Adab adalah Alamat

“Hidup tidak selalu meminta kita menang. Ia hanya meminta kita bertahan dengan bermartabat, memilih yang benar walau sepi, dan pulang tanpa kebencian.”

.

Malam itu Kota Malang seperti baru selesai menelan hujan. Jalan Ijen berkilau, seperti garis-garis perak yang ditarik kuas di atas kanvas aspal. Jayengrana memarkir mobilnya di depan kafe kecil yang dulu ia dan Rengganis dirikan bersama—sebelum perjalanan hidup membawa mereka ke arah yang tak lagi sejajar. Di kaca yang separuh berembun, logo kupu-kupu yang ia gambar sendiri masih menempel, sayapnya mengingatkan pada saat-saat mereka percaya bahwa rebranding selalu mungkin, bahwa manusia pun bisa diluncurkan ulang seperti sebuah merek: didefinisikan ulang, dinyalakan ulang, dan lahir kembali.

Di meja pojok, Umarmaya sudah menunggu. Pekerjaannya kini aneh: konsultan kreatif yang separuh waktunya dipakai mengajar kelas filsafat terapan di inkubator bisnis; separuh lagi duduk di warung kopi, menata ulang misi orang-orang yang hampir patah. Umarmadi—adik Umarmaya—sesekali bergabung, mengurus rantai pasok untuk dua usaha keluarga: co-working space yang jadi tempat lahirnya banyak start-up, dan kelas keterampilan digital untuk ibu rumah tangga.

“Aku membaca proposal terbarumu,” Umarmaya berkata setelah Jay duduk. “Hotel butik yang bukan cuma hotel—melainkan ruang belajar hidup. Tamunya bukan sekadar menginap, melainkan menata ulang niat. Berani sekali.”

Jay tersenyum. “Itu bukan ide baru. Hanya keberanian lamaku yang dipanggil pulang.”

Mereka tertawa singkat. Di luar, lampu jalan berkedip. Seorang pengemudi ojek online berhenti, menurunkan kotak kue. Malam terus merapikan selimutnya.

.

Cerita tentang Jay dan Rengganis bermula bertahun-tahun lalu di Jakarta, di sebuah kantor tinggi yang jendelanya menghadap sungai Ciliwung yang selalu sibuk. Jay saat itu adalah manajer puncak di sebuah perusahaan properti: rapat di lantai 28, memutar presentasi, menyebut KPI, menandatangani kontrak dengan tangan yang tak pernah benar-benar berhenti gemetar—bukan karena takut, melainkan karena terlalu sadar setiap keputusan seperti mengarahkan kapal di selat sempit. Rengganis, partner di firma desain yang memercayai bentuk sebagai doa. Mereka berjumpa saat proyek hotel di Kuningan: Jay menawar efisiensi, Rengganis mengusulkan ruang bagi manusia. Di sela-sela itu semua, mereka jatuh cinta pada cara yang paling sederhana: saling menertawakan kelelahan.

Ada masa mereka membangun banyak hal—konsep, tim, jaringan. Bisnis merentang seperti peta subway: ada jalur kuliner eksperimental; jalur edutech yang mempertemukan guru-guru jalanan dengan manajer HR; jalur hospitality kecil-kecilan—kafe, pop-up dinner, kelas presentasi. Ada juga garis putus-putus menuju Malang: kota yang mereka sepakati sebagai “ruang bernapas” ketika Jakarta terlalu keras pada napas yang pernah kecil.

“Di Malang, aku ingin hotel yang bisa menjadi laboratorium keramahan,” Jay pernah berkata. “Para tamu datang sebagai orang asing, pulang sebagai tetangga.”

Rengganis mengambil pensil dan menggambar sketsa: lobi dengan perpustakaan kecil, teras dengan kursi rotan, cahaya sore yang jatuh pada cangkir-cangkir. “Di kota yang ramah, keramahan harusnya tidak dikomersialkan sebagai gimmick,” katanya, “melainkan dipulangkan ke keseharian.”

Mereka hampir sampai, sebelum kerikil kecil yang diabaikan menjadi gunung yang memisahkan. Tidak ada pertengkaran besar; hanya serangkaian pergeseran niat. Rengganis ditawari proyek raksasa di Singapura; Jay tak hendak lagi menjadi orang yang selalu di pesawat. Mereka mencoba jarak; lalu jarak mencoba mereka. Pada akhirnya mereka tetap di peta yang sama, hanya mata angin mereka berubah.

