dan jiwa harus tinggi.”
Umar bertanya hal-hal yang tak terlihat di kertas: ritme kerja, shift staff, cuti, SOP menangani komplain, modal non-finansial berupa perhatian. Jayeng menjawab secukupnya, sisanya mereka bangun bersama: modul singkat, simulasi role-play, daftar ucapan yang lebih mirip doa—selamat datang, ada yang bisa kami bantu, terima kasih sudah datang, dan yang paling penting: maaf yang ditata dari hati.
Di minggu kedua, mereka butuh ruang kuliner musiman. Seorang kolega Wardi menghubungkan mereka dengan Wiraraja, pengusaha peranti rumah tangga yang hobi mengoleksi peta-peta kuno Jawa dan Madura. Rambutnya memutih, dan setiap hari Jumat ia membagikan nasi bungkus di perempatan Cawang. Wiraraja meminjamkan gudang kecilnya di tepi Kramat, membuka akses dengan catatan: “Jaga kebersihan, jaga manusia.”
“Kowe tak tuku kursi bekas tapi kok rasane anyar,” canda Wiraraja saat melihat Umar menyusun kursi-kursi rotan yang mereka ambil dari pasar loak. “Barang lawas iso urip maneh nek sing nguripi tulus.”
Umar tersenyum. “Koyo urip, Pak—eh, Maaf. Koyo urip. Kita rawat, dia balik sayang.”
Wiraraja mengangguk. “Ojo lali, pote tolang, sogen nate pote mata,” katanya pelan—mengutip pepatah Madura. Lebih baik patah tulang daripada patah harga diri. “Usaha boleh kecil, rego diri kudu ajeg.”
Pepatah itu menambat seperti jangkar di dada Umar.
.
Soft Opening: Sebaris Nama dalam Buku Reservasi
Kelaswara memulai soft opening sederhana: undangan terbatas, menu harian, kopi bikinan Nisya, rawon dengan kluwek pilihan, sambal tumpang yang resepnya Umar minta dari seorang ibu di kawasan Tanjung Duren. Umar menata detail: jarak meja, jalan kaki pelayan, titik gosong di piring yang harus dibuang, dan mata—bagaimana mata memandang tamu tanpa menyelidik, tapi juga tidak lalai.
Malam pertama, listrik sempat turun. Malam kedua, nasi sedikit pera. Malam ketiga, ada tamu komplain karena sendok terasa lengket. Umar tak menyembunyikan masalah. Ia menepuk bahu Beni, mengajak tim berkumpul, memperlihatkan kesalahan dan solusinya. “Kita tak mengejar sempurna, kita mengejar jujur. Sempurna bisa menipu, jujur bikin belajar.”
Di sepekan itu, datanglah Kelaswara—perempuan dengan rambut sebahu, mata teduh yang menahan banyak cerita. Ia memperkenalkan diri sebagai jurnalis lepas yang menulis tentang ruang-ruang kecil yang membuat kota lebih bertahan. “Aku ingin menulis Kelaswara, bukan karena namanya sama denganku,” ia tertawa, “tapi karena cara kalian menyapa terasa seperti menutup pintu angin di dalam dada.”
Umar mengantar Kelaswara melihat dapur, memperkenalkan Wardi yang malam itu membantu kasir, dan melepas senyum ketika Kelaswara berkata, “Di kota yang membuat orang berlari, kalian mengajarkan berjalan tak kalah gagah.”
Malam itu, ketika buku reservasi ditutup, Umar mencatat sebaris kecil: “Hari ke-7. Bukan ramai, namun ramai di dada.”
.
Komentar, Kompas, dan Kompas Diri
Sepekan kemudian, sebuah artikel pendek terbit di kolom gaya hidup sebuah media arus utama: “Ruang Belajar Rasa di Menteng: Kelaswara”. Bukan puja-puji, melainkan observasi jernih tentang detail: pelayan yang menggeser kursi tanpa suara, kopi yang dihidang tak terlalu panas agar bisa langsung dinikmati, cara staf mengucap maaf tanpa menyalahkan keadaan. Artikel itu menutup dengan kalimat: “Di sini, keramahan bukan servis, tetapi cara memulihkan.”
