Sunyi di Balik Lampu Kota
“Yang pelan-pelan justru bertahan lebih lama.”
.
Pagi yang Menggesa
Maya bangun bukan karena mimpi indah, melainkan deretan notifikasi ponsel yang bergetar tanpa jeda. Grup WhatsApp kantornya sudah riuh sebelum ayam tetangga sempat berkokok. Pesan-pesan berjejer: “Revisi presentasi final jam delapan.” “Tolong tambahkan data penjualan Q2.” “Harap semua sudah siap di ruang rapat, jangan terlambat.”
Ia menarik napas. Jantungnya berdegup lebih cepat dari alarm digital. Ia menatap cermin, berusaha menyamarkan wajah letih dengan rias tipis. Blazer hitam, kemeja putih, rambut disanggul rapi. Ritual pagi yang sebenarnya lebih mirip topeng.
Dari jendela apartemen dua kamar di Kuningan—yang cicilannya sering membuat Maya lebih rajin bekerja daripada alasan lain—Jakarta sudah padat. MRT lewat dengan deru besi, motor menyemut di jalanan, klakson bersahutan. Kota ini tak pernah memberi kesempatan untuk lambat.
Di lift, Maya berpapasan dengan seorang ibu muda mendorong stroller. Mereka saling tersenyum singkat. Senyum itu bukan keakraban, melainkan semacam sopan santun kota: tipis, cepat, lalu lenyap.
.
Rengga dan Angka yang Berlari
Rengga duduk di kantor startup-nya di SCBD. Jendela tinggi menghadap gedung kaca, lampu-lampu masih menyala meski pagi baru saja dimulai. Di layar laptopnya, grafik-grafik berwarna hijau dan merah menari. Investor menunggu laporan. Satu angka minus bisa membuat suasana rapat berubah seperti cuaca.
Ia menghela napas panjang. “Keteguhan adalah keterampilan, bukan kebetulan,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Tapi benak selalu dipenuhi bayangan buruk: kontrak gagal, investor mundur, gaji karyawan tertunda.
Ia ingat kalimat Marcus Aurelius yang pernah ia baca di sebuah artikel motivasi: “We suffer more in imagination than in reality.” Tapi ia tahu, imajinasi bisa lebih ganas daripada kenyataan.
Di bawah gedung, kafe hipster sudah penuh pekerja muda. Mereka sibuk memotret kopi susu bergula aren dengan kamera ponsel. Senyum, unggah, beri tagar. Seolah-olah itu bukti bahwa mereka bekerja keras. Rengga tersenyum getir. Ia tahu dirinya pun sama: sering kali lebih sibuk menjaga penampilan sukses daripada merawat isi kepala yang penuh resah.
.
Resmi di Panggung Sempit
Di Kemang, Resmi menyiapkan pameran. Panel putih berdiri rapi, lampu sorot diarahkan. Dari luar, dunia seni tampak glamor. Undangan bercetak mewah, sponsor berlogo besar, tamu dengan parfum mahal. Tapi Resmi tahu: panggung ini sempit, kursinya terbatas. Yang menentukan bukan makna karya, melainkan siapa yang duduk di barisan depan.
Ia berdiri di tengah ruangan, gaun hitam sederhana menempel di tubuh, senyum yang sudah ia latih. Padahal dalam hati, ia muak. Ia mengingat pitutur Jawa yang pernah ditanamkan ibunya: urip iku sawang-sinawang. Hidup itu hanya soal bagaimana orang melihat. Dari luar ia tampak elegan, padahal di dalam ia kesepian.
Malamnya, ia pulang melewati jembatan. Ada mural sederhana penuh kritik sosial. Cat semprot murahan, tapi jujur. Resmi berhenti, menatap lama. Ia tersenyum kecil. “Tenang adalah keterampilan, bukan kebetulan,” tulisnya di catatan ponsel.
.
Madi dan Ritme Keluarga
Madi, HR senior berusia 45, menutup pintu kantornya di Sunter. Ia naik kereta komuter ke Depok. Rambutnya mulai memutih di sisi, tubuh sedikit membungkuk, tetapi matanya masih hangat.
Di gerbong, ia mendengar anak-anak muda tertawa tentang influencer dan saham. Dunia mereka terasa cepat sekali. Madi tersenyum, merasa sedikit tertinggal, tapi juga sedikit lega: ia tak perlu ikut berlari.
Di rumah, anak-anak berlarian di lorong. Istrinya menyiapkan teh panas. Aroma gorengan menambah hangat malam. “Kadang aku iri sama anak-anak sekarang,” kata Madi. “Kerja bisa di kafe, gaji dolar.”
Istrinya tertawa kecil. “Tapi mereka juga iri sama kamu. Punya rumah, keluarga, stabil. Yang pelan-pelan justru bertahan lebih lama.”
Madi mengangguk. Hidup bukan soal cepat. Hidup soal bertahan.
