Yang Kita Bangun Yang Kita Pulihkan

“Setia pada mimpimu itu baik, tetapi lebih baik lagi bila kita setia pada manusia yang menua bersama mimpi itu.”

“Yang kita kejar akhirnya bertanya: setelah sampai, apa yang ingin kau simpan—uang, gelar, atau dirimu sendiri?”

.

Malam jatuh di Jakarta seperti tirai kamar hotel: cepat, rapi, dan diam-diam menyisakan kilap. Dari jendela apartemen di Kuningan, Panji menatap titik-titik lampu yang menyambung seperti nadi listrik. Di meja, layar laptop memantulkan wajah yang kurang tidur—sekaligus nama perusahaannya di pojok: Langgam Data, startup analitik yang baru saja menutup pendanaan seri A.

Di kamar sebelah, Sekar—pasangannya—menutup berkas rencana kurikulum sekolah yang ia bangun di pinggiran Depok: Alun-Alun Academy, sekolah berbasis proyek yang meminjam filosofi pasar rakyat—ramai, tapi setiap orang saling melihat. “Anak-anak perlu ruang untuk salah,” katanya, “dan orang dewasa perlu ruang untuk memaafkan.”

Di meja Sekar ada sketsa taman belajar, daftar narasumber, dan sebuah foto: empat orang menatap kamera di sebuah kafe di Malang—Ragil, Gunung, Klana, dan mereka berdua. Foto itu diambil pada hari ketika mereka sepakat bahwa mimpi harus dikerjakan seperti proyek kota: punya masterplan, punya drainase, punya taman untuk istirahat. Mereka berlima—anak-anak kelas menengah yang sejak kecil hafal bau karpet ruang rapat—mencoba membangun kemewahan baru: menjadi manusia yang pulang tepat waktu, sarapan pelan-pelan, dan menua bersama sahabat yang sama.

.

Ragil, arsitek yang menggambar kota dari kedai kopi, tumbuh dari keluarga kontraktor. Ia paham bahwa trotoar adalah metafora hidup: tidak semua orang memakainya, tapi ia tetap harus ada—untuk mereka yang mau berjalan kaki. Ragil menamai studionya Ruang Ragil, mengerjakan butik hotel, galeri, dan rumah sakit ibu-anak. “Bangunan itu tubuh,” ujarnya suatu malam, “ia harus bisa bernapas.”

Gunung, lulusan ekonomi yang memilih membuka bisnis kopi—Kopi Geni—di Tebet, bukan sekadar menjual minuman. Ia mengkurasi percakapan. Lantai bawah penuh pelanggan seperti terminal kecil, lantai atas menjadi tempat rapat, pameran, dan kelas public speaking. “Kota butuh tempat pulang di tengah hari,” ucapnya, “bukan hanya tempat berangkat pagi.”

Klana, dulu bintang agensi, kini konsultan reputasi. Ia pindah dari panggung iklan ke panggung sunyi: membantu rumah sakit, museum, dan lembaga sosial belajar berbicara dengan benar. “Suara paling meyakinkan adalah yang tahu kapan diam,” katanya.

Dari mereka semua, Panji paling terlihat “berhasil”. Liputan media, podcast, investor asing, foto di majalah bisnis. Tetapi di malam-malam sepi, ia menatap kaca apartemen seperti tebing transparan, berpikir: kalau semua ini jatuh, siapa yang menampungku? Dan yang selalu muncul dalam pikirannya adalah wajah Sekar—senyumnya bukan pujian, melainkan undangan untuk pulang.

.

Cerita mereka bermula lima tahun lalu, di kafe Kopi Geni, saat Jakarta belum pernah tidur. Mereka membentuk lingkaran kecil bernama Sindikasi Diam-Diam: proyek sosial di tengah bisnis. Ragil mendesain kelas Alun-Alun Academy seperti pasar kecil; Gunung menyediakan beasiswa bagi murid yang belajar cerita dan kopi; Klana melatih orang tua murid berkomunikasi tanpa marah; Panji membuka data untuk penelitian pola belajar.

“Kalau kita tak bisa memperbaiki seluruh kota,” ucap Sekar malam itu, “perbaikilah radius dua kilometer di sekitar kita. Itu cukup untuk memulai.”