“Tidak semua yang berakhir harus dinamai gagal,” Umarmaya pernah mengutip pepatah Jawa. “Kadang hanya tanda musim: kemarau berganti hujan.”

.

Malam di Malang melanjutkan pelajarannya. Jay dan Umarmaya membongkar kertas-kertas berisi rencana. Ada angka-angka: proyeksi okupansi, struktur tim, kelas pelatihan untuk mahasiswa pariwisata dan pekerja harian yang ingin naik kelas—housekeeping yang diajari public speaking; barista yang diasuh menulis; security yang dilatih membaca raut tamu tanpa prasangka. Ada modul tentang “ramah yang bertanggung jawab”: bukan menunduk demi tip, melainkan menegakkan martabat sambil menjaga kenyamanan.

“Kalau kamu menyebutnya hotel,” kata Umarmaya, “orang akan datang untuk tidur. Kalau kamu menyebutnya ruang belajar keramahan, orang akan datang membawa harap.”

“Aku butuh keduanya,” jawab Jay. “Kebutuhan dan harap.”

Telepon Jay bergetar. Nama yang muncul: Adaninggar.

Adaninggar dulu rekan satu angkatan di kampus. Kini ia adalah wajah populer di media: konsultan personal branding, pembicara yang selalu penuh tiket, penganjur “hidup sebagai panggung”. Di balik layar, mereka pernah berbagi mimpi yang sama tentang membangun sekolah gratis dari laba bisnis. Di layar, ada perbedaan cara menyebut nilai.

“Jay,” suara Adaninggar hangat, “Besok aku di Malang. Ada dua hal: kerja sama program mentorship di hotelmu, dan… kabar tentang Rengganis.”

Jay diam.

“Tenang,” katanya kemudian. “Kita ketemu. Kabar baik atau buruk, semuanya bagian dari peta.”

Saat menutup telepon, segalanya terasa lebih dekat. Kota mengecil; detak jantung membesar.

.

Keesokan pagi, langit begitu biru sampai-sampai kita ingin meminjamnya sebagai latar presentasi. Jay menyiapkan ruang pertemuan kecil di kafe. Jendela dibuka. Pohon asam di seberang jalan menurunkan bayang-bayangnya, seolah ikut menyimak.

Adaninggar datang dengan jaket krem dan sepatu yang berbicara pelan. Ia membawa dua amplop. Satu tertulis “Program”; yang lain “Pribadi”.

Mereka bicara tentang program terlebih dahulu. Adaninggar menawarkan jaringan: penulis, pemusik, chef rumahan, fotografer. Mereka akan mengajar kelas singkat di hotel: “Public Speaking for Housekeepers”, “Storytelling untuk Resepsionis”, “Mindfulness untuk Tim Keamanan”. Sebaliknya, Jay menyediakan ruang, modul kerangka, dan beasiswa untuk pekerja harian.

“Aku ingin kelas yang tidak menuntut orang menjadi siapa-siapa,” kata Jay, “tetapi menolong mereka menjadi diri sendiri dengan lebih terang.”

Adaninggar mengangguk. “Dan lebih bertanggung jawab. Keramahan yang mengasuh—bukan menjilat. Tegas—bukan galak. Hangat—tanpa basah.”

Mereka tertawa; humornya sehat.

Baru setelah itu amplop kedua dibuka. Di dalamnya ada undangan pameran karya Rengganis di Jakarta: “Medium: Pulang.” Satu karya menampilkan foto sepasang kursi kosong di teras rumah. Dalam caption, Rengganis menulis: “Kami pernah duduk di sini memikirkan cara membuat orang merasa ‘disambut’ di dunia yang kerap terasa sibuk menghalau.”

“Aku sengaja membawa ini,” kata Adaninggar. “Ada hal yang belum tuntas kalian bicarakan. Kalau pun tak bisa kembali, setidaknya bisa pulang sebagai teman.”

Jay menatap undangan itu lama. “Terima kasih,” katanya pelan. “Pulang tidak selalu kembali pada alamat dahulu. Kadang kembali pada niat mula-mula.”

