Pulang ke Stasiun Kota

“Jika naik kereta yang salah, turunlah di stasiun terdekat. Menunda hanya membuat tiket pulang semakin mahal.”
“Aja nganti keblinger, luwih becik bali sadurunge adoh saka dalan.”

.

Hujan turun seperti suara mesin jahit: berulang, rapat, dan sabar. Di atas trotoar Jalan Surapati yang licin, lampu-lampu kendaraan memantul jadi ekor-ekor cahaya, seolah kota memelihara ribuan komet di perut aspalnya. Jayengrana berdiri di bawah kanopi hotel bintang empat tempatnya bekerja—sebuah bangunan kaca yang berdiri di pinggir sungai kusam, memantulkan langit kelabu dengan kejujuran yang tidak diinginkan siapa pun.

Ia menatap jam tangan: 22.47. Rapat yang harusnya selesai jam sembilan baru berakhir lima belas menit lalu. “Press conference jam delapan besok. Sponsor maunya angle ‘after-hour luxury’,“ kata bosnya tadi—Jingga—dengan senyum yang seperti garis penggaris: lurus, dingin, memerintah. Ada daftar selebritas yang diundang, ada persyaratan “hospitality package” yang tipis-tipis menyiratkan jamuan berlebihan. “Jangan bawa moral ke meja kerja,” tambah Jingga di ruang rapat, nada suaranya seperti logam dipoles. “Ini cuma aktivasi brand.”

Jayengrana tahu, kata “aktivasi” itu adalah lampu kuning: dapat berarti seni menghidupkan ide, dapat pula berarti seni menyembunyikan sesuatu yang semestinya tak layak.

Di ponselnya, pesan belum terbaca dari Kelaswara muncul paling atas.

“Mas, kamu pulang nggak malam ini? Aku sudah siapkan sup jahe. Dingin sekali.”

Kelaswara, perempuan bermata sabar, teman yang menampung keluhannya dengan piring-piring makan malam yang selalu hangat. Mereka tak pernah memberi nama hubungan itu: cukup tahu bahwa saling pulang adalah kebutuhan harian, seperti napas.

Jayengrana mengetik balasan: “Sebentar lagi. Beli payung dulu.” Lalu ia melangkah ke minimarket sebelah hotel, membeli payung transparan—jenis yang membuatmu tetap melihat hujan jatuh di atas kepala sendiri.

Di lobi, lantai marmer mengilat. Karyawan night shift baru masuk, seragam mereka masih berbau setrika. “Selamat malam, Mas Jayan,” sapa Umar Maya, chef muda yang belakangan memegang dapur malam. Umar suka memanggilnya “Jayan”. Katanya, kedengaran akrab dan lebih lincah. “Besok menu sarapan diganti ya, sesuai permintaan sponsor,” tambah Umar lirih, seperti orang yang membaca pengumuman duka.

“Yang manis-manis dibanyakin,” sahut Jayengrana, mengingat slide yang dipaparkan tim marketing tadi. “Kopi arabika kita jangan, diminta diganti robusta instan. Mereka maunya rasa gampang.”

“Rasa gampang kadang bikin orang gampang lupa,” gumam Umar, menyungging senyum getir. “Mas, kamu kelihatan capek.”

“Capek yang ditunda-tunda,” kata Jayengrana, separuh bercanda. “Kalau besok meledak, baru aku tidur.”

Mereka tertawa pendek. Tapi setelah Umar masuk lift, sepi menumbuk kembali. Dari kaca lobi, Jayengrana melihat kota mengedip—lampu neon, spanduk diskon, dan hujan yang tak mau berhenti. Ia tiba-tiba teringat kalimat dari sebuah buku yang dulu ia simpan di tas kuliah: “Kota adalah kerumunan keputusan yang ditunda.” Mungkin ia mengingatnya salah. Tapi yang benar pun, apa bedanya, jika yang tinggal hanya rasa bahwa dirinya sudah lama menunda.

.

Kereta jarak menengah malam itu bertolak dari Stasiun Kota. Dalam kepala Jayengrana, ia yang menumpang. Ia berdiri di depan pintu kereta, tidak jadi naik, menengok, lalu menatap peron. Ada garis kuning yang tidak boleh dilampaui—seperti nilai-nilai yang ia pernah yakini saat masih menjadi anak magang: “hospitality adalah merawat kemanusiaan.” Dulu itu terdengar seperti mantra. Kini tinggal kerikil kecil di sepatu.

