Ketika Dunia Menutup Pintu Kata-Kata Menyediakan Kursi

“Hidup di kota besar tak selalu tentang siapa yang paling cepat berlari, tetapi siapa yang tetap berjalan ketika panggung meredup dan kursi tak disediakan.”

.

Hujan di Sudirman

Hujan baru saja turun, menempelkan bau besi pada udara Jakarta. Cahaya lampu kendaraan memecah genangan, menulis garis-garis tipis di aspal yang hitam licin. Wirya berdiri di bawah halte TransJakarta kawasan Sudirman, memeluk map biru yang pinggirnya mulai lusuh. Di dalamnya, CV yang berkali-kali dikirim dan berkali-kali kembali sebagai keheningan. Umurnya 55. Kepala plontosnya mengilap oleh sisa gerimis, bukan oleh cahaya kemenangan, melainkan ketekunan yang tak kunjung dihitung.

Kerumunan sore menetes seperti arloji. Anak-anak muda berdasi rapi, kemeja membalut ambisi; sepatu mereka menggedek-gedek lantai halte, seakan detik bisa dikejar. Wirya menatap jam digital di dinding—19:04. Besok pukul 09:00 ia akan diwawancara di sebuah konsultan perhotelan internasional. “Kesempatan terakhir,” gumamnya, lebih seperti doa yang ragu.

Di layar ponselnya, pesan dari Umarmadi—mantan anak magang di hotel tempatnya dulu bekerja: Bang, apapun hasil besok, abang tetap guru saya. Wirya tersenyum tipis. Ia mengetik balasan, lalu menghapus, lalu mengetik lagi: Terima kasih, Mar. Yang penting kita tidak menyerah pada kata orang.

.

Lobi-Lobi yang Tak Lagi Mengundang

Dulu, lobi hotel adalah ruang hidup yang dikenalnya paling baik: karpet menelan langkah, aroma jeruk nipis tipis dari diffuser, bel bagasi berkilat. Ia pernah membuka hotel di Semarang, menghidupkan boutique resort di Bali, mendampingi tim rebranding di Yogyakarta. Ia diajar ketepatan oleh Adipati, manajer legendaris yang galak dan adil, diajar kesabaran oleh Ragil Kuning, supervisor housekeeping yang tersenyum bahkan ketika jam lembur menekan tulang.

Lalu umur memahat angka. Kelan, seorang HR dari jaringan hotel besar, menatap CV-nya berlama-lama. “Pengalaman Bapak bagus sekali, Pak Wirya,” suaranya ramah seperti sofa empuk. “Hanya… kami sedang mencari kandidat yang lebih muda. Dinamis.” Dinamis adalah kata yang lembut untuk “murah.” Wirya mengangguk sopan, menyimpan getirnya di saku jas.

Begitulah berulang. Email mengawali dengan Dear Bapak dan berakhir dengan Mohon maaf. Pintu banyak, semua dari kaca bening, ia dapat melihat peluang di dalamnya, namun tangannya selalu mentok pada sesuatu yang tak kasatmata.

.

Kota sebagai Kaca

Malam itu di Kemang, Adipati menemuinya di kafe yang lampunya kuning madu. “Wir, dunia berubah,” kata Adipati, mengaduk cappuccino sampai buihnya makin tak tentu. “Perusahaan cari kecepatan; mereka sangka pengalaman itu beban. Kau terlalu mahal untuk yang tak mau belajar menghargai.”

Wirya menatap jalan basah di luar. “Kalau pengalaman dianggap mahal, murah itu jatuhnya di mana?” tanyanya, terdengar seperti menanyakan nasib pada langit-langit.

Dalam perjalanan pulang, di dalam bus yang penuh, ia mendengar seorang ibu muda berkata pada anaknya, “Sekolah bukan supaya kamu punya kerja. Sekolah supaya kamu punya hidup.” Kalimat itu menempel pada jendela bus, memantul di mata Wirya. Ia pulang membawa kalimat itu, lebih berat daripada payung yang basah.

.

Menulis di Meja Kecil

Apartemennya di Tebet hanya berisi yang perlu: meja kayu kecil, kursi yang punggungnya retak, lampu meja yang sinarnya seperti kunang-kunang. Di ruang sempit itulah ia mulai menulis. Bukan curhat, melainkan catatan kerja—tentang resepsionis yang melafalkan nama tamu dengan hormat seperti doa; tentang server F&B yang menahan lapar saat memotret makanan tamu; tentang porter yang punggungnya bungkuk oleh koper yang memadati hari raya orang lain.

