Api Kecil di Kantor Besar

“Jangan hanya menjawab, tapi jadilah jawaban. Saat orang lain ragu, biarkan perilakumu menjelaskan siapa kamu.”

.

Jam weker di ponsel Hamzah berdering pukul 05.30, nada pendek yang tak ramah tapi selalu tepat waktu. Dari jendela kos premium—premium karena letaknya dekat MRT, bukan karena luasnya—Jakarta tampak seperti peta yang dilipat buru-buru: cekung di sana, berlipat di sini. Di kamar sempit yang disewa bertiga itu, ada gantungan dasi yang terlihat lebih meyakinkan ketimbang pemiliknya, sepatu kulit yang mengkilap seperti dua argumen yang siap dipakai, dan cermin kecil ditempel di pintu lemari tempat Hamzah mematut wajah yang ia kenal lebih baik daripada orang lain.

Ia meraih dasi biru tua, memegangnya seperti menyentuh kalimat pertama kariernya. Di saku dalam jas pinjaman sepupu, ia selipkan selembar kertas kecil: kaligrafi huruf Jawa bertinta hitam, Urip iku urup. Hidup itu menyala. Ibu mengirimnya lewat pos dua tahun lalu—kertas minyak, tulisan tergesa, doa yang tak pernah tergesa.

Di halte MRT, manusia berbaris dengan rapi, rapi melebihi isi kepala mereka. Ada yang menatap aplikasi bank, ada yang memeriksa calendar invite, ada yang memotret matahari pagi untuk membuktikan hari ini benar-benar dimulai. Hamzah berdiri dekat pintu, memegang map CV yang mulai kehilangan sudutnya. Wajah-wajah kelas menengah di sekelilingnya mengandung banyak hal sekaligus: harapan, cicilan, target, dan sedikit kelelahan yang disimpan di sudut mata.

Ia turun di Dukuh Atas. Trotoar basah oleh hujan malam yang sudah selesai, lampu kota memantul seperti sisa pesta semalam. Gedung Nusantara Strategika menegak seperti kitab bertutul kaca—sampulnya modern, isinya tebal, halamannya rapat. Hamzah menatapnya sekilas: kitab ini, entah bagaimana, akan memuat namanya.

.

Ruang tunggu lantai 12 menggantungkan aroma kopi mesin. Biji dari dataran tinggi di sebuah kabupaten yang namanya dipakai untuk nama menu hari ini. Kursi hitam minimalis berderet seperti tanda titik pada akhir kalimat yang belum ditulis. Di dinding, lukisan abstrak biru laut—tenang dan mahal. Di luar kaca, flyover merayap, kendaraan menjadi huruf-huruf yang tak henti menyusun kata “segera”.

Ada tiga kandidat lain dalam ruang itu: perempuan berblazer abu-abu yang membaca profil direksi seperti menghafal silsilah keluarga; pria berkacamata menatap grafik seolah menatap nasibnya; pemuda percaya diri yang menutup telepon sambil tertawa pelan, seperti baru saja memenangkan sesuatu yang belum terjadi. Hamzah duduk paling ujung, memegang map, mengulang dalam hati kalimat pembuka yang ia susun semalam: “Saya memulai dari hal kecil, dari ruang yang tidak terlihat. Saya belajar bahwa pekerjaan tidak hanya tentang target, melainkan cara menjaga nilai agar tidak tercecer.”

“Mas Hamzah?” suara perempuan memanggil. Seorang staf HR—namanya Rengganis—mengajaknya melangkah. Lift terasa seperti menahan detik agar tidak kabur.

Ruang wawancara tidak luas, tetapi segala hal di dalamnya membuat Hamzah merasa ia sedang memasuki miniatur kantor: meja kayu yang bersih, speaker kecil memutar musik latar yang nyaris tak terdengar, pendingin ruangan yang merapikan gerah. Di hadapannya duduk tiga orang: Rengganis dari HR, Jaya dari operasional, dan Anggrahini dari divisi analitik. Mereka tersenyum formal, tidak menakutkan, tapi jelas tidak bermain-main.

Baru saja Hamzah menyebut namanya, pintu terbuka. Seorang pria masuk dengan tablet di tangan, kemeja putih, sneakers limited yang bahkan ketenangannya terlihat mahal. Anom. Teman satu angkatan di kampus dulu. Rival kecil yang disiram ambisi remaja, berakhir dengan pertengkaran patah hati soal dana sponsor organisasi. Ia tersenyum tipis. “Dunia sempit, ya, Hamzah?”