Di apartemen kecilnya, Kelaswara sudah menanak nasi. Ia senang melihat Jayengrana berjalan masuk membawa payung basah. Aroma jahe menampar lembut.

“Kamu menggigil,” kata Kelaswara.

“Setengah karena hujan, setengah lagi karena rapat,” jawabnya, meletakkan payung. “Bos mau launching ‘after-hour luxury’. Nama yang bagus untuk hal-hal yang tak mau disebut.”

Kelaswara menyendok sup ke mangkuknya. “Kamu bisa nggak ikut,” katanya pelan. “Kamu bisa bilang kalau konsep itu mengaburkan batas.”

“Batas apa? Batas moral?” Jayengrana tertawa sumbang. “Batas itu sudah lama dilanggar, War. Aku yang menambal-nambal bahasa. Aku PR—public relations—tugasnya membuat jembatan, walau kadang jembatan itu menuju jurang.”

“Kamu bisa memilih jembatan yang lain,” sahut Kelaswara. “Atau kamu bisa memilih turun di stasiun terdekat.” Ia memandang Jayengrana, menunggu. “Aja nganti keblinger, Jayan.”

Jayengrana meneguk sup. Hawa panasnya menyusup ke dada, menyedot dingin. “Kalimat itu mengusirku dari kenyamanan,” katanya, “dan, anehnya, menenangkanku.”

Ia tak tidur malam itu. Ia menuliskan daftar kecil pada buku catatan: hal-hal yang masih ia percaya. Ia menulis: “Tepa selira di ruang kerja. Andhap asor dalam menulis rilis pers. Urip iku urup.” Ia menutup buku. Konsistensi: kata yang sederhana, tetapi yang paling mahal di kota.

.

Pagi berikutnya, langit masih menyimpan sisa hujan. Di ruang press conference, backdrop sudah dipasang: warna hitam dengan aksen emas, model huruf yang berusaha meyakinkan bahwa malam adalah panggung prestise. Jingga berkeliling seperti inspektur, memeriksa detail. Saat melihat Jayengrana, ia menepuk bahunya.

“Sudah kirim press kit?” tanya Jingga.

“Sudah,” jawab Jayengrana. “Aku tambahkan satu paragraf tentang komitmen hotel pada kenyamanan tamu tanpa kompromi.”

Jingga menaikkan alis. “Jangan terlalu puitis, Jayan. Wartawan suka kata-kata yang bisa dipotong.”

“Justru yang bisa dipotong itu kadang yang paling berbahaya,” Jayengrana menahan diri, bibirnya hanya tersenyum sopan.

Ruang itu kemudian penuh. Kamera berjejer, mikrofon mekar di meja. Seorang penyanyi terkenal duduk di kursi depan. Jayengrana membuka acara seperti biasa, suara dan tubuhnya bergerak otomatis. Ia sudah bertahun-tahun melatih wajah untuk mengatakan “terima kasih” meski di dalam dada ada batu.

Sesi tanya jawab berjalan mulus sampai seorang wartawan muda mengangkat tangan. “Maaf, saya ingin memastikan: program after-hour luxury ini apakah mencakup layanan yang—” Ia mencari kata-kata, memandang kiri-kanan, “—berpotensi menyinggung nilai-nilai tertentu? Anda tahu, publik sekarang sensitif.”

Ruangan sejenak diam. Jayengrana merasakan ruangan itu memantul ke tubuhnya. Di bawah meja, jari-jarinya mengepal. Ia bisa menjawab dengan kalimat yang aman: “Kami selalu menghormati regulasi dan norma.” Kalimat itu ia susun semalam. Tetapi jiwanya menolak. Justru kalimat seperti itulah yang membuat jurang tertutup karpet.

Ia menatap Jingga yang mengerutkan dahi, seolah memberi isyarat: jalankan sesuai naskah! Di sudut ruangan, Umar Maya mengintip dari balik pintu, menunggu, berharap.

Jayengrana menaruh mikrofon lebih dekat ke bibirnya. “Terima kasih pertanyaannya,” katanya. “Hotel ini, setidaknya visi yang membuat saya mau bekerja di sini, meyakini bahwa hospitality berarti merawat kemanusiaan. Program malam yang kami luncurkan, dengan jujur, sedang kami tinjau ulang agar tidak mengaburkan batas itu.”