Reservasi bertambah, proposal sponsor berdatangan, tetapi Umar memilih pelan. Jayeng mengingatkannya pada modal dan target, Umar mengingatkannya pada napas dan jarak. Mereka berbeda, namun seimbang seperti dua tali pada jembatan gantung. Setiap kali angka-angka mulai mendesak, Umar mengingat tiga halnya: narimo, ngelmu, nuwun—dan satu hal lagi yang ia tambahkan belakangan: nambani, kemampuan merawat luka tanpa pamer obat.
Suatu sore, banda deras mengguyur kota. Atap Kelaswara bocor di satu titik. Air menetes ke meja sudut tempat Kelaswara—si penulis—biasa duduk. Umar menutupnya dengan ember, mengalihkan tamu ke meja lain, lalu berdiri di bawah genting untuk melihat jalur rembes. Ia basah kuyup, tertawa kecil. “Kita masih manusia,” gumamnya.
Kelaswara datang, memotret pelan, dan berkata, “Justru di sini ceritanya. Kota selalu bocor di satu titik; yang penting, siapa yang berdiri menampungnya.”
Umar tak membalas. Ia menatap tetes air yang jatuh berseling, seperti tempo lagu yang menguji sabar. Di malam itu, ia menulis di jurnalnya: “Jika kota ini adalah badai, kita akan menjadi pengaman kecil. Tidak menyelamatkan semua orang, tapi memastikan ada yang tiba dengan kering.”
.
Di Titik Senopati: Teman-Teman yang Pergi dan Tetap Tinggal
Tak semua kisah hijau. Ada juga serangkaian rapat dengan calon investor yang meminta brand diubah menjadi hal yang lebih mudah dijual: “Ayo bikin lebih Instagrammable. Biar kursi rotan kamu ganti pakai akrilik, biar lampunya neon. Nama ‘Kelaswara’ ganti saja ‘ClassWar’—biar edgy.”
Umar tersenyum, menahan jengah. “Kami bukan anti-ramai. Kami hanya ingin ramai yang berarti.”
Beberapa teman lama menjauh, entah karena lelah menunggu Umar “kembali jadi orang besar,” entah karena jarak percakapan yang tak lagi satu frekuensi. Wardi mengingatkannya: “Kabeh wong nduwe jaraknya dewe-dewe. Sing penting kowe ora ngurangi ojo maneh nambahi benci.”
Di sisi lain, kota mempertemukannya dengan Sopal—anak Bangkalan yang bekerja sebagai koki rumahan. Istilahnya “koki rumahan” karena ia memasak di rumah kontrakan dan mengantarkan pesanan ke kantor-kantor. Sopal memperkenalkan satai gule dengan bumbu rempah yang aromanya seperti doa setelah subuh. Umar mengundangnya kolaborasi—menyiapkan menu tamu hari Jumat. Hari itu, antrean mengular. Sopal menangis di dapur. “Aku biasa masak sepuluh porsi, Mas. Tadi seratus.”
“Wes,” kata Umar, menepuk bahunya. “Pote tolang, jangan pote mata.” Harga diri jangan pecah karena ramai tak siap; mari belajar menakar. Minggu depan mereka menyusun ulang: porsi dibatasi, jadwal jelas, kualitas jadi nyawa.
,
Abdu, Stasiun, dan Satu Nasihat yang Tak Usang
Abdu—pemuda Tanah Abang yang dulu bertanya tentang malu—kini menjadi supervisor kecil di Kelaswara. Ia mengatur jadwal, menerima komplain, menampung usulan menu. Suatu malam, Abdu mendekati Umar di halte MRT Dukuh Atas. Hujan sisa menetes dari dahan trembesi, lampu-lampu gedung menari di genangan.
“Mas, Bapak di kampung sakit. Aku harus pulang dua minggu. Aku takut kalau aku pergi, posisiku diganti. Tapi kalau aku nggak pulang, aku bukan siapa-siapa.”
Umar menatap jalur rel yang kosong. “Kalau kamu nggak pulang, kamu kehilangan kamu. Kalau kamu pulang, kamu kehilangan posisi. Kita bangun Kelaswara untuk apa? Untuk manusia. Pulanglah. Posisi ini bukan kursi panas, ini kursi manusia—harus bisa kita jaga, juga kita lepaskan.”