Ia menulis satu esai semalam, memolesnya sebelum Subuh, lalu mengunggah di blog sederhana. Judulnya tidak cari sensasi: “Sapu Tangan di Kantong Seragam.” Lalu “Saat Sabun Hotel Jadi Alat Ukur Kejujuran.” Lalu “Manajer yang Mengajari Saya Berkata ‘Maaf’.” Tidak ada iklan, tidak ada SEO canggih. Hanya pengalaman yang dia susun dengan kalimat yang tidak ingin menaklukkan apa-apa, hanya ingin dimengerti.

Minggu berikutnya, WhatsApp-nya berdering. Tautan tulisannya beredar di grup staf hotel. Ada yang menyalin, ada yang mengutip di LinkedIn. Seseorang dengan nama akun Sabrang (mungkin CEO perusahaan konsultan yang dulu menolak dia) membubuhkan komentar singkat: Terima kasih sudah mengingatkan kami pada manusia di balik uniform.

.

Ragil Kuning dan Surat Rahasia

“Bang, tulisan abang dibaca pas briefing pagi,” pesan Ragil Kuning. “Anak-anak housekeeping ketawa waktu abang cerita tamu yang sembunyikan handuk di koper. Kami merasa dilihat.”

Wirya mematung di depan layar. Ia teringat Ragil Kuning—ia bukan tokoh fiktif; ia nyata, perempuan kecil dengan langkah besar yang selalu sempatkan memeriksa selimut dan doa. “Ragil,” balasnya, “kalau suatu hari aku naik panggung, namamu yang kusebut duluan.”

Di malam-malam yang lebih panjang, ada pula pesan dari Umarmadi: Bang, saya ingin belajar menulis seperti abang. Supaya kalau saya tidak kerja di hotel, saya tidak hilang. Wirya menatap kursor berkedip. “Menulis itu bukan supaya kita ada pekerjaan,” ia membalas, mengingat kalimat ibu di bus; “menulis itu supaya kita punya hidup.”

.

Penerbit Itu Datang

Pagi itu cerah. Sinar matahari Jakarta memantul di kaca gedung-gedung Kuningan bagai serpihan koin. Email masuk: Redaksi Nalar Pagi—penerbit besar yang halamannya kerap ia lihat di toko buku. “Kami mengikuti esai-esai Bapak. Apakah bersedia menerbitkan kumpulan esai? Kami tertarik dengan perspektif humanis Bapak.”

Ia membaca tiga kali, memastikan itu bukan spam. Lalu ia mencuci wajah, menyiapkan kopi, dan membalas dengan tangan gemetar. Negosiasi berjalan singkat. Editor bernama Maya (nama yang mengingatkannya pada Umar Maya dalam kisah Menak) menelpon: suaranya jernih, pertanyaannya tajam. “Kami ingin buku yang tidak hanya menceritakan hotel, tapi menceritakan manusia. Bisa?” “Bisa,” jawabnya, dan di belakang kata itu ada seluruh tahun-tahun yang menunggu.

Judul dipilih: “Catatan Seorang Pekerja Hotel: Dari Lobi ke Panggung.” Disamarkan cukup supaya tak menuding masa lalu seseorang, tapi cukup jujur untuk menjadi jalan.

.

Lahirnya Buku, Lahirnya Panggung

Peluncuran diadakan di sebuah toko buku di Palmerah. Rak-rak berderet seperti barisan penonton yang tegas. Wirya mengenakan kemeja putih sederhana. Di kursi depan duduk beberapa wajah yang pernah menolaknya. Mereka tersenyum sopan, lalu menunduk pada halaman bukunya seolah di situ ada jawaban yang mereka cari.

“Kenapa menulis?” tanya moderator.
“Karena ketika pintu ditutup, saya tetap butuh jendela,” jawab Wirya. “Menulis adalah jendela yang bisa dipasang bahkan di dinding orang lain.”

