Bahagia Tanpa Tepuk Tangan

“Ada harga yang terlalu mahal untuk dibayar: kehilangan diri sendiri demi tepuk tangan yang cepat hilang.”

“Tidak semua kesepian menakutkan; beberapa justru mengantar kita pulang kepada siapa kita sebenarnya.”

“Tak semua tepuk tangan berarti bahagia; sering kali itu hanya bunyi dari topeng yang saling beradu.”

.

Di balik kaca tinggi sebuah kafe di bilangan Senopati, Jakarta, langit petang memantul sebagai bayangan kusam di layar ponsel Panji Wiranata. Notifikasi grup WhatsApp berdering bertubi-tubi: Panitia Charity Gala Malam Ini, Komite Alumni, Inner Circle Entrepreneur Club, hingga Keluarga Besar Wiranata.

Nama-nama grup itu berbaris seperti daftar kewajiban, bukan lagi kebanggaan.

Panji menatap kopi latte yang sudah mendingin. Buih susunya menggambar pola hati yang setengah tergerus. Di hadapannya, Sekar Arum menyingkirkan rambut dari wajahnya, menatap Panji dengan sorot mata yang sejak lama ia kenal: lembut, tapi letih.

“Jadi, kamu tetap datang ke gala malam ini?” tanya Sekar pelan.

Panji menghembuskan napas panjang. “Kalau aku nggak datang, mereka bilang aku sombong. Nggak menghargai donatur, nggak menghargai nama keluarga. Kalau aku datang, aku harus pura-pura jadi orang yang aku sendiri nggak kenal.”

Sekar tersenyum miris. “Dan seperti biasa, kamu akan memilih jadi orang yang bukan kamu, demi semua ekspektasi itu.”

Panji terdiam. Di layar ponselnya, pesan dari ibunya muncul:

Mama: Ingat ya, Nak, malam ini penting. Bapak sudah susah payah bangun jaringan. Kamu tinggal nerusin. Jangan bikin malu.

Kata-kata itu seperti pintu besi yang mengunci dadanya dari dalam.

.

Panji, Nama yang Dibebani

Sebagai sulung dari keluarga Wiranata, pemilik jaringan properti dan beberapa bisnis F&B di Jakarta dan Surabaya, hidup Panji selalu tampak “beres” di mata orang lain. Lulusan universitas ternama di Melbourne, kembali ke Indonesia, langsung duduk di jajaran direksi grup usaha keluarga. Usianya baru tiga puluh dua, tapi portofolionya sudah lebih tebal dari novel toko buku.

Di media sosial, ia tampil sempurna: foto bersama pengusaha lain di forum bisnis, potret keluarga di resort Bali, cuplikan aktivitas CSR membagikan paket sembako di kampung-kampung. Setiap postingan banjir komentar:

“Idaman banget hidupnya, Bang.”
“Panji ini contoh anak muda sukses yang nggak lupa sosial, keren!”

Yang tak terlihat adalah bagaimana setiap langkah Panji selalu diukur.

“Nama kita itu bukan sekadar nama, Ji,” suara Bapak terngiang. “Ini legacy. Kamu nggak boleh cuma mikirin perasaanmu sendiri. Kamu milik keluarga, milik bisnis, milik orang banyak.”

Di rumah besar mereka di daerah Menteng, foto-foto keluarga tersusun di dinding: leluhur yang pernah jadi pejabat, pengusaha perintis, tokoh pendidikan. Nama mereka sebagian besar diambil dari kisah Menak Jawa dan Menak Malangan—hasil obsesi Kakek terhadap dunia pewayangan.

Ada foto hitam putih Kakek: Panji Jayengrana Wiranata, pendiri bisnis pertama keluarga, berdiri di depan ruko kecil di Surabaya tahun 1970-an. Di bawahnya, foto Bapak: Panji Gunungsari Wiranata, berjabat tangan dengan gubernur saat peresmian mal baru. Dan kini, foto Panji Wiranata sendiri, di sampul majalah bisnis, dengan tagline: “Generasi Baru Pewaris Tahta Bisnis Keluarga.”

