Tangga-Tangga Kota
“Tangga kehidupan bukan hanya untuk naik lebih tinggi dari orang lain, melainkan untuk melihat lebih jauh, agar kita tahu bagaimana menyalakan cahaya bagi sesama.”
.
Hujan menutup Jakarta dengan tirai tipis saat Panji berdiri di depan pintu putar hotel, menatap kemacetan yang memantulkan lampu-lampu kota seperti kunang-kunang digital. Di balik kaca, suara koper berbentur lantai marmer beradu dengan dering telepon resepsionis. Udara lobby harum kayu manis, kopi baru diseduh, dan parfum mahal yang menempel di mantel para tamu. Panji menarik napas, menyelipkan name tag ke saku kemeja, lalu menatap jam: 06.58. Dua menit sebelum giliran shift-nya dimulai, dua menit sebelum banjir kecil biasa muncul di koridor—banjir tamu, banjir masalah, banjir kesempatan.
Di layar ponselnya, notifikasi media sosial berseliweran: satu unggahan viral tentang kolam hotel yang keruh, satu komentar tajam soal sarapan yang habis terlalu cepat. Judulnya sederhana: “Kecewa, dulu favorit, sekarang? Kok gini.” Akun yang mengunggah punya ratusan ribu pengikut. Panji mengusap pelipisnya. Ada rasa nyut seperti gigitan kecil—campuran khawatir dan tertantang. Ia mengetik pesan ke grup timnya.
Panji: “Pagi. Kita belajar dari ini. Ingat tangga-tangga kita: hafal, paham, terapkan, analisa, evaluasi, ciptakan. Semua siap?”
Emoji jempol bertebaran. Sekar membalas paling cepat.
Sekar: “Siap. Memayu hayuning bawana. Kita rapikan dunia kecil kita dulu.”
Sekar, koordinator acara yang bergerak secepat bayangan lift, selalu meminjamkan tenang pada situasi panas. Rengganis dari housekeeping menyusul:
Rengganis: “Kolam sudah saya minta dicek parameter kimianya jam 05.00. Hasil awal: pH naik. Kita koreksi.”
Panji menutup ponsel. Menghafal. Tangga pertama. “Urip iku urup,” kata mendiang ibunya dulu. “Hidupmu harus ikut menyala di wajah orang lain.” Ia mengulang SOP dalam kepala—nada, langkah, prioritas. Lalu ia melangkah.
.
Pukul 07.03, seorang tamu—lelaki muda berjaket kulit, rambutnya basah—datang dengan langkah lebar. “Mas, saya yang semalam komplain via DM. Saya nggak niat viralin, tapi ya… kecewa,” katanya setengah berbisik, setengah menguji. Panji menatapnya dengan garis senyum yang tak dibuat-buat.
“Terima kasih sudah datang langsung, Mas. Terima kasih karena peduli. Saya Panji—boleh saya dengarkan kronologinya?”
Lelaki itu menghela napas. “Air kolam keruh. Banyak tisu kecil-kecil mengapung. Anak saya yang paling kecil nangis, nggak bisa renang. Sarapan juga, jam delapan, nasi goreng habis. Saya tahu rame, tapi saya bayar untuk kenyamanan, kan?”
Memahami. Panji tak menyela. Ia mengangguk, memantulkan frasa kunci: keruh, tisu, anak, sarapan. “Saya paham. Kalau saya di posisi Mas, saya pun kecewa. Kami sedang membenahi, dan saya mau pastikan pengalaman Mas hari ini berubah. Izinkan saya tawarkan beberapa langkah cepat.”
Ia memberi pilihan: akses kolam ke sister property yang satu jaringan, shuttle gratis, dan sarapan made-to-order untuk keluarga si tamu, sementara timnya menutup kolam 90 menit untuk shock treatment. Lelaki itu menatap ragu, lalu mengangguk. “Oke, saya hargai cara Mas Panji bicara.” Panji menunduk kecil, lega yang dirasanya nyaris seperti doa.