Adaninggar tersenyum yang tak gemerlap, lalu berpamitan. Di depan pintu, ia menambahkan, “Di media sosial, orang suka panggung. Di kehidupan nyata, orang butuh ruang. Kafe ini sudah jadi ruang, Jay. Hotelmu… semoga jadi rumah.”

.

Malam-malam berikutnya Jay menulis modul sampai dini hari. Ia menulis tentang “Landep ora natoni”: tajam tanpa melukai. Tentang “Banter ora nglancangi”: cepat tanpa menyalip adab. Ia berkonsultasi dengan Kelaswara—dosen tua di kampus negeri yang lebih suka mengajarkan etika lewat kisah-kisah wayang. Kelaswara bilang, “Sajikan teori dengan tangan terbuka, bukan telunjuk yang menggurui.”

Lalu datanglah hari pembukaan uji coba: tiga belas kamar siap; restoran kecil dengan dua belas kursi; perpustakaan tipis yang meminjam buku-buku dari kawan; dan teras yang menerima senja tanpa tiket. Umarmadi berdiri di front office, gugup tapi belajar mengatur suara. Umarmaya menjadi moderator kelas pertama: “Mendengar Lebih Dulu”. Seorang tamu dari Surabaya check-in: guru yang sedang rehat. Sepasang anak muda datang untuk menulis tugas akhir tentang “Keramahan sebagai Infrastruktur”.

Rengganis tak hadir. Tapi undangannya Jay tempel di papan tulis, sebagai pengingat: ada hal-hal yang tak bisa dipaksa agar datang, tetapi bisa diberi ruang untuk kembali.

Pada malam pembukaan itu, listrik sempat padam. Orang-orang mengeluarkan ponsel, menyalakan lampu senter. Di tengah gelap, Jay berkata, “Mari kita lakukan hal yang paling sederhana: menyebut nama. Satu-satu. Agar yang hadir tidak merasa asing.”

Satu-satu mereka menyebut nama: “Sari.” “Bima.” “Hendro.” “Zizi.” Senter ponsel menari kecil di udara. Jay menyebut namanya paling akhir: “Jay.”

Dalam gelap, nama-nama seperti lilin.

.

Kabar tentang hotel kecil yang memperlakukan keramahan sebagai ilmu menyebar lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Media lokal menulis, “Ruang Menginap, Ruang Belajar, Ruang Pulang.” Influencer datang, sebagian karena ingin memotret sudut estetik; sebagian lain karena benar-benar ingin duduk dalam kelas yang membicarakan “bagaimana menyapa tanpa memaksa” dan “bagaimana menolak tanpa menghinakan.” Ada kritik tentu: sebagian menyebutnya terlalu idealis; sebagian menganggapnya trik marketing yang cerdas.

Di sela-sela ramai itu, ada siang yang retak. Seseorang menyebarkan potongan video lama: Jay dalam rapat di Jakarta, bersuara tinggi kepada bawahan yang salah menyusun data. “Lihat,” captionnya geram, “Dulu galak sekali. Sekarang sok ramah.”

Video itu trending. Komentar beranak di bawahnya.

Jay menonton tanpa berkedip. Ia ingat hari itu: target penjualan di akhir kuartal membuat semua meja terasa seperti panggung sirkus; ia lupa bahwa manusia bukan sirkus. Ia menutup laptop, lalu berjalan ke teras, menatap langit.

Umarmaya duduk di sebelahnya tanpa suara. “Kamu ingin membela diri?” tanyanya.

“Tidak,” jawab Jay. “Aku ingin meminta maaf—bukan untuk trending, tapi untuk yang dulu ia rasakan di hadapanku. Sayangnya aku bahkan tak ingat namanya.”

“Kau bisa minta maaf kepada generasi sesudahnya,” kata Umarmaya. “Dengan mengajarkan anak-anak kita agar tidak menjadi kita yang dulu.”

Malam itu, di kelas, Jay membuka sesi dengan rekaman video itu. Ia menatap peserta satu per satu. “Aku pernah menjadi orang yang salah,” katanya. “Kesalahan itu tidak mematikan selama kita tidak membiarkannya menjadi karakter. Malam ini, mari belajar ulang. Bukan agar terlihat baik, melainkan agar menjadi manusia yang lebih pas untuk dunia.”

