Jejak yang Hilang, Angin yang Menuntun

“Hidup kadang menuntut kita lentur, bukan keras kepala. Fokus, bukan marah-marah. Beranilah mengubah pola; kesempatan akan menemukan jalan pulang.”
“Yang berubah perlahan sering bertahan paling lama.”
“Metode yang jujur membuat hati tidak berkelana tanpa arah.”

.

Pagi di Jember datang dengan suara sepeda motor yang berdesakan, bau tanah sisa hujan semalam, dan wangi gorengan dari gang sempit. Jayeng berdiri di depan cermin kamar kosnya yang hanya sebesar selembar poster. Di matanya, pantulan wajah tampak seperti foto yang dicetak buru-buru: ada yang kurang fokus, ada yang sedikit miring. Ponselnya bergetar seperti atap seng diterpa rintik: pesan pemasok kopi yang gagal kirim, revisi desain baliho yang “mendesak sekali”, tiga surel tamu yang mengeluhkan sinyal Wi-Fi, lalu satu panggilan tak terjawab dari nomor rumah—yang ia biarkan dulu karena jam kerja sebentar lagi mulai.

Jayeng—dulunya dipanggil Jayengrana, nama pemberian ayah yang suka cerita wayang dan Menak Madura—menghela napas. “Nama besar bikin bahu cepat pegal,” gumamnya. Ia menaruh dompet, menyelipkan secarik kertas di dalamnya: Jangan lupa bernapas. Entah siapa yang menuliskannya; mungkin Dumilah, mungkin dirinya sendiri semalam.

Di parkiran hotel butik tempatnya bekerja, Kelaswara sudah menunggu sambil menyodorkan kopi botolan. “Sarapan untuk orang yang telat,” katanya. Jayeng mengangguk dan meneguk sedikit. Lobi hotel berkilat, memantulkan langkah orang seperti bayangan ikan di akuarium. Manajer, Wirang, menepuk bahunya. “Influencer batal datang. Cari pengganti. Cepat. Dan tolong pastikan router diganti hari ini. Keluhan sinyal makin sering.”

“Baik,” jawab Jayeng. Di kepalanya, jam terasa seperti karet gelang ditarik dua tangan—kian lama kian menipis.

.

Hujan turun rapat menjelang siang. Klakson terdengar seperti batuk tertahan. Dari ruang kantor yang menghadap jalan, Jayeng melihat tukang parkir menutupi motornya dengan terpal biru. Ia menyalakan radio kecil; lagu lawas Madura menyelinap, mengingatkannya pada cerita ayah tentang Umar Maya dan Umar Madi, tentang Jayengrana yang gagah tapi sendirian di ujung perang. “Jangan jadi tokoh yang mengalahkan semua musuh namun lupa pulang,” pesan ayah, dulu, sebelum mata ayah menjadi cepat merah dan kata-katanya serapah.

Di meja, sebuah e-mail tak terbalas menunggu seperti tikus kecil di sudut laci: undangan presentasi kolaborasi dari komunitas kreatif Surabaya—tenggatnya lewat semalam. “Kesempatan kadang hanya gedor sekali,” komentar Kelaswara sambil menumpuk brosur. Jayeng menatap layar. Ada pendar kecewa, tapi ia memilih mengangguk dan menuliskan daftar di kertas: balas semua email; cari pengganti influencer; minta ulang stok kopi; cek keluhan Wi-Fi; minta maaf dengan jujur; telpon rumah. Daftar itu seperti pagar sederhana di pinggir jalan ramai. Ia butuh pagar hari itu.

Sore, pesan dari Dumilah muncul: “Kamu makan?”
“Belum,” balas Jayeng. Jemarinya hendak menambahkan kalimat lain, namun telepon resepsionis berdering. Ada tamu yang meminta bicara langsung.

Tamu itu, lelaki berkaus abu-abu dan topi hitam, menunjukkan video singkat di ponselnya: kolam renang hotel, di permukaan air tampak serpihan tisu. “Saya tidak nyaman,” suaranya datar. “Ini pertama kalinya saya menginap di sini. Saya kecewa.”

