Sunyi yang Tak Kita Namai

“Kesendirian kadang bukan kalah dari cinta, melainkan cara Tuhan memulihkan hati yang retak. Tenanglah dulu, biar luka selesai bicara.”

.

Hujan turun seperti suara radio tua—serak, patah-patah—ketika Pujawati berdiri di tepi halte bus koridor satu. Jakarta malam itu berbau aspal basah dan kopi sachet yang disedu di warung kecil. Lampu kota meneteskan cahaya ke genangan, menyalin bintang palsu di permukaan air. Di atas kepala, papan penunjuk kedatangan bus berkedip tak sabar: 3 menit… 6 menit… “delayed”.

Pujawati memegang buku kecil bersampul cokelat. Di halaman paling belakang, ia menulis satu doa pendek, kalimat yang setiap malam ia ulang seperti mantra:

“Kali ini permintaanku serius, Tuhan. Jika sendirian bisa membuatku nyaman, tolong jangan pertemukan lagi hati ini dengan siapapun. Matikanlah rasa ini, agar aku tidak mencintai ciptaan-Mu. Karena aku tidak ingin menyakiti ataupun tersakiti lagi.”

Ia menutup buku, menyelipkannya ke dalam tas, mengembuskan napas panjang. Dari kejauhan, derit rem bus seperti mengunci satu babak hari. Orang-orang berlarian, menangkup tas dari hujan; Payung bertumbuk seperti sisik ikan. Pujawati menunggu paling belakang. Menunggu, sebab ia tak lagi menyukai tergesa.

.

Sebelum doa itu lahir, ia pernah hidup di dalam janji. Namanya Anggalarang. Lelaki yang wajahnya mengingatkan orang pada langit selepas badai: cerah tapi menyisakan potongan awan yang tak juga bubar. Mereka bertemu di ruang seminar tentang manajemen risiko—acara yang sebagian besar diisi oleh grafik dan istilah yang tak puitis. Justru dari ketidakpuitisan itu, percakapan mereka panjang. Tentang kota masa kecil, tentang berapa cangkir kopi yang membuat jantung degup, tentang keinginan pindah ke kota yang lautnya bisa dipandang dari jendela.

Hubungan itu berjalan seperti bis malam lintas provinsi: laju, lalu terhenti di terminal asing; berdesak, lalu lega; suara mesin bergaung, musik dangdut sayup di belakang. Di sela rapat dan lembur, mereka bertukar roti bakar, membagi earphone, memotret trotoar. Anggalarang sering menyambar kalimat, “Garis edar kita akan bertemu di sebuah rumah, Puja.”—panggilan yang membuat hati Pujawati terasa diselipkan ke saku paling aman.

Sampai suatu siang, di lobi hotel tempat acara kantor, ia melihat Anggalarang tertawa dengan seseorang. Wajah itu: Kertarini, rekan mereka di proyek audit. Bukan sesuatu yang aneh sebenarnya; tapi dari jarak sejauh dua pilar, Pujawati melihat mata saling menyalakan, tangan menyentuh punggung dengan alasan menyingkirkan debu imajiner. Pada malamnya, Anggalarang berkata, “Aku bingung pada diriku sendiri.” Kalimat yang tak pernah memiliki peta. Esoknya, Kertarini mengunggah foto secangkir kopi di kafe yang sama dengan tempat ia janjian dengan Anggalarang. Caption-nya: “Beberapa janji bukan untuk dihafal, cukup untuk disyukuri.”

Pujawati tidak bertanya. Ia menelan saja—seperti menelan biji melon yang sengaja tidak dipisahkan dari buah. Tiga minggu kemudian, hubungan itu berakhir tanpa upacara. “Aku belum selesai dengan ambisiku,” kata Anggalarang. “Kita terlalu mirip, kita akan saling mengikis.”

Sehabis itu, malam-malam kembali menjadi lift yang turun terlalu cepat: membuat perutnya tertinggal di lantai atas.