“Semakin sempit seiring cicilan,” jawab Hamzah, setengah bercanda, setengah jujur.

Anom duduk tanpa banyak basa-basi. Tablet menyala. Di matanya ada ketelitian yang dulu membuat Hamzah kesal dan diam-diam meniru.

“Ceritakan tentang diri Anda,” kata Rengganis.

Hamzah bercerita tentang hal kecil terlebih dulu—tentang kos bertiga dengan jendela menghadap punggung gedung, tentang kopi instan yang pahitnya membuatnya waras, tentang berangkat pagi sebelum kemacetan sempat mendirikan tenda. Lalu hal yang besar: bekerja sambil kuliah, gagal sekali dua kali, belajar menanggung kesalahan tanpa menjatuhkan orang lain.

“Kenapa ingin bekerja di sini?” tanya Anggrahini.

“Karena Nusantara Strategika terlihat serius pada how, bukan hanya what,” jawab Hamzah. “Saya ingin belajar bagaimana nilai bisa bertemu strategi—bukan saling memakan.”

Jaya mencondongkan badan. “Bagaimana menghadapi tekanan?”

“Tekanan seperti air panas,” kata Hamzah. “Bisa membuat melepuh, bisa juga menyeduh teh. Kuncinya: jangan panik, tetapkan waktu, dahulukan yang bisa diselamatkan, dan beri kabar. Tenang itu hadir dari kejelasan.”

“Puitis sekali,” Anom menyisip. “Klien tak minum puisi.”

“Klien manusia,” sahut Hamzah tenang. “Sering kali yang mereka butuhkan bukan angka pertama, melainkan kalimat pertama.”

Ruangan hening sepersekian detik. Hum pendingin ruangan menjadi suara paling keras. Rengganis menahan senyum.

“Baik,” kata Anggrahini. “Kita simulasi. Saya klien yang marah karena tabel salah. Anda tim yang mengantar.”

Simulasi berlangsung seperti gerimis yang tiba-tiba: singkat, basah, menyadarkan. Hamzah tidak bermain pahlawan. Ia mengakui salah, memberi rencana koreksi, menyebut waktu presisi, dan bertanya apa dampak terbesar yang dikhawatirkan klien—lalu menutup kebocoran di situ dulu. “Mohon izin memberi pembaruan tiap dua puluh menit. Kalau saya jadi Anda, saya juga ingin kepastian, bukan janji.”

“Terima kasih,” Anom menutup. Suaranya datar, tapi Hamzah tahu nada itu. Nada orang yang sedang menimbang.

.

Seminggu kemudian, subject line yang ditunggu bertengger di kotak masuk: Offering Letter. Gaji yang tidak membuat iri siapa pun, tapi cukup membuat hidup tidak merasa malu. Tunjangan kesehatan, jatah gawai, peluang pelatihan. Hamzah membaca tiga kali, menghela napas, menyalin satu kalimat ke grup keluarga: Alhamdulillah, Bu, diterima. Balasan datang sepersekian menit: stiker tangan berdoa, kata “bangga” yang ditulis terlalu cepat, doa yang selalu ditulis pelan.

Hari pertama, gedung menelan Hamzah seperti ikan besar menelan ganggang: mulus, tanpa canggung. Kartu akses, onboarding, pengantar compliance, two-factor authentication, formulir BPJS, dan daftar kanal Slack yang panjangnya seperti daftar tamu resepsi pernikahan. Ada #general, #rnd, #sales, #red-alert, #random, #meme-tapi-aman, #lowongan-sepupu, #ngaji-kamis. Stand-up pagi, deep work siang, huddle sore. OKR ditayangkan di monitor seperti papan skor: what dan how diberi angka, key result green berarti tidur lebih nyenyak.

Anom menjadi atasan langsung. Ia masuk kantor membawa sedan hibrida warna abu-abu, jam tangan tipis, dan kebiasaan mengetuk meja ketika berfikir. Di rapat, ia menyebut utilization dan billable hours dengan nada orang yang menyebut harga cabai—serius, tapi tak perlu berdoa. Di pantry, ia minum sparkling water dan memandangi labelnya seolah membaca puisi. Segala hal pada dirinya sopan, tetapi jarak yang ia beri membuat orang ingin rapi.