Jayeng menelan lidahnya sebentar, lalu menjalankan “metode kecil” yang ia tulis minggu lalu dalam buku catatan: dengar penuh, ulang pokok keluhan, minta maaf tanpa alasan, beri opsi solusi, tindaklanjut dalam 2 jam. Ia mengikuti satu per satu. “Bapak merasa tidak nyaman karena melihat serpihan di kolam. Terima kasih sudah menunjukkan video. Kami minta maaf. Saya bisa minta tim membersihkan sekarang juga dan memberikan opsi relokasi kamar atau late check-out tanpa biaya. Saya juga akan melaporkan ke teknisi soal filter. Boleh saya update lagi dua jam mendatang?”

Lelaki itu menatap Jayeng beberapa detik. “Saya tunggu dua jam.”
“Terima kasih,” ucap Jayeng, dan ia benar-benar berlari kecil ke area kolam. Ia ikut mengangkat jaring, menangkap serpihan kecil yang membandel, menelepon teknisi untuk mengecek pompa, meminta Housekeeping mengganti handuk area kolam. Saat ia kembali ke lobi, kaosnya basah di punggung, tapi ada sesuatu yang menghangat di dada: bukan kemenangan, melainkan rasa tidak lagi bersembunyi.

.

Di perjalanan pulang malamnya, hujan berhenti. Udara menjadi wangi debu basah. Jayeng memarkir motor sebentar di jembatan kecil dekat Kali Jompo. Air sungai memantulkan lampu-lampu seperti serpihan bintang. Ia merasakan kelelahan merayap dari betis naik ke leher. “Fokus, bukan marah-marah,” ia mengulang kalimat di kertas dompet. Lalu menelpon rumah, mendengar suara ibunya yang sedikit gemetar. “Tidak apa-apa,” kata ibu. “Cuma kepala pusing. Sudah minum obat.” Jayeng mengangguk pada udara, menahan ingin pulang saat itu juga. “Besok aku mampir,” katanya. Ia tahu “besok” tidak mesti diberi nama hari untuk menjadi janji.

.

Kota bangun lagi. Jayeng bertemu Dumilah di perpustakaan, di antara rak buku yang membuat suara langkah menjadi pelan. Di meja, dua buku catatan, sepasang bolpoin, ponsel terbalik. “Biar kita becermin pada yang tertulis, bukan pada layar,” kata Dumilah.

“Bagaimana kalau kita coba metode ilmiah untuk hubungan kita?” ia mengusulkan. “Kita bikin hipotesis, uji, catat, evaluasi. Supaya kita tidak berenang tanpa arah.”

Jayeng tertawa kecil. “Kedengarannya seperti rapat pemasaran.”

“Memang,” jawab Dumilah, “tapi untuk hati. Hipotesis pertama: kalau menjelaskan perasaan tanpa menuding, konflik menurun. Variabel: pakai ‘aku merasa’ alih-alih ‘kamu selalu’. Cara ukur: berapa menit sunyi setelah pesan terkirim dan berapa lama sampai kita bisa bercanda lagi.”

“Seolah A/B test hati,” kata Jayeng.

Mereka tertawa, lalu sungguh-sungguh menulis. Selesai, mereka berjalan ke warung soto dekat kampus. Bau seledri dan jeruk nipis menenangkan. Di pinggir jalan, pohon trembesi meneteskan sisa hujan pelan-pelan. “Kita bikin aturan main kecil?” tanya Dumilah. “Kabari kalau lelah; jujur kalau ingin sendiri; dan jangan menduga-duga isi kepala orang.”

“Setuju,” kata Jayeng. “Dan satu lagi: tunda kesimpulan lima menit saat marah.”

Mereka bersulang dengan sendok. Hati mereka tidak tiba-tiba menjadi rajin, tapi punya buku catatan untuk disinggahi.

.

Kembali ke hotel, Jayeng membalas e-mail yang terlewat. Ia meminta maaf langsung tanpa alasan berputar. “Terima kasih sudah mengundang kami. Kami terlambat merespons. Semoga masih ada kesempatan lain.” Ia menekan tombol kirim seperti orang meletakkan batu di dasar sungai—biar aliran di atasnya jadi lebih jernih.

Di saat yang sama, Kelaswara mendekat. “Video kolam tadi sudah saya potong jadi dua versi. Biar tim bisa lihat cepat mana yang harus dibenahi.” Mereka menonton sambil berdiri. “Filter, jam bersih, signage larangan tisu di area kolam,” hitung Kelaswara. “Besok saya buat poster halus yang sopan tapi tegas.”