Tepuk tangan. Bukan gemuruh stadion, hanya tepuk tangan yang hangat, seperti selimut. Selesai acara, seorang mahasiswa pariwisata dari Depok—mata berbinar, ransel kebesaran—menghampiri. “Bang, saya baca semua esai abang. Boleh foto?” Mereka berfoto, dan di dalam foto itu Wirya tampak lebih muda daripada usianya sendiri.

.

Undangan-Undangan

Email mengalir seperti hujan bulan sebelas. Universitas memintanya menjadi pembicara tamu. Komunitas hotel di Bandung mengundang workshop. Sebuah perusahaan e-commerce pariwisata meminta sesi motivasi. Ia tidak lagi melamar. Ia diundang. Ia tak lagi menawarkan CV. Namanya yang mengetuk pintu.

Di auditorium kampus Yogyakarta, ratusan mahasiswa duduk. Lampu panggung menerabas debu halus. Wirya memegang pointer, memandang layar yang menampilkan foto porter mengangkat koper. “Ada dua kelas tamu di hotel,” katanya, “yang membayar kamar, dan yang membuat kita tetap menjadi manusia.” Senyap. Lalu tepuk tangan yang bergerak seperti ombak.

Seorang dosen menyalami. “Pak, terima kasih. Anak-anak ini belajar bahwa pekerjaan bukan hanya profit, tapi martabat.”

.

Kritik dan Luka yang Diundang

Ketenaran kecil membawa bayang-bayang. Sebuah akun media sosial menudingnya sebagai “mantan yang sakit hati.” Ada pula yang menyindir: “Kalau bagus, kenapa dulu ditolak?” Komentar berakar di tanah yang tak pernah berjumpa fakta, tetapi tumbuh juga.

Malam-malam tertentu, Wirya membaca itu semua, merasakan pisau kecil di sela ruas jarinya. Ia menutup ponsel, menatap langit-langit. “Apakah aku sedang membalas?” tanya suara yang tak ia suka. Di meja, buku yang memajang namanya seperti tameng. Ia menunduk, mengingat Ragil Kuning yang tersenyum, Umarmadi yang belajar menulis, Adipati yang jujur. “Aku bukan balas dendam,” katanya pada lampu. “Aku menulis supaya orang di balik meja resepsionis bisa melihat dirinya seperti aku melihat mereka—utuh.”

.

Telepon dari Sabrang

Suatu siang, ponselnya berbunyi: Sabrang. Bukan nama akun; ini nama asli di layar. CEO konsultan yang dulu menolaknya. “Pak Wirya,” suara di ujung sana seperti gemerincing kunci-kunci pintu, “saya membaca buku Bapak. Kami… mohon Bapak isi sesi leadership through service untuk jajaran manajer. Honorarium sesuai standar Bapak.”

Wirya diam beberapa detik, tak ingin suaranya mengandung dendam. “Terima kasih, Pak Sabrang. Saya datang bukan untuk mengingatkan Bapak pada penolakan. Saya datang untuk mengingatkan pada yang dulu membuat kita jatuh cinta pada pekerjaan ini.”

Di ruang pelatihan itu, ia berdiri di depan puluhan manajer. Tidak ada kata-kata yang menuding. Hanya cerita—yang membiarkan setiap orang menilai sendiri. Usai sesi, Sabrang menyalaminya. “Bapak menampar kami tanpa mengangkat tangan.” Wirya tertawa kecil. “Saya hanya bercerita.”

.

Kelas Kecil di BSD

Ia membuka kelas menulis kecil di sebuah co-working space BSD. Peserta datang dari dunia hotel, restoran, penerbangan, bahkan seorang barista yang baru putus cinta. “Kita menulis bukan untuk memaafkan dunia,” kata Wirya, “melainkan untuk memaafkan diri saat dunia tak memanggil.”

Di kelas itu, Umarmadi membacakan esai pendek tentang malam-malam front office. Ragil Kuning—yang kini pindah kota—mengirim suara lewat video call, menyapa dengan tawa yang masih jenaka. Tiba-tiba kelas kecil itu terasa seperti lobi hotel: orang-orang berlalu-lalang dengan bawaannya masing-masing, dan mereka saling menyapa bukan karena nama di kartu identitas, melainkan karena mata yang saling percaya.

.