Tahta. Kata itu selalu membuat Panji ingin tertawa dan menangis sekaligus.

.

Sekar, Perempuan yang Belajar Melepaskan

Sekar Arum berasal dari keluarga akademisi di Malang yang kemudian pindah ke Jakarta. Ibunya dosen, ayahnya guru besar. Sejak kecil Sekar diajarkan bahwa pendidikan adalah jalan mulia yang tak boleh dinegosiasikan.

Namun jalan hidup mengantarnya menjadi konsultan brand dan komunikasi. Ia senang menata cerita, bukan sekadar data. Di agensi kreatif tempatnya bekerja, Sekar menangani klien mulai dari startup fintech, kampus swasta, hingga hotel butik di Ubud.

“Kamu itu storyteller, Kar,” bosnya pernah berkata. “Kelebihanmu, kamu bisa bikin orang lihat diri mereka lebih jelas lewat cerita yang kamu susun.”

Sekar bertemu Panji di sebuah forum social entrepreneurship. Untuk publik, mereka terlihat seperti pasangan ideal: dia pewaris bisnis, Sekar perempuan karier yang mandiri. Yang hanya mereka berdua tahu, di balik tiap senyum foto event, Sekar sering menahan diri untuk tidak bertanya:

“Sudah sampai sejauh mana kamu menjual dirimu hari ini, Panji?”

Karena pelan-pelan, Sekar menyadari: laki-laki yang ia sayangi sedang terjebak dalam penjara yang dibangun oleh harapan-harapan orang lain.

.

Inner Circle yang Mencekik

Malam itu, ballroom hotel bintang lima di kawasan Sudirman penuh dengan gaun berkilau dan jas mahal. Charity gala yang diselenggarakan oleh komunitas pengusaha muda dan keluarga-keluarga “mapan” Jakarta itu menampilkan lelang lukisan, wine dinner, dan penampilan musisi terkenal.

Di panggung, layar LED memutar video pendek tentang kegiatan sosial mereka: pembangunan perpustakaan desa, beasiswa anak kurang mampu, pemberdayaan UMKM daerah.

Nama grup ini adalah Lingkaran Sembada. Di dalamnya, selain Panji, ada Raden Kumala, pengusaha properti syariah; Dewi Andanwangi, pemilik sekolah internasional; dan Jaya Udarsa, investor startup yang gemar muncul di podcast motivasi.

“Panji, bro! Akhirnya datang juga.” Jaya menepuk bahu Panji sambil tertawa keras. “Gue bilang juga apa, nggak mungkin pewaris Wiranata absen.”

Panji membalas dengan senyum kaku. “Sorry tadi ada meeting dulu, bro.”

“Gila, hidup lo meeting terus,” sela Dewi Andanwangi yang datang membawa segelas champagne. “Lo tuh blessing in disguise banget, Ji. Banyak yang mau banget di posisi lo, lho.”

Kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi di telinga Panji, malah seperti tekanan.

Malam itu, Panji dijadwalkan memberi sambutan. Bukan karena ia penggagas acara, tapi karena ia memiliki nama belakang yang “penting” untuk ditampilkan.

Di sudut ruangan, Sekar berdiri di dekat tim dokumentasi. Ia memang tidak duduk di meja VIP, tapi diminta panitia membantu merapikan alur storytelling acara. Dari kejauhan, ia melihat Panji beberapa kali menghela napas panjang, menatap pintu keluar seolah itu satu-satunya jalan selamat.

Saat MC memanggil namanya, tepuk tangan menggema.

“Dengan segala hormat, kita sambut Panji Wiranata.”

Panji berdiri. Setiap langkah menuju panggung terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Ia melihat wajah ibunya di meja depan, tersenyum bangga. Bapaknya mengangguk kecil, seolah mengirim pesan: Ini panggungmu. Jangan kecewakan kami.

.

Pidato yang Tidak Direncanakan

Naskah sambutan sudah disiapkan oleh tim PR. Panji tinggal membaca. Kalimat-kalimatnya manis: tentang komitmen keluarga Wiranata terhadap sosial, pentingnya kolaborasi, dan betapa “bersyukurnya” ia bisa menjadi bagian dari Lingkaran Sembada.