Jayeng tersenyum. Di layar CCTV, terlihat tamu berkaus abu-abu sedang duduk membaca buku di pinggir kolam yang sudah bersih. “Dua jam,” gumam Jayeng, lalu berjalan ke arahnya. “Terima kasih sudah menunggu. Apakah Bapak sudah lebih nyaman?” Lelaki itu menoleh, menatap air, lalu mengangguk. “Baik. Saya pikir saya akan kembali lagi lain waktu,” katanya pelan. Ucapannya bukan janji, tapi cukup jadi tali kecil untuk hati yang tadi tegang.

.

Malam lain, Jayeng dan Dumilah berjalan menyusuri trotoar Gajah Mada. Lampu toko memantul di genangan seperti pita cahaya. Di kios buku bekas, seorang lelaki tua menumpuk koran lawas. “Katanya kota ini ingin tampil meriah setiap tahun,” katanya, menunjuk poster Jember Fashion Carnaval yang pudar. “Orang-orang berhias, tapi jalan tetap sempit.” Ia tertawa, bukan sinis—lebih seperti orang yang tahu arah pulang meski gang berkelok.

Dumilah menggulung lengan kemeja, memandang Jayeng. “Kamu tampak kuat,” katanya. “Tapi kuat yang rapuh, seperti gelas tebal yang pecahnya diam-diam.”

Jayeng diam lama. “Aku takut kehilangan,” ia akhirnya berkata. “Ayah menua dengan marah—seperti jam dinding kehabisan baterai tapi memaksa berbunyi. Aku takut hubungan padam tanpa aba-aba.”

“Makanya kita pakai metode,” bisik Dumilah. “Metode bukan untuk mengendalikan hidup, tapi untuk memberi pegangan saat arusnya deras.”

Dalam angkot pulang, mereka mencatat hasil uji di buku: berbicara sambil berjalan meringankan hati; menatap mata saat minta maaf memperpendek duri; menunda kesimpulan lima menit menurunkan suhu perdebatan. Hal-hal kecil, tapi di kota yang riuh, kebiasaan kecil bisa jadi penolong besar.

.

Kabar dari rumah datang seperti batu kecil yang jatuh tepat di tengah air. Ibu dilarikan ke IGD—tekanan darah melonjak. Jayeng pamit dari hotel. Wirang hanya mengangguk, memberi isyarat “pergi sekarang”. Di lorong rumah sakit, bau antiseptik bercampur suara sandal. Ibu terbaring, wajahnya pucat seperti daun kehabisan cahaya. Umar Maya, paman dari pihak ayah, duduk di kursi plastik biru. “Kamu mirip ayahmu kalau bingung,” katanya tanpa menoleh. “Diam. Padahal kepalanya ramai.”

Jayeng mengusap jemari ibu, dingin dan halus. Dari jendela, lampu lorong menggambar garis panjang di lantai. Saat itu, ia melihat apa yang selama ini hanya di permukaan: takutnya bukan pada Dumilah, bukan pada pekerjaan. Itu takut pada kehilangan yang dulu datang seperti maling—membawa tawa ayah, meninggalkan sisa suara keras di dinding-dinding rumah.

“Dulu,” kata Umar Maya, “Umar Madi tidak pernah terburu-buru memenggal lawan. Ia menunggu angin reda. Lalu menundukkan pedang. Yang disisakan adalah cara melihat.” Paman menatapnya. “Terkadang akar persoalan tidak bersuara. Kamu harus belajar duduk di lantai sampai suara itu muncul.”

Tekanan darah ibu mereda perlahan. Jayeng mengirim pesan ke Dumilah: Aku di rumah sakit. Nanti cerita.
Aku ke sana, balas Dumilah. Tak bawa bubur.

Mereka makan bubur di bangku taman rumah sakit. Lampu neon lembut. “Aku ingin lebih membumi,” kata Jayeng. “Bukan cuma menambal yang retak, tapi mencari dari mana retaknya.”
“Aku di sini,” jawab Dumilah. “Kita belajar sama-sama.”

.

Keesokan selepas kunjungan kontrol, Jayeng mengantar ibu pulang. Di halaman, tanaman lidah mertua berdiri tegak. “Kamu rawat ini?” tanya ibu.
“Biar rumah bernafas,” jawab Jayeng. Ibu tersenyum tipis, seolah lega karena anaknya punya kalimat yang bisa dipinjam saat cemas.

