Jaya Menepati Janji

“Berjualan bukan soal mulut yang pandai bicara, melainkan hati yang sanggup mendengar—lalu bekerja untuk menepati janji.”

.

Pagi di Atas Kota

Kota belum sepenuhnya terjaga ketika Jayengrana berdiri di depan dinding kaca lantai delapan Hotel Graha Cendana, tempatnya bekerja. Dari ketinggian itu, jalanan tampak seperti nadi raksasa yang mulai berdenyut—bus kota merangkak, pedagang kaki lima menyalakan kompor portable, dan suara klakson pertama terdengar seperti tanda pembuka orkestra. Langit menua perlahan dari biru tua ke kelabu terang. Di balik kaca, napas Jaya mengembun sebentar lalu lenyap, seperti segala cemas yang ia coba sembunyikan di balik kemeja rapih dan dasi yang disimpulkannya tanpa cela.

“Jaya, rapat jam sembilan. Kelaswara mau semua bawa update pipeline.” Suara serak yang akrab itu—Umar Maya—muncul dari balik cubicle. Rambutnya memutih di pelipis, kemejanya selalu tampak kebesaran, tapi sorot matanya tajam seperti pedagang lama yang sudah kenyang ditipu dan tak pernah berhenti jujur.

“Siap, Maya,” jawab Jaya. Bukan “Pak”—begitu aturan tak tertulis di divisi penjualan: semua panggilan harus merendahkan jarak.

Di meja kerjanya, selain berkas-berkas, ada secarik kertas dengan tulisan tangan: tepa selira, sumeleh, sabar lan temen. Di bawahnya ia coret kutipan yang sering diulang Maya dalam rapat: “Orang tidak membeli sekadar produk; mereka membeli alasan mengapa kamu berdiri di baliknya.” Jaya menghela napas, menatap lingkar samar di bawah matanya—bekas begadang menyiapkan proposal untuk seorang event planner ternama: Adaninggar. Proyek itu bisa menjadi jangkar pendapatan hotel enam bulan ke depan. Jaya tidak menaruh nasibnya pada kebetulan, tetapi pada janji-janji kecil yang ia tulis, ia tepati, lalu ia biarkan menjadi reputasi.

.

Rapat yang Menguji

Rapat pagi itu berlangsung seperti lalu lintas Jakarta—ramai, saling potong, namun entah bagaimana selalu tiba di tujuan. Kelaswara, manajer pemasaran yang terkenal tegas, membuka dengan nada datar. “Target MICE bulan ini belum tercapai. Pasar pernikahan jalan, tapi konferensi sepi. Kompetitor baru, Urban Lotus, menyedot klien besar. Mereka menang di show, bukan di soul. Jangan kalah hanya karena mereka punya layar LED lebih besar.”

Madi, rekan setim paling kinclong di media sosial, mengangkat tangan. “Saya sudah deal lisan untuk gala dinner 500 pax. Rate kita turunkan, bonus free-flow mocktail. Minggu ini saya yakin kontrak tanda tangan.”

Jaya menoleh pelan. “Kalau rate segitu, margin kitchen minus. Kita pakai sistem halal & HACCP; biaya tambahannya nyata. Kalau ditekan, kualitas turun.”

Madi tersenyum miring. “Jaya, klien lihat harga dan foto cantik, bukan sertifikasi dapur. Kita jual panggung, bukan kuliah gizi.”

Kelaswara tak mengubah ekspresi. “Jaya?”

“Adaninggar,” kata Jaya singkat. “Mereka mau health & halal lifestyle summit. Saya tawarkan hospitality as healing: menu comfort food sehat, silent corner, jalur wudhu strategis. Rate bukan yang termurah, tetapi nilainya lebih jernih.”

Maya mengangguk, janggut putihnya bergerak halus. “Di pasar ramai, niche bisa jadi mercusuar.”

Kelaswara mengetuk meja. “Baik. Jaya kejar Adaninggar. Madi kejar gala 500. Minggu depan kita lihat siapa bawa jangkar paling berat.” Ia menatap satu per satu, menahan kami dalam keheningan singkat. “Ingat: ‘Janji yang ditepati adalah mata uang yang tak pernah anjlok.’

.

