Jembatan Nyala: Kisah Kepemimpinan di Tengah Riuh Kota
“Pemimpin bukan yang paling lantang, melainkan yang paling sanggup menenangkan.”
“Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa.”
.
Malam di kota itu seperti kaca retak yang tetap memantulkan lampu. Hujan tipis turun sejak magrib, menempel di helm pengendara, mengilat di zebra cross yang catnya mulai pudar. Di tikungan dekat halte bus, satu lampu jalan padam sejak seminggu lalu. Di sanalah Jayeng selalu memperlambat laju motornya—bukan karena takut tergelincir, melainkan karena ia tahu seorang anak SD kerap menyeberang di sana sepulang mengaji.
Kota, seperti manusia, kadang lupa mengurus sendi-sendi kecil yang menopang hidup. Lampu yang mengawasi malam, garis putih di aspal yang memandu langkah, bangku di taman yang membuat tua muda duduk sejajar. Kepemimpinan, pikir Jayeng, bukan tentang ambisi menyalakan semua lampu sekaligus—melainkan tentang keberanian menyalakan satu lampu yang paling darurat, paling dekat dengan luka orang-orang di sekitar.
Pagi berikutnya, ia tiba di kantor: sebuah ruang kerja open-plan di lantai enam gedung perkantoran yang dindingnya separuh kaca. Perusahaan tempatnya bekerja adalah gabungan firma kecil: konsultan logistik-kota yang mengurus jalur kirim UMKM, penataan kios, dan proyek kecil-kecilan bersama komunitas warga. Tidak glamor, tidak pula berisik. Tetapi sejak dua bulan lalu, tekanan datang deras: klien menunda pembayaran, tenggat bertumpuk, gosip PHK beredar lewat bisik-bisik mesin kopi.
Rengganis—rekan seangkatan sekaligus penyeimbang nafas tim—menyapa dari meja sebelah. “Sayang kota, sayang diri, ya?” selorohnya sambil menunjuk sepatu Jayeng yang masih basah.
“Sayang semuanya, asal bukan sekadar kata,” jawab Jayeng. Ia mengganti sepatu, menyampirkan jaket, lalu menatap papan tulis yang kemarin ia isi: dua kolom, Jelas dan Bingung. Di bawah Bingung, tulisan spidol menumpuk: “Aturan lembur tidak konsisten”, “Siapa memutus prioritas proyek?”, “Apa yang boleh dipublikasikan Sasi di medsos?”, “Gosip PHK—benarkah?”.
Ia menutup mata sejenak, mengingat dua kalimat yang ia garis bawahi di buku catatannya. Yang satu dari pitutur Jawa, yang satu dari perspektif global: Adil tanpa pilih kasih dan Leadership is not about being in charge, but about taking care of those in your charge. Keduanya bertemu di satu titik: kejelasan.
“Teman-teman,” ia membuka rapat singkat yang sudah dijadwalkan. “Kota tidak butuh pidato, kita tidak butuh jargon. Kita butuh tiga hal: kejelasan, keberanian, dan kebersamaan. Hari ini kita luruskan jalur kerja dan jalur hati.”
Umar, teknisi yang sering dipinjam warga untuk memperbaiki pompa air, mengangguk kecil. Madi—penjaga gudang merangkap motor pengantar, yang selalu berbicara seperti mengiris bawang: singkat, tajam, dan bikin mata berkaca—menghela napas lega. Sasi, admin dan pengelola media sosial kantor, menyiapkan notulen di laptopnya.
“Poin satu,” lanjut Jayeng. “Lembur. Tidak ada lembur ‘kasihan’, yang ada lembur ‘dibutuhkan’. Poin dua: prioritas proyek. Mulai hari ini, keputusan prioritas tidak lahir di lorong. Kita bikin papan kanban yang bisa dilihat semua. Poin tiga: komunikasi ke publik. Sasi, kamu memegang kunci. Ingat: suara kita harus menenangkan, bukan memprovokasi.”
“Dan gosip PHK?” sela Madi.
Jayeng menatap lurus. “Tidak ada daftar pemutusan kerja. Ada penyesuaian proyek. Kalau ada pengurangan jam kerja, itu kita bicarakan di meja, bukan di rumor. Adil tanpa pilih kasih.”
Sunyi sekejap, lalu ruang penuh anggukan. Tidak ada tepuk tangan. Yang ada hanyalah perasaan persis seperti setelah hujan: udara bersih, jalan tetap macet, tetapi jarak pandang membaik.
.
Di luar kantor, kota menguji kesabaran dengan alat andalannya: kemacetan dan notifikasi grup WhatsApp warga. Di grup “Warga Gang Kenanga”, sebuah video 17 detik tersebar: seorang petugas keamanan menegur pengendara ojek daring yang berhenti tepat di depan gerbang RW, suaranya naik satu oktaf. Potongan video itu berhenti di titik paling panas. Komentar pun bermekaran.