.

Di kantor konsultan keuangan tempat Pujawati bekerja, angka-angka menari di layar. Ia duduk tepat di bawah AC yang menderas, menyalin data, mengirim surel, menyusun presentasi. Keahliannya adalah merapikan kekacauan orang lain dan memastikan semua tampak wajar. Di luar jendela, bundaran besar memutar arus kendaraan—peta sabar yang tak pernah kelar.

“Puja, kita lembur?” tanya Syarifah dari kubikel sebelah.

“Kalau tidak lembur, kantor ini protes,” jawabnya, tersenyum. Syarifah menatapnya sesaat lebih lama; ada iba yang tidak diucapkan. Mereka pernah mengobrol sampai dini hari, tentang lelaki yang pergi dengan pakaian yang masih disetrika oleh harapan.

Malam itu, ketika semua pulang, Pujawati naik ke rooftop gedung, membawa dua roti isi yang tadi siang tak sempat ia sentuh. Di sana, kota terlihat seperti papan sirkuit raksasa—lampu-lampu kedap-kedip, suara generator dari gedung sebelah. Ia menggigit roti pertama, memikirkan cara paling tepat untuk melupakan seseorang tanpa melupakan diri sendiri. Roti kedua ia lempar ke arah burung-burung kecil yang berani mendekat. “Ambillah,” gumamnya, “aku sedang belajar memberi tanpa takut kehabisan.”

Dalam benaknya, sebuah nama lain perlahan muncul: Pragalba. Ia mengenalnya sebulan terakhir, di halte bus yang sama. Pragalba tidak punya duri di ucapannya. Ia menatap dengan cara yang mengingatkan orang pada pohon tua: mengakar, diam, namun menaungi. Ia arsitek yang gampang jatuh iba pada bangunan tua, yang memotret pintu-pintu kusam dan jendela berkarat, yang percaya setiap dinding punya memori. Ia sering mengirim gambar tangga spiral dan menulis: “Hidup begini ya, naiknya pelan, tapi bikin pusing kalau menoleh terlalu sering.”

Sejak beberapa pertemuan, Pujawati sengaja menyederhanakan gesturnya. Tidak menatap terlalu lama, tidak tertawa terlalu penuh. Ia menjaga jarak seperti menjaga suhu air agar tetap hangat—tidak mendidih, tidak pula dingin. “Aku sedang baik-baik saja sendiri,” katanya pada dirinya, pada Tuhan, pada halaman buku catatan yang menyimpan doa itu.

.

Pada Sabtu pagi, Pujawati berbelanja di pasar lama di belakang stasiun. Jakarta terasa berisik bahkan saat pedagang belum membuka semua tenda. Seorang ibu menawarkan daun pisang, seorang bapak mengayunkan timbangan ikan bandeng. Pujawati membeli bunga kenanga dari penjual yang memelihara tiga kucing di bawah meja. “Untuk mendoakan siapa?” tanya si penjual.

“Untuk menenangkan diri,” jawab Pujawati.

Ia pulang dengan tas kain yang berat, masuk ke gang yang memuat suara radio tetangga. Di depan kontrakan, Pak Darma, tukang roti keliling, menyapanya, “Mbak Puja, roti cokelat pagi ini manisnya pas.”

“Terima kasih, Pak.” Pujawati membeli dua, menyimpan satu untuk Pak Darma, satu lagi untuk dirinya. Ia meneruskan langkah, menyalakan diffuser di kamar, menghamparkan kenanga di piring kecil. Bau wangi itu merambat ke seminar kenangan—madu, rumput basah, gerimis di awal desember.

Siang menjelang, teleponnya berbunyi.

Pragalba: “Pulang dari proyek, lewat dekat kontrakanmu. Kamu butuh apa-apa dari kota?”

Pujawati: “Kota sudah terlalu banyak memberiku. Sisakan saja langit.”

