Langit Retak di Atas Kota
“Ada orang yang berjalan dengan data, ada yang berjalan dengan air mata.
Kota menuntut keduanya; tanpa itu, kita hanya menambah reruntuhan.”
.
Prolog Asap dan Sirene
Pagi merekah dengan suara sirene yang menyeret-nyeret napas kota. Asap dari gerobak sate berbaur dengan knalpot bus yang menua. Jalan-jalan utama perempatan Kuningan menampung ribuan keputusan kecil: menyeberang ketika lampu baru hendak merah, mengganti arah karena proyek pengecoran, menutup jendela mobil agar tak masuk debu. Di tengah semua itu, Adipati menatap bayangannya sendiri di dinding kaca lobi kantor: setelan abu-abu yang tak pernah salah, dasi biru tua, sepatu yang mengkilap karena disikat sebelum subuh. Ia menghafal kalimat pembuka presentasi seperti doa yang diserahkan pada dewa rapat: “Kita butuh densifikasi, mixed-use, connectivity…”
Di saku dalam jasnya ada kertas fotokopi surat tugas eksekusi. Kertas itu renyut seperti jantung tambahan, berdenyut lemah tapi tak henti. Nama yang tercetak tebal di kolom paling atas bukan namanya, melainkan “PT Wiraraja Semesta”—nama yang berdengung di telinga seperti legenda tua dari tanah asalnya: Madura. Wiraraja, sang tuan tanah urban. Adipati hanya pion yang rapi. Rapi dan bisa diganti.
Di sisi lain kota, Siti melilit kerudung warna daun tua, menyiapkan map lusuh berisi fotokopi KTP, akta lahir, kwitansi listrik, dan puluhan surat keterangan RT/RW yang berbau bensin. Ia mengikat tali sepatunya, menggelung anak rambut yang tak patuh, lalu menatap anak-anak di mushala kampung. “Doakan ya,” katanya, “biar hari ini tak ada yang luka.” Mereka mengangguk dengan mata sebesar harapan. Fadil, bocah sepuluh tahun yang paling cerewet, menenteng bola plastik yang warnanya sudah tinggal bayang-bayang. “Kalau sidangnya menang, lapangan kita enggak jadi digusur kan, Kak?” suara Fadil menggedor udara. Siti menggenggam bahu yang kurus itu. “Kalau pun kalah hari ini, kita belum selesai.”
Kota memanjang di antara mereka: gedung-gedung kaca mengapung seperti kapal raksasa, kampung-kampung kumuh seperti karang yang menolak hanyut. Di suatu titik, arus itu akan mempertemukan dua orang yang pernah saling memilih, kemudian kehilangan.
.
Sidang: Pertemuan Kedua
Ruang sidang berpendingin udara, dinginnya berlapis seperti hati yang dikunci rapat setelah kata-kata yang salah. Bendera merah putih tergantung tepat di atas kursi hakim, sedikit miring seperti sedang menahan batuk. Adipati duduk bersama tim legal perusahaan, di depan mereka tumpukan berkas seberat gedung. Siti duduk bersama para warga, diantara ibu-ibu yang menggendong bayi dan bapak-bapak yang bau seragam pabrik. Ketika nama proyek dibacakan, waktu seolah menelan ludah.
“Masih sama,” kata Siti lirih usai sesi pertama, “kau bicara dengan data, aku bicara dengan manusia.”
Adipati mendengar kalimat itu menghantam tulang rusuknya. Ingin rasanya ia menjawab: aku juga cemas, aku juga bertanya-tanya tiap memijit pulpen untuk membubuhkan paraf. Tapi suara yang keluar justru seperti salju: “Dunia tidak bisa berjalan dengan idealisme saja.”
Siti tersenyum getir. Garis senyum yang pernah menjadi rumah baginya, kini seperti pagar kawat berduri. “Dan dunia juga bisa hancur kalau hanya diisi orang-orang yang takut kehilangan posisinya.”
Percakapan berhenti di situ, bukan karena kehabisan kata, melainkan karena keduanya menemukan kaca bening yang tak terlihat—kaca bernama egomu, egoku, dan sejarah yang mengeras. Mereka pulang ke arah masing-masing. Namun kota yang pandai menyimpan dendam—di balik baliho iklan dan pagar proyek—telah mencatat pertemuan itu. Kota akan memintanya kembali.