“Petugasnya kasar!”
“Kota ini makin tidak ramah.”
“Kenapa sih orang susah sopan?”
Jayeng menonton kiriman itu di warung soto dekat gang. Rengganis duduk di seberang sambil meniup sendok. “Kalimat yang lahir dari amarah selalu ingin anak: amarah yang lain,” gumamnya.
“Kalau begitu, kita beri anak yang berbeda,” balas Jayeng.
Malam itu mereka mengundang perwakilan ojek, petugas keamanan, dan pengurus RW ke balai kecil samping mushola. Umar menggelar kabel untuk proyektor pinjaman, menayangkan video versi lengkap dari CCTV, bukan potongan. Di rekaman utuh, terlihat pengendara berhenti karena menunggu penumpang yang kelelahan; petugas menegur karena jalur ambulans sisi kanan harus kosong; volume suara menaik karena deru mesin menelan nada. Tidak ada baik mutlak, tidak ada buruk mutlak. Hanya keterbatasan yang saling menabrak.
Sasi mengangkat tangan. “Boleh saya usul? Kita cat tanda ‘Drop-off 3 Menit’ di depan gerbang, pasang kursi lipat untuk penunggu, dan buat pamflet sopan santun satu halaman. Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa: kalau menunggu, minggir setengah meter. Kalau menegur, turunkan satu nada.”
Warga mengangguk. Petugas keamanan menyalami pengemudi ojek. Video baru pun diunggah ke grup: bukan permintaan maaf yang memelas, melainkan rekaman dialog yang utuh. Riuh mereda. Malam terasa punya catatan kaki: konflik tidak selalu butuh pemenang; kerap hanya butuh penerang.
.
Di kantor, tekanan berubah wujud. Bukannya hilang, ia menjadi sesuatu yang bisa dipegang. Sistem kanban membuat arus kerja terlihat, sehingga mereka berani bicara data, bukan perasaan. Di satu sore yang lengas, klien meminta pengiriman rute baru untuk UMKM binaan di sisi timur kota—wilayah yang jalannya sempit, sering banjir, dan kerap dijadikan tempat parkir liar.
“Kita harus potong jalur,” kata Madi. “Kalau tidak, barang basi sebelum sampai.”
Umar menatap peta digital. “Potong jalur boleh, asal tidak memotong hati. Jangan paksa kurir masuk gang yang warga sedang takziah, misalnya.”
“Gimana kalau kita negosiasi jam,” sambung Rengganis. “Bukan jalur. Jam yang menyinggahi rasa.”
Akhirnya mereka menyusun rute unik: pengantaran tidak mengikuti garis terpendek, melainkan ritme gang: jam pasar, jam sekolah, jam orang pulang kantor. Di laporan, angka efisiensi hanya naik tipis, tetapi di lapangan, keluhan turun drastis. “Arah benar lebih lama; arah salah lebih cepat menghukum,” tulis Sasi di caption saat mempublikasikan cerita kecil itu.
Malamnya, di teras kos yang sempit, Jayeng mengirim pesan ke grup kantor: “Urip iku urup. Hidup itu menyala. Terima kasih karena memilih jadi nyala kecil yang konsisten, bukan kembang api sesaat.”
.
Kota, seperti biasa, menyisipkan ujiannya secara tiba-tiba. Badai datang di siang bolong, angin mendorong awan seberat kenangan. Air turun tanpa memohon izin, menyalakan tanda bahaya di peta banjir. Grup warga kembali ramai—kali ini bukan dengan debat, melainkan panik. Video air masuk rumah, foto trafo meletik, emoji menangis.
Umar bolak-balik ke gardu. “Listrik aman kalau air sadar diri,” selorohnya getir. Ia menyusun prioritas: rumah dengan pasien lanjut usia, rumah dengan bayi, kios yang menyimpan obat. Sasi mengatur hotline darurat, menyusun template pesan yang jelas agar tidak menakut-nakuti. Madi bersama relawan membuat dapur dadakan di pos ronda: nasi hangat, telor kecap, sayur lodeh—menu yang tahu cara menenangkan perut dan kepala sekaligus.
Jayeng memimpin pendataan tanpa megafon. Ia mengetuk pintu satu per satu, memastikan ada salam dan bertatap muka. “Bantuan datang duluan ke yang paling perlu,” ucapnya singkat. “Adil tanpa pilih kasih.” Tak perlu retorika; hanya urutan dan alasan.