Di deretan belakang, seseorang menunduk menangis pelan. Seusai kelas, ia menghampiri Jay. “Namaku Lala,” katanya. “Video itu… aku lihat wajah ayahku. Ia manajer pabrik. Di rumah ia tak pernah minta maaf. Tadi malam, lewat bapak—maaf, lewat kamu—aku belajar memaafkan tanpa harus menunggu ia datang.”

Jay mengangguk. Sebuah luka yang tak pernah bertemu obat, tiba-tiba menemukan udara untuk mengering.

.

Undangan pameran Rengganis akhirnya berbuah pertemuan. Jay mengatur waktu: ke Jakarta sehari, kembali ke Malang keesokan siang. Ia pergi naik kereta malam—memilih cara paling pelan agar hati sempat menempelkan telinga ke rel. Di gerbong, ia menulis catatan untuk sesi kelas berikutnya: “Ramah bukan memaksa orang mengiyakan; ramah itu menyediakan kursi bagi jawaban ‘tidak’.”

Pameran digelar di ruang yang dulu bekas pabrik roti. Aroma tepung seolah masih tinggal di dinding. Karya-karya Rengganis berbicara dalam tanda: kursi kosong, tangga tanpa anak tangga, pintu yang sengaja tidak menutup rapat.

Mata mereka berjumpa di tengah ruangan, seperti dua orang yang tahu bahwa jeda tidak selalu berarti pergi.

“Karya-karyamu menua dengan indah,” kata Jay. “Mungkin karena kamu mengizinkan waktu menjadi co-creator.”

Rengganis tertawa. “Dan kamu, ternyata bisa menjadi guru yang pelan. Aku bangga.”

Mereka duduk di sudut yang sunyi. Tidak ada rencana kembali. Tidak ada tuntutan. Mereka hanya berbagi peta terbaru.

“Aku suka gagasan hotelmu,” kata Rengganis. “Seperti ruang kelas tanpa jam bel pulang.”

“Dan karyamu,” sahut Jay, “seperti undangan untuk tidak sibuk mengakhiri.”

“Apakah kamu marah padaku atas semua pilihan?” tanya Rengganis.

Jay menggeleng. “Tidak ada yang perlu dimusuhi. Kita hanya punya definisi rumah yang berbeda.”

Di akhir percakapan, mereka saling mendoakan: semoga sehat; semoga jujur; semoga tidak lelah menanam.

Sesudah itu Jay berjalan keluar. Jakarta mengangkat kemejanya dan menepuk-nepuk angin. Di halte TransJakarta, orang-orang menatap gawai. Seorang bapak tua menjajakan koran. Seorang anak kecil membaca buku tipis bergambar hotel dengan halaman yang bisa dilipat jadi bangunan kecil. Jay tersenyum.

.

Sementara itu, di Malang, roda bergerak. Program beasiswa yang mereka rancang bersama Adaninggar dimulai. Setiap Jumat sore, lobi hotel berubah menjadi kelas. Ada modul “Keramahan untuk Anak Magang”: bagaimana menatap mata orang tanpa mengintimidasi; bagaimana mendengar keluh tanpa mengobral janji; bagaimana mengatakan “mohon maaf” tanpa menjadi kecil. Ada kelas “Menulis Notulen yang Mengasuh”: bagaimana mengarsipkan konflik agar bisa dipelajari, bukan disembunyikan. Ada juga “Mengenal Kota sebagai Guru”: berjalan kaki menyusuri kampung, masuk warung kecil, menyapa ibu-ibu yang menggiling bumbu, menyusun peta mikro: siapa yang bisa menolong siapa.

Kritik tetap datang. Ada yang menyebut jamak: “Lelah dengan kata ‘ramah’ jika yang miskin tetap miskin.” Jay mendengar itu serius. Ia bertemu RT, ibu-ibu PKK, pedagang kecil. Mereka merancang skema: satu kamar setiap bulan untuk keluarga yang butuh rehat dari rumah yang sempit; beasiswa untuk anak pekerja harian; kelas gratis yang tak memerlukan sepaket kopi untuk duduk. Mereka menawari tetangga mengisi rak perpustakaan dengan buku-buku keluarga mereka: buku masak, buku berdebu, buku pelajaran. Hotel menjadi menyerap, bukan sekadar memantulkan.

