Bab-Bab Terbaik Masih Ditulis
“Hidup ini bukan perlombaan menutup bab, melainkan keberanian membuka halaman berikutnya—meski tangan masih gemetar oleh halaman yang barusan kita lewati.”
.
Malam itu, kota seperti menahan napas. Dari jendela bus Trans, Panji menatap lampu-lampu jalan yang memantul pada aspal basah. Hujan baru reda, menyisakan bau tanah yang menyelinap ke dalam, menempel di ujung lengan kemeja yang belum sempat kering. Di kursi yang bergoyang, ia menghitung lampu merah seperti anak kecil menghitung bintang. Satu, dua, tiga—lalu berhenti karena kenangan menyergap lebih cepat daripada angka yang sanggup ia ucapkan dalam hati.
Setahun lalu, di halte yang sama, ia menjemput Sekar. Gadis itu menunggu di bawah atap seng, menangkupkan kedua telapak tangan untuk menghangatkan jari, mengembuskan napas seperti kabut tipis. Mereka tertawa ketika bus datang dan kerumunan mendorong dari belakang, membuat mereka terpaksa merapat; tulang bahu beradu sebentar, menimbulkan keheningan janggal yang justru memantulkan cahaya paling terang: rasa yang tak punya nama.
“Bulan depan kita pindah kontrakan, ya,” kata Sekar waktu itu. “Yang ada jendela menghadap langit.”
“Biar apa?”
“Biar kita percaya bahwa esok selalu mungkin.”
Panji mengangguk. Ia menggambar jendela itu dalam benaknya—daun jendela yang dibuka pagi-pagi, matahari menumpahkan susu ke lantai, suara ayam tetangga yang keras kepala, dan wangi kopi yang dibuat Sekar. Segalanya tampak mungkin. Lalu hidup melakukan yang selalu ia lakukan: berubah seenaknya.
.
Panji turun di Halte Balai Kota. Jam di atas pintu menunjukkan 22.11. Ia berjalan melewati trotoar yang baru diperbaiki: batu andesit disusun seperti puzzle, rapi, dingin. Bunga-bunga kertas yang ditanam dinas pertamanan terkulai basah. Di kejauhan, suara pedagang cakwe memanggil-manggil—ritme yang tak pernah absen sejak kota ini masih jadi cerita di peta atlas sekolah.
Telepon bergetar. Dari Gunung, kawan lamanya yang kini bekerja sebagai perawat di RSUD.
Gunung: “Lu di mana, Ji? Masih jadi ‘orang-orang malam’ yang mengejar bus terakhir?”
Panji: “Baru turun. Besok ketemu? Kebijakan baru kantor bikin aku harus memikirkan ulang hidup.”
Gunung: “Datang ke rumah sakit habis magrib. Ada pasien musik. Kau harus dengar.”
Pasien musik? Panji mengernyit sambil terkekeh. Di kota ini, idiom-idiom seperti itu akrab terdengar: pasien puisi, pasien angin, pasien lampu-lampu kota. Apa pun yang tak sanggup dijelaskan, kita pinjam nama benda-benda untuk mewakilinya.
Ia melangkah melewati gang sempit menuju kontrakan. Dua anak kecil bermain kapal-kapalan dari bungkus mi instan, mendorongnya di parit kecil yang melimpah oleh hujan. Dari rumah kontrakan lain, terdengar musik dangdut lawas, mengalahkan suara siaran sepak bola dari warung. Setiap jendela menyimpan cerita. Setiap pintu menahan air mata. Kota tahu itu, maka ia menyalakan lampu jalan agar tak ada yang merasa sendirian.
Di kamar kontrakan, Panji menyandarkan tas ke kursi. Dinding berwarna krem yang mulai mengelupas tampak seperti peta dunia yang disapu jari telungkai. Meja lipat menjadi saksi kaligrafi hidup: tagihan listrik, air, paket data. Ia duduk, membuka laptop. Email yang tadi sore menunggu akhirnya dipaksa dibaca. “Restrukturisasi. Penyesuaian tim. Mohon pengertian.”