.
Biografi yang Tak Selesai
Setiap malam, Adipati mematikan lampu ruang tamu apartemen lantai dua puluh dan membiarkan lampu dapur menyala remang. Di remang itulah ia menakar sisa-sisa dirinya. Ia tumbuh di tepi jembatan Suramadu yang kala itu baru jadi wacana. Ibunya berdagang kue apem di pasar pagi; ayahnya sopir colt sewaan yang jarang sampai rumah dengan punggung tegak. Adipati, bocah dengan otak yang tajam, digadang menjadi orang pertama yang lulus S1 di kampungnya. Ia berangkat ke Jakarta dengan uang sumbangan tetangga dan doa yang ditulis di kertas putih, ditekuk rapi, diselipkan ibunya ke dompetnya: “Jangan lupa pulang ketika benar-benar jadi orang.”
Ia pulang. Beberapa kali. Tapi pulang yang lain: pulang dengan barang bawaan yang tak bisa ditaruh di meja makan. Pulang dengan pola bicara yang kaku, dengan cara memandang yang menghitung. Ia menulis kata “progres” di kertas keluarga, menempelkan di lemari. Ibunya membaca, mengangguk tanpa paham, lalu memasak lebih banyak. Sejak itu, rumah jadi tempat singgah yang ditata seperti lobi kantor: rapi dan sedikit dingin.
Di sisi lain, Siti menyusun biografinya di gang sempit dengan tembok yang catnya mengelupas seperti kulit lelah. Ayahnya buruh cetak, ibunya penjahit baju sekolah. Mereka pindah ke Jakarta ketika Siti berusia delapan; di sekolah dasar ia berkenalan dengan “perpustakaan keliling”—truk tua yang mengantar buku ke wilayah kumuh. Siti jatuh hati pada buku-buku yang menulis nama orang kecil dengan huruf besar. Ia kuliah sambil menjadi tutor anak jalanan, lalu bersuara di forum-forum kecil yang ruangan dan mikrofon-nya hidup mati bergantian. Ia bertemu Adipati di sebuah pertemuan alumni, dan dua hal yang berseberangan itu saling tertarik: yang satu ingin memberi trotoar baru, yang satu melindungi kaki telanjang yang telah lama berjalan di trotoar lama.
Hubungan mereka runtuh bukan karena prinsip—prinsip yang sebenarnya menumbuhkan mereka—melainkan karena tiga hal kecil yang terus diulang: kalimat yang disampaikan di waktu salah, diam yang dipelihara terlalu lama, dan keangkuhan percaya bahwa waktu akan membetulkan sendiri.
.
Surat Tugas
Sepekan setelah sidang, surat tugas turun. Eksekusi kawasan Lembah Anyelir—sebutan warga untuk kampung di bawah jembatan layang—dipercepat. Ada alasan “keselamatan publik”: dinding sungai menggerus, jembatan butuh perluasan, ada rencana pelebaran jalur yang disebut “koridor hijau” di brosur investor. Koridor hijau yang tak hijau bagi siapa pun kecuali arus modal.
“Ini perintah langsung,” kata Wiraraja, CEO dengan rambut perak yang licin seperti permukaan meja rapat. “Jangan ada kekerasan, jangan ada gambar buruk untuk media. Namun timeline tidak boleh mundur.” Ia menatap Adipati yang masih muda. “Kau anak pintar. Tangani ini bersih. Kau ingat? Aku mengambilmu dari persaingan yang mendidih karena aku percaya kau bisa bersih.”
Bersih, pikir Adipati, seperti pisau bedah yang mengiris tanpa noda. Ia mengangguk. Di lift turun, ia menangkap pantulan wajahnya sendiri: ada retakan yang tak bisa disemir.
.
Malam Selasa di Mushala
Siti merapikan daftar relawan. Jokotole—pemuda bertopi lusuh yang jadi jantung logistik—membagi tugas. “Kalau aparat datang, ibu-ibu ke mushala. Anak-anak masuk ruang belajar. Bapak-bapak yang muda jaga gerbang, yang tua jaga dapur.” Siti menghela napas ketika list itu selesai dibacakan. “Kita bertahan, tapi jangan jadi pahlawan sendirian,” katanya. “Kalau keras, kita mundur. Kalau panas, kita dinginkan. Jangan ada yang terluka.”