Pitutur dari Pasar Garam

Jaya lahir di pesisir Madura. Ayahnya pedagang ikan: keras kepala, jarang memuji, tetapi timbangannya selalu adil. “Bukan ikan terbesar yang laku, tapi yang segar dan jujur timbangannya,” begitu kata ayah. Filosofi itu menempel pada Jaya, terbawa ke kota, jaring diganti laptop, timbangan diganti pricing sheet, namun maknanya sama: orang mencari ketenangan hati, bukan sekadar harga murah.

Siang itu Jaya bertemu Adaninggar di sebuah kafe yang penuh cahaya—jendela besar, kopi dituang dari gooseneck kettle, kue wortel yang diiris tipis untuk tampilan Instagram. Adaninggar datang tepat waktu, langkah cepat, mata penuh hitung-hitungan.

“Proposalmu rapi, tapi rate-mu tidak termurah,” katanya tanpa basa-basi.

“Aku percaya kamu tidak cari yang termurah, tapi yang sesuai visi,” jawab Jaya. Ia mengeluarkan rundown yang dipenuhi catatan tangan: jalur wudhu, wellness station, jamu hangat. “Kami punya dapur bersertifikat halal dan HACCP. Chef kami mau uji menu, mendengar preferensi peserta, bukan menjejalkan tren.”

“Jamu?” Adaninggar menaikkan alis.

“Herbal latte daun kelor—di-steam halus, diberi oat, sedikit jahe. Rasanya seperti memeluk petang setelah hujan.” Jaya tersenyum kecil. “Boleh puitis, selama costing masuk akal.”

Adaninggar terdiam. Ada sesuatu pada ketenangan Jaya yang membuat argumen harga terasa remeh. “Conditional yes. Uji menu minggu depan. Kalau dapurmu bisa bikin aku ingat rumah, kita deal.”

Di luar kafe, gerimis menitik. Jaya berjalan pulang dengan langkah lebih ringan. Setiap tetes di jaketnya seperti ketukan kecil yang mengingatkan: janji itu pekerjaan, bukan poster.

.

Menu Uji dan Doa Panjang

Dapur hotel bekerja seperti orkestra. Chef Halim menyiapkan soto bening dengan kaldu yang direbus pelan sejak subuh; tim cutting menimbang bahan baku seperti menakar emas; steward memastikan jalur bersih dan kotor tidak saling bersilang. Label halal rapi, probe thermometer siap. Maya berdiri di pintu, tangannya menyilang di dada, mengamati dengan sorot mata yang dulu sering melihat topan di pasar.

Adaninggar datang bersama dua timnya. Aroma kaldu menyapa seperti salam hangat. Mereka mencatat: kurangi garam, tambah jeruk nipis, ganti minyak untuk serundeng. Tidak ada yang defensif. “Kalau setuju, kami iterasi sampai enak di lidah peserta dan tenang di pikiran panitia,” kata Jaya.

Adaninggar menatapnya lama-lama. “Kalian mendengar. Itu jarang.” Ia tersenyum tipis. “Deal. Tapi ingat, aku tak suka kejutan—kecuali yang menenangkan.”

Di musholla kecil ujung koridor, Jaya berhenti sebentar. Ia tidak pandai doa, hanya terbiasa mengucap terima kasih pada rezeki yang tidak selalu datang sebagai angka. Kadang ia datang sebagai orang yang mau dipercaya.

.

Dua Panggung, Dua Cerita

Minggu berikutnya, dua acara besar berlangsung bersamaan. Ballroom A, pesta Madi, meriah—lampu LED benderang, efek asap, DJ menghangatkan malam. Foto booth seperti kabin pesawat kelas bisnis; server berlari seperti bayangan. Madi bergerak cepat, tertawa lebar, berdiri center stage.

Ballroom B, summit Jaya, sunyi yang jernih. Kursi disusun setengah lingkaran. Para peserta duduk dengan jarak manusiawi, silent corner berisi bantal dan buku gambar untuk tamu yang butuh jeda. Aroma jahe dan daun kelor mengisi udara. Jaya tidak berteriak; ia berkeliling seperti bayangan, memastikan jalur wudhu tidak licin, name tag terbaca jelas, usher mengerti bahasa tubuh tamu yang cemas.

Sekitar pukul delapan malam, pada puncak pesta Madi, listrik ballroom berkedip lalu padam. Genset menyala, tapi sound system gagal bangkit sempurna. Timeline berantakan, daging wagyu dari pemasok baru ternyata keras—barangkali terlalu lama di holding cabinet. EO panik, Madi mengatup rahang, menekan walkie talkie sampai telapak tangan memutih.