Namun malam itu, sesuatu dalam dirinya retak.

Ia memandang ke arah layar LED yang memutar foto-foto kegiatan sosial mereka: anak-anak desa memegang buku baru, ibu-ibu tersenyum membawa paket sembako. Di sudut lain ruangan, ia melihat meja jamuan penuh makanan yang akan tersisa ketika acara usai.

Di antara cahaya lampu panggung, Panji melihat sekilas wajah seorang anak laki-laki yang dulu sangat ia kenal: dirinya sendiri, usia dua belas tahun, berdiri di depan rumah sederhana di Surabaya, sebelum bisnis keluarga benar-benar meledak. Wajah yang polos, belum tahu apa-apa tentang ekspektasi.

Wajah itu menatapnya, seolah bertanya:

“Kamu bahagia nggak, Ji, jadi seperti sekarang?”

Mikrofon sudah di tangan. Ruangan hening.

“Selamat malam,” suara Panji terdengar stabil, meski jantungnya berdegup kencang. “Terima kasih untuk kesempatan yang diberikan kepada saya.”

Ia menghela napas, melirik sekilas ke meja orang tuanya, lalu ke arah Sekar. Gadis itu mengangguk pelan, seolah mengizinkan dia melakukan sesuatu yang selama ini ia takutkan: jujur.

“Saya seharusnya membaca teks yang sudah disiapkan,” lanjut Panji. “Teks yang menjelaskan betapa kami bangga menjadi bagian dari acara ini, betapa kami merasa terhormat bisa berbagi dan berkontribusi.”

Ia mengangkat selembar kertas di tangannya. Kamera menyorot.

“Tapi malam ini… saya ingin bicara sebagai manusia, bukan hanya sebagai pewaris nama belakang tertentu.”

Beberapa orang saling pandang. Bapak memicingkan mata, Ibunya menegang.

“Sejak kecil, saya diajarkan bahwa hidup itu soal pencapaian,” ucap Panji. “Sekolah tinggi, karier bagus, jaringan luas, dampak sosial. Saya ikut semua: komunitas bisnis, forum sosial, grup alumni. Dari luar, itu terlihat indah. Tapi dari dalam, sering kali terasa seperti penjara yang saya bangun sendiri, batu batanya adalah ekspektasi orang lain.”

Ruangan makin sunyi.

“Ada masa ketika saya percaya, kalau saya ingin diterima, saya harus selalu bilang ‘iya’. Iya pada semua undangan, iya pada semua permintaan, iya pada semua peran yang dilempar ke saya. Perlahan-lahan, saya menjual harga diri saya sedikit demi sedikit. Saya bilang ‘iya’ bahkan ketika hati saya berteriak ‘tidak’.”

Dewi Andanwangi menatap Panji dengan dahi berkerut. Jaya mulai gelisah. Di meja keluarga, Ibunya menggenggam erat tangan Bapak.

“Hari ini saya ingin jujur,” suara Panji sedikit bergetar. “Saya lelah.”

Ia berhenti sejenak, menelan ludah.

“Lelah pura-pura nyaman di lingkungan yang menilai saya hanya dari berapa besar cek yang saya tanda tangani, seberapa ramai berita tentang saya di media, seberapa banyak followers yang memuji saya. Lelah berpura-pura bahwa semua ini selalu mulia, padahal kadang yang kami kejar hanya validasi.”

Sekar merasakan matanya panas.

“Saya baru sadar,” lanjut Panji, “bahwa kesendirian jauh lebih mulia daripada kebersamaan yang memenjarakan. Bahwa tidak apa-apa jika suatu hari nanti nama saya tidak lagi disebut di acara seperti ini—asal saya bisa menatap diri sendiri di cermin tanpa merasa asing.”

Di sudut kanan panggung, MC tampak cemas, panitia saling bisik-bisik. Tapi Panji terus bicara.

“Kalau selama ini ada yang merasa saya terlalu menjaga jarak, terlalu kaku, maaf. Mungkin itu cara saya bertahan agar tidak benar-benar hilang di antara ekspektasi orang lain. Malam ini, saya memutuskan satu hal: saya tidak akan lagi menjual harga diri saya demi sekadar diterima.”