Pragalba: “Kalau begitu, maukah kau menemuiku di warung soto pojok? Aku ingin membicarakan rencana pameran foto bangunan tua. Tidak banyak orang yang mau mendengar.”

Pujawati menatap layar, menarik selimut gatuk ke ujung kaki. Doanya melayang: Jangan pertemukan hati ini… tetapi kota selalu pandai mengatur perjumpaan.

Di warung soto, mereka duduk di bangku plastik. Uap soto seperti kabut di kolong jembatan. Pragalba bercerita tentang rumah tua di Senen yang akan diruntuhkan untuk proyek apartemen. “Rumah itu menyimpan bekas jarum jam di dinding, bekas paku terkecil pun seperti monumen.” Ia memperlihatkan foto: jendela kayu yang setengah lapuk, tirai kembang yang digulung angin. “Saat kusentuh kusennya,” katanya, “aku seperti menepuk punggung seseorang yang sabar.”

Pujawati diam, lalu berkata lirih, “Kau bicara seperti orang yang kehilangan, Galb.”

Pragalba tertawa pelan. “Ya, kehilangan yang direncanakan. Kota kita jagonya membuat perpisahan seperti proyek resmi.” Ia menatap Pujawati. “Tapi kita masih boleh belajar memeluk, ‘kan? Walau sebentar.”

Kalimat itu seperti nadi di pergelangan tangan: jelas, dekat, menimbulkan cemas. Pujawati menunduk, menyentuh gelas teh. Ia ingat wajah Anggalarang yang melolos dari kepalan, ingat dirinya yang memohon pada Tuhan agar kebal. “Aku harus kembali,” katanya. “Ada laporan menunggu.”

Pragalba mengangguk. “Aku tidak akan mengejarmu. Tapi aku ada di halte yang sama, kalau semesta mau bercanda.”

.

Musim hujan meningkat intensitasnya. Suatu malam, air dari kali yang tak jauh naik ke jalan. Listrik di beberapa rumah padam. Pujawati terjaga karena notifikasi dari grup warga. Ia turun dengan celana digulung, membantu memindahkan barang-barang, meminjamkan power bank, menenangkan bayi yang takut pada kilat. Di tengah kesibukan itu, ia melihat lelaki berbaju hujan biru mendorong motor mati. Pragalba.

“Kau tinggal di sini?” Pujawati heran.

“Proyek renovasi gedung tua itu pindah dekat sini. Aku sewa kamar di ujung gang.”

Malam panjang itu mereka lewati bersama: menata kursi plastik di pos ronda, membuat mie instan untuk tetangga yang lelah, menjemur berkas surat warga yang basah. Pukul tiga, hujan berkurang menjadi rintik. Mereka duduk memandangi air yang mengalir entah ke mana. “Kau tahu,” kata Pragalba, “ketika air naik, orang-orang tak menanyakan merk jam tangan. Mereka menanyakan siapa yang perlu dibantu.”

Pujawati menatapnya. Ada kelembutan yang tak mencuri. Tak seperti tatapan Anggalarang yang selalu ingin menang. Ia ingin berkata sesuatu—apa pun—tetapi di detik itu teleponnya berdering. Nama yang sejak lama tidak muncul.

Anggalarang.

Ia ragu, lalu mengangkat. Suara di seberang terdengar letih. “Puja, aku dekat sini. Proyekku di kota ini kacau. Aku… aku tak punya teman cerita.”

Di kepala Pujawati, pintu-pintu tua terbuka, memamerkan debu. Ia melirik Pragalba, yang menatapnya tanpa tanda ingin menahan. “Kau bisa ke pos ronda, Larang,” katanya. “Kami membuat kopi untuk siapa pun malam ini.”

Anggalarang datang dengan mantel yang basah. Ia duduk, mengusap wajah dengan handuk pinjaman. “Terima kasih.” Matanya menatap sekeliling: warga yang tertidur di bangku, lampu neon yang memantul di genangan, Pragalba yang mengecek pompa air, dan Pujawati yang diam.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Anggalarang, ragu.