Abdu menunduk, menangis. “Terima kasih, Mas.”
Dua minggu kemudian, Abdu kembali. Kursi masih ada. Kursi itu tak beranjak, karena manusia yang menempatinya lebih penting dari skornya.
.
Luka yang Berubah Nama
Kabar buruk datang dari sisi lain: kontrak sewa gudang akan naik tajam. Wiraraja mengirim pesan: “Aku tak ingin membebani. Kalau terlalu berat, cari tempat lain. Aku tetap bantu apa yang bisa.” Umar duduk diam di lantai dapur yang masih menghangat oleh uap nasi. Rasanya seperti ditarik mundur ke awal lagi.
Malam itu, Umar bertemu Kelaswara di bangku taman Menteng. Orang-orang berlari kecil, anak-anak bermain hujan, kota masih menjadi kota. Umar bercerita tanpa rapi, Kelaswara mendengar tanpa buru-buru. Kemudian ia berkata pelan, “Kadang, luka hanya berganti nama. Dulu namanya penolakan investor, sekarang namanya kenaikan sewa. Esok bisa bernama lain. Kita tak bisa memilih lukanya, tapi kita bisa memilih siapa yang bersama kita ketika menambalnya.”
“Kalau begitu,” Umar menghela napas, “kita pilih tetap bersama kota ini. Ganti tempat, ganti cara, asal tidak ganti jiwa.”
Mereka memindahkan Kelaswara ke ruang baru: ruko tiga lantai di pinggir Gondangdia. Lantai satu untuk restoran kecil, lantai dua untuk kelas-kelas singkat hospitality dan bahasa, lantai tiga untuk komunitas yang ingin rapat tanpa bayar. Kelaswara kini bukan hanya ruang makan—ia sebenar-benarnya kelas.
Umar mengajar modul “Menyapa Tanpa Merendahkan,” Wardi mengisi “Ekonomi Berbagi di Kota Besar,” Jayeng menjelaskan “Menghitung Tanpa Kehilangan Rasa.” Sopal membuka kelas “Meracik Bumbu sebagai Bahasa.” Nisya melatih barista baru: “Hafalkan nama, bukan sekadar pesanan.”
.
Hari Ketika Umar Disalami Oleh Orang yang Dulu Meremehkan
Suatu malam Sabtu, Kelaswara penuh. Di pojok, seseorang berdiri canggung: lelaki yang dulu menertawakan pilihan Umar mengajar cleaning service. Ia datang, ragu, lalu menyodorkan tangan. “Maaf,” katanya singkat. “Dulu aku salah kira. Ternyata ‘kecil’ yang kau bangun sekarang lebih berarti dari ‘besar’ yang dulu sering kita pamerkan.”
Umar menyambut tangannya. Ia tidak merasa menang. Ia hanya merasa legas—lega yang berbahasa halus.
“Di Kelaswara,” jawab Umar, “kita selalu punya kursi untuk orang yang mau duduk bersama. Kamu mau kopi apa?”
Lelaki itu tertawa. “Apa saja, asal kamu yang merekomendasikan.”
“Kopi yang tidak terlalu panas,” kata Umar, melirik Nisya. “Agar bisa langsung dinikmati, seperti kesempatan yang sering datang tanpa mengetuk.”
.
Retna yang Sebenarnya
Nama Kelaswara perlahan menjadi kata kerja di lingkungan mereka. “Ayo kita kelaswara dulu,” ujar Wardi ketika rapat hampir menjadi perdebatan. Artinya: pelankan, dengarkan, lunakkan. Umar sendiri kadang duduk di tangga ruko, memandangi lalu-lalang dari celah pagar. Ia belajar bahwa mimpi yang dulu bernama hotel bintang lima telah berubah menjadi rumah tiga lantai yang selalu menyalakan lampu untuk orang yang perlu duduk.