Ia menurunkan kertas sambutan yang belum sempat dibacanya. “Mulai malam ini, kalau saya hadir di sebuah kegiatan sosial, saya ingin datang sebagai manusia yang sungguh peduli, bukan sebagai nama yang harus terpampang di spanduk. Kalau saya terlibat dalam lingkungan, saya ingin boleh berkata ‘tidak’ tanpa dihukum diam-diam.”

Panji tersenyum kecil. “Dan kalau suatu hari saya pergi dari lingkaran ini, saya harap itu bukan dianggap pengkhianatan, melainkan bentuk kejujuran.”

Ia menunduk singkat. “Terima kasih.”

Tepuk tangan tidak langsung terdengar. Ada jeda beberapa detik yang seolah memanjang. Lalu, dari satu sudut ruangan, seseorang bertepuk tangan pelan. Sekar.

Disusul beberapa tamu yang mungkin lebih mendengar dengan hati ketimbang dengan kepentingan. Tepuk tangan itu tidak meriah, tapi nyata. Di meja keluarga, Bapak diam. Ibunya menatap putranya dengan kebingungan yang bercampur marah.

.

Konsekuensi Kejujuran

Usai acara, suasana di mobil keluarga pulang ke Menteng seperti kuburan. Tidak ada yang bicara sampai akhirnya Bapak meledak.

“Kamu sadar nggak, apa yang kamu lakukan barusan?” suaranya berat dan dingin.

Panji menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi melintas seperti bayangan. “Aku jujur, Pak.”

“Jujur?” Bapak tertawa pendek. “Jujur itu bukan berarti menampar semua orang di ruangan yang sudah percaya sama kita. Kamu bikin malu nama keluarga. Mereka undang kamu sebagai representasi Wiranata. Kamu malah curhat.”

“Mungkin selama ini kita terlalu sibuk jaga nama, sampai lupa jaga diri sendiri,” jawab Panji pelan.

“Diri kamu itu bagian dari nama ini!” Bapak menunjuk dada Panji dengan telunjuk bergetar. “Kamu nggak punya kemewahan untuk jadi egois!”

Ibunya ikut bersuara, suaranya lebih lirih tapi tak kalah tajam. “Apa kamu nggak mikir perasaan Mama? Mama duduk di depan, semua orang lihat. Mama punya teman-teman juga di sana. Seolah-olah Mama memaksa kamu di panggung itu.”

Panji menoleh, menahan perih di tenggorokan. “Ma, aku nggak menyalahkan Mama. Aku cuma nggak mau lagi pura-pura bahagia di dalam peran yang nggak aku pilih sendiri.”

“Kamu pikir Papa dan Mama dulu memilih semua ini?” Bapak mendengus. “Kadang hidup itu bukan soal apa yang kamu mau, tapi apa yang harus kamu jalani.”

“Justru, Pak,” suara Panji melembut. “Kenapa generasi kami nggak boleh mencoba jalan yang sedikit berbeda? Kenapa satu-satunya cara dianggap ‘berbakti’ adalah dengan mengulang persis apa yang Bapak lakukan, bahkan ketika zaman dan caranya sudah berbeda?”

Mobil kembali sunyi. Hanya suara AC dan deru kota.

Di kamarnya malam itu, Panji membuka laptop. Kotak masuk email-nya penuh undangan kolaborasi, pitch deck investasi, dan proposal sponsorship. Ia menatap satu per satu, lalu melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya: menekan tombol archive tanpa terburu-buru menjawab.

Kemudian ia membuka folder yang selama ini hanya ia simpan untuk dirinya: Rencana Hidup Yang Jujur.

Di dalamnya, ada draft rencana kecil: membuka ruang belajar gratis di ruko kosong milik keluarga di pinggiran kota, bekerja paruh waktu sebagai mentor bisnis sosial untuk UMKM, dan—ini yang paling berani—membatasi keterlibatan di lingkaran-lingkaran yang selama ini lebih banyak menguras jiwa daripada memberi makna.