Suatu sore, listrik kembali padam. Kali ini lama. Anak-anak yang datang untuk kelas gambar gelisah. Jay mengajak mereka ke teras. “Mari menggambar dengan suara,” katanya. “Gambarkan bunyi hujan di kepala kalian.” Mereka tertawa. Satu anak menirukan guntur, satu lagi suara motor tua, satu lagi suara ibu memanggil makan. Guru seni—teman Adaninggar—berkata, “Beginilah kota, kadang gelap, tapi kita selalu punya bunyi.”

.

Di bulan keenam, sebuah festival kota mengundang mereka mengisi diskusi: “Keramahan sebagai Infrastruktur”. Panelnya campur: arsitek kota, aktivis disabilitas, pengusaha, mahasiswa. Jay datang dengan kemeja putih yang tidak disetrika benar, karena pagi itu ia ketinggalan waktu. Di panggung, ia menceritakan hal-hal kecil: kursi di lobi yang sengaja disisakan untuk kursi roda; menu yang dibacakan pelan bagi yang matanya kabur; pelatihan menolak tamu yang memaksa karyawan tanpa rasa takut kehilangan penjualan. Ia bercerita tentang seorang petugas kebersihan bernama Raka yang berhasil menenangkan tamu dengan satu kalimat: “Bapak boleh marah, saya akan tetap di sini sampai Bapak selesai.”

“Keramahan,” tutup Jay, “bukan kosmetik. Ia fondasi. Bila fondasi rapuh, seluruh kota miring.”

Di bangku penonton, Rengganis hadir tanpa pesan sebelumnya. Seusai acara, ia menghampiri—membawa sebuah lukisan kecil: teras hotel mereka yang dulu belum pernah jadi. “Simpan. Bukan untuk mengenang, tapi untuk mengingatkan bahwa konsep bisa gagal, niat jangan.” Mereka tersenyum. Tidak bermaksud apa-apa selain bersyukur telah pernah berjalan bersama.

.

Setahun setelah pembukaan, hotel kecil itu seperti anak yang tumbuh gigi: rewel kadang, lucu sering. Ada tamu yang datang karena penasaran, pulang dengan relawan. Ada pekerja yang masuk grogi, lalu memimpin kelas kecil di kampungnya. Ada investasi kecil dari alumni kelas yang membuka peluang untuk memperbaiki atap, menambah buku, memasang panel surya.

Suatu malam, hujan menggila. Saluran air di belakang hotel meluap. Air merayap di dapur, mengancam restoran. Tim panik. Jay berdiri di tengah: “Kita belajar, kita gerak.” Rencana darurat dibuka: tamu dipindah kamar, listrik dimatikan sebagian, makanan disalurkan ke tetangga yang rumahnya kebanjiran. Kelas malam itu dibatalkan, diganti sesi darurat: “Logistik Manusiawi.” Anak-anak magang mengangkat buku-buku ke rak atas. Umarmaya menghubungi relawan. Umarmadi mengendalikan supply. Adaninggar menyiarkan nomor rekening posko banjir.

Pagi datang seperti orang yang tak jadi pergi. Air surut. Lantai lengket. Orang-orang lelah, tapi tertawa. Di papan tulis, seseorang menulis dengan kapur: “Keramahan bertahan ketika kita basah.”

Bersama sisa tenaga, Jay menjerang air jahe. Ia membagikan gelas-gelas kecil. “Untuk menghangatkan tenggorokan yang tadi berteriak,” katanya. Orang-orang tercengang, lalu meneguk. Tiba-tiba lelah menjadi kisah.

Di siang yang cerah itu, seseorang mengetuk pintu. Rengganis. Ia membawa kotak kayu kecil. “Titipan dari bengkel seni,” katanya. Di dalamnya ada plakat kecil yang bisa dipasang di dinding: “Rumah itu kadang alamat; lebih sering keputusan.”

Jay memasangnya di lobi. Tamu pertama yang membacanya adalah seorang pejalan dari Makassar. Ia menepuk bahu resepsionis. “Terima kasih sudah memutuskan rumah bersama kami malam ini.”

.