Di belakang, Sekar melambai. “Panji, vendor dekor lampu untuk gala dinner malam ini minta ganti layout. Kalau nggak, panggung jadi sempit.”
“Tarik tim. Kita rapat 15 menit. Di lounge,” jawab Panji.
-
Menerapkan.* Tangga ketiga menuntut tangan bekerja, bukan sekadar mulut.
.
Lounge lantai dua menghadirkan pemandangan kota—atap seng, menara kaca, pohon trembesi yang tersisa. Panji menggambar sketsa layout baru dengan spidol di papan. “Kita mainkan sirkulasi. Jalur tamu melingkar, panggung agak menjorok, dessert bar di kiri supaya tidak menumpuk di area minuman. Sekar, kamu kontak vendor. Rengganis, tim kamu bantu pre-function area, siapkan signage baru.”
Rengganis mengangguk. “Selesai sebelum jam sebelas.”
“Dan satu lagi,” sambung Panji, menatap mereka satu per satu. “Kita tidak sekadar merombak ruang. Kita sedang memulihkan percaya. Aja dumeh—jangan merasa paling tahu. Dengarkan tamu. Dengarkan kota. Dengarkan satu sama lain.”
Rapat bubar. Panji menelan kopi yang tinggal hangat. Menganalisis. Tangga keempat selalu datang bersama angka dan cerita. Ia membuka dashboard internal: occupancy 82% akhir pekan lalu, guest satisfaction turun 7 poin, komplain sarapan meningkat 14% dibanding bulan sebelumnya. Root cause? Kepadatan tamu domestik di jam 7.30—8.30, suplai tak seimbang, tim all-rounder kurang. Ia coret-coret solusi di kertas: staggered breakfast slot, early-bird perk, late breakfast corner, plus—kenapa tidak—grab-and-go untuk tamu yang berburu waktu.
Sekar kembali dengan napas sedikit memburu. “Vendor setuju. Tapi minta tambahan truss.”
“Tawar win-win,” kata Panji. “Tambahan truss mereka yang bawa, kita beri credit brand di photo booth dan feed hotel. Win for both.”
Sekar menyeringai. “Kamu masih Panji yang sama, ya? Jembatan.”
Panji tertawa pendek. “Jembatan yang kadang retak.”
“Retak untuk ditempeli emas,” gumam Sekar. “Kayak kintsugi.”
Di dinding lounge, jam menunjukkan pukul 09.40. Di kepala Panji, tangga kelima sudah menunggu: Mengevaluasi. “Siang ini, kita briefing—apa yang berhasil, apa yang bocor. Malam, setelah gala dinner, kita after-action review. No blame. Hanya belajar.”
Sekar mengacungkan jempol. “Kayak biasa: ngunduh wohing pakarti. Panen dari apa yang kita tanam.”
.
Jakarta merapatkan panasnya setiba siang. Hujan reda, menyisakan aspal yang berkilau seperti kulit ikan. Di dapur, Fadel—Chef muda yang selalu memasang earbud di satu telinga—menyodorkan tasting sarapan ala made-to-order: omelet jamur pedas, nasi goreng kampung dengan smoked chicken, dan soto bening limau. “Kalau konsep three picks ini kita jalanin di jam padat, antrian bisa bergerak lebih cepat,” katanya. “Di luar jam padat, kita replenish standar.”
“Masuk akal,” kata Panji. “Tapi jaga identitas. Kita hotel kota di Indonesia—tamu ingin rasa rumah.” Ia mencicipi soto. Hangat, jujur, sederhana. Seperti suara ibunya di dapur masa kecil: “Masak itu doa, Ji. Keringat yang jujur akan sampai ke hati perut orang.”
Dari radio walkie, suara Rengganis terdengar: “Kolam OK. pH 7,4, chlorine stabil. Gelar sign We’re caring for your safety selama 30 menit terakhir, lalu buka. Tim siap.”
“Bagus,” kata Panji.
Ia mengetik pesan ke lelaki berjaket kulit: “Mas, kolam siap jam 12.30. Kami antar snack untuk anak-anak. Mohon dicoba ya.”