Fadil berbisik di telinganya, “Kak, aku simpan bola di langit-langit mushala. Biar nanti kalau semua takut, kita main sebentar.”
“Kalau semua takut, kita bisa takut sama-sama,” balas Siti. “Tapi jangan lupa genggam tangan teman di sebelah.”
Malam tumpah pelan. Lampu-lampu bohlam di gang menggantung seperti bintang yang hampir putus talinya. Angin membawa suara sirene jauh entah dari mana, mungkin hanya ilusi kota yang tak pernah tidur. Siti memejamkan mata, membayangkan Adipati berdiri sendirian di balkon apartemen tinggi. Ada nyeri yang jujur menyeberang seperti kucing kampung: diam-diam tapi tak bisa diusir.
.
Hari Penggusuran
Pagi itu, truk datang seperti barisan jangkrik besi. Helm proyek berkilat di bawah matahari yang baru naik. Garis police line direntangkan, toa memekik, kamera ponsel dan kamera profesional bersaing mencari sudut. Di tengahnya, suara tak kasat mata merayap: doa yang diucapkan terlalu cepat, janji yang dipaksa terdengar manis, amarah yang diselipkan di sela-sela “kami mohon kerja samanya.”
Adipati berdiri di depan, baju putihnya memantulkan matahari. Siti berdiri beberapa meter dari situ, kerudungnya menahan angin yang membawa debu. Mereka tak saling menyapa. Bukan karena benci, melainkan karena terlalu banyak kata yang jika dibuka akan memicu banjir.
Pengeras suara memanggil. “Warga mohon menyelamatkan barang-barang. Eksekusi dilaksanakan sesuai putusan. Kami mendahulukan perempuan dan anak.” Kalimat yang disusun dengan hati-hati agar terasa manusiawi, sementara jam di pergelangan tangan mandor terus bergerak.
Penggaruk mulai menggerogoti dinding. Suara itu seperti gigi raksasa yang mengunyah sejarah kecil tiap keluarga: tanda tinggi badan anak di kusen pintu, foto wisuda yang sudah pudar, kasur tipis yang menyimpan peta mimpi.
Fadil berlari ke arah gundukan barang. “Bola!” teriaknya. Bola plastik itu menggelinding ke kaki seorang petugas. Dalam kekacauan kecil itu, seseorang tak sengaja mendorong; Fadil tersungkur, kepalanya membentur sudut kayu yang tajam. Darah mekar seperti bunga buruk di siang bolong.
Waktu berhenti. Siti menjerit, suara yang menembus lapisan-lapisan kebisingan. “Anak! Anak!” Ia menerobos garis pembatas, mengangkat Fadil yang tubuhnya ringan seperti kertas basah. Adipati melihat itu. Tanpa menunggu, ia berlari. Mobil dinas yang di belakang barisan menyala. “Buka jalan!” pekiknya, entah pada siapa.
Di kursi belakang, Siti memeluk Fadil sambil berbisik, “Sabar, Nak, sabar, sebentar lagi.” Darah menghangatkan bajunya. Adipati menekan pedal gas, melawan rambu, melawan tatapan orang yang tak paham siapa yang jahat, siapa yang baik; mungkin tak ada yang murni.
.
Ruang Putih
Ruang IGD menyedot semua warna, menyisakan putih dan bunyi bip. Perawat menutup luka, dokter menjahit dengan tangan yang sudah hafal ritme kecemasan. Siti duduk, tangan bergetar yang akhirnya tumbang ke pangkuan. Adipati berdiri di tepi pintu, kemeja putihnya ternoda merah, noda yang tidak bisa ditutupi jas.
“Kenapa harus begini?” suara Siti pecah setipis kulit bawang.
“Aku pun lelah, Ti,” jawab Adipati. Dua kata di belakangnya menahan barisan kalimat panjang: lelah jadi pecahan cermin, lelah menukar hati dengan target, lelah membenarkan sesuatu yang di dalamnya ia sendiri tak lagi percaya.
Siti menatapnya lama. Wajah yang dulu ia hapal seperti peta jalan pulang, kini menjadi peta kota yang berubah-ubah tiap bulan. “Kau bisa memilih,” katanya pelan, seolah menyodorkan selembar kertas kosong. “Kalau tidak untuk aku, untuk dirimu sendiri.”