Ia menatap rencana itu lama, sebelum mengetik satu baris baru:

“Mulai tahun ini: belajar menerima kemungkinan sepi, agar tidak lagi mengkhianati diri sendiri.”

.

Sekar dan Letak Bahagia

Beberapa hari setelah gala, Sekar mengajak Panji bertemu di sebuah taman kota di Bintaro. Bukan di kafe fancy, bukan di rooftop bar. Hanya di bangku kayu yang menghadap ke danau kecil.

“Kamu yakin sama yang kamu lakukan malam itu?” Sekar membuka percakapan.

Panji tersenyum miring. “Jujur? Aku takut setengah mati. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa tidak sepenuhnya palsu.”

“Mereka marah?”

“Bapak, ya. Mama, kecewa. Teman-teman di Lingkaran Sembada sebagian besar nggak chat aku lagi. Sisanya kirim pesan pasif-agresif.”

Sekar mengangguk, lalu menatap Panji dalam-dalam. “Aku bangga sama kamu.”

“Mungkin habis ini aku jadi lebih sendirian.” Panji mencoba bercanda, tapi ada getir di ujung suaranya.

“Sendirian itu tidak selalu berarti sepi, Ji,” balas Sekar. “Kadang justru di masa-masa sepi, kita paling jujur sama diri sendiri. Lagipula, apa artinya dikelilingi banyak orang kalau kamu harus matikan bagian paling penting dari dirimu setiap kali ketemu mereka?”

Panji terdiam. Di kejauhan, sekelompok anak kecil bermain bola di lapangan rumput. Teriak tawa mereka mengambang di udara sore.

“Kar, kalau misalnya nanti aku nggak lagi berada di ‘level sosial’ yang sama seperti sekarang, kamu masih mau jalan sama aku?” tanya Panji, lebih serius dari yang ia maksudkan.

Sekar menghela napas, lalu menjawab pelan namun tegas, “Aku nggak pernah jatuh cinta sama nama belakangmu, Ji. Aku jatuh cinta sama orang yang mau berjuang untuk tetap utuh, walaupun dunia giring dia untuk jadi sesuatu yang lain.”

Mata Panji memanas. “Kadang aku mikir, kalau aku melepaskan semua ini, aku juga melepaskan kamu ke dunia yang lebih nyaman daripada hidup bersama orang yang memilih jalan lebih ‘sunyi’.”

Sekar tersenyum tipis. “Bahagia itu bukan selalu tentang naik kelas sosial, Panji. Ada bahagia yang bentuknya sangat sederhana: bisa pulang ke rumah tanpa perlu pakai topeng.”

.

Mengukur Ulang Ukuran Sukses

Perlahan, hidup Panji berubah. Tidak dramatis seperti di film, tidak juga mulus.

Ia mundur dari beberapa posisi di komunitas prestise. Bukan sekaligus, tapi bertahap. Dari lingkaran bisnis yang paling banyak memaksanya hadir di acara tanpa ruh, dari forum-forum di mana foto grup lebih penting daripada percakapan jujur.

Sebagai gantinya, ia mulai menghabiskan waktu di ruko kosong milik keluarga di kawasan pinggir Jakarta, yang dulu hendak dijadikan cabang restoran. Ia merenovasi sederhana: mengecat dinding, memasang rak buku, menata meja kayu bekas. Ia menamai tempat itu “Ruang Panji”.

Di Ruang Panji, ia membuka kelas mentoring untuk anak-anak muda yang ingin membangun usaha kecil dengan etika: pengusaha kopi rumahan, pengrajin batik modern, guru les privat yang ingin mengonlinekan jasanya. Biayanya? Pay as you wish.

Bapak marah ketika pertama kali mendengar konsep itu. “Bisnis kok pay as you wish?”

“Ini bukan bisnis utama, Pak,” jawab Panji tenang. “Ini ruang untuk belajar hidup tanpa harus selalu dihitung dengan angka yang sama seperti di laporan laba rugi.”

Namun menariknya, seiring waktu, Ruang Panji justru membawa peluang bisnis baru: kolaborasi dengan UMKM yang jujur, jaringan yang tumbuh dari saling percaya, bukan sekadar kartu nama. Tidak masuk headline media besar, tapi meninggalkan jejak di hidup orang-orang yang sebelumnya tak pernah melihat diri mereka cukup penting untuk mendapat mentoring.