Balasan datang: “Terima kasih. Saya lihat kerja kalian. Good job.”
Evaluasi kecil yang memutar tuas hati: rasa ditimpali rasa. Di depan back office, Panji menggantung kertas besar: “Tangga-Tangga Kita.” Di bawahnya, enam sticky notes, masing-masing berjudul: Menghafal, Memahami, Menerapkan, Menganalisis, Mengevaluasi, Menciptakan. Di tiap kotak, tim menempel kisah hari itu—kecil, tapi menyalakan.
.
Sore menjelang. Gala dinner perusahaan teknologi lokal—start-up yang baru saja series C—membawa 300 tamu dengan batik tipis dan sepatu kets putih. Di panggung, band indie menata kabel. Sekar duduk di pinggir panggung, memberi instruksi pelan. Panji mondar-mandir, earpiece tersambung. Di kepalanya, tangga keenam menunggu: Menciptakan. Bagaimana mengubah malam ini dari sekadar pesta menjadi pengingat bahwa kerja bisa anggun?
“Sekar,” kata Panji, “gimana kalau sesi pembuka kita ganti?”
“Ganti bagaimana?”
“Bukannya opening speech panjang, kita mulai dengan micro-story dari tiga staf: Rengganis dari housekeeping, Fadel dari dapur, dan Aji dari engineering. Mereka cerita 60 detik tentang satu hal kecil yang mereka jaga setiap hari. Biar tamu merasakan ‘wajah’ kerja yang jarang terlihat.”
Sekar menatapnya, matanya memantulkan lampu. “Berani?”
“Kalau gagal, kita punya Plan B: langsung musik.”
Sekar tersenyum. “Kita pilih berani.”
Panji menepuk bahu Rengganis. “Kamu mau cerita? Tentang tisu di kolam tadi pagi.”
“Boleh,” jawabnya, pipi merona. “Tapi saya grogi.”
“Gemetar itu biasa,” kata Panji. “Kita orang kota yang tetap manusia.”
Gala dimulai. Lampu meredup. Di layar, peta Jakarta dalam garis halus—jalan-jalan seperti nadi. Moderator mengumumkan: “Malam ini, sebelum musik dan makan, izinkan kami memperkenalkan tiga penjaga kota kecil bernama hotel ini.”
Rengganis melangkah. “Nama saya Rengganis. Saya belajar satu hal dari nenek saya di Madura: ‘Oca’ sakancah, entar ben bender.’ Kalimat yang saya terjemahkan sebagai: satu sapu yang selesai, bendera bisa berkibar. Tadi pagi, kolam kami keruh. Ada tisu kecil-kecil. Saya belajar, kebersihan bukan cuma pekerjaan; itu bahasa yang dipahami anak kecil yang ingin berenang. Jadi kami memperbaiki—bukan untuk menutup malu, tapi untuk menyalakan senyum.”
Hening sesaat, lalu tepuk tangan. Dua staf lain menyusul dengan cerita singkat: pipa bocor yang disambung di balik dinding marmer, resep soto yang mengingatkan rumah. Tidak ada yang muluk. Justru karena tidak muluk, ia menusuk.
Panji berdiri di belakang, tenggorokan mengencang. Ia teringat Ayah—Wiradikara—yang kini merawat kebun mangga di Jember. Ayah yang memandang kerja seperti menanam bibit: “Alon-alon waton kelakon, Ji. Pelan tapi beres.” Ayah yang tidak datang ke wisuda Panji karena kereta tak jalan, tetapi mengirim surat pendek dengan dua kalimat: “Aja dumeh. Kudu migunani.” Jangan congkak. Harus berguna.
.
Malam bergeser. Musik mengalun. Tawa naik seperti kembang api. Di sudut ruang, Panji menemukan lelaki berjaket kulit—kini tanpa jaket, bersama istrinya dan dua anak yang pipinya merah setelah berenang. Lelaki itu mengangkat gelas, mengajukan toast kecil dari jauh. Panji mengangguk, mengangkat botol airnya—cheers yang terasa lebih dari sekadar formalitas.