Hamzah belajar ritme: membaca data seperti membaca cuaca—memahami arah angin, menandai titik lembab, menimbang kapan payung perlu dibuka agar tidak patah. Ia mencatat kebiasaan baru di ponsel: menjawab DM klien < 15 menit, mengirim ringkasan rapat 3 poin, tidak menggunakan istilah yang hanya dimengerti tim sendiri. Ia juga menulis satu pedoman sederhana: “Kalau kamu tidak bisa membuat seseorang lebih tenang, setidaknya jangan membuatnya lebih bingung.”

Kantor terasa beradab oleh aturan. Tetapi hidup terus menyelipkan hal-hal kecil yang tidak ada di buku manual. Misalnya, makan siang. Tim memilih restoran di mal seberang: interior kayu, lampu gantung seperti buah pir, menu minuman lebih panjang dari lamaran pekerjaan. “Aku cicil EV,” kata rekan sebelah sambil mengaduk salad yang terlalu hijau. “Bunga lagi cantik.” “KPR kedua nih,” ujar yang lain, “passive income harus dipupuk.” “Minggu depan brunch di tempat baru, ada menu kombucha, katanya bagus buat gut health,” kata Maya, konsultan muda rapi yang bahkan koma pada kalimatnya tampak bersih.

Hamzah memesan ayam panggang dan air putih. Di ponselnya, aplikasi anggaran seperti rel kereta: tidak boleh dilompati separuh papan. Ada pos cicilan laptop, pos split bill listrik kos, pos kiriman ibu, pos emergency fund yang belum pernah benar-benar menjadi darurat, dan satu pos kecil ia beri nama menyenangkan diri wajar—beli buku, kopi enak seminggu sekali, tiket bioskop kelas Reguler. Yang VIP biar tetap menjadi mimpi, agar jiwa tidak kehabisan mainan.

“Lu nggak pengin ikut brunch?” tanya Maya.
Brunch-ku nasi uduk depan kos,” jawab Hamzah, “sambal kacangnya self-care paling jujur.”
Tawa kecil meletup di ujung meja. QR split bill beredar. Dalam kepalanya, Hamzah menulis catatan: Jangan meminjam gaya hidup hanya supaya tampak nyambung.

Malam itu lembur. Layar bertahan pada derajat kecerahan yang sama, tapi mata manusia tak punya brightness bar. Pukul 23.17, ponsel bergetar. Klien mengabarkan ada angka tidak cocok. Di Slack, kanal #red-alert berkedip seperti sirene yang sopan. Anom mengetik cepat, Maya menyiapkan visualisasi dengan warna netral agar mata tidak merasa dihakimi, Hamzah memeriksa data lineage—dari raw, staging, hingga model. Ditemukan satu baris yang tidak disaring sesuai kebijakan baru.

Hamzah merakit kalimat. “Kami melihat ketidaksesuaian pada tabel 3. Kami perbaiki dan kirim pembaruan pukul 00.30. Terima kasih sudah mengingatkan.” Anom menambahkan satu baris ke atas: “Maaf atas ketidaknyamanan.” Dua pintu dibuka bersamaan: maaf dan terima kasih. Sirkulasi udara menjadi manusiawi.

Listrik kantor sempat berkedip, UPS mengelus punggung server, generator menyanyi suara rendah. Hujan menekan jendela seperti telapak tangan. Hamzah mengingat pelatihan darurat yang jarang dibaca: siapa menghubungi siapa menit pertama, apa yang diselamatkan lebih dulu, bagaimana cara memberi kabar agar orang tidak menunggu tanpa jam.

“Bagus,” kata Anom singkat setelah masalah dibereskan. Satu kata. Kadang satu kata lebih menghangatkan daripada lima paragraf motivasi.

.

Kelas menengah ke atas punya daftar belanja yang sering mirip: kursi ergonomis, air purifier, subscription wellness, gym 24 jam, co-working dengan kopi gratis, private class bahasa asing, staycation triwulanan, mattress topper yang diberi nama bintang. Pada akhirnya, yang dicari bukan barangnya, melainkan perasaannya: aman, tenang, berguna, punya arah. Hamzah membeli versi yang bisa ia gaji: kursi bekas tapi tegak, purifier kecil di dekat kasur, jogging di taman kota. Ia tidak ingin terlihat miskin di hadapan diri sendiri, tapi ia juga tidak berambisi terlihat kaya di hadapan orang lain. Ia ingin terlihat cukup di hadapan kewarasan.