Di gang sempit yang airnya selutut, seorang anak kecil terpeleset tepat di bawah lampu jalan yang padam. Ibunya menjerit; anak itu bangkit dengan dengkul lecet. Jayeng berlari, memangku sebentar, lalu memandang ke atas: bohlam mati yang sudah ia lapor dua kali. Rasanya seperti menatap mata kota yang terpejam ketika tidak semestinya.
Malam itu, setelah air surut, mereka menggelar aksi kecil. Tanpa berteriak, tanpa spanduk. Umar memanjat tangga lipat, mengganti bohlam dengan cadangan yang ia simpan. Madi memegang senter, Rengganis memegang payung, Sasi memotret sebagai bukti laporan resmi esok hari. Jayeng berdiri di bawah, menjaga agar siapa pun tidak tersandung kabel. Tidak heroik; hanya kerja. Lampu menyala. Bukan terang yang menyapu gelap, tetapi terang yang cukup untuk mengantar langkah.
“Kenapa tidak menunggu petugas?” tanya seorang warga.
“Karena malam tidak menunggu,” jawab Jayeng. “Besok kita tetap lapor dan minta perbaikan permanen. Malam ini kita menjaga agar tidak ada yang jatuh lagi.”
Di grup warga, Sasi menulis: “Mikul dhuwur mendhem jero—mengangkat yang patut dipuji, menyimpan yang patut dirahasiakan. Tidak perlu sebut nama. Yang penting, lampunya menyala.” Foto lampu yang baru berganti itu menyebar cepat, bukan sebagai bahan pamer, melainkan sebagai undangan: kota ini bisa diurutkan pelan-pelan bila kita mengurutkan diri.
.
Tentu saja, perubahan selalu mengundang bayangan. Dua hari setelah banjir, isu baru menetes: “Sumbangan kemarin transparan enggak?” tulis seseorang di grup, namanya disamarkan. “Jangan sampai ada yang memanfaatkan situasi.” Tuduhan halus—tajamnya justru di halus itu.
Jayeng meminta waktu lima belas menit di balai. Tanpa banyak kata, ia menayangkan buku kas: pemasukan, pengeluaran, foto struk belanja, sisa saldo, rencana distribusi. “Kalau ada yang merasa tandatangan ganda, kita cek bareng. Kalau ada yang merasa belum kebagian, sebutkan, kita atur ulang. Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa.”
Seseorang berdiri—Jaya, tetangga yang suka mengatur, suaranya berwibawa karena sering dipinjam pengeras suara. “Saya hanya khawatir. Pernah ada kasus dana tidak jelas.”
“Khawatir itu wajar,” jawab Jayeng. “Yang tidak wajar kalau kita pelihara khawatir lebih lama dari data. Mari kita kedepankan angka. Kalau ada yang ingin memegang kas, silakan. Kita bagi peran, kita bagi percaya.”
Ruang balai mengendur. Jaya menunduk, lalu mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah tidak mempermalukan. Saya siap membantu pegang kas bergilir.”
“Terima kasih sudah berani bicara,” balas Jayeng. Kepemimpinan, ia tahu, bukan panggung untuk jadi pahlawan, melainkan meja panjang untuk merawat rasa aman.
.
Di kantor, perubahan yang mereka rawat seperti benih yang sabar. Proyek rute UMKM perlahan berjalan, klien mengirim testimoni ringkas: “Keluhan berkurang. Waktu tempuh konsisten.” Tidak spektakuler, tetapi terukur. Mereka mengunggah cerita kecil di media sosial kantor, bukan untuk dipuji, melainkan agar kota tahu: profesi apa pun bisa berkontribusi merapikan simpul-simpulnya sendiri.
Suatu sore, Sasi mengirim pesan ke grup: “Kita butuh satu inisiatif yang bukan soal kerja, tetapi soal warga.” Rengganis menimpali: “Bagaimana kalau kita cat ulang zebra cross dekat halte? Catnya pudar. Anak-anak sering menyeberang.”
“Tidak boleh sembarangan,” ujar Umar. “Harus minta izin Dinas.”
“Kita ajukan,” potong Jayeng. “Kalau izinnya lama, kita bantu siapkan. Memayu hayuning bawana itu bukan menunggu, tetapi menjemput rida.”
Permohonan mereka—dibuat sederhana dan jelas—direspons cepat. Tiga pekan kemudian, mereka berdiri di bawah matahari pagi bersama petugas dinas, kuas di tangan, cat putih mengilap di kaleng. Madi, yang biasanya dingin, tersenyum lebar saat garis pertama ditarik, lurus seperti niat yang bersih. Anak-anak sekolah berjejer di pinggir, bersorak kecil saat garis terakhir rampung.
“Zebra cross hanyalah cat di aspal,” kata Jayeng kepada seorang bocah yang bertanya kenapa harus dicat ulang. “Tapi cat ini adalah kalimat yang melindungi kaki kecilmu.”