Ia sudah tahu isinya, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa jatuh dari tubuhnya—seperti sendok yang tak sengaja tergelincir dari meja. Bunyi kecil, tetapi gemanya panjang. Divisi kreatif tempatnya bekerja dipangkas. Panji termasuk yang “disesuaikan”. Di atas baris kalimat itu, nama atasannya tertulis rapi, diakhiri salam hangat. Dunia kerja yang wakuncar pun tahu cara mengucapkan selamat tinggal dengan sopan.
Panji menutup laptop. Matanya jatuh pada kalender bekas kampanye yang masih tergantung. Sisa-sisa tahun tinggal beberapa kotak. Kotak-kotak itu seperti lotre: hadiahnya tidak selalu uang, kadang hanya keberanian untuk bertahan. Ia berdiri, membuka jendela kecil yang menghadap langit. Tetes air yang nyaman merayap di kisi-kisi. Malam ini tidak ada Sekar. Sudah hampir setahun. Sejak kecelakaan di simpang lima itu, waktu seperti dibelah dua: sebelum dan sesudah.
Sebelum: suara Sekar yang renyah, selamat pagi yang ditiupkan ke cangkir kopi. Sesudah: suara mesin ambulans, bau obat, dan segalanya yang tidak mampu ditanya.
.
Pagimu di kota besar dimulai dengan kesunyian yang dipotong oleh klakson. Panji bangun lebih cepat dari jam weker. Badan terasa baik-baik saja, tetapi hatinya menolak diajak masuk hari baru. Ia menyeduh kopi sachet, menatap uapnya yang naik seperti doa kecil. Di cermin, wajahnya tampak lebih tua setahun dari semalam.
Ia mengenakan jaket hitam, mengunci pintu, dan melangkah cepat. Di halte, orang-orang berbaris rapih seperti kalimat dalam buku pelajaran. Panji menatap mereka dan tiba-tiba merasa dekat: barisan ini adalah komunitas yang tak pernah saling kenal, tetapi berbagi satu hal: bertahan. Ada pegawai muda dengan sepatu yang baru; ada ibu-ibu membawa tas belanja kain—entah pulang dari subuh market atau hendak menukar voucher murah. Ada pedagang asongan yang bersuara serak. Ada paman penjual koran yang kini juga menjual pulsa dan paket data. Bahkan koran pun mengalah, menambah barang dagangan agar tetap dianggap berguna.
Pandangan Panji terhenti pada seorang gadis bertudung hijau. Sekilas, garis wajahnya mengingatkan pada Sekar. Panji tersenyum pada ingatan itu—bukan pada gadisnya. Senyum yang terbit pelan, seperti cahaya di malam mati lampu. Ia mengizinkan kenangan itu menemaninya naik bus.
Kantor Panji berada di lantai tiga sebuah ruko di Karet Kuningan. Dulu ia masuk sebagai penulis naskah iklan, lalu pelan-pelan menjadi copy lead. Di dinding belakang mejanya, ia menempelkan potongan-potongan kata yang iseng ia simpan: “orang berlari tak selamanya untuk menang, kadang untuk pulang”, “bahasa—rumah tempat kita membetulkan diri”, atau “iklan terbaik adalah kebaikan yang tak diiklankan”. Kata-kata itu adalah kotak P3K-nya. Bila hidup menggaruk terlalu keras, ia membuka kotak itu, menempelkan plester kalimat.
“Ji,” sapa Wira, kawannya satu tim, “Nanti selesai jam tiga, ya. Kita mau rapat terakhir. Bos mau ngomong.”
Panji mengangguk. “Ngomong apa lagi yang belum diomongkan?”
Wira tertawa hambar. “Mungkin tentang masa depan. Katanya, masa depan selalu mungkin. Tapi dia lupa menambahkan catatan kaki: ‘mungkin untuk yang tersisa’.”