Dan proyek-proyek mereka tumbuh seperti tanaman liar: tak spektakuler, tapi bertahan. Langgam Data memenangkan kontrak pemerintah, Ruang Ragil menyelesaikan butik hotel di Seminyak, Kopi Geni membuka cabang Bandung, Alun-Alun Academy menerima siswa batch ketiga, dan Klana melatih staf rumah sakit di Jember untuk berani meminta maaf.

.

Namun, retak datang diam-diam.

Panji baru kembali dari Singapura, membawa kabar investor yang ingin perusahaan “pivot lebih cepat”. Di apartemen, Sekar sedang menyiapkan modul tentang “Kota dan Diri” untuk anak-anak. Panji memeluknya, tapi pelukan itu terasa seperti izin untuk letih. Menjelang subuh, sebuah telepon dari investor menutup semua ruang: “Kami ingin angka, bukan puisi.”

Kalimat itu mematikan lampu di dadanya.

Di hari-hari berikutnya, masalah menular seperti berita. Kopi Geni kehilangan lokasi karena sewa melonjak. Ruang Ragil kalah tender karena desainnya “terlalu humanis tapi kurang efisien.” Di sekolah, Sekar dihadapkan pada orang tua yang menuntut nilai tinggi karena “anak kami harus masuk universitas ternama.” Hanya Klana yang masih tenang. “Kita butuh jeda,” katanya. “Bukan ganti jalur.”

.

Mereka akhirnya bertemu di Malang, di rumah kecil yang dulu mereka sewa bersama. Halaman sempit, pohon belimbing tua, meja kayu panjang. Mereka memasak bersama: Gunung mengulek sambal, Sekar mengukus jagung, Ragil menata piring, Klana menyiapkan permainan kejujuran.

“Aku mungkin harus merumahkan empat orang,” kata Panji pelan. “Runway tinggal enam bulan.”

Ragil menunduk. “Kadang yang bisa kita lakukan hanya memegang tangan orang yang jatuh. Tidak semua jatuh bisa dicegah.”

Sekar menggenggam tangannya. “Kalau harus memangkas, pangkas ambisimu, bukan manusiamu.”

Klana mengeluarkan notes hitam. “Kita buat rencana komunikasi yang manusiawi. Temani mereka satu per satu. Tulis testimoni jujur. Dan kamu—minta maaf. Bukan minta dimengerti.”

Malam itu mereka menyusun 12 langkah pertolongan pertama versi kota. Dari menyediakan ruang bicara dua arah, membantu menulis CV, hingga menjadikan lantai dua Kopi Geni sebagai “laboratorium resume”. “Yang beli latte dapat keberanian gratis,” kata Gunung, mencoba tertawa di antara letih.

Malam di Malang terasa panjang, tapi hangat. Untuk pertama kali dalam tiga bulan, Panji menangis—bukan karena kalah, tapi karena akhirnya memilih tidak menjadi batu.

.

Kebijakan pemangkasan diumumkan. Seperti dugaan, ada yang marah, ada yang paham. Tapi cara mereka melakukannya membuat luka tidak menjadi borok. Setiap karyawan diajak bicara empat mata, diberi waktu berduka, ditawari jembatan.

“Terima kasih sudah jujur,” kata seorang analis data sambil menahan tangis. “Saya tak pernah mendengar kata maaf seperti ini dari atasan.”

Kabar tentang laboratorium resume di Kopi Geni menyebar. Orang datang dari berbagai latar—hotel, restoran, bahkan desainer interior yang kehilangan proyek. Klana mengajar cara menulis email dengan hormat, Sekar mengajar cara memperkenalkan diri tanpa bohong, Ragil memotret portofolio dengan cahaya yang lembut, Gunung menyeduh kopi seperti doa.

“Bekerja di kota itu olahraga jantung,” ujar Klana. “Kita belajar mengatur napas, bukan menyalahkan tangga.”

Panji menyadari bahwa bisnis bukan tujuan, melainkan kendaraan. Dan kota bukan tempat berlomba, melainkan tempat belajar menepi tanpa kalah.

.

Beberapa bulan kemudian, Langgam Data mengecil tapi bertahan. Ruang Ragil memenangkan proyek galeri publik, Kopi Geni pindah ke rumah tua dengan halaman lebih lapang, Alun-Alun Academy membuka program magang sosial, dan Klana diminta memimpin tim “kotak maaf publik” di sebuah rumah sakit daerah.