Surat untuk Adipati

Pada malam ulang tahun ke-56, Wirya menulis surat untuk Adipati yang sudah pensiun. “Bang, kau benar: dunia berubah. Tapi terima kasih karena kau membiarkan aku berubah tanpa kehilangan inti. Kau mengajariku berkata ‘maaf’ pada tamu, dan ‘terima kasih’ pada diri sendiri. Kalau besok aku tidak ada panggung lagi, aku tetap punya lobi: ruang untuk menyapa siapa pun yang datang.”

Adipati membalas singkat: “Wir, panggung dan lobi itu sama. Bedanya hanya di lampu.”

.

Uji Terakhir

Sebuah tawaran kerja datang dari hotel bintang lima di Seminyak. General Manager. Angka honorarium membuat napasnya terhenti sejenak. Seolah takdir ingin bermain-main: ketika ia sudah berjalan di jalan yang baru, pintu lama membuka diri. “Bergabunglah, Pak,” tulis email. “Kami butuh wisdom.” Ia memejamkan mata. Dulu ia meminta jadi staf; sekarang diminta memimpin.

Ia pergi ke pantai sore itu, menatap garis horizon setajam pisau. “Kalau kembali,” pikirnya, “kembalilah sebagai rumah, bukan sebagai pelarian.” Ia menulis daftar di ponsel: apa yang sanggup ia jaga, apa yang harus ia bawa, apa yang boleh ia lepaskan. Ia mengingat kelas menulis kecilnya, undangan kampus-kampus, Ragil Kuning dan Umarmadi, buku yang sedang naik cetak ulang.

Ia membalas: “Terima kasih. Izinkan saya tetap menjadi mitra pelatihan bagi tim Anda. Tapi panggung saya kini lebih besar dari satu properti.”

.

Kota yang Menjadi Ruang

Jakarta tidak berubah. Lampu-lampu masih menyala seperti bintang yang digaji. Kemacetan masih menjadi doa yang tak terkabul. Tetapi bagi Wirya, kota ini bukan lagi kaca yang memantulkan penolakan. Ia berjalan di trotoar SCBD menjelang malam, mendengar langkah sneaker anak-anak muda, tawa yang belum lelah. Ia merasa menjadi bagian dari arus—bukan karena arus menerima dia, melainkan karena ia belajar berenang tanpa harus tenggelam menyusul definisi orang.

Di sebuah seminar, ia menutup presentasi dengan kalimat yang sekarang banyak dikutip: “Kalau dunia tidak menyediakan kursi untukmu, berdirilah dulu. Saat suaramu membuat orang menoleh, satu kursi akan muncul. Kalau tidak, ciptakan bangku panjang dan duduklah bersama orang lain.

.

Ruang Kosong

Malam itu, rumahnya sunyi. Jakarta meredup di balik tirai. Di meja, naskah buku keduanya menggunung, ditandai stik warna-warni. Judul kerja: “Bahagia Bukan Fasilitas.” Ia menuliskan kalimat pembuka: “Kita sering mengira kita ditolak. Padahal kita hanya disuruh mengetuk pintu lain—yang selama ini kita kira bukan milik kita.”

Wirya mematikan lampu dan bersandar. Di dalam dada, ada ruang yang dulu kosong. Sekarang tidak lagi. Bukan karena panggung, bukan karena tepuk tangan, bukan karena honor yang lebih besar dari gaji terakhirnya—melainkan karena ia tahu tempat pulang: kata-kata. Kata-kata yang memberinya hidup, bahkan ketika pekerjaan tidak.

Dan besok pagi, ia akan kembali mengajar kelas kecil di BSD. Umarmadi membawa draft baru. Ragil Kuning mengirim video tentang standar kebersihan yang ia susun bersama timnya. Adipati mungkin datang, duduk di belakang, tertawa kecil ketika Wirya menyebutnya “manajer yang mengajari saya meminta maaf.” Sabrang mungkin mengirim undangan lain. Maya mungkin meminta bab tambahan. Kelan mungkin membaca diam-diam, lalu menurunkan memo: “Jangan menolak pelamar karena usia.”

Di kota ini, panggung memang tidak selalu menyediakan kursi. Tapi seseorang sudah belajar berdiri hingga suaranya menjadi kursi bagi orang lain.

.

.

.

Jember, 25 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompas #CeritaPerkotaan #MotivasiKarier #HospitalityLife #PublicSpeaking #MenulisEsai #TransformasiDiri

Leave a Reply