Jam tiga, tim kreatif berkumpul di ruangan kaca yang dindingnya ditempeli poster pitch yang tak pernah jadi. Bos membuka rapat, kata-katanya seperti peta yang sudah kita hapal jalurnya: terima kasih, maaf, kesempatan, relasi tetap baik, peluang proyek lepas. Panji menatap mulut bos bergerak, namun dalam kepalanya ia melihat Sekar di bawah atap seng. “Bulan depan pindah kontrakan ya. Yang ada jendela menghadap langit.” Katanya waktu itu. Panji menelan air liur, mengangkat tangan. “Pak, boleh saya bilang satu kalimat?” Bos mengangguk. “Terima kasih,” kata Panji, “karena sudah ikut menuliskan bab hidup saya.”
Rapat bubar. Beberapa memeluk, beberapa menertawakan diri sendiri, beberapa memotret dengan kamera ponsel. Kita memang ingin mengabadikan yang rapuh. Panji membawa pulang kotak kecil berisi mug, tumbler, dan gunting kecil—benda-benda yang diam menjadi saksi jam-jam begadang. Di luar, hujan sudah menjadi gerimis. Kota, seperti selalu, tampak bisa apa saja: menampung sedih, meminjamkan langit, atau mengajak kita berjalan tanpa tujuan.
.
Menjelang magrib, Panji menuju rumah sakit tempat Gunung bekerja. Ruang tunggu penuh dengan wajah-wajah yang menawar keajaiban. Bau antiseptik, suara langkah cepat, monitor yang berbunyi bip bip. Di pojok, seorang bapak memejamkan mata, memeluk tas kecil lebih erat daripada memeluk dirinya sendiri. Hidup, pikir Panji, adalah seminar tentang melepas. Kita seluruhnya peserta.
Gunung menyambut di koridor. “Ayo,” katanya. “Kau perlu ketemu Pasien Musik.”
Mereka masuk ke ruang rawat kelas tiga. Di salah satu ranjang, seorang anak lelaki berusia sepuluh tahunan duduk bersandar, memegang gitar kecil dengan tiga senar. Wajahnya pucat, tetapi matanya menyimpan kilat yang sulit dinamai. Ibunya di sisi ranjang mengelus kepala anak itu seperti mengelus pagi yang tak ingin cepat hilang.
“Namanya Lana,” bisik Gunung. “Klana Sewandana, tapi kami panggil Lana.”
Panji menatap anak itu. Klana. Nama itu seperti terjemahan lain dari duka dan keberanian.
“Lana suka main gitar?” tanya Panji.
Lana mengangguk. “Senar yang putus cuma tiga, Mas. Yang lain masih bisa bikin lagu.”
Panji tertawa pelan. “Kau komposer yang jago memilih sisa.”
“Lana pengin nyanyi,” timpal sang ibu. “Katanya kalau bernyanyi, rasa sakitnya lupa.”
Anak itu menyenandungkan lagu sederhana. Nada-nadanya pendek, tetapi memantul seperti lampu-lampu di sepanjang jalan layang. Panji merinding. Di kota yang terus bergerak, ada suara yang justru memilih diam untuk didengar. Seusai lagu, Lana tersenyum bangga. “Mas, kalau aku sembuh, aku mau nonton konser di alun-alun. Katanya di sana lampunya banyak.”
“Mas Panji akan mengantarmu,” sahut Gunung. “Kalau alun-alun penuh, kita cari rooftop yang aman.”
Dalam perjalanan pulang, Gunung bercerita bahwa Lana membutuhkan operasi yang tak sepenuhnya ditanggung. Panji menatap wajah sahabatnya yang berubah matang oleh malam-malam panjang, “Aku lagi…” ia menatap jari-jarinya sendiri. “Aku baru dapat kabar kurang menyenangkan dari kantor.”
“Kau masih punya kata-kata,” kata Gunung. “Jual itu. Tawarkan kepada siapa pun yang butuh bercerita. Kata-kata bisa membayar tagihan. Kadang bukan uangnya, tapi kekuatan untuk bertahan sampai uangnya ada.”