Adipati menunduk. Di kepala, suara Wiraraja bergema: bersih, rapi, tepat waktu. Di dada, suara ibunya pelan: pulang ketika benar-benar jadi orang. Dua suara itu bertubrukan di ruang yang disterilkan.
.
Kota yang Menjadi Cermin
Berita melesat seperti kembang api. Foto anak berdarah diunggah, caption disulap; sisi-sisi dilipat agar muat dalam layar. Beberapa menyalahkan warga: “Kenapa tidak patuh?” Beberapa menyalahkan pemerintah: “Ke mana hati nurani?” Beberapa menyalahkan takdir: “Memang beginilah kota.” Wiraraja merapatkan timnya. “Kita butuh humas yang lebih cekatan,” katanya. “Dan kita butuh kambing hitam kalau perlu.”
Adipati berjalan ke jendela kantor yang membentang dari lantai ke langit. Kota di bawah seperti papan catur: mobil-mobil pion, motor bidak, gedung benteng. Ia menyentuh kaca. Pikirannya menyusun daftar: jika bertahan, gaji aman, cicilan aman, karier menanjak. Jika mundur, reputasi hancur, masa depan gelap, tetapi tidur mungkin bisa lebih tenang. Di atas kertas, pilihan pertama terlihat waras. Di dalam kepala, pilihan kedua terdengar seperti satu-satunya cara untuk tetap jadi manusia.
Ia telepon ibunya. Suara di ujung sana membawa bau dapur: bawang goreng, nasi panas, sayur bening. “Dip,” kata ibunya, “kalau ada yang kau rasa tak benar, jangan dipaksa jadi benar. Kadang rezeki itu bukan di uangnya, tapi di hati yang bisa makan enak.”
Malam itu, Adipati menulis surat pengunduran diri. Jari-jarinya gemetar ketika menekan tombol “send”. Ia menutup laptop dan untuk pertama kali dalam bertahun-tahun, ia membiarkan lampu ruang tamu menyala terang. Kota di luar tetap bising. Tetapi di dalam, sebuah ruangan kecil disapu diam yang jujur.
.
Mengemas Hidup
Keesokan paginya, Adipati mengemas hidupnya ke dalam tiga kardus: baju kerja, buku-buku rencana kota, dan kenangan yang sebenarnya tidak perlu dibawa. Ia menyerahkan kartu akses pada satpam lobi. “Terima kasih, Pak Adi,” kata si satpam yang selalu menunduk terlalu rendah. “Semoga sukses.”
Sukses. Kata yang elastis seperti karet gelang, bisa menjerat atau melepaskan. Di halte TransJakarta, Adipati berbaur dengan orang-orang yang berdiri terlalu rapat. Ia baru sadar betapa jarang ia melihat wajah-wajah ini dari dekat: keriput yang mengabadikan matahari, seragam pabrik yang menyeka peluh, bau parfum murah yang melawan debu.
Di kantor kecil milik jaringan advokasi urban, Jokotole menyambutnya dengan senyum yang tak terlalu percaya. “Serius Mas pindah ke sini? Gajinya cuma cukup beli kopi dua kali seminggu.”
“Aku sudah kebanyakan minum kopi,” jawab Adipati. Mereka tertawa, tertawa yang pelan-pelan mengendurkan ketegangan.
Siti datang belakangan, membawa map kurus yang isinya terlalu banyak. Tatap mata mereka bertemu, tidak seperti di ruang sidang, tidak seperti di IGD, tapi seperti dua orang yang melihat cermin dan akhirnya berani mengatakan: “Begitulah adanya.”
.
Hari-hari Tanpa Jas
Bekerja tanpa jas ternyata tidak otomatis membuat hati lebih ringan. Adipati harus belajar ulang: cara mengetuk pintu warga, cara mendengarkan tanpa menyela, cara menahan diri untuk tidak langsung menawarkan struktur. Ia terbiasa menyusun timeline; di sini, waktu punya gaya sendiri. Kerusakan saluran air tidak menunggu rapat, demam anak tidak menunggu audit.
Suatu siang, ia dan Siti duduk di pos ronda, mengukur ulang gang yang akan dirapikan swadaya. “Kalau drainase kita turunkan dua puluh sentimeter, air bisa lari ke sungai kecil,” kata Adipati. “Tapi kita butuh batu belah dan pasir. Dana iuran warga tidak cukup.”