Ruang press seketika berbisik. Seseorang memotret lebih banyak. Jingga membeku dengan senyum formal—tanda marah yang sedang disetrika agar tak berkerut di depan umum.

“Dengan kata lain, Anda mengakui ada kemungkinan melanggar nilai?” desak wartawan itu.

Jayengrana menarik napas. “Dengan kata lain, kami akan memastikan tidak ada tamu atau karyawan yang menjadi komoditas. After-hour luxury tidak boleh berubah menjadi after-hour injury untuk nurani siapa pun.”

Seseorang bertepuk tangan. Tidak banyak. Tapi cukup membuat ruangan itu terasa seperti jantung yang menepuk dada sendiri. Konferensi pers ditutup terburu-buru. Jingga menarik Jayengrana ke belakang panggung.

“Kamu kelepasan?” Jingga berbisik tajam.

“Tidak,” jawab Jayengrana, ia terkejut mendengar suaranya sendiri begitu tenang. “Aku hanya turun di stasiun terdekat.”

“Kamu tahu konsekuensinya?”

“Aku tahu, bos. The longer it takes you to get off, the more expensive the return trip will be.” Ia menatap mata Jingga. “Kalau konsekuensinya adalah kehilangan pekerjaan, mungkin itu harga tiket pulang yang harus kubayar.”

“Jangan sok puitis,” kata Jingga, tapi suaranya bergetar. “Tulisanmu bagus. Kamu ahli. Kamu sayang tim. Tapi pasar punya kehendak. Kamu mau idealis, silakan, tapi idealisme tidak membayar vendor dan gaji pegawai.”

“Kita bisa cari cara yang tidak memalukan untuk membayar mereka,” jawab Jayengrana. “Kita bisa jual kreativitas, bukan tubuh orang.”

Jingga ingin berkata sesuatu, tetapi menahan. Ia menunjuk pintu. “Kita lanjutkan obrolan ini sore. Untuk sementara, stand by di kantor.”

.

Di kantor PR, Jayengrana duduk sendirian. Di dinding, ada foto-foto acara: senyum melebar, lampu-lampu, balon, tawa. Ia merasa foto-foto itu seperti jendela yang tidak menghadap ke luar, melainkan menghadang pandang. Ia membuka email: sudah ada tiga media mengirim pertanyaan lanjutan, dua di antaranya memuji keberaniannya. Ada pula satu WA dari Umar Maya: “Mas, itu jawabanmu tadi bikin aku pengin ngupas bawang sampai habis, soalnya mata jadi panas.”

Jam dua siang lewat sedikit, pintu diketuk. Umar Madi, petugas concierge yang bertugas sambil kuliah malam, masuk membawa dua gelas kopi—kopi robusta hotel yang tadi pagi disuruh mengganti arabika. “Ini pahit yang jujur,” kata Umar, memaksa senyum. “Aku pinjam kalimatmu, Mas.”

Mereka minum kopi tanpa gula. Umar berkata, “Aku tahu orang-orang seperti kita bisa salah jalan karena kebutuhan. Aku anak kos, bayar kuliah dari tip tamu. Tapi kamu tadi seperti orang yang menaruh batu di jalan agar mobil tidak kebablasan.”

“Batu yang kecil,“ ujar Jayengrana.

“Tapi kecil pun bisa bikin orang berhenti.”

Jayengrana menatap Umar lama-lama. “Aku capek, Mar.”

“Kalau capek, pulang.” Umar menepuk pahanya sendiri. “Pulang itu kata kerja, Mas, bukan tempat. Kamu bisa mulai dari sini.”

“Kalau pulang artinya keluar?”

“Kalau keluar itu kembali ke dirimu, ya.”

.

Sore menjelang. Di lift menuju ruang Jingga, Jayengrana merapikan napas. Kota di luar mulai menyalakan lampu, seperti peta langit dibalikkan: bintang di bawah, gelap di atas. Di ruang bos, suara musik lounge mengambang, bau diffuser akan-akan memaksa semua orang percaya bahwa yang terjadi baik-baik saja.

Jingga menunggu di meja. Di hadapannya, dua amplop putih. Satu tebal, satu tipis.

“Yang tebal ini,” katanya, menyentuh amplop pertama, “surat peringatan. Dengan catatan, kamu masih dipakai karena kemampuanmu menenangkan media.” Ia menyeringai, hampir tak terlihat. “Yang tipis, surat terima kasih dan angka-angka. Pilih.”