Di LinkedIn, orang-orang memamerkan produktivitas seperti memamerkan otot. “Bangun jam 4, baca buku satu jam, meditasi 20 menit, cold shower,” tulis seseorang. “Crushed quarterly target,” tulis yang lain, dengan foto senyum menatap jauh. Hamzah menulis satu kali: “Kita tidak sedang berlomba terlihat hebat; kita sedang bergiliran menjadi berguna.” Likes tidak banyak. Ia lega: kesenangan paling tenang adalah tidak harus menjadi pusat.

“Lu harus lebih sering nulis,” saran Anom. “Brand lu kosong.”
“Aku takut melupakan yang harus dikerjakan,” balas Hamzah.
“Orang menilai yang kamu kerjakan dari yang kamu ceritakan.”
“Orang juga merasakan apa yang kuceritakan dari yang benar-benar kukerjakan.”
Perdebatan itu berhenti karena rapat. Tidak semua perang perlu pahlawan.

Pada satu Kamis siang, tim town hall. Direksi bicara tentang strategi, runway, dan “menguatkan inti sambil tumbuh ke samping.” Deck rapi, angka bulat, grafik halus. Setelah itu, sesi tanya jawab. Seorang staf bertanya soal kenaikan gaji. Ruangan jadi lebih hidup daripada saat tepuk tangan barusan. Direktur tersenyum, memberi jawaban yang tidak menyakitkan—sepatah dua patah “insya Allah”—seni bicara di perusahaan adalah menyalakan harapan tanpa membakar gudang.

.

Telepon dari kampung datang seperti lagu masa kecil. “Kapan beli rumah?” tanya Ibu polos.
Hamzah tertawa. “Rumahku sementara ini orang-orang baik, Bu.”
“Jangan lupa, yang paling baik harus dirimu dulu,” ujar Ibu. “Aja rumangsa bisa, nanging biso rumangsa.

Ia menutup panggilan, menatap kertas Urip iku urup. Api kecil bisa menghangatkan; api besar bisa membakar. Besarnya bukan soal nyala, melainkan siapa yang duduk di sekitarnya.

Minggu pagi, ia berlari di city park. Anjing kecil berpita, kereta bayi, sepeda lipat mahal, dan komunitas yoga meminjam rumput. Ia duduk di bangku, membuka catatan berjudul: “Apa yang Dibeli Kelas Menengah Atas dan Apa yang Sebenarnya Mereka Cari.” Kolom kiri: membership gym, kursus finansial, liburan Jepang, kursi ergonomis, air fryer. Kolom kanan: rasa aman, rasa tenang, rasa berguna, rasa punya arah. Ia mencentang satu: rasa tidak sendirian.

Seorang bapak tua duduk di dekatnya, mengikat tali sepatu. “Kerja, Nak?”
“Iya, Pak.”
“Di kantor besar?”
“Lumayan besar.”
“Senang?”
“Cukup.”
“Cukup itu baik. Yang terlalu penuh tidak menampung apa-apa.”
Hamzah mengangguk. Di usia berapa pun, kalimat bijak bisa datang dari orang yang sedang menunduk.

.

Satu Senin, jadwal menggila: empat presentasi, tiga stakeholder, dua ruangan, satu hari yang terlalu pendek. Hamzah menulis cue kecil di kertas: mulai dari masalah, beri wajah pada angka, tinggalkan ajakan, bukan permintaan maaf. Presentasi kedua, mikrofon mati. Ia tidak panik; ia angkat suara secukupnya, minta izin jeda, ulang kalimat penting. Presentasi keempat, seorang VP menantang asumsi. “Kenapa model begini? Kenapa tidak begitu?” Hamzah tidak memaksa; ia mengajak jalan-jalan sebentar ke spreadsheet, menunjukkan bagaimana satu pilihan memegang tangan pilihan lain. Ia tidak memenangkan semua, tapi ia tidak kehilangan diri.

Keluar ruangan, Anom menepuk bahunya. “Kamu menyala tanpa menjerit,” katanya. Hamzah tertawa kecil. Urip iku urup.