“Panji,” Sekar memanggilnya, “ada kabar dari Jingga. Dia di lobi.”
Jingga: manajer area yang matematis, suka angka lebih dari analogi. Di grup, ia kerap dingin, tetapi tepat. Nama yang selalu membuat dahi sebagian orang berkerut: menak jingga era korporat.
“Biar saya ketemu,” kata Panji.
Jingga berdiri di dekat concierge, menatap lobby yang ramai. “Kamu tahu, Panj,” katanya tanpa basa-basi, “saya dapat laporan turun 7 poin di kepuasan tamu minggu lalu.”
“Kami sudah countermeasure. Hari ini…,” Panji menunjukkan dashboard di ponsel: angka sementara naik 11 poin, engagement Instagram melonjak setelah unggahan micro-story. “Masih fluktuatif. Tapi ada perbaikan.”
Jingga melirik, bibirnya tipis. “Jangan jeda hanya karena sorak sorai. Bagus bukan berarti beres.”
“Aku sepakat,” kata Panji. “Aku pengin kita bukan cuma memadamkan api, tapi membangun sistem anti-nyala yang ramah. Kita punya konsep Tangga-Tangga Kita. Enam langkah yang kami jalankan tiap hari. Mau lihat besok?”
Jingga menatapnya. Ada jeda, lalu anggukan kecil. “Besok pagi. Jam delapan.”
Sebelum pergi, Jingga berkata, pelan—nyaris tak terdengar oleh orang lain: “Bagus tadi. Micro-story. Kamu bikin tamu merasa jadi manusia.”
Panji membalas angguk, dan ia membiarkan pujian itu tidak singgah terlalu lama, seperti layang-layang yang sekadar menyentuh awan lalu kembali ke angin.
.
Pagi berikutnya—matahari mengeringkan sisa hujan pada kaca tinggi—ruang back office ramai. Di dinding, kertas besar “Tangga-Tangga Kita” penuh tempelan cerita baru. Jingga datang, mencatat cepat, alisnya sesekali bertaut. Panji mempresentasikan blueprint kecil: staggered breakfast (kapasitas 30% lebih merata), grab-and-go di lobby (memotong antrean 18 menit), kids corner di dekat kolam (memindah titik tumpuk orang tua). Ia juga menunjukkan pola komplain: peak Sabtu 08.00–08.45, dan rancangan task force lintas divisi 45 menit di jam rawan.
“Ini bukan rocket science,” kata Panji. “Ini rumus pasar malam: kalau panggungnya mepet gerobak cilok, penonton numpuk. Kita rapikan jalurnya, panggung tetap meriah, cilok tetap laku.”
Untuk pertama kali, Jingga tertawa. “Analogi kampung. Tapi kena.”
Ia duduk, menatap tempelan di dinding. Satu sticky note menarik perhatiannya: tulisan tangan Rengganis, “Ingatkan diri: kerja adalah cara paling jujur untuk menyampaikan sayang.” Di sebelahnya, catatan Fadel: “Resep adalah cerita; ubah satu bumbu, ubah satu bab.”
Jingga menatap Panji. “Kamu bikin orang bekerja dengan hati tanpa terseret drama.”
“Drama perlu,” Panji menjawab. “Tapi dipentaskan di panggung yang kita pilih.”
Ia lalu menambahkan: “Kalau boleh, aku ingin pilot program ‘Rame Ing Gawe, Sepi Ing Pamrih’ selama empat minggu. Ukurannya jelas: indeks kepuasan, review daring, upsell F&B, dan—yang kecil tapi besar—jumlah senyum yang kembali terlihat seperti semula. Kita bisa latih tim dengan micro-learning 6 menit per hari, sesuai tangga Bloom.”
“Bagaimana metodenya?”