Sekar mendampingi dengan caranya: membantu menata brand Ruang Panji, membuat website sederhana, mengajarkan peserta cara bercerita tentang usaha mereka dengan tulus, bukan dengan bahasa pamer.

Suatu sore, setelah kelas selesai, seorang ibu-ibu pengusaha catering kecil menghampiri Panji.

“Mas Panji,” katanya, “saya nggak ngerti istilah-istilah bisnis modern. Tapi saya ngerti satu hal: di sini saya nggak merasa kecil. Terima kasih sudah bikin tempat yang bikin kami merasa cukup sebagai diri sendiri.”

Kalimat itu menghantam hati Panji lebih keras daripada semua pujian di podium gala mana pun.

Malamnya, di rumah, Panji menulis di jurnalnya:

“Mungkin selama ini kita salah mengukur bahagia. Bukan pada seberapa tinggi kita berdiri di panggung, tapi pada seberapa dalam kita berakar di diri sendiri.”

.

Kesepian yang Menjadi Kawan

Namun bukan berarti semuanya indah. Ada hari-hari ketika Panji merasa benar-benar sepi.

Grup-grup WhatsApp yang dulu ramai perlahan sunyi. Ia tak lagi diundang ke pertemuan foro bisnis tertentu. Di media sosial, beberapa orang berhenti berinteraksi.

Ia menyadari pahitnya: ketika kamu berhenti menawarkan manfaat sosial tertentu, sebagian orang akan berhenti melihatmu.

Suatu malam, ia duduk sendirian di Ruang Panji yang sudah tutup. Lampu-lampu kota di luar jendela berkelip. Hujan turun pelan, menimbulkan suara ritmis di atap seng.

Panji memejamkan mata. Untuk sesaat, kesepian itu menelannya. Ada suara kecil di dalam dirinya yang berbisik,

“Lihat, kalau dulu kamu tetap ikut arus, kamu nggak akan sendirian begini.”

Tapi ada suara lain yang lebih halus, lebih dalam:

“Tapi kalau kamu tetap ikut arus, mungkin kamu akan kehilangan dirimu selamanya.”

Ia membuka mata, menatap refleksi dirinya di kaca jendela. Tidak lagi sekaku beberapa bulan lalu. Ada garis lelah, tapi juga ada sesuatu yang lain: kelegaan.

Ia membatin, “Kalau ini harga dari tidak menjual harga diri, mungkin ini bukan hukuman. Ini proses.”

Ponselnya bergetar. Pesan dari Sekar masuk.

Sekar: Aku tau hari ini kamu kelihatan capek. Kalau mau nggak apa-apa capek di depan aku. Gak perlu kuat terus.

Panji: Kadang aku masih takut, Kar. Takut nggak dianggap.

Sekar: Lebih menakutkan mana: nggak dianggap orang lain, atau nggak dianggap sama diri sendiri?

Panji membaca kalimat itu berulang kali, lalu tersenyum kecil. Kesepian yang tadi menakutkan, perlahan berubah bentuk. Ia tidak hilang, tapi tak lagi menakut-nakuti. Lebih mirip seperti teman lama yang duduk diam di sudut ruangan.

.

Rekonsiliasi yang Pelan

Hubungan Panji dengan Bapak dan Ibunya tidak pulih dalam semalam. Ada jeda, ada dingin, ada makan malam yang diisi percakapan pendek.

Namun waktu punya cara sendiri melembutkan sudut-sudut yang terlalu tajam.

Suatu pagi, Bapak datang ke Ruang Panji tanpa pemberitahuan. Panji sedang memindahkan kursi ketika melihat mobil tua Bapak berhenti di depan ruko.

“Ini yang kamu sibuk urus?” tanya Bapak, matanya menyapu ruangan.

“Iya, Pak,” jawab Panji hati-hati. “Ini… ruang belajar. Bukan cuma soal bisnis, tapi soal hidup juga.”

