Batas Kemanusiaan

“Ada batas tipis antara sabar dan menyerah; di sanalah manusia diuji untuk memilih: diam yang mematikan, atau suara yang menyelamatkan.”

.

Kota ini mengajariku cara membaca jam tidak lewat jarum, melainkan dari suara tong sampah yang digeret subuh-subuh dan dengung pendingin ruangan yang tak pernah lelah. Di tembok kos Manggarai yang retak, jam dinding berhenti pada pukul 03.17. Tapi deru Transjakarta dan klakson angkot menandai jam yang lain: jam para pekerja menambal mimpi.

Namaku Aria Kerta, anak kampung yang dipanggil Kerta oleh almarhum bapak—sebuah panggilan yang katanya menurunkan doa Kertapati, tokoh yang setia dan tak suka ribut. Di kota, kesetiaan sering disalahartikan sebagai mau ditindih. Delapan tahun aku bekerja pada perusahaan logistik bernama Jayeng Express, tempat bosnya, Jayengrana, bangga pada dua hal: target dan tegurannya.

Setiap pagi, aku menyeberang trotoar yang patah, menyelinap di antara penjual kopi sachet, menukar recehan untuk teko termos; sesampai di kantor, jam absen memekik lebih keras dari peluit satpam. Gudang memanjang seperti lorong kereta. Truk datang, truk pergi. Kami yang di lantai pemasaran dipaksa tersenyum seperti stiker promosi, meski di dalam, dada seperti ruang mesin yang kepanasan.

Kerta, kamu kebablasan lembut. Penjualan bulan ini layu,” kata Jayengrana suatu siang, memukul meja dengan pulpen, “Dengar saya, terlalu mengalah bikin kamu diinjak. Jangan melamun!”

Aku menelan ludah. Di meja sebelah, Muninggar—HR yang bicara lembut bagai pita—mencatat apa saja yang pantas dimasukkan ke memo teguran. Di gudang belakang, dua sahabatku, Umarmaya dan Umarmadi, sopir-sopir setia yang tahu jalur pintas, baru saja menyelesaikan rute gila: lima kota dalam dua hari. “Yang sabar, Kerta,” bisik Umarmaya kemarin. “Sabar itu panjang napasnya.”

Aku ingin percaya. Tetapi sabar yang tidak ditopang logika—aku belakangan paham—hanyalah tiket bulak-balik ke ruang rapat.

.

Suatu sore, hujan turun seperti tirai. Di halte Tosari, aku berdiri memandang jam-jam yang berkilat di lengan para pejalan. Seorang perempuan berhenti di sebelahku. Rambutnya disapu angin, matanya teduh, parasnya menolak bangga. Ia menggeser tas, memberi ruang untukku. Namanya Sekar, belakangan kuketahui kependekan dari Sekartaji. Ia bekerja di sebuah organisasi kecil yang mengadvokasi hak-hak buruh dan pengemudi logistik.

“Kamu terlihat seperti barusan dimarahi,” katanya kalem.

Aku tertawa getir. “Di kantor, dimarahi itu absensi ketiga setelah masuk dan pulang.”

“Kenapa kamu diam?” tanyanya, tajam tapi tak menusuk.

“Karena kalau bicara, aku akan dianggap membangkang. Kalau diam, paling tidak gajiku tidak ditahan.”

Sekar menatap hujan yang menulis garis-garis miring di kaca shelter. “Terlalu mengalah, akan diinjak. Terlalu patuh, akan disepelekan. Terlalu diam, tidak akan dihargai. Dan… terlalu melawan, dibilang membangkang. Bukan salah sabar; yang salah, ketika kita tidak memberi sabar penyangga: akal sehat.”

Kata-katanya singgah seperti burung di dahan: ringan, tetapi meninggalkan kesadaran yang berat. Bus datang, kami naik. Di dalam, lampu pijar memantul di kaca, memperbanyak wajah-wajah yang sama-sama pulang dengan pundak condong. Kami tidak bertukar nomor. Hujan menyelesaikan percakapan.

.

Pekan berikutnya, gudang menelan hari-hari seperti sumur. Jayengrana mendatangkan konsultan untuk memperbaiki sistem. Orangnya—kebetulan—Sekar. Dunia ini memang sering mengejutkan di tikungan.