Suatu sore, Sekar membawa surat dari siswanya. “Bu, aku tidak ingin jadi nomor satu kalau artinya aku harus belajar takut.” Surat itu membuat Sekar terdiam lama. Di saat lain, Ragil memperlihatkan galeri barunya. “Dinding bukan hal pertama yang kugambar,” katanya. “Yang pertama itu tempat duduk—karena di sanalah manusia mulai bicara.”

Gunung menempelkan tulisan di dinding kafe barunya:

“Ruang ini untuk singgah.
Kalau ingin menang, pergilah ke stadion.
Kalau ingin pulih, duduklah di sini.”

.

Kemudian datang ujian lain. Banjir besar melanda Jakarta. Kopi Geni cabang lama di Tebet terendam. Gunung menembus air untuk menyelamatkan buku dan mesin espresso yang miring seperti kapal. Warga ikut membantu, menjemur buku di halaman rumah. Mereka duduk di lantai, lelah tapi tertawa.

“Kita mulai lagi dari nol,” katanya, “tapi nol yang punya nama.”

Dan benar, banjir membawa mereka ke bentuk kota yang lain—lebih manusiawi. Mereka sadar, kota bukan milik pemilik gedung, tapi milik orang yang mau mengelap kaca tetangga.

.

Beberapa waktu kemudian, Langgam Data mendapat kontrak nasional dari kementerian untuk proyek mobilitas publik. Dalam presentasi, Panji menutup dengan kalimat yang tak direncanakan:

“Kami tidak menjual data. Kami menawarkan cara melihat.”

Ruangan hening. Kontrak datang, bukan karena harga murah, tapi karena pendekatan manusiawi. Panji menatap keluar jendela kantor—lampu-lampu gedung tampak lebih lembut. Ia mengetik pesan di grup: “Kabar baik. Kita tidak selamat sendirian.”

.

Tahun bergerak. Mereka menua anggun. Rambut Panji mulai beruban, garis senyum Sekar menua dengan indah, Ragil berhenti merokok, Gunung mulai tidur siang, dan Klana menulis buku berjudul Cara Meminta Maaf di Era Digital.

Mereka kembali ke Malang. Rumah kecil itu kini dihuni keluarga lain, tapi pohon belimbing masih berdiri. Mereka duduk di warung rawon depan rumah, kuah banyak, nasi sedikit.

“Menurut kalian,” tanya Sekar, “untuk apa kota dibuat?”
Ragil menjawab, “Untuk menyimpan.”
Sekar tersenyum, “Untuk mengajar.”
Panji berkata, “Untuk menemukan kembali.”
Klana menimpali, “Untuk memaafkan.”
Gunung menambahkan, “Untuk menyeduh.”

Mereka tertawa. Malam turun, dan kota—yang dulu membuat mereka berlari—kini mengizinkan mereka duduk.

.

Beberapa tahun kemudian, foto mereka di kafe Malang terpampang dalam presentasi Alun-Alun Academy. Sekar berdiri di depan orang tua murid.

“Ini teman-teman saya,” katanya. “Kami belajar bahwa sukses bukan hanya mendapatkan, tapi mengembalikan—waktu, maaf, dan kursi untuk orang lain.”

Seseorang bertanya, “Apakah kurikulum ini tidak membuat anak-anak kalah dalam kompetisi?”
Sekar tersenyum, “Kalah di mana? Kalau maksud Ibu ranking, mungkin. Tapi mereka akan menang di tempat lain: di meja makan, di hati tetangga, di ruang rapat ketika harus berkata ‘maaf’.”

.

Pada ulang tahun Kopi Geni yang kelima, mereka berkumpul. Kue sederhana, bolu pandan dari Pasar Baru. Para mantan karyawan Langgam Data datang. Sebagian sudah bekerja lagi, sebagian membuka usaha sendiri.

Klana berdiri dan berkata, “Terima kasih sudah mengajarkan kami cara berdiri.”
Tepuk tangan bergema. Panji menatap Sekar. Ia tahu, akhirnya yang mereka bangun bukan sekadar karier, tapi ruang untuk pulih.

Lampu kota berkilau di luar jendela. Suara hujan jatuh seperti lagu lama yang kini terdengar lembut.

Dan di dada Panji, satu kalimat mengendap:

Yang kita bangun, tak selalu berdiri. Tapi yang kita pulihkan—itu yang membuat kita tetap manusia.

.

.

.

Malang, 20 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #KelasMenengahAtas #Jakarta #Malang #StartupIndonesia #KopiGeni #ArsitekturHumanis #SekolahProyek #ReputasiPublik #Resiliensi

Leave a Reply