Pada malam yang lain, Maya bercerita ia ingin melanjutkan studi—magister di luar negeri. “Aku nabung,” katanya. “Kadang merasa ketinggalan.”
“Ketinggalan dari siapa?” tanya Hamzah.
“Dari yang kupikir harus kukejar.”
Hamzah memutar gelas kertas di tangannya. “Kalau kita terus mengejar bayangan, yang terlihat hanya punggung diri kita sendiri.”
Maya tertawa pelan. “Kamu selalu begini?”
“Bergantung siapa yang bertanya.”
Mereka tertawa. Di luar jendela, senja memberi warna yang tidak punya nama.

.

Beberapa bulan kemudian, kampus lama mengundang Hamzah untuk career talk. Aula tidak penuh, tapi cukup. Ia naik ke panggung kecil, menatap wajah-wajah yang ia kenal karena dulu ia juga duduk di sana—membawa kertas, menyimpan resah, menanti petunjuk yang bisa diambil pulang.

“Rahasia wawancara bukan pada kata-kata,” katanya. “Rahasia ada pada cara kita menghidupkan ruangan.” Ia berhenti sebentar, membiarkan kalimat itu mencari kursinya sendiri. “Ruang tunggu bukan tempat orang kalah. Ruang tunggu itu seperti teras. Di sana kita menata napas, menyusun keberanian. Jangan hanya menjawab, jadilah jawaban.

Ia menyelipkan pitutur Jawa: Ajining diri ana ing lathi—harga diri ada pada ucapan; maka jawablah dengan hati. Dan satu kutipan Inggris yang mudah ditelan: “Clarity is kindness.” Kejelasan adalah kebaikan. “Dalam dunia kerja, update adalah doa,” tambahnya. “Beritahukan kemajuan, bahkan ketika belum selesai. Orang cemas karena gelap, bukan karena jalan belum rampung.”

Seorang mahasiswa bertanya, “Bang, gimana kalau merasa nggak pantas di lingkungan yang semua serba hebat?”
“Rasa itu manusiawi,” jawab Hamzah. “Jangan diusir. Ajak saja duduk. Bilang: aku akan tetap bekerja, kamu boleh tetap merasa. Nanti kamu bosan sendiri.”

Tepuk tangan tidak panjang, tapi hangat. Hamzah turun panggung, bertemu seorang dosen lama yang berambut lebih putih, tatapannya tetap ramah. “Kamu menemukan caramu sendiri,” kata dosen itu. Hamzah mengangguk. Finding a way adalah mata kuliah yang tidak pernah lulus seratus.

.

Malam itu, kantor setengah bernapas. Lampu menyusut tinggal garis-garis tipis, komputer menutup kelopak. Anom menghampiri meja Hamzah, bersandar. “Dulu kita bertengkar soal dana,” katanya.
“Dulu kita sama-sama muda,” jawab Hamzah.
“Kita masih muda.”
“Sekarang kita belajar menjadi muda yang berguna.”

Anom menatap layar kosong, melihat bayangannya sendiri. “Aku iri,” ia bilang pelan. “Kamu terlihat tenang.”
“Tenang itu latihan,” sahut Hamzah. “Dan latihan itu cicilan.”
Anom tertawa kecil. “Cicilan yang panjang?”
“Yang penting tidak macet.”

Mereka tertawa bersama. Di luar kaca, Jakarta berdengung rendah—seperti kota yang sedang menenangkan dirinya.

.

Dalam perjalanan pulang, MRT terakhir masih menyisakan kursi. Hamzah duduk, menatap bayangannya sendiri di jendela. Lampu gerbong bergoyang halus, seperti suara ibu ketika menidurkannya dulu. Di saku, kertas Urip iku urup. Ia sentuh pelan.

Kelas menengah punya cara mengukur hidup: ada yang menimbangnya dalam kilometer penerbangan, ada yang mengukur dari jumlah rapat, ada yang menghitung dari digit rekening. Hamzah memilih mengukur dari banyaknya ruang yang ia buat menjadi lebih hangat: ruang tunggu, ruang rapat, ruang obrolan, ruang kepala.

Esok, akan ada rapat baru, diskon baru, masalah lama. Tetapi ada satu yang ingin ia jaga seperti sumbu di ujung lilin: keyakinan bahwa jawaban terbaik sering lahir dari orang yang tidak sibuk membuktikan diri—melainkan sibuk menjadi berguna. Dan kota, entah bagaimana, terasa sedikit lebih pulang.

.

.

.

Jember, 28 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #SastraUrban #KelasMenengah #KehidupanKantor #WawancaraKerja #PituturJawa #Storytelling #Jakarta

Leave a Reply