Di rapat besar, ia memproyeksikan grafik yang bergerigi. “Masalah di Jayeng Express bukan pada keringat pekerja. Masalahnya: rotasi yang tidak manusiawi, keselamatan yang minim, dan target yang melompati nalar.” Suaranya tenang, tidak menantang, tetapi mematahkan.

Jayengrana tersenyum datar. “Teorimu bagus, Bu Sekar. Namun lapangan perlu ketegasan. Kita di bisnis, bukan di kampung dongeng.”

Aku melihat mata Sekar seperti menimbang-nimbang. “Ketegasan bukan izin untuk meniadakan kemanusiaan,” katanya kemudian.

Sehabis rapat, ia menghampiriku. “Kamu Aria, bukan? Yang pandai membaca peta pengiriman.”

“Menebak macet berdasarkan bau knalpot,” jawabku bercanda.

Sekar tertawa. Ia mengajakku meninjau gudang malam itu. Kami berjalan melewati palet yang menggunung. Umarmadi sedang mengikat muatan.

“Tali ini sudah aus,” kataku.

“Sudah lama mau diganti,” balasnya, “tapi tak ada anggaran. Yang ada target.”

Aku memotret tali itu. Sekar juga. Di matanya, jijik kecil berbaur tekad.

.

Kecelakaan terjadi dua hari kemudian. Tali yang aus putus. Kotak-kotak berat meluncur seperti batu. Umarmadi tertimpa palet, kakinya remuk. Gudang berubah menjadi lautan panik. Sirene menjerit, waktu bergeser. Aku mengantar Umarmadi ke IGD dengan tangan gemetar, sementara Umarmaya, pucat, menekan luka yang tak mau berhenti berdarah. Di ruang tunggu, kami saling berpandangan tanpa kata. Ada semacam rasa bersalah yang tidak tahu ke mana harus dibuang.

Jayengrana datang setelah dua jam, menepuk-nepuk bahu seperti menepuk debu. “Ini bukan salah kita,” katanya kepada siapa pun yang mau mendengar. “Ini musibah. Semua musibah tak terduga.”

Aku hampir berdiri. Sekar lebih dulu. “Bukan musibah,” katanya lirih namun jelas, “Ini kelalaian yang telah diperingatkan.”

Tatap mata Jayengrana menghantam dinding. “Bu Sekar, saya minta Anda hanya mengomentari hal-hal yang Anda pahami.”

Kemanusiaan adalah hal yang semua orang pahami,” balas Sekar.

Aku tahu, setelah perdebatan itu, badai akan pindah alamat: ke ruangku.

.

Bayanganku tak keliru. Besok pagi, Muninggar memanggilku. Di ruangannya, aroma serai dari diffuser bercampur kertas-kertas yang tidak pernah salah. “Aria,” katanya, “untuk kebaikan bersama, kami menyarankan kamu menandatangani surat ini.”

“Surat apa?”

Non-disclosure agreement. Atau, jika merasa terbebani, bisa mengisi form pengunduran diri dengan sukarela.”

Aku membaca cepat. NDA itu memintaku tidak membocorkan apa pun tentang kejadian di gudang, “demi menjaga nama baik perusahaan.” Kalimat “nama baik” menggulung seperti ombak menutupi jejak.

“Kalau saya tidak tanda tangan?”

Muninggar tersenyum kaku. “Kami akan anggap Anda tidak kooperatif. Dan kamu tahu, terlalu melawan…” Ia sengaja menggantung.

Aku menatap kertas. Di balik huruf-hurufnya, terbayang wajah Umarmadi di ranjang rumah sakit. Terbayang juga ibuku di kampung, menunggu transferan bulanan. Hidup kadang menjebak kita di simpang yang keduanya pahit.

Di koridor, aku bertemu Sekar. Samar-samar, matanya bertanya. “Pilihanku gampang-gampang susah,” kataku, menggulirkan ponsel berisi foto-foto tali putus, jadwal shift gila, memo penghematan. Data.

Sekar mengangguk. “Melawan itu bukan soal berteriak. Melawan adalah membawa bukti.

Malam itu aku pulang lebih larut dari biasanya. Hujan memercik tipis-tipis, seperti menulis pesan rahasia di udara. Di kos, kutemukan pesan suara dari ibu: “Ndok, kalau bisa, bulan ini agak lebih, tetangga butuh bantuan.” Aku menahan napas. Kebaikan orang tua sering memaksa kita lari terlalu jauh dari pusat diri.