Angka-angka: pesangon. Bahasa kota yang paling jujur. Jayengrana duduk. Ia melihat jari-jarinya, lalu memandang ke luar jendela. Hujan sudah reda, tapi jalan masih basah. Dalam bayangannya, ia melihat peron stasiun: garis kuning, lampu neon, papan jadwal yang selalu memilih kata “tertunda”.

“Aku pilih pulang,” katanya lantang, mengejutkan dirinya sendiri. “Surat yang tipis.”

Jingga menghela napas, mengangguk seperti orang tua yang akhirnya mengizinkan anaknya menetap di kota lain. “Sayang,” ucapnya pelan, “kamu pekerja yang sulit digantikan.”

“Semua orang bisa digantikan,” kata Jayengrana. “Yang sulit digantikan adalah rasa tenang saat kita menutup pintu rumah.”

Jingga mendorong amplop tipis itu. “Semoga kamu menemukan rumahmu,” katanya, tak lagi bernada logam.

Jayengrana keluar dengan langkah yang memantulkan perasaan asing: takut yang ringan. Ia mengirim pesan pada Kelaswara: “Aku turun di stasiun ini.” Yang dibalas cepat: “Aku menunggu di rumah.”

.

Malam itu, kota riuh. Tapi di dalam kamar, sepi seperti kain tebal yang menenangkan. Jayengrana duduk di lantai bersama Kelaswara. Amplop tipis masih di meja: nominalnya cukup untuk bertahan tiga bulan. Atau enam, jika mereka mengurangi kopi-kopi kafe dan film di bioskop.

“Sekarang apa?” tanya Kelaswara.

“Sekarang, kita menamai pulang.” Jayengrana memandang dinding kosong. “Aku ingin membuat ruang kecil untuk belajar hospitality yang tidak menjual nurani. Tempat orang bisa berlatih menyeduh teh sambil mendengarkan cerita, bukan sekadar menambah room revenue.” Ia tertawa kecil pada betapa utopis katanya terdengar. “Atau terlalu romantis?”

“Romantis itu kata lain dari ingatan yang dipegang teguh,” kata Kelaswara. “Aku siap kalau kamu mau memulai. Kita punya teman-teman yang bisa diajak gotong royong. Umar Maya bisa bantu dapur. Umar Madi bisa bantu logistik.”

“Juga anak-anak magang yang sering curhat,” desah Jayengrana. “Mereka butuh tempat aman untuk belajar bahwa service bukan berarti tunduk membuta.”

“Maka bikin saja,” kata Kelaswara. “Rumah kecil. Namanya—‘Stasiun Kota’.” Ia tersenyum. “Tempat orang-orang turun sejenak, mengecek peta, mengambil arah pulang masing-masing.”

Jayengrana menatapnya. Dadanya tiba-tiba ringan. “Stasiun Kota,” ia mengulang. “Tempat singgah yang mengajari orang bahwa pulang bisa berarti maju.”

.

Dua bulan pertama berjalan seperti berjalan di atas air dangkal: kaki basah, tapi masih bisa bergerak. Mereka menyewa ruko tua satu lantai di gang dekat pasar. Cat dinding mengelupas, atap bocor saat hujan, lantai keramik beberapa retak. Tapi ruko itu punya jendela besar, tempat matahari sore menyusup seperti kuning telur. Murah—dan jujur. Mereka mengecat bersama teman-teman: Umar Maya datang dengan celemek bernoda, Umar Madi meminjamkan mobil kecilnya untuk mengangkut meja dan kursi bekas kafe yang bangkrut.

Mereka menuliskan kalimat di dinding: “Hospitality adalah merawat kemanusiaan.” Di bawahnya, dengan cat tangan, Kelaswara menambah: “Aja nganti keblinger.” Jayengrana menempel poster sederhana: jadwal kelas basic etiquette, pelatihan front desk with empathy, kelas menulis rilis pers yang melawan basa-basi toxic. Biaya: “Seikhlasnya, selama tiga bulan pertama.” Mereka paham, inilah fase menanam.

Rumah singgah itu pelan-pelan terisi. Ada mahasiswa pariwisata yang ditolak magang karena tak punya “penampilan sesuai standar”, ada ibu rumah tangga yang ingin bekerja paruh waktu sambil belajar customer care, ada pemuda yang baru keluar dari pekerjaan bar karena bosnya memaksa jam kerja tak manusiawi. Mereka datang dengan ragu, lalu pulang dengan tertawa kecil, seperti orang yang menemukan jarum di karpet.