Panji menghela napas. Malam menusuk tulang, tetapi ucapan Gunung seperti jaket yang ditawarkan tanpa berlebihan.
.
Hari-hari setelahnya Panji bangun lebih awal. Ia mengetik lamaran kerja—bukan yang biasa, melainkan tawaran menulis kisah untuk rumah sakit: profil pejuang-pejuang kecil, cerita kebaikan orang-orang yang tak pernah tampil di baliho. Ia mengirimkan beberapa contoh tulisan kepada kepala humas RS, berharap. Pada saat yang sama, ia membuka jasa menulis caption dan script untuk UMKM tetangga—penjual bakso, toko batik, studio foto. Kota, tanpa kita sadari, adalah kampus yang mempertemukan jurusan keberanian dan fakultas kesederhanaan.
“Ji, ini bagus.” Pesan itu datang dari humas RS tiga hari kemudian. “Tapi kita belum punya anggaran. Maukah kau menulis tiga kisah pertama sebagai pilot, sebagai sukarelawan? Kalau bagus, kita cari sponsor.”
Panji menatap layar, kosong sebentar—kosong yang seperti udara sebelum hujan. Ia mengetik, “Saya mau.”
Ia menulis kisah Lana terlebih dahulu. Judulnya sederhana: “Tiga Senar”. Ia menggambarkan bagaimana bocah itu memetik berani dari senar-senar yang tersisa, bagaimana ibunya menukar lelah dengan senyum, dan bagaimana ruang kelas tiga tetap bisa menjadi panggung kecil bagi harapan. Tulisan itu diunggah di laman RS, dibagikan di grup-grup warga, pindah dari satu story ke story lain seperti kupu-kupu yang tak lelah.
Esoknya, seorang pengusaha katering membaca tulisan itu. Ia menghubungi RS dan menyatakan ingin membantu sebagian biaya. Seminggu kemudian, seorang pegiat komunitas musik yang tertarik pada judul “Tiga Senar” mengadakan penggalangan dana kecil di kafe sudut kota. Orang-orang datang: ada yang menyumbang uang, ada yang memberi gitar baru, ada yang hanya datang untuk mendengar. Panji berdiri di belakang, bukan karena malu, tetapi karena ia ingin melihat bagaimana kata-kata berkerumun menjadi sesuatu yang nyata.
“Mas Panji harus ke depan,” bisik Gunung. “Cerita ini kau yang tulis.”
Panji berjalan ke panggung kecil. Tangannya menggenggam mikrofon seperti menggenggam pintu. Ia menatap para hadirin. “Saya menulis karena takut,” katanya, jujur. “Takut lupa bahwa di kota sebesar ini, ada anak bernama Lana yang ingin melihat lampu-lampu alun-alun. Takut lupa bahwa setiap kita punya senar yang putus, tetapi masih bisa menyusun lagu. Jika malam-malam terakhir terasa berat, mungkin karena kita belum berani menyanyi dengan apa yang tersisa.”
Malam itu orang-orang pulang dengan mata yang sedikit basah. Dan Panji, untuk pertama kalinya setelah sekian bulan, tidur tanpa terbangun tengah malam memanggil nama Sekar.
.
“Masih ingat kontrakan yang jendelanya menghadap langit?” Gunung bertanya suatu sore di atap RS. Mereka berdiri menatap kota yang merayap menjadi senja.
“Masih. Aku belum pernah menempatinya.”
“Coba bayangkan: jendela itu ada, tetapi penghuninya bukan aku—atau bukan kita,” Panji tersenyum. “Tapi bayangan itu sendiri sudah membesarkan hati.”
Gunung menepuk bahu Panji. “Kau belum selesai, Ji. Dan tidak ada alasan untuk selesai sebelum waktunya.”
Mereka diam. Angin mendesak pagar atap, menimbulkan bunyi yang membuat senja terasa lebih jujur. Di bawah, lampu-lampu mulai menyala. Kota seperti membuka mata dengan cara berbeda.