Di summit Jaya, sesi mindful breathing berjalan tanpa gangguan. Keynote speaker adalah dokter yang bicaranya pelan, tetapi kata-katanya menenteramkan. Ketika sesi makan, soto kelor disajikan hangat, lambat, tidak berlebihan. Di ujung ruangan, seorang ibu muda memeluk bahu anaknya yang sensitif suara—anak itu mengunyah roti keju tanpa teriak.

Malam itu kota membagi pelajaran tanpa pidato: ada panggung yang menyilaukan, ada panggung yang menyalakan.

.

Reputasi di Mata Kota

Keesokan harinya, grup percakapan kota gaduh oleh dua video. Pesta Madi menjadi trending karena listrik padam; komentar saling silang antara simpati dan cemooh. Summit Jaya tidak menjadi berita besar, tetapi surel-surel ucapan terima kasih berdatangan. Dari panitia, dari peserta, dari dua pihak yang sebelumnya ragu pada kata “halal” karena menyangka itu berarti kaku. Ternyata yang halal bisa juga hangat dan inklusif.

Dari Adaninggar, sebuah pesan: “Tim kamu sungguh mendengarkan. Aku menangis diam-diam kemarin. Terima kasih.”

Jaya membalas: “Ini kerja tim. Terima kasih karena mempercayai.” Lalu ia meminta izin cuti dua hari untuk pulang—ayahnya kambuh batuknya. Adaninggar membalas, sependek dan setegas biasanya: “Pergilah. Tidak ada urusan lebih penting dari orang tua.”

.

Pulang Membawa Ketenangan

Feri menyeberang pada senja berwarna logam. Di geladak, angin membawa aroma asin yang masa kecil Jaya hafal di kulit. Sesampainya di rumah, ayah duduk di kursi bambu, menahan batuk kecil. Ibu menoleh, meletakkan sendok kayu.

“Kau bawa oleh-oleh?” tanya ayah.

“Ini nebulizer. Dan sedikit uang untuk beli obat.”

Ayah tertawa pelan. “Kau seperti pedagang ikan yang takut dagangannya busuk. Ingat, pelanggan beli ketenangan hati, bukan sekadar barang.”

Malamnya mereka makan soto sederhana. Asapnya tipis, mengantar suara jangkrik. Ayah menatap mangkoknya, lalu berkata, “Jangan bahagia berlebihan saat dipuji, jangan marah berlebihan saat dicerca. Alon-alon asal kelakon. Yang penting, timbangannya tetap adil.”

Jaya menunduk. Ada rasa bersalah yang sulit ia sebutkan: rasa bahwa hidup kota sering membuatnya tergoda memotong sudut—mengambil jalan pintas pada janji-janji yang ia tahu tidak seharusnya diburu dengan metode paling murah. Malam itu ia berjanji ulang, dalam hati, tanpa seremoni: menjual itu bukan soal licin bicara, tapi kuat menanggung janji.

.

Belajar dari Kegagalan

Dua pekan kemudian, rapat mingguan membuka data. Revenue pesta Madi besar, tetapi refund dan penalty clause menggerus angka sampai nyaris merah. Summit Jaya tidak semenjulang angka awalnya, namun memicu pipeline: retreat korporat, konferensi kesehatan regional, pelatihan food safety. Kelaswara berdiri di depan layar, diam beberapa detik, menatap kami seperti guru yang memilih kata agar tidak melukai.

“Budaya kerja kita: bukan menjual janji, tetapi menepati janji. Program hospitality as healing kita jadikan identitas,” katanya. “Jaya pimpin task force. Maya mendampingi. Madi, kamu yang paling cepat, tapi sekarang kau yang paling tahu risiko cepat tanpa jangkar. Kamu pimpin audit vendor.”

Madi menegakkan bahu. Di sudut matanya, ada sesuatu yang mirip malu. “Iya.”

Keluar dari ruang rapat, ia menghampiri Jaya, mengangkat telapak tangan. “Maaf, Bro. Saya kebablasan show.”

Jaya menepuk punggungnya. “Kita belajar bareng. Kota ini terlalu bising untuk saling berteriak.”

.