“Aku belajar tidur tanpa memeluk suara orang lain,” jawab Pujawati.

Anggalarang menunduk. “Aku minta maaf,” katanya. “Kau benar tentang diriku. Aku sibuk menikam bayanganku sendiri.”

Pujawati tidak membalas. Di tempat lain, seekor kucing mengeluarkan suara lapar. Pragalba memberi sepotong roti, mengelus kepalanya. “Aku akan periksa pintu belakang,” ucap Pragalba pada Pujawati, “kau dua orang punya sejarah. Kalian boleh menutupnya.”

“Tak semua sejarah perlu ditutup,” kata Pujawati pelan. “Ada yang cukup ditinggal seperti bangunan tua: berdiri di peta, menjadi pelajaran jangan membangun di tanah serap.” Pragalba tersenyum, pergi memeriksa.

Anggalarang menatapnya. “Kau terdengar asing.”

“Aku pulang ke diriku,” jawabnya.

Malam mengajari mereka cara paling sederhana untuk dewasa: memikul ember, menyalakan kompor, mengeringkan karpet, menahan dengkuran tetangga dengan tawa. Pagi tiba, banjir surut. Warga mengucap terima kasih. Anggalarang hendak pamit.

“Aku akan pindah sementara ke Bandung,” katanya. “Kalau kau mau, kita bisa—”

“Jangan menawar kemungkinan,” potong Pujawati lembut. “Aku sudah berdoa agar tidak lagi menempatkan hidupku di tangan orang lain. Aku bersyukur pada luka, karena ia mengajakku pulang.”

Anggalarang mengangguk, menyalami Pragalba, lantas pergi. Punggungnya mengecil, seperti huruf yang menghilang di baris paling bawah.

.

Ada masa ketika hidup tidak mengubah peta di luar, tetapi menggeser garis di dalam. Setelah banjir, Pujawati merasa ada sesuatu yang diam di dadanya: bukan beku, lebih seperti danau kecil yang jernih. Ia menyusuri hari dengan lebih pelan. Pagi-pagi ia membeli pisang goreng di gerobak, menyapa Pak Darma yang kini punya cucu. Sore hari ia berjalan memutari lapangan, mengamati anak-anak mengejar balon yang lepas.

Pragalba tetap muncul di halte itu. Mereka tidak sedang jatuh cinta. Mereka sedang belajar menjadi manusia yang bisa duduk bersebelahan tanpa meminjam restu masa depan. Sesekali, Pragalba membawa foto-foto bangunan: rumah toko dengan langit-langit tinggi, gereja kecil yang jendelanya dicuri orang, rumah dinas yang dipenuhi tumbuhan rambat. Ia bercerita bagaimana ia bernegosiasi dengan pengembang, bagaimana ia kalah berkali-kali, bagaimana ia diam ketika warga memerlukan ruang bermain. “Kota kita,” katanya, “seperti anak yang tumbuh cepat, bajunya sering kebesaran, kita harus menalikan pinggang dengan sabuk sementara.”

Pada suatu siang, kantor Pujawati mengirimnya ke Surabaya untuk audit selama seminggu. Kereta berangkat petang, menembus pinggiran kota, sawah yang tiba-tiba menyapa seperti selimut dingin. Di kursi yang menghadap jendela, ia kembali membuka buku catatan. Doa itu ia baca, lalu ia tambahi satu kalimat:

“Jika Engkau tetap menghadirkan orang-orang baik, ajarilah aku mencintai tanpa menuntut, menolong tanpa mengikat, hadir tanpa menahan.”

Di Surabaya ia bekerja mendata saldo dan arsip, namun malam-malam ia habiskan di Taman Bungkul, minum es degan, mengamati keluarga piknik kecil. Ia menelepon Syarifah, bercakap tentang lelucon kantor yang tidak lucu jika tidak diulang bersama. Pragalba mengirim foto jembatan tua yang baru dicat. “Ingatkan aku untuk tidak menyerah,” tulisnya.

