Hotel yang Mengajarkanku Melepas

“Jangan melekat pada orang, proyek, atau perusahaan.
Melekatlah pada tujuan, panggilan, misi, dan makna.
Di sanalah hatimu menemukan rumah yang tak pernah rubuh.”
NamakuBrandku

.

Jakarta selalu punya cara memeluk sekaligus menyesakkan.
Di kota yang tak pernah tidur itu, setiap lampu menandai ambisi, dan setiap ambisi menandai kesepian yang disembunyikan rapi di balik blazer, rapat, dan cangkir kopi premium.
Panji Wiranata duduk di balkon kamarnya di lantai dua puluh tujuh Hotel Gading Raya—properti bintang lima yang ia pimpin selama tiga tahun terakhir—menatap lalu lintas yang terus mengalir seperti darah dari nadi ekonomi.

Ia baru saja menandatangani laporan bulanan: occupancy 84 persen, average daily rate naik 7 persen, gross operating profit mencapai target.
Secara angka, semuanya sempurna.
Tapi di dalam dirinya, ada kekosongan yang tak bisa diukur dengan spreadsheet manapun.
Sejak istrinya, Sekartaji, pergi setahun lalu karena perbedaan yang tak pernah dijembatani, Panji mulai mempertanyakan banyak hal—terutama tentang dirinya sendiri.

Apakah kesuksesan benar-benar setara dengan kebahagiaan?
Apakah loyalitas kepada pekerjaan berarti harus kehilangan arah pada kehidupan?

Ia menatap langit Jakarta yang kelabu. Di kaca apartemennya, pantulan wajahnya sendiri tampak asing. Wajah seorang pria yang terlalu lama menjadi profesional, hingga lupa menjadi manusia.

.

Dua puluh tahun lalu, Panji memulai kariernya sebagai front desk officer di sebuah hotel di Surabaya.
Waktu itu, seragamnya kebesaran, senyumnya gugup, tapi hatinya penuh semangat. Ia jatuh cinta pada dunia perhotelan sejak pertama kali melihat tamu tersenyum karena dilayani dengan tulus.
Baginya, hospitality adalah seni menyentuh jiwa lewat hal sederhana.

Namun cinta itu perlahan berubah bentuk.
Setiap tahun, ia naik jabatan. Supervisor. Assistant Manager. Resident Manager.
Dan ketika akhirnya menjadi General Manager, cintanya pada profesi itu bukan lagi seperti nyala lilin, melainkan api unggun yang terlalu besar, menghanguskan diri sendiri.

Ia mulai hidup dari laporan, bukan dari rasa.
Ia mencintai brand, tapi kehilangan makna.
Ia melekat pada perusahaan, tapi melepaskan dirinya.

.

Pagi itu, di ruang rapat kaca yang dingin, Panji memimpin executive meeting.
“Target kuartal depan naik lima persen,” katanya.
Para manajer mengangguk—tanpa suara, tanpa cahaya di mata.
Ia bisa membaca kelelahan di wajah mereka, tapi memilih berpura-pura tidak tahu.
Sama seperti dirinya.

Selepas rapat, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Lintang, teman kuliah yang kini menjadi dosen pariwisata di Bali.

“Mas Panji, aku mau bikin kelas tamu di kampus. Temanya Hospitality Beyond Service: Menemukan Makna dalam Industri yang Lelah. Kamu mau isi?”

Panji menatap layar lama sekali. Kata “lelah” itu seperti mengetuk sisi dirinya yang sudah lama tertidur.

“Kapan?”
“Minggu depan.”
“Aku datang.”

Kalimat singkat yang akhirnya mengubah arah hidupnya.

.

Bali menyambut dengan udara asin dan langit luas.
Di bandara Ngurah Rai, Lintang menjemputnya dengan senyum yang sama seperti dua puluh tahun lalu.
Mereka makan siang di warung kecil di Sanur. Tak ada fine dining, tak ada meja rapat. Hanya dua teman lama yang saling menua dalam diam.

“Masih di industri yang sama?” tanya Lintang.
“Masih,” jawab Panji sambil menatap laut. “Tapi rasanya aku tidak lagi di tempat yang sama.”

Lintang tertawa pelan. “Maksudmu?”
“Aku kehilangan makna. Dulu aku mencintai setiap sapaan tamu, setiap aroma linen bersih. Sekarang semua jadi angka—target, laporan, bonus, kompetisi. Aku kehilangan diriku di tengah karierku sendiri.”

Lintang menghela napas. “Berarti kamu belum kalah, Panji. Orang yang bisa menyadari kehilangan, masih punya kesempatan untuk menemukan.”

.

Keesokan harinya, Panji berdiri di depan seratus mahasiswa. Ia tak membawa slide.
Ia bercerita dengan suara tenang tapi dalam.

“Hospitality bukan tentang melayani. Itu tentang membuat seseorang merasa diterima.
Namun sayangnya, semakin besar industri ini, semakin kecil ruang bagi kemanusiaan.”

Ia berhenti sebentar, menatap mata anak-anak muda di hadapannya.
“Jangan melekat pada jabatan. Jabatan akan diganti.
Jangan melekat pada proyek. Proyek akan selesai.
Jangan melekat pada perusahaan. Perusahaan bisa dijual.
Tapi lekatlah pada tujuan—kenapa kamu memulai semua ini.”

Ruangan itu senyap.
Seseorang di barisan belakang meneteskan air mata.
Bukan karena sedih, tapi karena tersentuh oleh kebenaran yang sederhana.

.