“Enam hari pertama: hafal—SOP flashcard lewat WhatsApp. Enam hari berikutnya: paham—voice note cerita di balik SOP. Lalu praktik: simulasi ringan 10 menit saat line-up. Hari ke-13—20: analisa data ringan; tamu jam berapa, komplain apa. Hari ke-21: evaluasi peer feedback. Hari ke-22—28: ciptakan satu perbaikan per divisi—sekecil apapun. Kita beri panggung.”
Jingga menatapnya lama. “Oke. Jalankan. Tapi aku minta satu hal.”
“Apa?”
“Jangan berhenti di bulan depan. Sustain itu pekerjaan tanpa akhir.”
Panji mengangguk. Ia tahu: memayu hayuning bawana bukan proyek; ia laku harian.
.
Pada minggu kedua program, Sekar mengajak Panji ke balkon rooftop. Kota terbentang: rel KRL seperti garis pensil, masjid bersebelahan dengan gereja modern, petak-petak rumah menempel seperti perangko. Sekar menyodorkan amplop kecil.
“Apa ini?”
“Undangan pameran foto kecil. ‘Wajah-Wajah Kerja’. Dua puluh foto dari staf kita; tangan yang memeras pel, wajah yang berkeringat, sepatu yang berlumpur habis hujan, senyum yang tidak dilatih. Aku pikir… mereka juga perlu melihat diri mereka sebagai bagian dari kota.”
Panji membuka beberapa lembar cetak. Di salah satunya, ada foto Rengganis di pinggir kolam, memegang jaring kecil. Di bawahnya, caption: “Yang kecil itu penting kalau yang kecil itu menghalangi tawa.”
Panji merasakan tenggorokannya kering. “Kamu selalu tahu cara menaruh emas di retakan.”
Sekar mengangkat bahu. “Aku hanya meminjam cahaya dari orang-orang kita.”
Mereka diam lama, sampai angin mengangkat beberapa helai kertas. Di kejauhan, kilau hujan mungkin datang lagi.
.
Saat pilot program memasuki minggu ketiga, angka mulai bicara. Average review daring naik dari 4,1 ke 4,4. Engagement konten micro-story 2,2 kali lipat. Complaint to recovery rate—komplain yang berakhir menjadi pujian—menembus 63%. Tapi bukan angka saja yang berubah: cara orang memanggil nama juga berubah. Para tamu memanggil Rengganis dengan “Mbak Reng.” Fadel disapa “Mas Fad.” Aji dari engineering dipanggil “Kang Aji” oleh tamu dari Bandung. Ada kedekatan yang tak bisa dibeli dengan diskon kamar.
Suatu sore, Panji menerima video singkat di ponsel. Ayahnya, Wiradikara, mengirim rekaman kebun mangga yang sedang hujan. Suara Ayah yang serak-serak tenang mengiringi: “Kowe apik, Ji. Ora usah gumedhe. Tansah eling lan waspada.” Kamu baik, jangan sombong. Selalu ingat dan waspada. Panji memejamkan mata. Ada dorongan halus untuk pulang, menanam sesuatu yang tumbuh lebih lama dari penilaian bulanan.
Malam itu, di balik front desk, Panji menulis kalimat sederhana di buku catatan: “Kota ini bukan hanya jalan dan gedung, tapi juga manusia yang saling mengajarkan cara menyalakan.” Ia ingat ibunya, ingat Sekar, ingat tisu kecil yang mengapung di kolam—hal paling kecil yang menggerakkan tangga paling tinggi.
.
Penutupan program diadakan sederhana: town hall di ballroom tanpa panggung tinggi. Dress code bebas. Panji tidak memegang mikrofon lama-lama. Ia memberikan panggung ke orang lain—sebagaimana ia janjikan.
Aji bercerita tentang baut kecil yang, kalau longgar, membuat pendingin ruangan mengeluh sepanjang malam. Fadel bercerita tentang bawang merah yang ditumis pelan-pelan agar rasa manisnya keluar—“alon-alon waton kelakon di wajan.” Rengganis bercerita tentang pakaian tamu yang tercecer di lorong dan bagaimana ia menuliskan catatan kecil: “Kita jaga, karena Anda pun menjaga kami.” Sekar menutup dengan memutar video kompilasi micro-story yang ditangkap diam-diam: mata yang saling bertemu, tangan yang menolong, tawa yang menular.