“Kau bukan orang yang menyerah,” balas Pujawati. “Kau hanya orang yang kadang lupa minum air.”

.

Sekembalinya ke Jakarta, sebuah kabar menunggu: rumah tua di Senen yang difoto Pragalba mendapatkan penundaan pembongkaran. Komunitas warga menandatangani petisi, media lokal memberitakan, seorang anggota dewan tiba-tiba peduli. “Kau lihat?” seru Pragalba, matanya berbinar. “Tidak semua yang rapuh harus rubuh.”

Mereka merayakan dengan makan di warung soto yang dulu. Pujawati mengangkat gelas teh. “Untuk yang rapuh, yang memilih tetap berdiri.”

Pragalba tertawa. “Untuk yang rapuh, yang berani menetapkan batas.”

Di perjalanan pulang, Pragalba menunjukkan gang kecil baru yang dicat mural oleh anak-anak muda. Warna-warna berlari dari dinding ke dinding, menggambar ikan lepas, awan berjalan, dan kalimat yang membuat Pujawati berhenti: “Kita adalah kota yang belajar memaafkan dirinya.”

Ia diam lama. “Galb, aku ingin mengaku.”

Pragalba menoleh.

“Aku pernah berdoa agar hatiku dimatikan. Agar aku tidak pernah lagi mencintai. Aku takut pada rasa.”

“Aku tahu,” kata Pragalba pelan. “Aku bisa membaca jarakmu.”

“Jarak itu melindungiku, tapi juga menutup jendela. Hari-hari ini, aku mencoba membuka tirai sedikit.”

Pragalba berjalan lebih pelan. “Pujawati, aku tidak ingin menjadi badai yang menerobos jendelamu. Aku bisa menjadi pohon di luar, yang kau lihat ketika kau siap menatap.”

Kalimat itu sederhana, tapi seperti menyiramkan air ke tanah retak. Pujawati merasakan sesuatu: bukan euforia, bukan juga ketakutan. Lebih seperti suara yang lama hilang kembali menyebut namanya dengan benar.

.

Hari berganti. Di kantor, Pujawati mengajukan cuti dua hari. Ia ingin pulang sejenak ke rumah ibunya di Jember—sebuah kota yang selalu menyimpan angin kebun dan suara pedagang bakso yang tak sabar. Ibunya, Sulastri, menyambut di serambi dengan sarung yang masih bau matahari. “Kau kurusan,” komentar ibu, yang bagi Pujawati selalu berarti dua hal: anaknya kurang makan, dan hatinya sedang mengerjakan sesuatu yang berat.

Malam itu mereka duduk di dapur, mengupas salak, minum teh tebu. Ibu bercerita tentang tetangga yang menikahkan anaknya, tentang hujan yang menumbangkan pohon kamboja, tentang kabar sepupu yang membuka warung soto di pinggir jalan baru. “Kau tak ingin menikah, Puja?” tanya ibu, suara pelan, mata tidak menginterogasi.

“Bu, aku belajar hidup pelan.” Pujawati tersenyum. “Aku punya teman, baik. Tapi aku tidak ingin tergesa mengubah namaku menjadi bagian dari nama orang lain.”

Ibu memandangnya lama. “Ibumu ini bukan orang kota yang paham semua. Tapi ibu tahu satu: jangan memaksa bungamu mekar sebelum waktunya. Ia bisa patah.”

Pujawati menunduk, memeluk ibu dari samping. Di halaman, jangkrik bersuara, mengukur malam. Ia tidur dengan jendela terbuka, mengizinkan angin menyapu keningnya.

Esoknya, ia menulis lagi di buku catatan: “Tuhan, terima kasih atas rumah tempat aku boleh kembali bukan untuk bersembunyi, tetapi untuk mengingat.”