Rumah Singgah Bernama Hotel

Task force bergerak diam-diam. Mereka memetakan ulang guest journey, menulis ulang SOP halal & food safety, menempelkan signage yang tidak menggurui. Setiap Jumat siang, mereka buka listening hour: waktu menerima keluh-kesah tamu, vendor, bahkan sesama karyawan yang takut suaranya hilang di balik target.

Suatu siang, seorang ibu muda datang, gugup, membawa anak laki-laki tujuh tahun dengan noise sensitivity. “Anak saya susah makan kalau ramai,” katanya pelan.

Maya bangkit, mempersilakan mereka duduk. Malam harinya, Jaya dan Madi menyiapkan silent corner lebih lengkap: bantal empuk, buku gambar, headphone noise-cancelling pinjaman AV team. Keesokan harinya, anak itu kembali, duduk, menggambar rumah berlantai dua, lalu memakan roti keju tanpa teriak. Ibu itu menatap kami dengan air mata. “Terima kasih.”

Itu bukan nilai di P&L, tetapi menambah angka yang tidak bisa dilihat—angka yang membuat orang ingin kembali tanpa tahu kenapa.

.

Kota, Janji, dan Harga Diri

Perlahan, reputasi hotel menguat. Seorang jurnalis lifestyle menulis artikel kecil tentang “hotel yang ramah sunyi.” Seorang pejabat kementerian membaca, mengirim Letter of Intent untuk konferensi kesehatan nasional. Alasannya sederhana: “rekam jejak pelayanan inklusif dan patuh halal-higienis.” Tak ada kata wah di surat itu, hanya kata-kata yang selama ini mereka pelihara: tertib, mendengar, menepati.

Ketika kabar itu datang, kantor meledak oleh sorak. Madi memeluk Jaya, tertawa. “Ternyata jadi manusia yang mau mendengar, bikin order form datang sendiri.”

Kelaswara mengangkat gelas kertas berisi jamu kelor. “Kita rayakan dengan yang merawat, bukan yang mengaburkan.”

Malam itu, di rooftop, kota di bawah seperti peta bintang. Hujan tipis menggurat udara. Jaya berdiri sendiri, berpikir tentang ayah yang batuknya mereda, ibu yang selalu menambah air di kuah agar cukup untuk semua, Maya yang mengajari sabar tanpa khotbah, Madi yang berani mengaku salah, dan Adaninggar yang memercayai senyap.

Ia menulis di ponsel: “Berjualan bukan soal bicara paling nyaring. Ia soal menepati janji, mengubah harga menjadi makna, dan menimbang dengan adil.” Lalu ia tambahkan satu kalimat: “Yang memikat orang bukan kecepatan lidahmu, melainkan ketekunan doamu dan ketulusan kerjamu.”

Di menit itu, lampu-lampu kota bukan lagi saingan bintang. Mereka hanyalah penanda bahwa manusia bekerja, mencinta, dan—kalau beruntung—menepati janji.

.

Retak yang Menguatkan

Tiga hari sebelum konferensi nasional, kabar buruk datang: vendor utama AV mengundurkan diri. Di grup WhatsApp, panik menyebar cepat. “Habis kita kalau panggung tanpa layar,” ujar seseorang. “Berita buruk jalan lebih cepat daripada kebenaran,” balas Maya tenang. “Kebenaran kita: konten kuat, flow kuat. Cari vendor baru. Jangan beli megafon, perkuat pesan.”

Madi bergerak seperti pelari. Ia menelepon vendor lama yang dulu ia tinggalkan demi diskon segar. “Saya dulu salah,” ucapnya terus terang. “Kalau kamu mau bantu, saya akan bayar tepat waktu, dan saya janji kita akan jadi klien yang mendengar.”

Vendor itu diam lama, lalu tertawa. “Kamu akhirnya diajar kota ya?” Mereka datang dengan harga wajar, kru terlatih, dan kebiasaan mengecek kabel dua kali. Run-through berjalan mulus. Di akhir hari, Madi duduk di tangga belakang panggung, menatap Jaya. “Kau tahu rasa malu yang sehat? Ini.”

“Rasa malu yang sehat menumbuhkan,” kata Jaya. “Sisanya kita buktikan.”

.

Konferensi yang Tenang

Hari H, keynote pertama dimulai pukul delapan lewat lima—keterlambatan yang manusiawi. Tidak ada listrik padam. Tidak ada daging keras. Ada tawa yang sedang, ada jeda yang sengaja. Di pojok silent corner, anak-anak staf panitia mewarnai sambil menunggu orang tuanya selesai bekerja. Di ruang back of house, SOP ditempel dengan huruf besar, bukan untuk menjadi pajangan, tetapi untuk menjadi kebiasaan.