“Kita ajukan proposal ke dana CSR kecil-kecilan,” balas Siti. “Tapi jangan ke perusahaan yang kemarin menggusur,” tambahnya dengan senyum miring.
“Kenapa?” Adipati sengaja menggoda.
“Karena kalau kita ambil uangnya, di poster pun nanti mereka akan minta logo lebih besar daripada nama kampung.”
Mereka tertawa. Ada tawa yang datang terlambat, tapi tetap tiba.
.
Selingkar Duka, Selembar Harapan
Fadil keluar dari rumah sakit dengan jahitan di pelipis dan kebanggaan di dada. “Aku punya bekas luka,” katanya pada teman-temannya, “kaya pahlawan di film.” Siti menepuk kepalanya. “Pahlawan bukan yang punya bekas luka, Dil. Pahlawan yang mau belajar agar orang lain tak terluka.”
Adipati mengantar Fadil pulang. Ibu Fadil menyuguhkan teh manis yang terlalu manis. “Terima kasih, Nak,” katanya. “Aku enggak tau harus marah ke siapa. Ke aparat? Ke kamu? Ke siapa? Rasanya marahku sudah capek.”
“Kalau marah capek, kita bagi dua, Bu,” kata Adipati. “Biar saya bawa separuh.” Kalimat itu terdengar konyol, tapi di ruang sempit itu, seseorang menaruh sepotong beban di lantai.
.
Wiraraja, Rapat Terakhir
Wiraraja mengundang Adipati bertemu di sebuah lounge hotel yang pencahayaan interiornya begitu cermat sampai wajah tua tampak seperti stempel uang baru. “Kau anak baik,” katanya sambil memutar gelas kosong. “Kau akan menyesal.”
“Bisa jadi,” jawab Adipati. “Tapi saya dapat tidur.”
Wiraraja tertawa kecil. “Tidur? Kau pikir orang besar tidur? Orang besar begadang. Mereka membeli tidur orang lain.”
“Kalau begitu biarkan saya kecil,” kata Adipati. “Saya ingin tetap bisa bermimpi.”
Rapat itu selesai tanpa salaman. Di lobi, Adipati melihat cermin raksasa yang memantulkan dirinya berukuran dua kali. Ia sadar: bayangan lebih besar daripada tubuh hanyalah efek pencahayaan. Di jalan pulang, ia menaiki ojek. Angin menampar wajahnya, menyingkirkan aroma lounge yang terlalu wangi.
.
Menulis di Tembok
Proyek pertama tim kecil mereka adalah merapikan gang, membuat jalur evakuasi, menambah penerangan. Malam itu, anak-anak memegang kuas, mengecat tembok yang dulunya kumal. Seseorang menulis kalimat besar dengan cat putih:
“KITA TINGGAL DI KOTA, BUKAN KOTA YANG TINGGAL DI KITA.”
Siti memotret, mengunggah tanpa tagar. “Biar kalimatnya pulang ke tempatnya,” katanya.
Adipati berdiri di bawah lampu bohlam yang baru. Ia menatap tulisan itu lama. Ada rasa getir ketika mengingat betapa lama ia tinggal di kota, dan betapa jarang kota itu benar-benar tinggal di dirinya selain sebagai angka dan projek.
Malam terakhir pengecatan, ia dan Siti duduk di tangga mushala. “Kamu marah karena aku dulu meninggalkanmu,” kata Adipati, tidak bertanya, hanya menyatakan.
“Aku marah pada caraku membiarkanmu pergi,” jawab Siti. “Karena aku menuntut kau paham air mata, sementara aku sendiri tak mau melihat lelahmu. Itu bukan cinta; itu penghakiman.”
“Lalu sekarang?”
“Sekarang,” Siti tersenyum, “aku belajar bahwa cinta kadang bukan kembali bersama. Cinta bisa berarti duduk bersebelahan memandang arah yang sama.”
.
Pameran Kecil, Kota Besar
Beberapa bulan berlalu. Kampung itu tidak jadi kawasan wisata yang gemerlap, tidak jadi headline indah. Namun drainase bekerja, anak-anak tak lagi batuk setiap malam, jalan bisa dilalui kursi roda. Di balai RW, mereka menggelar pameran foto kecil: cetak murah, frame dari sisa palet, lampu dari pinjaman tetangga. Tema pameran: “Manusia dan Denyut Kota.” Foto terakhir memajang Fadil yang menggiring bola di lapangan sempit. Di bawahnya ada caption tulisan tangan Siti: “Kita bukan korban kota, kita pengarangnya.”