Di perjalanan balik ke kota, Jayeng mampir ke Pasar Tanjung. Ia membeli cabai, bawang, dan sedikit buah. Seorang pedagang perempuan menyapa, “Mas hotel, ya? Lihat dari ID card-nya.” Jayeng mengangguk.
“Kalau ada tamu rewel,” kata pedagang itu sambil menimbang tomat, “ingat saja: orang lapar, marahnya lebih panjang dari nadanya.” Ia tertawa. “Kasih teh manis hangat, biasanya pendek nadanya.” Petuah pasar sering tampak remeh, tapi justru membuat Jayeng ingin menulisnya: teh manis menurunkan nada.

Di luar pasar, seorang sopir angkot menepuk bodi kendaraannya, mengajak penumpang naik. “Kota ini, Mas, kalau pagi mengejar, kalau sore dikejar,” katanya. Jayeng mengangguk. Ia merekam kalimat itu: pagi mengejar, sore dikejar—rumus yang bisa dipakai pada banyak hal.

.

Di kantor, sebuah unggahan di media sosial tiba-tiba ramai: tamu memotret handuk kamar yang warnanya tak lagi putih. Komentar mengalir, beberapa tajam. Wirang memandang Jayeng. “Kamu yang pegang. Jawab sopan, tindak tegas. Bukan defensif.”

Jayeng menulis respons singkat: Terima kasih sudah mengingatkan kami. Kami minta maaf. Kami segera menarik batch handuk dari lantai kamar dan menggantinya. Tim Housekeeping kami periksa ulang prosedurnya, dan kami akan update di sini setelah selesai. Mohon kesempatan untuk memperbaiki. Ia kirim. Lalu mengajak Kepala Housekeeping memeriksa ruang laundry. Mereka menandai batch yang butuh pemutih ulang, memastikan mesin pengering tak terlalu panas, mengecek catatan asupan deterjen. “Bukan karena citra,” kata Jayeng pelan, “tapi karena orang merasakan dengan kulitnya.”

Sore, unggahan pembaruan menyusul: foto lemari linen dengan handuk baru, catatan proses perbaikan, serta ucapan terima kasih pada tamu yang jujur. Komentar yang masuk berubah nada. Ada yang menuliskan, “Jarang ada hotel yang transparan begini.” Jayeng membaca satu per satu, tidak untuk berbangga, tapi untuk mengingat bahwa metode kecil—mendengar, mengakui, memperbaiki—ternyata juga bekerja di ruang yang banyak mata.

.

Kota berusaha cantik. Latihan karnaval ramai di lapangan terbuka. Anak-anak membawa properti bersayap, kain panjang berkilau, topeng bulu yang berat. Jayeng dan Dumilah berdiri di pinggir, menonton. “Menarik ya,” kata Dumilah, “orang-orang menyiapkan diri tampil, sementara jalan tetap berlubang.”
“Seperti kita,” sahut Jayeng. “Menyiapkan kata, tapi hati masih banyak bolong.”

Mereka tertawa, lalu mengajukan diri sebagai sukarelawan dokumentasi untuk komunitas kecil yang ikut dalam pawai. Bukan karena punya banyak waktu, tapi karena ingin punya waktu yang ringan. Dalam beberapa pertemuan, mereka memotret latihan, mengambil video pendek, membuat jadwal posting. Di dalam kesibukan yang sudah penuh, mereka menyelipkan satu ruang yang tidak menuntut selain kehadiran.

“Hipotesis kedua,” kata Dumilah saat mereka menata file foto, “kalau kita memberi waktu untuk hal yang tak diukur uang, hati jadi kurang mudah naik darah.”
“Cara ukur?” tanya Jayeng.
“Frekuensi menghela napas panjang sebelum tidur,” jawab Dumilah. Mereka sepakat, lalu tertawa seperti dua murid nakal yang menemukan jalan belakang menuju kelas.

.

Angin dari selatan memanggil. Mereka berkendara ke gumuk pasir Ambulu. Bukit-bukit kecil seperti halaman rahasia milik kota. Anak-anak berlarian, jejak kaki cepat dihapus angin. Pasir masuk ke sepatu; mereka biarkan. “Kadang aku merasa kita ini eksperimen berjalan,” kata Jayeng.
“Dan itu tidak apa-apa,” balas Dumilah. “Yang penting kita jujur pada data—data hati.”