.
Pertemuan di Rooftop
Malam itu, mereka berempat—Maya, Rengga, Resmi, dan Madi—bertemu di rooftop kafe Sudirman. Dari atas, Jakarta berkilau seperti samudra lampu.
“Bagaimana hidup kalian?” tanya Resmi.
“Capek,” jawab Rengga. “Tapi kalau ditanya orang lain, jawabannya: baik.”
“Hidupku cuma rapat dan deadline,” sahut Maya.
Madi tertawa kecil. “Kita semua aktor. Panggungnya berbeda, dialognya sama: bekerja, membuktikan, bertahan.”
Resmi menunduk. “Kadang kita cuma butuh didengar.”
Maya menambahkan: “Di kota, transaksi adalah jalan; hubungan adalah tujuan.”
Mereka terdiam. Suara klakson, lampu berganti, kota berdetak.
.
Meja Makan Bekasi
Sabtu pagi, Maya pulang ke rumah orang tuanya di Bekasi. Rumah sederhana dengan pohon mangga di depan. Ibunya menyiapkan sayur asem, ikan goreng, sambal.
Di meja makan kayu itu, Maya merasa lebih tenang daripada di restoran mahal. Ayahnya berkata, “Nak, jangan lupa, yang pelan-pelan justru bertahan lebih lama.”
Maya menahan haru. Ia sadar, meja makan sederhana itu jauh lebih berarti daripada meeting room ber-AC.
.
Pesta Galeri
Minggu malam, Resmi menghadiri pesta galeri di Kemang. Orang-orang berbicara soal harga lukisan, bukan makna. Resmi tersenyum kaku. Dunia seni kadang hanyalah pasar gengsi.
Dalam perjalanan pulang, ia melihat mural yang sama di bawah jembatan. Catatan kecilnya di ponsel semakin panjang: “Keteguhan adalah keterampilan, bukan kebetulan.” Catatan itu jadi jangkar.
.
Pertemuan di MRT
Suatu sore, Rengga naik MRT ke Lebak Bulus. Di gerbong penuh, ia melihat mantan kekasih. Mereka tersenyum canggung, lalu pura-pura sibuk dengan gawai.
Saat pintu terbuka, perempuan itu turun tanpa kata. Rengga menatap kosong. Ia sadar, ambisi dan kesibukannya dulu yang meretakkan hubungan. Kata-kata Maya di rooftop terngiang: “Di kota, transaksi adalah jalan; hubungan adalah tujuan.”
.
Nostalgia Kampung
Liburan sekolah, Madi membawa anak-anak ke kampung halamannya di Jawa Tengah. Sawah terbentang hijau, ayam berkokok, suara jangkrik di malam hari.
Anak-anaknya malah sibuk merekam dengan ponsel. “Mainlah langsung, jangan cuma direkam,” kata Madi.
“Buat konten, Pa,” jawab anaknya sambil tertawa.
Madi tersenyum getir. “Nak, tenang adalah jembatan antara masalah dan keputusan.” Anak-anaknya diam. Mungkin belum mengerti, tapi kata itu tersimpan di hati.
.
Krisis Kecil, Pelajaran Besar
Hidup berlanjut.
Rengga hampir kehilangan investor. Ia memilih tidur, bukan panik. Besoknya, proposal baru justru menarik investor lain.
Resmi diguncang gosip murahan. Ia menulis esai: “Tenang adalah keterampilan, bukan kebetulan.” Publik menghargainya lebih.
Maya menangis di taman kota setelah rapat panjang. Ia menulis catatan: “Yang pelan-pelan justru bertahan lebih lama.” Esoknya, ia bicara ke bos tentang batasan kerja.
Madi ditawari pindah ke startup. Ia memilih bertahan. “Kita tidak selalu bisa memilih medan, tapi kita bisa memilih cara berjalan.”
.
Kesimpulan yang Sunyi
Beberapa bulan kemudian, mereka berkumpul di rumah Madi. Anak-anak berlari di halaman, istrinya menyajikan teh panas.
“Kita ini aneh,” kata Resmi. “Punya segalanya, tapi sering merasa kosong.”
“Itu karena kita lupa,” jawab Madi, “bahwa keteguhan adalah keterampilan, bukan kebetulan.”
Maya menambahkan, “Kita memang tidak bisa memilih medan. Tapi kita bisa memilih cara berjalan.”
Rengga mengangkat cangkir. “Dan malam ini, cara berjalan kita adalah duduk, minum teh, dan diam sebentar.”
Mereka tertawa. Lampu kota tetap menyala, jalan tetap macet. Hidup berputar. Tapi di rumah sederhana itu, ada sunyi yang menyelamatkan.
Sunyi di balik lampu kota.
.
.
.
Jember, 28 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #Stoikisme #PituturJawa #KehidupanKota #MindfulnessAtWork #MotivasiKerja #CeritaInspiratif