Jurnalis lokal datang. “Siapa yang memimpin gerakan ini?” tanya mereka.
Siti menunjuk ke arah ramai. “Yang memimpin? Lihat saja: ibu yang membuat nasi bungkus, bapak yang mengangkat batu, anak-anak yang mengecat. Kami hanya menjaga agar suara mereka tidak hilang.”
Adipati berdiri di belakang, tidak ingin dipotret. Namun ketika kamera menoleh, ia tidak lagi menghindar. Ia paham, bersembunyi terlalu lama juga bentuk lain dari kesombongan.
.
Surat untuk Ibu
Suatu sore, Adipati naik bus malam pulang ke Madura. Jalanan panjang mengeja kembali masa kecil: kios bensin eceran, pohon randu, warung pecel dengan sambal kacang terlalu kental. Ia membawa kabar untuk ibunya. “Bu,” katanya di dapur yang masih setia dengan panci email, “aku berhenti dari perusahaan. Aku kerja di tempat yang gajinya sedikit, tapi…” Ia berhenti, mencari kata yang tidak klise.
“Tapi kau bisa makan enak,” ibunya melanjutkan. “Bukan mulutmu. Hatimu.”
Mereka tertawa. Ibunya menyodorkan apem. “Jangan lupa bawa untuk temanmu itu, yang sering kau ceritakan. Siapa namanya? Siti.”
Adipati memeluk ibunya. Di pelukan itu, ia mengizinkan dirinya menjadi anak lagi: bukan konsultan, bukan aktivis, bukan penyelamat. Sekadar anak yang belajar pulang.
.
Rekahan dan Rembulan
Di Jakarta, hujan datang seperti log-out massal. Lampu-lampu memantul di jalan basah, kendaraan menjadi arca bergerak. Siti menunggu di halte yang atapnya bocor. Adipati turun dari bus kota, memegang bungkusan apem. “Dari Ibu.”
Siti menerima, mencium aromanya. “Kota ini kadang perlu apem,” katanya. “Biar manisnya sederhana.”
Mereka berjalan menyusuri gang yang pernah mereka rapikan. Sepasang kucing melompat dari balik tong sampah, menyalak seperti dua ide yang berbeda tetapi sebentar lagi berteman. Di langit, rembulan muncul dari sela awan. Tidak bulat sempurna, tapi cukup untuk menerangi jalan pulang.
.
Apa yang Tumbuh Setelah Luka
Adipati tidak menjadi pahlawan. Siti tidak menjadi ikon. Mereka hanya dua manusia yang menolak menyerah pada peran yang mudah: antagonis dan protagonis. Di peta besar kota, nama mereka tidak tertulis. Namun di dinding-dinding gang, di jalur drainase, di lampu-lampu bohlam, di bekas jahitan Fadil, nama mereka terasa seperti doa yang dibisikkan pelan.
Suatu malam, Siti menulis di buku catatannya: “Kota tidak menuntut kita memilih antara data dan air mata. Kota butuh jembatan di dalam dada: agar data menyapa manusia, agar air mata punya arah. Dan jembatan itu dibangun dari kejujuran mengakui luka.”
Adipati menulis di secarik kertas yang ditempel di kulkas: “Jangan lupa pulang ketika benar-benar jadi orang.” Kalimat yang sama dari ibunya, kini menjadi kalimatnya sendiri, ditulis dengan tangan yang mulai tidak gemetar lagi.
Kota masih bising, masih tidak adil, masih penuh intrik. Namun seperti tanaman liar yang tumbuh di sela beton, ada yang hijau di sana—kecil, keras kepala, tetapi hidup.
.
“Bukan waktu yang menyembuhkan, melainkan keberanian menatap luka sampai ia tak lagi menatap balik.”
.
.
.
Jember, 20 September 2025
.
.
#CerpenSastra #Jakarta #UrbanStory #Kemanusiaan #KompasMinggu #CerpenIndonesia #KotaDanKita #DataDanAirMata #MenakMaduraAdaptation