Aku menatap bayangan sendiri di jendela: seorang laki-laki yang selama ini terlalu diam. Dan diamnya, ternyata, ikut menjerumuskan.

“Sabar bukan berarti rela dilukai. Sabar adalah memberi kesempatan pada akal untuk memilih cara pulih yang benar.”

Aku menuliskan kalimat itu di buku catatan, menempelkan struk kopi di sampingnya—semacam jimat kecil agar esok aku tidak lupa siapa yang harus kubela.

.

Rapat darurat diadakan lusa. Semua manajer hadir. Jayengrana memulai dengan kalimat yang sudah bisa kutebak: “Kita akan tindak lanjuti, tapi jangan ada kegaduhan.”

Aku angkat tangan. “Pak,” suaraku terdengar asing bagiku, “Sebelum kita berbicara tentang kegaduhan, mari bicarakan sebabnya.”

Ruangan menangkap napas. Aku memaparkan data: jadwal shift Umarmadi, laporan inspeksi tali pengikat yang minta ganti sejak tiga bulan lalu, dan memo penghematan yang justru memotong biaya keselamatan. Tangan sedikit bergetar, tetapi logika yang kubawa adalah tembok yang dapat kusandari.

“Itu semua,” kataku, “menduplikasi kemungkinan celaka. Kita bukan memohon kasihan; kita menuntut akal sehat.”

Jayengrana menggeser kursinya. “Kau menyudutkan perusahaan.”

“Tidak, Pak. Saya sedang membantu nama baik perusahaan agar bukan sekadar cermin kosong.”

Sekar membuka file. “Kami mengusulkan audit keselamatan, penjadwalan manusiawi, serta kompensasi layak bagi Umarmadi.”

Muninggar meletakkan tangannya di meja, seolah-olah tengah menghaluskan ujung kalimat. “Aria,” ia menatapku, “loyalitas itu penting.”

“Loyalitas yang paling penting adalah pada kemanusiaan,” jawabku.

Rapat bubar tanpa kepastian. Tetapi aku tahu, sesuatu sudah bergerak. Kadang perubahan tidak dimulai dengan pawai, melainkan dengan kalimat yang menolak berbohong.

.

Konsekuensinya datang secepat kurir same day. Aku dipindahkan ke cabang kecil di pinggir kota—mutasi sebagai bentuk “pembinaan”. Jalan ke gudang baru melewati kolong tol, di mana bau solar bercampur doa penjual nasi kucing. Aku menerimanya. Namun tidak kuserahkan mulutku pada kunci gembok.

Sepulang kerja, aku dan Sekar menunggui Umarmadi. Kakinya disangga besi, wajahnya pucat tetapi matanya menyala. “Kalau nanti kalian demo, jangan keras-keras,” katanya bercanda. Umarmaya tertawa kecut. “Kalau kita pelan, mereka tuli.”

Kami menggalang donasi kecil-kecilan. Bukan karena percaya pada kebaikan semesta yang datang sendirinya, tapi karena sadar bahwa orang baik perlu bekerja sama buat mengimbangi sistem yang pincang.

Menurut jejak digital, berita kecelakaan di gudang mulai menyebar. Bukan aku yang membocorkan; orang tidak butuh satu pahlawan ketika ada ratusan saksi yang lelah. Tekanan publik memaksa manajemen mengiyakan audit keselamatan. Tetapi, seperti biasa, ada syarat berbaris di belakangnya. Salah satunya: menyingkirkan batu kecil di sepatu—aku.

“Aria, pahami posisi,” kata Muninggar lewat telepon. “Kamu terlalu vokal. Kami butuh suasana kondusif.”

“Suasana kondusif,” kujawab, “cuma bisa lahir dari keadilan.”

“Jadi, pilihanmu?”

Aku memilih tetap manusia.

Telepon ditutup. Malam turun seperti tirai teater. Kusesap kopi yang semakin pahit. Di lantai bawah kos, seorang anak menendang kaleng bekas, menertawakan suara yang nyaring. Begitulah, kadang yang kecil, yang diremehkan, yang dianggap diam—justru punya gema paling jauh.

.