Suatu hari, Kelaswara—si penulis—mengirimkan naskah panjang. Judulnya: “Cerita dari Sudut Kota yang Lain.” Isinya bukan tentang betapa hebat Umar, bukan juga kisah meledaknya omzet. Naskah itu menuturkan potret: tangan Nisya saat mengangkat cangkir, mata Beni ketika membuka pintu, tawa Abdu saat mengajari juniornya menyapa. Ada juga potret Umar yang basah kuyup di bawah genting, dan Wiraraja yang berdiri di ambang pintu gudang sambil memegang peta Madura kuno.
“Kenapa judulnya itu?” tanya Umar.
“Karena kota ini punya banyak sudut,” jawab Kelaswara. “Orang sibuk menyorot sudut yang terang benderang; aku memilih sudut yang lain. Di sana, sering kali, manusia lebih utuh.”
Umar menunduk. Ia ingat lagi suara simbahnya: “Urip ora mung soal menang.” Di kepala, pepatah Madura milik Wiraraja ikut menyala: pote tolang, jangan pote mata. Di hati, tiga hal yang ia imani—narimo, ngelmu, nuwun—melengkapi diri dengan satu hal tambahan: nambani.
Malam itu, sebelum tidur, Umar menulis:
“Yang dulu kupikir akhir, rupanya awal yang menyamar. Jakarta tetap kelabu, tapi di kelabunya aku belajar warna-warna yang tidak ada namanya. Kita menyeduhnya menjadi kopi, menyajikannya dengan mata, meminumnya dengan hati.”
.
Rute-Rute Kecil yang Mengantar Pulang
Beberapa bulan kemudian, Kelaswara memegang izin kecil untuk melatih pekerja frontliner di beberapa rumah susun dan kelurahan. Tidak glamor, tidak viral, tetapi nyata. Di sebuah aula sempit di Manggarai, Umar berkisah tentang mata—mata sebagai jembatan, bukan palu; tentang tangan—tangan yang menunjukkan arah, bukan hanya menghitung uang; tentang mulut—mulut yang mengucap maaf sebelum diminta.
Usai kelas, seorang ibu menghampirinya. “Mas, saya dulu dagang gorengan di pinggir jalan. Sekarang, setelah belajar sapa dan rapikan meja, pelanggan saya lebih sering balik. Ternyata, yang mahal itu bukan bahan bakar, tapi cara.”
Umar tersenyum. “Ibu baru saja kelaswara.”
Ibu itu mengangguk, belum paham sepenuhnya, tapi merasakan sesuatu—semacam angin yang membuka jendela di dalam dada.
Di perjalanan pulang naik MRT, Umar berdiri di dekat pintu, melihat pantulan di kaca. Ia tak lagi melihat lelah yang dulu membayang. Ia melihat Jalan. Jalan yang tidak lurus, penuh simpang, kadang macet, tapi selalu ada jalur lambat untuk berpikir dan jalur cepat untuk memaafkan. Ia sadar, retna—cinta—dalam cerita Menak bukan hanya nama perempuan; retna adalah cara merawat yang rapuh agar bisa kembali kuat.
Ketika ponselnya bergetar, sebuah pesan datang dari Wiraraja: “Aku nemu peta tua lagi. Ada nama yang hilang di sudutnya, mungkin seperti mimpi yang dulu kamu simpan. Ambil kapan-kapan—buat digantung di lantai tiga.”
Umar membalas: “Terima kasih. Kami masih menambal bocor, tapi bocor juga mengajari kami mencari bintang.”
Ia menatap langit Jakarta melalui kaca gerbong—masih kelabu, tetapi ada celah tipis tempat matahari menyelip. Ia menutup mata, lalu membukanya lagi; seperti membuka pintu yang tak pernah benar-benar terkunci.
.
“Hidup tak selalu berjalan sesuai rencana, tapi setiap lekuk jalan mengantar kita pada pelajaran. Saat kita mampu menerima tanpa menyerah, belajar tanpa merasa rendah, dan bersyukur meski belum sempurna—di sanalah hidup mulai berpihak, bukan karena kita kuat, tapi karena kita ikhlas berjalan.”
.
.
.
Jember, 5 Agustus 2025
.
.
#Cerpen #Jakarta #UrbanStory #Hospitality #KelasMenengah #MenakMadura #Resiliensi #KompasMingguStyle #NarimoNgelmuNuwun #KisahKota