“Gun,” kata Panji, “setahun lalu aku merasa punya rencana. Setahun ini rencana itu runtuh seperti kartu domino. Aku marah. Aku bertanya. Lalu hari ini, berdiri di atap begini, aku pikir… mungkin memang begini cara hidup bekerja. Mengajari kita melihat jauh ke depan justru dengan mengajak kita berhenti sebentar.”
“Berhenti bukan menyerah,” jawab Gunung, “berhenti itu bernapas.”
.
Operasi Lana dijadwalkan pada malam yang menunggu. Panji duduk di koridor bersama si ibu. Mereka bicara tentang hal-hal kecil: harga beras yang naik turun, tentang pedagang bubur di depan pasar yang selalu menambah kuah gratis, tentang sekolah yang sekarang mewajibkan sepatu hitam. Hal-hal sepele yang justru menyambung manusia dengan manusia.
“Mas,” kata si ibu, “saya tidak tahu bagaimana cara membalas. Saya hanya bisa mendoakan, semoga Mas menemukan hal-hal baik yang Mas cari.”
Panji mengangguk. Ia ingin berkata: Saya sebenarnya sedang mencari Sekar, tetapi lidahnya menahan. Ia tahu, bahkan doa pun punya prioritas, dan malam itu prioritas harus diberikan kepada Lana.
Pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Dokter keluar, melepas masker. “Proses berjalan baik. Kita tunggu pemulihan.”
Si ibu menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menahan suara tangis seperti menahan hujan agar tidak jatuh terlalu deras. Gunung mengangkat jempol, Panji menunduk, mengucap syukur dengan cara paling sunyi.
Keesokan paginya, Lana tidur. Di meja kecil di samping ranjang, ada kartu ucapan dari komunitas musik: gambar tiga senar yang diikat pita. “Selamat sembuh, bintang kecil.” Kata-kata itu menyerupai lampu kecil di kamar yang gelap. Kita tidak perlu menyalakan seluruh kota; cukup satu lampu, agar tak tersandung.
.
Waktu berlalu seperti kereta yang tak bisa ditawar agar berhenti lebih lama di stasiun tertentu. Panji menerima kabar dari humas RS: proyek menulis kisah pasien akan dilanjutkan, kali ini dengan dukungan sponsor dari beberapa UMKM dan perusahaan yang tertarik pada gerakan kecil itu. “Kau yang memimpin tim kecil, Ji,” kata humas. “Honor tidak seperti perusahaan besar, tapi kita akan memastikan cukup untuk menghidupkanmu dengan layak.”
Panji tersenyum pada kata “menghidupkan”—kata yang terdengar lebih tulus daripada “menggaji”. Ia membentuk tim sederhana: Wira, yang ternyata diam-diam menulis cerpen; Ratri, fotografer freelance; dan satu editor yang mengajar bahasa Indonesia di sekolah malam. Mereka menyebut timnya “Ruang Musim”. Karena seperti yang Panji pernah tulis, setiap musim punya tujuannya sendiri.
Mereka mendokumentasikan kisah-kisah: tukang ojek yang mendonorkan darah rutin, penjual es kelapa yang menyediakan es gratis untuk keluarga pasien di siang terik, satpam yang diam-diam membelikan popok untuk bayi yatim. Kota, jika kita mau menunduk, menyembunyikan mata air.
Tulisan-tulisan itu menyebar. Bukan viral yang gegap gempita, tetapi beredar stabil seperti kabar baik yang berjalan kaki. Panji kadang diminta berbicara di komunitas warga, di kampus kecil, di kantor kelurahan. Ia selalu membuka dengan kalimat yang sama, “Saya menulis karena takut lupa.”