Kami mengadakan diskusi publik bertema “Keselamatan Di Jalan dan Di Gudang” di sebuah kafe Tebet. Hadir beberapa pekerja logistik dari berbagai perusahaan, wartawan lokal, dan satu dua pengacara muda yang matanya terlalu terang untuk kota yang redup. Aku bercerita bukan sebagai korban; aku bercerita sebagai saksi yang menolak amnesia.

Kesabaran tanpa logika, teman-teman,” kataku, “membuat kita pernah dan terus salah. Kesabaran yang benar justru memaksa kita menyusun bukti, menata kalimat, lalu berdiri bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk mereka yang lebih rapuh suaranya.”

Di akhir diskusi, hujan datang lagi—Jakarta memang romantis pada basah. Sekar memberiku payung oranye. “Aku akan selalu ingat kalimatmu tentang cermin kosong,” katanya.

“Kau juga, Sekar,” balasku. “Kau mengajariku bedanya melawan dan membabi buta.”

Ia tersenyum. Ada sesuatu yang hangat bergerak di sela-sela dingin malam, seperti lampu jalan yang belajar memaafkan gelap.

.

Audit berjalan. Hasilnya—tentu—tidak menggembirakan Jayengrana. Media mewartakan perubahan kebijakan: pembaruan alat keselamatan, pembatasan jam kerja, kompensasi medis. Tetapi perusahaan juga mengumumkan “restrukturisasi” yang—anehnya—mengeluarkan namaku dari daftar karyawan. Eufemisme adalah seni paling tua di kantor-kantor modern.

Hari terakhirku, aku berkeliling gudang. Mengusap pintu truk, menepuk bahu Umarmaya, merapikan helm yang tergantung. “Kau akan ke mana setelah ini?” tanya Umarmaya.

“Ke tempat di mana kata dan kerja bisa saling menatap,” jawabku asal.

“Bergabunglah dengan kami,” Sekar menyela, entah muncul dari mana. Ia menyodorkan berkas—kontrak singkat sebagai peneliti lapangan di organisasinya. Gajinya tak seberapa, tetapi cukup untuk hidup wajar. Dan yang terpenting, cukup untuk menenangkan hati.

Aku mengangguk. Kadang jawaban hidup sesederhana menerima ajakan yang membuatmu lebih manusia.

.

Pekerjaan baruku membawaku menyusuri riuh kota-kota: Bekasi, Surabaya, Semarang. Kami mendokumentasikan jam kerja sopir, memotret rest area yang dipaksakan, mewawancarai para kasir gudang yang bersahabat dengan lembur. Suatu malam di pinggiran Sidoarjo, seorang sopir yang disebut teman-temannya Jayeng—mungkin candaan pahit, mengingat raja kecil di kantor—bercerita tentang tidur 40 menit per delapan jam. “Kalau saya terpejam lebih lama, pengawas di grup WhatsApp akan telepon,” katanya. Aku mencatat cepat, lalu menatap jalan tol yang panjang, seperti kalimat tanpa tanda titik.

Kami merintis pos advokasi kecil bernama Rumah Retna—nama itu kuambil dari Retna, putri fiksi yang dalam cerita-cerita lama harus menunggu lama untuk diperlakukan benar. Di rumah itu, pekerja logistik bisa datang, menyeruput kopi, mengisi formulir, atau sekadar menaruh letih. Di dinding, Sekar menempelkan kalimat:

“Martabat tidak boleh dilelang. Kalau ada yang menawar, itu tandanya kita perlu memperbarui bahasa melawan.”

Rumah Retna tumbuh. Ada yang datang diam-diam, ada yang datang sambil menggigil. Ada pula yang datang dengan tertawa keras—cara sebagian orang menyembunyikan takut. Kami bukan penyelamat. Kami hanya sekelompok warga kota yang percaya: ketika orang lain melampaui batas kemanusiaan, sabar yang benar adalah sabar yang berubah menjadi aksi.

.

Suatu sore, teleponku berdering. Nomor tak dikenal. Suara di seberang hampir berbisik, “Mas Aria, saya Muninggar.” Aku mematung.

“Saya ingin… minta maaf,” katanya, kalimatnya pelan seperti menjemur lampin, “Saya terlalu lama berpikir bahwa tugas saya adalah menjaga ketenangan manajemen. Tapi saya lupa, tenang bukan berarti adil.”