Malamnya, Lintang mengajaknya menginap di sebuah hotel butik di pinggir pantai.
Bangunannya kecil, tapi atmosfernya hangat. Di dinding lobi tergantung tulisan tangan besar:

“Kami tidak menjual kamar. Kami menyediakan ruang untuk menemukan kembali diri sendiri.”

Pemiliknya, seorang perempuan muda bernama Retna, menyambut mereka dengan teh rosela dan senyum lembut.
Retna dulunya adalah executive chef di jaringan hotel internasional.
Ia meninggalkan gaji besar dan memilih mendirikan Sakala Retreat—tempat yang menggabungkan perhotelan, alam, dan kegiatan sosial.

“Kami punya konsep Hospitality for Humanity,” katanya sambil menuangkan teh.
“Setiap tamu yang menginap ikut membersihkan pantai, belajar membuat jamu, atau mengajar anak-anak desa bahasa Inggris. Kami ingin mengingatkan bahwa pelayanan sejati bukan soal kemewahan, tapi kesadaran.”

Panji terdiam lama.
Sebuah kilas balik datang padanya—saat seorang housekeeping bernama Sari dulu memberinya amplop tabungan saat pandemi melanda. “Pak, ini tabungan saya. Untuk operasional hotel. Saya masih bisa jualan lauk di rumah,” katanya waktu itu.
Dan Panji baru menyadari, Sari-lah wajah sejati industri ini—bukan investor, bukan direktur, tapi jiwa yang tetap memberi meski kekurangan.

.

Keesokan paginya, Panji berjalan di pantai.
Ia melepas sepatu, membiarkan pasir lembut menembus sela jarinya.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa tidak terburu-buru.
Ia merasa hidup.

Ia menulis di notes ponselnya:

“Barangkali, selama ini aku bukan bekerja untuk perusahaan, tapi untuk membuktikan diriku sendiri.
Dan itu melelahkan. Karena manusia tidak diciptakan untuk menjadi target. Manusia diciptakan untuk menjadi makna.”

.

Enam bulan kemudian, Panji tidak lagi bekerja di Jakarta.
Ia pindah ke Jember, bergabung dengan sahabat lamanya—Gunungsari—yang mengelola eco-hotel berbasis komunitas.
Konsepnya sederhana tapi jujur: farm-to-table, pengelolaan sampah organik, dan pelatihan pemuda lokal.
Di sana, Panji bukan lagi “General Manager”. Ia menjadi “General Learner”.

Setiap pagi ia ikut menyapu halaman, menanam bunga, membuat kopi untuk tamu, dan berbincang dengan wisatawan tentang arti slow living.
Ia menemukan kembali jati diri yang dulu hilang di balik dasi dan target.

Suatu sore, seorang tamu bertanya,
“Pak, kenapa Bapak meninggalkan karier besar di kota hanya untuk tempat sekecil ini?”

Panji tersenyum.
“Karena di sini, saya tidak lagi melekat pada perusahaan. Saya melekat pada panggilan.”

.

Malam itu, di rooftop kecil hotel yang menghadap lampu kota Jember, Panji menulis di buku catatannya:

“Hospitality bukan tentang tempat tidur yang empuk atau layanan cepat.
Hospitality adalah tentang ruang hati yang tetap hangat meski dunia berubah.
Jangan melekat pada nama besar. Lepaskan dengan hormat.
Karena kadang, kehilangan adalah tiket menuju versi terbaik dari dirimu.”

Ia menutup buku, menatap langit penuh bintang.
Jauh di sana, Sekartaji pernah berkata padanya sebelum pergi, “Yang kamu kejar bukan karier, Ji. Yang kamu cari adalah dirimu sendiri.”
Kini ia mengerti.

Hotel bukan hanya tempat orang pulang dari perjalanan, tapi tempat manusia belajar arti pulang—kepada dirinya.

.

Beberapa tahun kemudian, eco-hotel itu tumbuh pesat.
Bukan karena promosi, tapi karena kejujuran.
Tamu datang bukan untuk pamer foto, tapi untuk belajar hidup pelan-pelan, menghargai detik, menghormati proses.
Para karyawan bahagia bukan karena gaji besar, tapi karena mereka punya rasa memiliki.

Sari—mantan housekeeping dari Jakarta—bergabung dan mengelola guest relation.
Retna dari Bali sesekali datang membawa ide kolaborasi lintas komunitas.
Bahkan Lintang membuka program live-in mahasiswa agar mereka belajar langsung tentang meaningful hospitality.

Panji tak pernah lagi ke Jakarta.
Namun ia tahu, jiwanya tak pernah sekosong dulu.
Karena kini, setiap tamu yang datang adalah pengingat bahwa hidup bukan tentang melekat, tapi mengalir.

.

Suatu pagi, ia duduk di taman, melihat anak-anak desa bermain sambil tertawa.
Ia menulis lagi di buku kecilnya:

“Jika kamu ingin membangun hotel yang tak akan pernah runtuh,
bangunlah bukan dari beton, tapi dari niat.
Bukan dari pameran kemewahan, tapi dari kehangatan.
Karena pada akhirnya, manusia tidak mengingat kamar yang mereka tempati,
melainkan perasaan yang kamu tinggalkan.”

Ia menutup buku itu dengan senyum panjang.
Dan angin lembut dari kebun melintas di wajahnya, membawa aroma pandan dan tanah basah.
Di dadanya, ada ketenangan yang tak bisa dibeli.

.

.

.

Malang, 15 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

 

#HospitalityWithPurpose #HotelierStories #NamakuBrandku #JeffreyWibisonoV #PariwisataBerarti #HidupDenganMakna #EcoHotelJourney

Leave a Reply