Jingga duduk di baris ketiga, mencatat seperti biasa. Tapi kali ini, di akhir, ia menghampiri Panji. “Aku tahu angka. Tapi malam ini, aku melihat sesuatu yang sulit diukur. Trust.”
“Trust sering lahir dari kesalahan yang diperbaiki bersama,” kata Panji. “Kita hanya merawat momen.”
Jingga menatapnya, lalu mengulurkan tangan. “Selamat bekerja. Sekarang, pertahankan.”
Panji menyalami. Tangannya hangat; bukan hanya karena lampu panggung.
.
Beberapa bulan kemudian, hotel itu kembali penuh. Jakarta memasuki bulan acara—pameran, konser, temu komunitas. Panji bangun lebih pagi, menyeberang trotoar yang basah, menyaksikan penjaja bubur membuka lapak, satpam kantor menyapu halaman, dan seorang bapak di sudut menambal ban motor. Kota bekerja dengan bunyi kecil yang saling mengisi.
Ia berhenti di jembatan penyeberangan yang menghadap jalur busway. Di bawah, arus orang naik-turun seperti napas. Pagi itu, ia mengetik pesan singkat ke Ayah: “Bapak, aku pengin pulang habis lebaran. Mau lihat mangga.” Balasan datang beberapa menit kemudian: “Mango wis mekar. Pulang ya.” Mangga sudah mekar.
Di hotel, Rengganis menyodorkan daftar lost & found. “Ada buku catatan kecil milik tamu. Judulnya Tangga-Tangga Kota. Kayak judulmu.”
Panji tersenyum. “Mungkin semesta iseng.”
Sekar muncul, membawa dua gelas kopi. “Jakarta masih kita pinjam hari ini. Masih siap?”
“Siap,” kata Panji. “Kita mulai lagi dari tangga pertama, lalu naik pelan.”
Sekar menatapnya, mata yang dulu sering menyimpan tanya kini menyimpan yakin. “Urip iku urup. Kita jaga api kecil ini.”
Panji menatap lobby yang mulai ramai—koper beradu, check-in berbaris, anak kecil berlari. Ada suara kota yang kadang bising, kadang bening. Ia merasakan sesuatu yang sederhana dan kuat: keinginan untuk menyala, tanpa membakar; menuntun, tanpa memaksa.
Di buku tamu, ia menulis satu kalimat untuk siapa pun yang membacanya di lain waktu:
“Bekerja adalah cara paling rendah hati untuk mencintai kota dan orang-orang di dalamnya. Kita belajar menaiki tangga, bukan agar lebih tinggi dari orang lain, melainkan agar bisa melihat lebih jauh untuk mereka.”
Dan hari itu, seperti banyak hari lain yang akan datang, Panji kembali memulai dari menghafal—nama tamu, SOP, nilai yang ia pegang—lalu naik menuju memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, hingga menciptakan. Terkadang ia tergelincir satu dua anak tangga, tapi ia selalu ingat: tangga tak dibuat untuk pamer; ia dibuat untuk pulang dan pergi, untuk menjembatani jarak antara kita dan cita-cita kita.
Kota terus bergerak. Hotel tetap berdiri. Orang-orangnya menyala—kecil, sabar, sungguh-sungguh—seperti lilin-lilin yang menolak padam. Dan di sela kesibukan, Panji menatap keluar jendela, membiarkan matanya menyapu jalan, pepohonan, dan langit yang memerah. Ia tersenyum tipis, memegang walkie erat-erat, lalu melangkah ke tengah lobby yang kini menjadi panggung paling jujur yang pernah ia miliki.
.
.
.
Jember, 24 Agustus 2025
.
.
#CerpenKota #TaksonomiBloom #EtosKerja #HospitalityID #PariwisataIndonesia #PituturJawa #ServiceExcellence #Leadership #InovasiLayanan #CeritaKerja