Bapak mengamati poster-poster di dinding: kata-kata motivasi yang tidak berteriak, foto-foto peserta kelas yang tersenyum.

“Dulu Bapak juga mulai dari ruko kecil,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Bedanya, dulu Bapak kejar bertahan hidup. Kamu kejar… apa namanya itu… meaning.”

Panji hanya tersenyum.

“Bapak marah waktu kamu ngomong di gala itu,” lanjut Bapak. “Bukan cuma karena kamu bikin ‘kita’ kelihatan nggak kompak. Tapi mungkin juga karena Bapak iri. Bapak nggak pernah punya keberanian untuk bilang Bapak lelah.”

Ada jeda. Suara kendaraan dari jalan terdengar samar.

“Kamu yakin bisa hidup dari cara seperti ini?” tanya Bapak akhirnya.

“Pelan-pelan, Pak,” jawab Panji. “Aku masih di bisnis keluarga, tapi dengan batasan. Aku masih pakai keahlianku, tapi nggak lagi seratus persen mengikuti semua ekspektasi. Mungkin aku nggak akan sekaya Bapak, tapi aku harap aku bisa lebih utuh.”

Bapak menghela napas panjang. “Kalau kamu jatuh, kamu tetap anak Bapak. Jangan lupa pulang.”

Pernyataan itu, sesederhana apa pun, terasa seperti pintu kecil yang terbuka kembali.

.

Tidak Lagi Dijual

Beberapa bulan kemudian, sebuah email masuk ke inbox Panji. Dari panitia sebuah konferensi bisnis nasional.

“Kami ingin mengundang Anda sebagai pembicara. Tema: ‘Integrity in the Age of Social Validation.’ Kami tertarik karena video sambutan Anda di charity gala beberapa waktu lalu—kami percaya keberanian untuk jujur seperti itu yang dibutuhkan generasi sekarang.”

Panji membaca email itu dengan alis terangkat. Ironis, pikirnya, bagaimana sesuatu yang dulu membuatnya dimarahi, kini justru mengundangnya ke panggung yang lain. Tapi kali ini, ia tahu bedanya: ia akan berdiri di panggung itu bukan sebagai poster boy dari nama belakang tertentu, tapi sebagai manusia yang sedang belajar.

Ia tidak menerima undangan itu secara otomatis. Ia berdiskusi dengan Sekar, menimbang jadwal Ruang Panji, mempertimbangkan apakah ia sanggup hadir tanpa kembali terjebak dalam lingkaran yang sama.

“Kalau kamu jadi datang, ingat, Ji,” kata Sekar. “Bukan panggung yang mengesahkan kamu. Kamu yang mengesahkan panggung itu, dengan kejujuranmu.”

Panji mengangguk. “Kalau aku merasa mulai tergoda untuk jual diri lagi demi tepuk tangan, tolong ingetin aku.”

Sekar tersenyum. “Tenang, aku spesialis narasi. Aku akan selalu ingatkan kamu sama cerita asli dirimu.”

Malam sebelum konferensi, Panji menulis satu kalimat di jurnalnya, sebagai penutup bab lama dan pembuka bab baru:

“Hari ini aku memilih untuk tidak lagi menjual harga diriku demi sekadar diterima. Kalau suatu saat aku harus berjalan sendirian, biarlah itu karena aku setia pada diriku sendiri, bukan karena dunia menyingkirkanku.”

Di luar, kota masih bising dengan ambisi dan ekspektasi. Tapi di dalam dirinya, untuk pertama kali setelah sekian lama, Panji merasakan sesuatu yang ia hampir lupa rasanya: ringan.

Bukan karena beban hidupnya hilang, tetapi karena ia tidak lagi memanggul beban yang bukan miliknya.

Dan di sanalah, di tengah sunyi yang ia pilih sendiri, Panji akhirnya menemukan kebersamaan yang paling ia butuhkan: kebersamaan dengan dirinya yang tidak lagi dijual.

.

.

.

Malang, 10 December 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #SastraUrban #HargaDiri #EkspektasiSosial #Integritas #KelasMenengahAtas #JatiDiri #MentalHealth #KebahagiaanSejati #NamakuBrandku

Leave a Reply