.

Kembali ke Jakarta, proyek besar kantor menanti. Ada perusahaan properti yang membutuhkan audit menyeluruh. Tim bekerja seperti pasukan semut: rapi, kuat, tak banyak berbicara. Bos mereka, Wicaksana—yang di kantor sering dipanggil Wica—memuji ketelitian Pujawati. “Kau seperti orang yang sedang merakit peta dari serpih tanah,” katanya.

Di sela sibuk itu, Pragalba mengajak Pujawati ke pameran kecil yang ia selenggarakan bersama komunitas. Foto-fotonya menempel di dinding bekas gudang: pintu tua, jendela rusak, kursi besi yang karatnya membuat pola seperti peta benua. Di salah satu sudut, ada foto jalan kampung yang banjir—mereka berdua ada di bingkai, sedang mengangkat kardus bersama, namun wajah disamarkan oleh pantulan lampu. “Kau ingat malam itu?” tanya Pragalba.

“Bagaimana mungkin lupa,” jawab Pujawati. “Malam ketika kita, dan semua orang, belajar menaruh kepentingan di kursi paling belakang.”

Pengunjung lalu mendekat, memuji tata letak, menanyakan cerita. Pujawati berdiri di samping, kadang membantu menyalakan proyektor. Ia melihat Pragalba berbicara dengan anak muda yang bercita-cita jadi arsitek. “Kau harus belajar melihat,” kata Pragalba, “bukan cuma menatap.” Pujawati tahu, kalimat itu juga untuknya.

Pameran usai menjelang larut. Mereka keluar ke jalan, menemukan kota yang telah mengecil suaranya. “Galb,” ujar Pujawati, “jika suatu hari aku siap memanggilmu rumah, maukah kau mengizinkan aku masih punya kamar untuk diriku sendiri?”

“Pujawati,” Pragalba tersenyum, “aku bahkan akan menambah jendela.”

Mereka tertawa kecil. Ada sesuatu yang tidak lagi ingin bersembunyi.

.

Suatu petang yang lain, pesan datang dari Anggalarang. “Aku di Jakarta sebentar. Bolehkah kita bertemu untuk meminta maaf dengan layak?”

Pujawati membaca, menutup ponsel, menatap jendela. Kota di luar tetap berjalan. Ia menjawab: “Tak perlu. Aku telah memaafkanmu pada malam banjir itu. Tapi terima kasih sudah belajar menyebut maaf.”

Anggalarang mengirim emotikon doa. Di kepalanya, Pujawati membiarkan pintu menutup dengan bunyi lembut.

Ia kembali pada rutinitas: bekerja, belanja di pasar, membantu posyandu, bertemu Pragalba di halte. Mereka tidak menanyakan tanggal pasti, tidak menghitung-hitung tanda. Mereka berjalan berdampingan, membiarkan kota menjadi latar, membiarkan Tuhan mengukur jarak.

Suatu malam, Pujawati menulis lagi satu kalimat di buku catatan: “Aku tidak lagi memohon agar rasa dimatikan. Aku meminta agar rasa diberi mata—supaya ia melihat batas, mengerti arah pulang.”

Di halaman sebelah, ia menuliskan empat kalimat yang kelak ingin ia bagikan kepada siapa saja yang duduk bersamanya di tepi hujan:

  1. “Tidak semua luka perlu penonton; beberapa cukup disembuhkan dengan lampu kecil di kamar.”

  2. “Cinta yang baik bukan yang membuatmu lupa siapa dirimu, tapi yang mengizinkanmu mengingat lebih jernih.”

  3. “Kesunyian bukan ruang kosong; ia adalah kelas di mana hati diajar mengeja.”

  4. “Kota boleh bising, tapi tak ada suara yang lebih keras dari keikhlasan.”

Ketika ia menutup buku, ponselnya berbunyi. Pesan dari Pragalba: “Besok pagi, matahari katanya lewat lebih pelan. Mau naik ke atap jam enam, menyambutnya?”