Sore-sore, Kelaswara menyeduh teh gula batu. “Ini semacam jam kantor yang sebenarnya,” katanya. “Saat kita menerima manusia tanpa syarat.” Jayengrana menyodorkan seloyang kue dari Umar Maya—kue pisang dengan taburan wijen. Rumah itu beraroma wangi sederhana: gula yang dipanaskan.

Suatu hari, seorang pemuda datang membawa koper. Namanya, katanya, Jingga. Jayengrana mengangkat alis. “Sejak kapan nama itu jadi nama murid?” gumamnya dalam hati. Pemuda itu gugup, memegang koper seolah memeluk nasibnya.

“Aku baru dipecat,” katanya lirih saat duduk. “Karena menolak menawari paket-paket ke tamu tertentu. Aku tidak menuduh siapa pun. Aku hanya takut lama-lama menganggap biasa. Aku dengar tempat ini… mengajari orang turun di stasiun terdekat.”

Jayengrana menatap pemuda itu lama-lama, lalu tersenyum. “Selamat datang di Stasiun Kota,” katanya. “Di sini, pulang itu antaran sederhana: tempat duduk, segelas teh, dan orang-orang yang tidak menertawakan bimbangmu.”

Pemuda itu tertawa putus asa, lalu menangis. Tangis yang seperti hujan sore: tidak memaksa, tapi meresap. Umar Madi datang membawa tisu. Kelaswara menyentuh bahu si pemuda. Dan hari itu, entah bagaimana, Jayengrana merasakan bahwa rumah kecil mereka akhirnya berdenyut seperti jantung.

.

Kota, tentu, tidak berubah. Reklame masih minta mata, diskon masih minta dompet, malam masih memantulkan raungan motor. Tapi di antara semua itu, Stasiun Kota menyalakan lampu temaram. Orang-orang datang bukan untuk mencari sensasi, melainkan penjelasan.

Di kelas front desk with empathy, Jayengrana mengajak murid-muridnya berlatih menyebut nama tamu dengan benar, menatap mata tanpa membuatnya merasa diinterogasi. “Sebut ‘Pak Amir’ bukan ‘kamar 503’. Kita melayani manusia, bukan nomor,” katanya. “Tapi jangan juga berlebihan sampai menghapus jarak profesional. Tepa selira ialah tahu kapanmu maju, kapanmu mundur.”

Di kelas PR tanpa Basa-basi Toxic, ia mengajak peserta memeriksa kalimat-kalimat populer: ‘komitmen pada kenyamanan’, ‘menghormati semua norma’, ‘eksklusif’. Ia bertanya: “Apa hubungan kata-kata ini dengan kenyataan? Jika naskahmu bisa menutupi luka, jangan tulis. Tugas PR bukan membungkus borok, tapi memastikan organisasi tidak menumbuhkan borok.”

Murid-murid terkadang tertawa, terkadang menunduk. Jayengrana selalu mengakhiri kelas dengan kalimat yang sama: “Kalau kalian nanti kerja dan melihat diri kalian mulai memaklumi hal-hal yang dulu kalian tolak, itu artinya kereta kalian sedang masuk jalur yang bukan jalur kalian. Ingat pepatah: turunlah di stasiun terdekat.”

Suatu sore, Kelaswara mengajaknya berjalan ke jembatan di atas sungai. Air keruh bergerak pelan. Anak-anak bermain bola plastik di tepi lapangan kecil. “Kamu kelihatan lebih ringan,” kata Kelaswara.

“Aku masih takut,” akunya. “Tiga bulan lagi uang sewa ruko jatuh tempo. Dana dari donatur belum pasti. Tapi takut itu kini ada bentuknya. Dulu ketakutanku seperti kabut, sekarang seperti batu—jelas, berat, tapi bisa diukur.”

Kelaswara tertawa. “Batu itu bisa ditaruh jadi tapak.”

.

Pada bulan kelima, Stasiun Kota kedatangan tamu tak terduga: wartawan muda yang dulu bertanya di konferensi pers. Ia datang dengan tote bag dan kamera kecil.

“Saya ingin menulis tentang tempat ini,” katanya. “Tentang orang-orang yang memilih turun dari kereta yang salah.”

“Awas, jangan jadi rubrik inspirasi instan,” celetuk Umar Maya sambil menaruh loyang roti di meja. Mereka tertawa.