Suatu siang, pesan singkat datang. Nomor asing. “Mas Panji, boleh ketemu? Saya Sekar.” Dunia berhenti. Kata “Sekar” menggeser detik dari tempatnya. Panji duduk. Nafasnya memadat. Ia membaca lagi. Ada foto profil: seorang perempuan berambut pendek, senyum yang dikenalnya.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di sudut jalan yang penuh pohon trembesi. Sekar datang dengan blus biru muda, wajahnya lebih matang, matanya tetap seperti dulu: menyimpan hujan dan payung sekaligus. “Maaf menghilang lama,” katanya. “Aku pindah kota setelah kejadian itu, demi menyusun kepalaku yang pecah.”
“Aku mengirimmu pesan, tapi tak terkirim,” kata Panji. “Lalu aku berhenti, karena takut mengganggumu.”
Sekar tertawa kecil. “Kau selalu sopan kepada duka.” Ia menatap Panji lama. “Aku baca tulisanmu tentang Lana di grup. Orang-orang bagikan. Aku… aku menangis. Ternyata kau tidak berubah; kau tetap mengikatkan diri pada yang tak terlihat oleh banyak orang.”
Mereka bicara panjang. Tentang malam ambulans itu—ternyata Sekar selamat, tetapi luka di dalam memintanya mengecil. Ia pulang ke kampung di Pamekasan, membantu ibunya mengurus warung, menanam cabai di halaman belakang. Di sana, ia belajar menata ulang ritme. “Aku baru siap bertemu siapa saja tiga bulan terakhir,” katanya.
Panji mendengarkan, seperti dulu saat Sekar bercerita tentang karir yang diimpikannya. Ia ingin memeluk, tetapi ia memilih menahan. Ada pelukan yang justru bekerja dengan cara tidak dilakukan. “Sekar,” katanya pada akhirnya, “aku hanya ingin kau baik.”
“Aku baik,” jawab Sekar. “Kau juga tampak lebih baik daripada yang kubayangkan. Kau menulis untuk menyambung hidup orang lain, kan?”
Panji mengangkat bahu. “Sambil menyambung hidupku sendiri.”
Mereka tertawa. Kafe dipenuhi suara sendok beradu, pintu yang terus terbuka menandakan kota tak pernah bosan menyambut. Saat senja pindah warna, Sekar berdiri. “Aku akan kembali ke kota ini bulan depan, mungkin untuk bekerja di klinik kecil. Kalau kau mau, kita bisa…,” ia berhenti di situ.
“Kita bisa melihat jendela yang menghadap langit,” sambung Panji. Wajah Sekar mekar seperti namanya.
.
Desember datang dengan iring-iringan hujan. Panji menulis refleksi akhir tahun untuk Ruang Musim: sebuah dialog pribadi yang ia tujukan pada dirinya sendiri tetapi ia bagikan kepada siapa pun yang butuh pegangan. Ia membuka dengan kalimat yang kini menjadi mantra:
“Setahun lalu hidupku tampak sangat berbeda. Tahun depan, akan berubah lagi. Tempatku berdiri hari ini hanyalah momen, bukan tujuan. Setiap musim melayani maksudnya, membentukku dengan cara yang belum kumengerti. Maka aku memilih percaya pada proses; hal-hal menakjubkan yang tak pernah kubayangkan mungkin sudah menungguku di tikungan. Bab-bab terbaik masih sedang ditulis.”
Ia menekan tombol “unggah”. Dalam hitungan menit, komentar berdatangan. Beberapa menandai teman, beberapa menambahkan cerita masing-masing. Panji membaca pelan, lalu menutup layar. Di luar, malam turun dengan santun, membawa suara motor yang tergesa, tawa anak-anak hasil menangis yang sudah selesai, dan bau gorengan dari tikungan. Kota memeluk warganya dengan caranya sendiri.
Ponselnya bergetar. Dari Sekar: “Aku pindah bulan depan. Kontrakan yang jendelanya menghadap langit masih kosong. Kau sempat lihat?”
Panji membalas: “Ayo kita lihat besok. Kalau cocok, kita titipkan mimpi di sana.”