Di akhir acara, Adaninggar menghampiri Jaya. “Kau menepati janji. Jarang ada yang ingat bahwa janji bukan barang promosi, tetapi barang produksi.”

Jaya menatap panggung yang mulai dibongkar. “Terima kasih karena mengingatkan kami untuk mendengar.”

Adaninggar mengangguk. “Kalau kota ini menilai dari show, biarkan kita fokus pada soul.” Ia tersenyum—senyum yang tahu lelahnya perjalanan sambil tetap memilih jalan yang sama besok pagi.

.

Surat untuk Ayah

Malamnya, di kamar sempit yang dijadikan ruang tidur bergilir bagi staf event, Jaya menulis surat untuk ayah—meski di era pesan cepat itu terasa aneh. “Bapak,” tulisnya, “timbangan di sini bukan besi. Timbangan di sini adalah ingatan orang tentang kita. Kalau kami menepati janji, timbangan mengarah ke percaya. Kalau kami abai, timbangan menumpuk hutang tak kasatmata.”

Ia menutup surat dengan kalimat yang ia temukan sendiri setelah sekian rapat, sekian complaint, sekian pelukan diam: “Kepercayaan tumbuh dari janji yang ditepati, bukan dari janji yang terdengar indah.” Surat itu ia foto, ia kirim ke ponsel ibu. Balasan datang sederhana: foto ayah yang tertidur dengan nebulizer, keterangan pendek: “Bapak bangga.”

.

Kota yang Belajar Pelan

Beberapa bulan kemudian, Graha Cendana tidak berubah menjadi hotel paling gemerlap di kota. Layar LED tetap tidak sebesar Urban Lotus. Namun resepsionis kami tahu memanggil nama tamu dengan benar, housekeeping kami menuliskan catatan kecil di meja: “Kami ganti bantal Bapak lebih empuk.” Dapur kami tetap membedakan jalur bersih dan kotor, bukan karena audit, tetapi karena itu cara kami berkata maaf jika pernah membuat orang sakit.

Maya pensiun diam-diam, meninggalkan buku catatan tebal yang di halaman terakhirnya hanya ada satu kalimat: “Jangan pernah mengira mendengar itu pasif. Mendengar adalah kerja paling berisik di dalam hati.” Madi menjadi orang pertama yang datang dan terakhir pulang saat event. Ia tak lagi mengejar like sebanyak dulu, tetapi ia mulai punya teman-teman vendor yang mengirim kue saat ulang tahunnya. Adaninggar membawa proyek lain, tetapi juga datang kadang-kadang hanya untuk duduk minum herbal latte daun kelor, menatap ke luar jendela seperti kami menatap pagi di atas kota.

Jaya… ia tetap berdiri di balik kaca lantai delapan, memandang nadi raksasa yang berdenyut. Kota selalu riuh. Target selalu menggoda untuk menekan harga dan memudarkan nurani. Namun setiap kali ia hampir menyerah pada cara-cara cepat, ia mengingat kembali kursi bambu, kuah soto, dan timbangan tua di pasar garam. Di sanalah ia belajar bahwa keuntungan paling lama tinggal justru rasa tenteram yang dibiakkan oleh janji-janji kecil yang ditepati.

Dan pada akhirnya, bukankah itu yang kita tukar setiap hari? Waktu dan tenaga kita, untuk secuil ketenangan bahwa kita hidup dengan cara yang benar.

.

.

.

Jember, 11 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#JayaMenepatiJanji #HospitalityAsHealing #MenakMaduraModern #EtosKerja #LayananDenganHati #HalalHACCP #Reputasi #CerpenKota

.

Quotes tambahan relate dengan isi cerpen:

  • “Janji yang tak ditepati adalah utang yang menagih reputasi.”

  • “Daya tarik bukan pada volume suara, melainkan pada kedalaman niat.”

  • “Pelayanan terbaik lahir dari telinga yang lapang dan tangan yang ringan.”

  • “Harga bisa ditawar, kepercayaan tidak.”

  • “Di kota yang bingar, menepati janji adalah cara paling sunyi untuk bersinar.”

Leave a Reply