Beberapa bulan kemudian, sebuah majalah nasional menampilkan mereka di rubrik “Kota yang Belajar Pelan”. Wartawan menulis: “Di kota yang bergerak, ada ruang yang memilih melambat, bukan untuk tertinggal, melainkan untuk mengajak yang lain ikut menutup pintu keburu-buru.” Foto-fotonya sederhana: sisa jejak air di tembok; cangkir jahe; buku-buku berdiri miring; dan plakat kecil di dinding.

Banyak yang mengirim pesan. Seorang manajer pabrik meminta modul “Meminta Maaf sebagai Ketrampilan.” Seorang kepala sekolah mengundang mereka menyusun “Silabus Menyapa.” Bahkan seorang pejabat berkabar, minta diskusi tentang “Desain Pelayanan Publik yang Tidak Membuat Warga Kecil.” Jay jawab semuanya dengan satu kalimat pembuka: “Kami bukan ahli paling benar; kami hanya pemelajar paling tekun yang kami sanggupi.”

Di malam sunyi setelah hari panjang, Jay menutup buku kas. Angka-angka belum mengilap, tapi tidak memalukan. Ia menulis catatan di ujung halaman: “Jika tak bisa besar, jadilah luas; jika tak bisa cepat, jadilah tahan.”

Teleponnya bergetar. Pesan dari Rengganis: foto dua kursi di teras pameran yang sudah ditutup. “Kursi-kursi ini akhirnya punya teman duduk,” tulisnya. “Orang asing yang tiba-tiba bercerita tentang banjir dan jahe.” Jay menjawab, “Kursi-kursi itu memang dicipta untuk cerita. Seperti kita.”

Ia meletakkan ponsel, menatap lobi. Seorang tamu tua membaca buku, bibirnya membentuk huruf-huruf yang tak terdengar. Seorang anak magang menata kursi untuk kelas besok. Umarmaya tertidur di sofa setelah rapat, tangannya masih memegang spidol. Di dinding, plakat kayu kecil memantulkan cahaya malam.

Kota pelan-pelan menutup matanya. Di bawah lampu jalan yang tenang, Rengganis tetap menjadi nama di langit dalam—bukan untuk diraih ulang, melainkan untuk dikenang sebagai arah. Jay memejamkan mata, dan dalam jarak yang baik, ia mendengar sesuatu yang lama ia lupa: napasnya sendiri, yang kini tidak lagi mengejar sesuatu di luar, melainkan menyambut sesuatu di dalam.

Malam mengajar manusia agar tidak takut gelap. Pagi akan datang pada jamnya. Yang penting, kita tidak memadamkan satu sama lain.

.

Pada ulang tahun pertama hotel, mereka tidak menyelenggarakan pesta. Hanya open house kecil untuk tetangga. Ada permainan sederhana: menuliskan satu kalimat di kertas tentang pengalaman “pulang”. Kalimat-kalimat itu digantung di benang yang ditarik dari tiang ke tiang. Orang-orang membaca sambil tersenyum, kadang mengusap mata. Satu kalimat berhenti di dada Jay: “Pulang adalah ketika anak magang memanggilku ‘Pak’ tanpa takut, dan aku menjawab ‘Nak’ tanpa gengsi.”

Jay menatap plakat di dinding sekali lagi. Rumah—alamat atau keputusan. Ia memilih keputusan, setiap hari, dengan segala repot dan senangnya, dengan banjir dan jatuh-listriknya, dengan video lama yang tiba-tiba muncul dan undangan pameran yang menjahit masa kini.

Di luar, langit Malang menyimpan birunya. Di dalam, orang-orang belajar mengembalikan panas ke dalam teh, dan tenang ke dalam suara. Kota yang belajar pelan menyewa sebaris kursi di lobi; dunia yang bergerak cepat meminjam napas untuk tidak sesak.

Rengganis, di tempatnya sendiri, mungkin sedang menutup buku sketsanya, mengembus pelan. Jay menyiapkan kelas esok: “Memilih Kata agar Orang Tidak Tersesat.” Di halaman pertama modul, ia menulis kalimat yang dulu dipesankan Kelaswara: “Adab adalah alamat; sisanya menyusul.”

Dan untuk dirinya sendiri, ia menambahkan satu, yang sederhana saja: “Jangan lelah ramah, meski dunia ramai.”

.

.

.

Malang, 12 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KotaBelajarPelan #KeramahanSebagaiInfrastruktur #HospitalityIndonesia #RuangPulang

Leave a Reply