Aku menelan satu-satunya kaget. “Kita semua sedang belajar,” kataku.

“Umarmadi bagaimana?”

“Masih terapi. Kami membuat tabungan bersama.”

“Kalau butuh sesuatu, kabari saya,” ucapnya. “Saya… sudah tidak di sana lagi.”

Kutelan sunyi. Kota ini aneh: ia merusak pelan-pelan, lalu memberi orang kesempatan kecil untuk memperbaiki diri. Seperti ruko tua yang dipulas ulang; catnya mungkin tetap mengelotok, tapi ada jendela yang baru.

.

Musim berganti. Aku semakin akrab dengan peta dan pasal. Di tengah perjalanan, aku belajar cara lain memaafkan: bukan menghapus, melainkan menamai. Dengan menamai luka, kita tahu di mana harus membalut; dengan menamai takut, kita tahu kapan harus menggandeng orang lain.

Suatu malam peringatan setahun jatuhnya palet di gudang Jayeng Express, kami mengadakan pertemuan kecil di halaman Rumah Retna. Umarmadi datang dengan tongkat, wajahnya sudah dapat tertawa penuh. Umarmaya membuatkan teh poci. Sekar membaca beberapa catatan singkat. Lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang-kunang modern.

Aku berdiri, memandang mereka satu-satu. “Setahun lalu, aku memilih tidak lagi diam. Bukan karena aku berani, tetapi karena orang-orang yang kucintai terlalu berharga untuk terus kupelankan suaranya.”

Aku menutup mata, mendengar bunyi kota: tukang bakso menarik gerobak, ojek online tertawa, kendaraan menyalakan lampu jauh. Dunia tidak tiba-tiba menjadi baik. Tetapi kami tak lagi merasa sendirian.

“Bicaralah,” kataku—lebih kepada diri sendiri, “ketika perlu. Sabarilah apa yang patut disabari, lawani apa yang memalukan bagi nalar. Dan selalu, selalu, jaga martabat.”

Sekar menambahkan dengan suaranya yang jernih, “Sebab keadilan bukan emosi, melainkan keputusan.”

Kami menatap langit yang bersih setelah hujan. Angin membawa bau nilam dari rumah tetangga. Aku teringat bapakku: “Keberanian adalah memilih kapan harus mengalah, kapan harus melawan.” Dulu kalimat itu hanya kupahami setengah. Kini aku tahu, yang menuntun pilihan adalah akal sehat yang diajak berunding dengan nurani.

.

Di jalan pulang, lampu-lampu toko memantulkan wajahku di kaca. Aku tidak lagi melihat karyawan yang selalu mengangguk; aku melihat seseorang yang jika perlu menolak, tetapi tidak pernah lupa menghitung. Seseorang yang bersedia menanggung takut, karena tahu takut bisa dibelah—setengah untuk hati-hati, setengah untuk melangkah.

Kota melaju. Aku berjalan lebih pelan, seolah memberi kesempatan pada trotoar untuk bernapas. Di persimpangan, seorang pengamen kecil menyanyikan lagu yang hanya punya dua not. Tapi ia bernyanyi dengan mata berbinar, seperti menyiramkan cahaya pada aspal.

Kupikir, barangkali inilah inti dari semua perjuangan: menjaga agar mata tetap bisa berbinar sekalipun dunia gemar mengaburkannya. Dan untuk itu, kita perlu dua hal yang sama-sama sederhana dan sama-sama sulit: sabar yang berlogika, berani yang berbelas kasih.

“Jangan jadikan sabar alasan orang lain memperlakukanmu seenaknya. Sabar itu pagar, bukan pintu tanpa kunci.”
“Melawanlah dengan data, bicara dengan martabat, dan pulanglah dengan hati yang masih cukup utuh untuk memaafkan.”

Dan kalau kau bertanya padaku mengapa aku terus berjalan di kota yang pandai menghimpit, jawabanku begini: karena di setiap gang sempit, selalu ada lorong terang yang dibikin orang-orang biasa ketika mereka memilih menukar diam dengan suara yang bertanggung jawab.

.

.

.

Jember, 5 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #SastraPerkotaan #KesabaranBerlogika #KeberanianBermartabat #HakPekerja #MenakMadura #JeffreyWibisonoVStyle

Leave a Reply