Wartawan itu menghabiskan dua hari di Stasiun Kota, mengikuti kelas, mewawancarai murid-murid. Ia menulis dengan sabar, tak tergesa-gesa. Seminggu kemudian, tulisan itu terbit di media online dengan judul: “Stasiun Kota: Tempat Orang Belajar Pulang.” Tulisan itu dibagikan ratusan kali di media sosial, menuai komentar: “Kenapa baru ada sekarang?” “Ini yang kucari waktu resign kemarin!” “Boleh nggak buka cabang di kota kami?”

Sore itu, telpon Jayengrana berdering—nomor tak dikenal. Suara di seberang, seorang perempuan dengan nada bisnis. “Saya dari yayasan yang fokus pada pelatihan kerja. Kami ingin menjalin kerja sama, mendanai kelas-kelas, tapi kami ingin tahu dulu—apakah Anda masih memegang nilai yang Anda katakan di artikel itu?”

“Nilai itu kami pegang justru saat tidak ada yang menonton,” jawab Jayengrana. “Kalau Anda ingin dana mengubah prinsip, lebih baik kami cari jalan lain.”

Perempuan itu tertawa pendek. “Bagus,” katanya. “Justru karena itu kami tertarik.”

Kolaborasi itu membuat Stasiun Kota menghirup napas panjang. Mereka merenovasi atap, menambah kipas angin, mengadakan workshop bulanan untuk pelaku UMKM kuliner—kelas kebersihan dapur, manajemen sederhana, cara berkomunikasi dengan pelanggan tanpa merendahkan diri.

Dalam salah satu workshop, seorang ibu penjual soto bercerita, “Saya sering diminta ‘pesanan khusus’ oleh tamu tertentu. Kalau nolak, takut kehilangan pendapatan. Kalau terima, hati tidak enak.” Jayengrana menatapnya: persoalan lama, wujud baru. Ia bercerita tentang stasiun, kereta, jalur. Ibu itu mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Saya akan buat tulisan di warung: ‘Soto kami hanya untuk kenyang yang halal dan bahagia.’

.

Di antara banyak hari yang melelahkan, ada satu hari yang seperti anak panah: tajam dan menentukan. Suatu sore, Jingga—bos lamanya—muncul di pintu Stasiun Kota. Pakaiannya rapi seperti biasa, tapi mata itu tampak lelah.

“Aku lihat artikel itu,” katanya. “Kota kecil ini bisa jadi ramai karena hal yang tak tersangka.”

“Silakan masuk,” ajak Jayengrana.

Jingga melangkah ke dalam, menatap dinding yang bertuliskan Aja nganti keblinger. Ia mengangkat tangan, menelusuri huruf-huruf yang agak miring. “Kamu menemukan pelabuhanmu, Jayan.”

“Bukan pelabuhan, tepatnya peron yang tak pernah sepi,” jawab Jayengrana, setengah bercanda.

Jingga duduk. “Aku datang bukan untuk debat. Aku ingin mendaftar kelas.”

Jayengrana menatapnya—lama, tidak percaya. “Kelas yang mana?”

PR tanpa Basa-basi Toxic.” Jingga menatap tangannya sendiri, seolah ada noda yang tak kasat mata. “Aku ingin belajar merawat kata-kata tanpa menghianati manusia.”

Sore itu, Jingga duduk sebagai peserta. Ia menulis kalimat di papan: ‘Hotel kami berkomitmen pada kenyamanan.’ Lalu ia mencoretnya. Diganti: ‘Di hotel kami, kamu aman sebagai manusia. Jika ada yang membuatmu tidak aman, laporkan—kami akan berhenti untukmu.’ Jayengrana membaca pelan, tertawa nyaris tak terdengar. Kelas berakhir dengan tepuk tangan.

Sebelum pergi, Jingga berbisik, “Kalau kamu butuh hall untuk workshop besar, telepon aku. Kita bisa barter: kamu isi pelatihan integritas untuk seluruh stafku.”

“Deal,” kata Jayengrana. Mereka berjabat tangan. Ada masa lalu yang tak hilang, tapi sudah ditempati hal lain: pemahaman.

.

Suatu malam, angin laut menyusup jauh ke kota. Stasiun Kota sudah sepi. Jayengrana duduk di depan, memandangi jalan kecil di depannya. Lampu-lampu rumah orang menutup satu-satu, seperti kelopak mata. Kelaswara membawa selimut, membungkus bahu Jayengrana dari belakang.