Bocah itu mengangguk—mungkin belum paham benar, mungkin justru paham lebih daripada orang dewasa.
.
Waktu bergerak, seperti lajur kendaraan yang muter tanpa henti di bundaran. Satu per satu, simpul kecil yang mereka urusi tidak langsung membuat kota menjadi surga. Macet tetap macet, hujan tetap turun semaunya, notifikasi warga tetap cerewet. Tetapi ada sesuatu yang pelan-pelan mengubah cara mereka menatap pagi: rasa mampu.
Pada peringatan hari jadi kampung, warga membuat panggung kecil di lapangan. Bukan untuk hiburan semata, melainkan untuk saling menceritakan apa saja yang telah mereka lakukan setahun ini. Bukan pencapaian raksasa—yang ada justru rangkaian kecil yang jika dijahit menjadi karpet: lampu jalan yang menyala, zebra cross yang terang, dapur darurat yang siap, rute pengantaran yang ramah jam, buku kas yang jelas.
Rengganis naik panggung, membaca puisi yang ia tulis sendiri:
“Kota, jangan menilai kami dari menara
Nilailah dari cara kami menuntun yang paling kecil menyeberang
Lampu boleh padam, hati kami tidak”
Sorak-sorai tidak pecah; yang hadir lebih banyak senyum yang menekan bibir, mata yang berkaca. Di tengah kerumunan, Jayeng berdiri bukan di depan, melainkan di samping. Ia tidak ingin panggung; ia ingin jembatan.
Satu per satu, orang menyalaminya. “Terima kasih sudah mengajari kami untuk tidak menunggu,” kata seorang ibu penjual lontong. “Terima kasih sudah membuat kami percaya diri,” sambung seorang pemuda pengangguran yang kini menjadi koordinator parkir resmi. “Terima kasih karena kota ini terasa tetangga,” kata seorang lansia yang kini berani melintasi zebra cross tanpa anaknya.
Jayeng menunduk. “Kita melakukannya bersama,” jawabnya. Karena memang begitu cara kerja hal-hal yang bertahan: dikerjakan bersama, dipikul ringan, dirahasiakan kelebihannya, dibuka luas kekurangannya agar bisa diperbaiki.
Di ujung acara, Sasi menempelkan poster kecil di papan pengumuman:
“Urip iku urup.
Kau tidak harus menerangi seluruh kota.
Cukup jaga satu nyala, agar yang lain berani menyalakan miliknya.”
Malam itu, lampu-lampu sepanjang gang seperti lebih bening. Barangkali bohlamnya masih sama, barangkali tidak. Tetapi jelas ada yang berubah: cara orang memandang terang.
.
Menjelang tengah malam, Jayeng berjalan melewati tikungan dekat halte—tempat lampu padam dulu bersarang. Kini terang, garis zebra jelas, dan hujan hanya tersisa di daun-daun. Lalu lintas sudah berkurang, tetapi kehidupan kota terasa belum ingin tidur: suara kucing, radio kecil dari warung yang belum menutup, tawa pelan anak kos yang baru pulang shift.
Ia berhenti sebentar, merapikan stiker pengumuman yang mulai lepas. Di balik kaca halte, refleksi wajahnya seperti kabur—tanda ia perlu tidur. Ia menarik napas, lalu mengulang dalam hati kalimat yang menjadi rutenya selama ini: Pemimpin bukan orang yang berdiri paling depan, melainkan yang berdiri paling dekat dengan luka.
Kota tidak tiba-tiba menjadi sempurna. Tetapi kini, di tikungan yang dulu gelap, ada terang cukup untuk membaca langkah. Ada garis putih yang mengikat nalar agar menyeberang sabar. Ada jembatan kecil dari hati ke hati—dibangun dari paku-paku kerja yang nyaris sunyi.
Jayeng menatap lampu itu untuk terakhir kali malam itu, kemudian melangkah pulang. Bukan dengan perasaan menang, melainkan dengan perasaan mengerti: besok pagi, ada lampu lain yang menunggu dinyalakan. Dan barangkali, lampu itu bukan di tiang jalan—melainkan di dada seseorang yang hampir padam.
“Kalau tak bisa mempercepat kota, pelankan dirimu untuk membuat orang lain merasa tiba.”
Dan di sanalah kepemimpinan menemukan namanya: bukan di sorot lampu panggung, melainkan di nyala kecil yang menjaga kota tetap manusia.
.
.
.
Jember, 27 Agustus 2025
.
.
#JembatanNyala #KepemimpinanUrban #PituturJawa #EmpatiKota #SolidaritasWarga #TransformasiSosial #MemayuHayuningBawana