Pujawati tertawa. Ia membalas, “Aku bawa roti. Kau bawa kopi.”

Pagi itu mereka duduk di tepi atap, kain alas digelar, roti dibelah dua. Matahari memang datang pelan, menaiki dinding gedung, menyalami antena TV, mengeringkan sisa hujan. Pujawati menatap horizon yang memerah.

“Bagaimana kalau kita memberi nama pada semua ini?” tanya Pragalba.

“Untuk apa menamai,” Pujawati menjawab, “kalau kita bisa menjalaninya?”

Pragalba mengangguk. “Tapi jika harus, aku akan menamainya begini: pulih.”

Pujawati diam, menangkap kata itu seperti menangkap kupu-kupu agar tidak patah sayap. Ia menoleh. “Pulih,” ulangnya. “Ya, itu kata yang tidak berisik.”

Mereka tertawa. Di bawah, kota mulai mengatur ritmenya: suara motor, klakson yang teratur, pedagang sayur mendorong gerobak. Pujawati memejamkan mata sebentar. Ia tidak lagi takut pada hari baru.

.

Minggu-minggu berlalu, proyek rumah tua itu akhirnya menjadi “rumah baca”—ruang kecil di mana anak-anak boleh meminjam buku, ibu-ibu membuat arisan resep, bapak-bapak memperbaiki radio. Pragalba menghias dinding dengan foto-fotonya, sementara Pujawati menulis catatan kecil di papan tulis: jadwal baca, daftar donatur, dan kalimat yang mereka sepakati bersama:

“Pulih adalah rumah tanpa pagar tinggi. Semua boleh masuk, asal tahu cara mengetuk.”

Pada suatu sore, seorang anak perempuan mendekati Pujawati sambil memegang buku cerita. “Kak, apakah kalau kita sendirian itu dosa?” tanyanya.

Pujawati mengelus rambut anak itu. “Sendirian itu seperti belajar mendengarkan. Dosa tidak ada di sana. Dosa adalah menyakiti ketika kita bisa memilih memeluk.”

Anak itu mengangguk, kembali ke lantai dengan teman-temannya. Pujawati menatap ke arah pintu. Di ambang, Pragalba berdiri, tangan kanan memegang kaleng cat, tangan kiri mengacung, menyeka keringat. Mereka tersenyum. Tidak perlu kata.

Di pelataran, senja memantulkan warna oranye pada jendela. Angin membawa wangi kenanga entah dari halaman siapa. Pujawati menutup papan tulis, meniup sisa debu kapur di telapak tangan—debu yang membentuk garis putih tipis, seperti peta sungai yang selalu mencari laut.

Ia membuka buku catatan untuk terakhir di hari itu. Menulis:

“Tuhan, aku mengubah doaku. Jika sendirian bisa membuatku nyaman, ajarkan aku tetap mengasihi. Jika Kau mempertemukan hati ini lagi, biar aku memeluk tanpa menggenggam. Biar kota ini menjadi altar kecil, di mana aku belajar: yang suci bukan hanya pertemuan, melainkan juga keseharian.”

Ia menutup buku, meletakkannya di rak. Di luar, beberapa anak berteriak kecil ketika lampu rumah baca dinyalakan. Suaranya mengisi gang, mengusir sisa-sisa takut.

Malam datang, tapi kini Pujawati tahu: gelap bukan musuh. Gelap hanya kain yang menunggu dilukis bintang. Dan jika suatu saat ia kembali berjalan sendirian di halte—melihat papan berkedip “delayed”—ia akan tersenyum, sebab ada hal-hal yang memang patut ditunggu.

Pulih, misalnya.

.

.

.

Jember, 15 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMinggu #Kesendirian #Pulih #Cinta #Kota #Jakarta #MenakMaduraAdaptation #JeffreyWibisonoVStyle

Leave a Reply