“Aku memikirkan definisi ‘pulang’,” kata Jayengrana. “Ternyata, pulang bukan kembali ke yang dulu, tapi kembali ke yang kita tahu benar.”

Kelaswara menaruh dagunya di bahu Jayengrana. “Dan benar itu kadang sederhana: jangan jadikan orang lain alat.”

Jayengrana tersenyum. “Kamu tahu, aku sering ingat kalimat di awal perjalanan: ‘Jika naik kereta yang salah, turunlah di stasiun terdekat.’ Dulu kalimat itu seperti palu—membuatku takut pada bunyinya. Sekarang seperti lonceng di masjid kampung—penanda waktu yang menenangkan.”

“Karena kamu sudah menuruti bunyinya,” kata Kelaswara. “Lonceng paling bising adalah yang kita abaikan.”

Mereka diam—diam yang bukan kekosongan, melainkan jarak napas antar kalimat yang perlu diistirahatkan. Jayengrana melihat bayangan mereka memanjang ke jalan. Ia berpikir tentang orang-orang yang datang, tentang ibu penjual soto, tentang pemuda bernama Jingga, tentang Umar Maya yang akan membuka warung roti dengan modul kebersihan dapur yang kini ia ajarkan ke anak buahnya; tentang Umar Madi yang baru saja lulus kuliah dan tetap membantu logistik dengan sukarela. Ia memikirkan tentang “kereta” masing-masing orang, tentang peta rahasia yang mereka bawa di dada.

“Aku ingin menulis buku kecil,” katanya akhirnya. “Judulnya, Stasiun Kota: Catatan Orang-Orang yang Turun.

“Tulis,” ujar Kelaswara. “Orang butuh cerita. Supaya saat bimbang, mereka tahu ada kata-kata yang menemani.”

Jayengrana mengangguk. Ia menatap papan kecil di depan ruko: Stasiun Kota – Rumah Singgah Hospitality. Lampu di balik papan berkedip, lalu stabil. Hujan yang sangat halus mulai jatuh—hujan yang tidak memaksa orang membuka payung, hanya membuat kota seperti memiliki kabut sendiri.

Di tengah semua itu, Jayengrana menutup mata, mengulang pelan-pelan pitutur yang pertama kali menyeretnya ke sini: Aja nganti keblinger, luwih becik bali sadurunge adoh saka dalan. Ia tersenyum. Ia tahu: besok, ia akan terbangun pagi-pagi, memasak air, membuka kurikulum, memeriksa daftar hadir, menulis rencana workshop integritas untuk hotel Jingga. Hidupnya tidak menjadi lebih mudah. Tetapi ia sudah berhenti menunda.

Kota tetap bising. Kereta tetap datang dan pergi. Tetapi di Stasiun Kota, selalu ada kursi kosong untuk siapa pun yang ingin mengecek arah, menyalakan kembali kompas batin, lalu memutuskan—dengan tenang—ke mana ia akan pulang.

.

Pagi berikutnya, Stasiun Kota lebih ramai dari biasa. Seorang anak magang datang membawa selebaran. “Mas, ini rute baru angkot ke sini. Aku minta ke sopir-sopirnya, dan mereka setuju lewat gang sebelah tiap jam delapan dan empat sore.” Jayengrana tertawa. “Kamu murid yang jadi guru logistik.”

Anak itu bangga. “Biar orang tak perlu jalan jauh untuk turun.”

“Terima kasih,” balas Jayengrana. Ia menempel selebaran itu di papan pengumuman. Kelas dimulai. Hari itu temanya: “Mengelola Keluhan Tanpa Menghilangkan Martabat.” Sesi role play membuat ruangan penuh tawa. Ketika ada yang salah mengucap, mereka tertawa bersama, bukan menertawakan. Sore hari, ibu penjual soto mengirim pesan: “Warung saya ditutup lebih cepat karena habis. Saya menulis kalimat yang Mas sarankan di dinding. Banyak pelanggan bilang, ‘jadinya tenang makan di sini’. Terima kasih.” Jayengrana membalas, “Yang hebat adalah Ibu. Kami hanya memberi kata-kata.”

Di penghujung hari, Jayengrana mendapat panggilan video dari seorang sahabat lama, sesama PR yang sekarang bekerja di Bali. “Aku baca tulisan tentang tempatmu,” katanya. “Kita sering lupa, Jayan, bahwa pekerjaan kita sebenarnya bisa membuat organisasi berhenti sesaat untuk bertanya: ‘Apa ini melukai orang?’ Kau mengingatkanku.”