Di tepi gumuk, mereka menulis hasil uji di buku: mengucapkan terima kasih di akhir chat; mengirim foto langit saat tak sempat bicara panjang; menyebut nama saat memuji; tidak menanyai masa lalu saat hati sedang panas; menunda jawab telepon selama tiga tarikan napas jika kepala penuh. Di halaman berikutnya: hal-hal yang tidak bekerja—menghindari topik sampai menumpuk; pura-pura kuat; mengira-ngira isi kepala orang lain; menjawab chat saat mengantuk berat; memindah kekesalan kerja ke percakapan cinta.

Ponsel Jayeng berbunyi. E-mail dari komunitas Surabaya yang dulu terlewat: ada proyek baru bulan depan. “Jika kalian berminat.” Ia menoleh pada Dumilah. “Tidak harus kita kejar semua,” kata Jayeng. “Tapi kali ini aku mau menjawab dengan sadar.” Ia menulis: Terima kasih. Kami berminat. Kapan bisa bertemu? Mengirim. Hati tidak melompat, tapi melandai seperti pasir yang menemukan bentuknya sendiri.

Senja menurun. Dari gurat cahaya, kota seperti berdoa tanpa suara. “Kalau hubungan adalah kota,” kata Dumilah pelan, “trotoarnya adalah kebiasaan kecil yang membuat kita mau berjalan jauh.”
“Dan lampu jalannya,” sambung Jayeng, “adalah cara kita melihat satu sama lain.” Mereka tersenyum. Kalimat-kalimat itu bukan teori indah; lebih seperti catatan pada dinding dapur—supaya esok tidak lupa.

.

Pagi lain, Jayeng duduk di alun-alun. Penjual tahu tek menekan klakson kecil. Seorang anak mengejar balon. Seorang ibu menggandeng dua bocah, mengajarkan mereka menyebrang di zebra cross. Kota ramai seperti biasa, tapi di kepala Jayeng, kegaduhan berkurang. Ia menulis di buku: hasil uji putaran ini. Ia menuliskan satu kalimat penutup: Kita tidak kehilangan peluang; kita sedang diarahkan. Ia memotretnya dan mengirim ke Dumilah.

Balasan datang: Aku suka. Eksperimen berikutnya?
Jayeng menatap langit. “Hipotesis: kalau kita menari pelan, musik dunia ikut menenangkan.”
“Cara ukur?” tanya Dumilah saat mereka bertemu.
“Jumlah senyum yang tidak dipaksa,” kata Jayeng.
“Variabel pembanding?”
“Jumlah keluhan yang berubah jadi tawa.”

Mereka tertawa duluan, seperti sudah berada di ujung grafik yang mereka gambar bersama. Lalu mereka berjalan menyusuri sisi kota yang biasa, yang di hari itu—entah kenapa—terlihat baru. Bayangan mereka memanjang. Di kepala Jayeng, suara ayah yang dulu meledak-ledak kini terdengar seperti nyanyian jauh: Pulanglah kalau lelah; besok berangkat lagi. Ia tidak lagi merasa harus jadi pahlawan berpedang; cukup manusia yang belajar mengganti pola saat perlu, bersandar saat lelah, dan berterima kasih saat angin berhenti.

Menjelang senja, mereka duduk di rooftop hotel. Kota di bawah seperti miniatur: atap seng, antena, lampu yang menyala satu per satu. Jayeng menulis pesan pada tamu yang dulu marah tentang kolam—sekadar menanyakan apakah kunjungan berikutnya berjalan baik. Tamu itu membalas singkat: Terima kasih. Kali ini menyenangkan. Jayeng meletakkan ponsel, tersenyum tanpa suara.

“Kadang,” kata Dumilah, “yang kita cari bukan pemandangan, tapi ketinggian yang pas untuk melihat ulang.”
“Dan kebisingan yang pas untuk membuat hati kita mendengar,” tambah Jayeng.

Malam turun. Udara membawa sisa wangi gorengan dari gang entah mana. Dari kejauhan terdengar anak tertawa. Kota menutup mata dengan perlahan, seperti seseorang yang akhirnya percaya: ada metode kecil yang bisa menjaga hati tetap pulang.

.

“Kekuatan bukan soal menahan semuanya sendiri; kadang justru tentang tahu kapan melepas dan percaya pada pola baru.”
“Jangan buru-buru mengalahkan dunia; kalahkan dulu cara pandang yang membuatmu buta.”
“Jika kau mengubah cara berjalan, kota akan mengubah cara menyambutmu.”

.

.

.

Jember, 26 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #Urban #Jember #Hubungan #MetodeKecil #Komunikasi #CeritaKota #Emosional #Indonesia #KompasMingguVibes

Leave a Reply