“Kita titipkan mimpi, tapi jangan lupa menjemputnya setiap pagi,” balas Sekar.
Panji tertawa. Ia berdiri, membuka jendela kecil kontrakannya yang ada sekarang. Di seberang, lampu-lampu memantul pada dedaunan basah. Di langit, bulan tersembunyi, tetapi cahaya tetap tumpah dari tempat yang tak terlihat. Ia memejamkan mata, merasakan jantungnya berdetak perlahan—irama yang dulu sempat kacau.
“Terima kasih,” bisiknya, entah kepada siapa. Mungkin kepada Sekar, mungkin kepada Lana, mungkin kepada kota. Atau kepada waktu yang mengizinkan manusia menyusun ulang dirinya, berkali-kali, tanpa merasa terlambat.
.
Rooftop rumah sakit jadi tempat favorit Panji dan Gunung menyambut malam tahun baru. Mereka membawa dua gelas kopi, dan satu gitar—gitar empat senar yang dihadiahkan komunitas musik untuk Lana. Bocah itu kini sudah bisa berjalan pelan ke koridor, ceria, dan berjanji akan belajar memainkan empat senar dulu sebelum menambah dua senar lagi.
“Ji,” kata Gunung, “bagaimana rasanya kehilangan lalu menemukan?”
“Seperti hujan yang selesai tepat saat kau sudah bersiap memakai payung,” jawab Panji. “Menjengkelkan, tapi membuat kita tertawa pada diri sendiri.”
“Dan Sekar?”
Panji menatap langit. “Ia baik. Aku baik. Kami belum menamai apa pun. Kadang-kadang, yang belum dinamai lebih tenang.”
Gunung mengangguk. “Kau terdengar seperti penulis yang akhirnya berdamai dengan suntingannya.”
Malam melenggang menjadi gelap. Kota menyalakan kembang api kecil di halaman-halaman rumah. Bukan yang berteriak di langit, melainkan yang mengeluarkan bunga-bunga percik rendah, aman dipegang anak-anak. Panji mengangkat gitar, memetik pelan. Lagu pertama malam itu ia persembahkan untuk semua musim yang telah lewat.
“Gun,” katanya sambil menatap garis horizon kota, “kalau esok terasa berat, ingatkan aku bahwa tiga senar pun bisa membuat lagu. Ingatkan aku bahwa jendela yang menghadap langit bukan soal alamat, melainkan cara memandang.”
Gunung mencatat dalam hati, “Siap, Ji.”
Dan di bawah langit yang separuh berkabut, mereka berdua tahu: bab-bab terbaik belum selesai. Mereka sedang ditulis, pelan, telaten, oleh tangan-tangan yang pernah gemetar tapi memutuskan tetap membuka halaman berikutnya.
.
Pagi pertama tahun baru, Panji dan Sekar berdiri di depan kontrakan kecil di pinggir kota. Daun jendelanya memang menghadap langit. Tetangga yang ramah menawarkan senyum dan daftar tukang sayur langganan. Di dalam, lantai keramik putih memantulkan langkah mereka seperti cermin. Panji menatap ke luar. Di kejauhan, gedung-gedung berdiri seperti paragraf panjang yang membutuhkan koma. Ia memegang tangan Sekar sebentar, tak lama, cukup.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi,” katanya.
“Aku juga,” jawab Sekar. “Tapi kita tidak perlu tahu semuanya untuk memulai.”
Mereka tertawa—suara kecil yang meluncur ke halaman, mengundang burung-burung bertengger. Kota menyambut dengan cara paling sederhana: angin yang masuk lewat celah jendela, membawa wangi tanah, wangi pagi, wangi kemungkinan. Dan Panji, dalam hati yang tak lagi berlari, menulis satu kalimat pendek sebagai pembuka hari: “Hari ini juga bab yang baik.”
.
.
.
Jember, 14 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #KotaDanKita #RefleksiAkhirTahun #HarapanBaru #MenulisKebaikan #JendelaMenghadapLangit #TigaSenar