“Kalau lupa lagi, mampir,” kata Jayengrana. “Di sini, pertanyaan itu selalu kami ulang.”

Mereka menutup panggilan dengan janji bertemu. Senja menahun di jendela; warna oranyenya seperti janji yang tak banyak menuntut.

.

Suatu ketika di akhir pekan, Stasiun Kota mengadakan kelas terbuka di taman kota. Di panggung kecil, Jayengrana berbicara seperti biasa—tenang, bertahap, tidak romantik berlebihan. “Kita hidup di kota yang sering meminjam kata ‘maju’ untuk menutupi cara-cara yang mundur,” katanya. “Tapi kita bisa memaknai kemajuan sebagai bertambahnya kemampuan merawat: merawat tamu, rekan kerja, dan diri sendiri. Hospitality bukan menu mewah—ia cara memegang gelas air untuk orang lain tanpa menumpahkan.”

Seorang anak kecil bertanya, “Mas, kalau orang dewasa suka lupa, bagaimana agar ingat?”

“Buat tanda kecil,” jawab Jayengrana. “Seperti garis kuning di peron stasiun. Jangan dilampaui jika keretamu bukan yang itu.”

Orang-orang tersenyum. Di pojok, Kelaswara membagikan teh hangat gratis. Di sampingnya, Umar Maya menjual roti—roti pulang namanya, roti pisang lembut yang keuntungannya untuk kas Stasiun Kota. Di sebelah lagi, Umar Madi memasang papan rute angkot yang baru. Taman penuh tawa, tapi tawa yang tidak menutupi beban, melainkan menahannya bersama.

Selesai acara, seorang lelaki paruh baya menghampiri Jayengrana. “Saya dulu manajer night life,” katanya. “Saya tahu betapa gampangnya kita memaafkan diri sendiri atas hal-hal yang menyakiti orang lain. Saya ingin mulai lagi. Terlambat?”

“Tidak ada kata terlambat untuk orang yang berani jujur,” jawab Jayengrana. “Turunlah di sini. Kita baca peta bersama.”

Lelaki itu menunduk, mata berkaca-kaca. “Terima kasih.”

Jayengrana tahu, kata “terima kasih” itu bukan untuk nasihatnya. Kalimat itu untuk ruang yang memberi tempat pada rasa salah, tanpa melipatnya jadi malu.

.

Malam itu, setelah semuanya selesai, lampu-lampu dimatikan. Jayengrana dan Kelaswara berjalan melewati jembatan yang kini bukan lagi tempat melamun, melainkan tempat memeriksa bintang yang jatuh ke sungai. “Kamu ingat waktu pertama kali memutuskan?” tanya Kelaswara.

“Aku ingat detailnya: jam dinding angka Romawi, sipil-sipil di dinding, amplop tipis di meja.”

“Aku ingat sup jahe,” kata Kelaswara. “Karena sejak malam itu, panasnya tidak lagi untuk menenangkan takut, tetapi untuk merayakan keputusan.”

“Terima kasih,” kata Jayengrana.

Kelaswara menatapnya. “Untuk apa?”

“Untuk menjadi stasiun terdekatku.”

Mereka tertawa pelan. Angin membawa bau sungai yang bersih; entah mengapa malam itu kota serasa mandi. Di kejauhan, kereta malam melintas, suaranya seperti garis panjang yang ditarik penghapus. Jayengrana mengangkat tangan seperti anak kecil yang melambai. Ia tahu, bukan semua orang di kereta itu salah jalur, dan bukan semua orang di peron benar jalur. Tapi yang ia tahu pasti: ada pilihan untuk berhenti, bertanya, dan mengubah arah ketika hati memberi tanda.

“Pulang,” katanya—sekali lagi, seperti mantra yang sudah berubah menjadi udara.

Dan kota, yang tak pernah benar-benar tidur, menjawab dengan cara paling manusiawi yang ia bisa: membiarkan dua orang berjalan pelan, tanpa dikejar waktu.

.

“Pulang bukan berarti kembali ke masa lalu, tetapi kembali ke jalan yang kita tahu benar, meski harus melepas kenyamanan untuk menemukan ketenangan.”

.

.

.

Jember, 12 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #FilosofiJawa #Hospitality #Pariwisata #EtikaKerja #CeritaPerkotaan #MenemukanArahPulang #MotivasiKarier

Leave a Reply