Lorong Empat Huruf di Kota

“KPI terbaik bukan angka di layar, melainkan nyala yang kita jaga di dada-dada manusia: beri tahu, bikin tertarik, ajak terlibat, lalu hidupkan inspirasi.”

.

Hujan datang di Jakarta seperti janji yang tak pernah lelah ditepati. Pukul lima pagi, langit masih abu pucat, dan atap Hotel Samudra—hotel bintang empat yang tak lagi muda di tepi jalan yang selalu macet—menampung gerimis seperti telapak tangan yang menampung doa.

Hamzah berdiri di lobi yang luas, memandangi lampu gantung kristal yang sudah dua kali dirapikan selama setahun ini. Di saku kemejanya, ia menyelipkan empat kertas kecil, masing-masing ditulisnya dengan spidol hitam, hurufnya miring, tegas, dan cepat: Informed, Interested, Involved, Inspired. Empat kata itu ia sebut “lorong empat huruf”—arah ia memimpin timnya keluar dari kebiasaan lama yang membuat kinerja hotel menurun dan moral tim turun-naik seperti lift yang kelelahan.

“Pagi, Zah,” sapa Maya, kepala komunikasi yang rambut sebahunya diikat rapi. “Ada tiga e-mail komplain soal Wi-Fi semalam. Satu blogger lumayan berpengaruh sudah bikin utas.”

Hamzah mengangguk. Gerimis menggambar garis-garis miring di luar, seperti cat air di atas kertas. “Kita jawab sekarang. Keep people informed. Jelaskan kronologi, akui salah, sebut perbaikan yang sedang jalan. Jangan defensif.”

“Aku sudah siapkan draf,” kata Maya. “Tinggal kamu setujui.”

“Terima kasih.” Hamzah menatapnya lama-lama. Di mata Maya ada sedikit bayang lelah; semalam ia pulang paling akhir setelah persiapan acara pernikahan di ballroom Sabang. “Kopi dulu?”

Maya menggeleng. “Nanti saat rapat jam tujuh. Madi menunggu di ruang manajemen. Katanya ada kabar dari PLN.”

Hamzah merasakan perutnya seperti digenggam. PLN, hujan, acara akbar; tiga kata yang jarang bergaul baik.

Ia berjalan ke ruang manajemen melewati koridor yang dindingnya dihiasi foto-foto hitam-putih Jakarta tempo dulu: trem tua, pedagang kaki lima, Pasar Baru, dan Sungai Ciliwung yang tampak ramah, seolah tidak pernah meluap. Hotel Samudra berdiri sejak era itu, berganti pemilik beberapa kali, terakhir diambil alih Mihrab, pengusaha properti yang percaya pada keajaiban lokasi—meski gedung-gedung tinggi di sekitarnya sudah lebih muda, lebih kinclong, lebih mahir memoles citra di Instagram.

Di ruang manajemen, Madi—kepala teknik—menunggu dengan raut muka yang tidak mencoba menyembunyikan kecemasannya. “Genset bisa menahan ballroom dan lobi, tapi kalau pemadaman sampai tiga jam, kita harus pilih: kamar-kamar tinggi atau dapur utama.”

“Acara pernikahan mulai jam sepuluh,” kata Hamzah. “Dapur mesti hidup. Ballroom juga.” Ia menatap tabel yang Madi sodorkan: angka-angka beban listrik, kapasitas, perkiraan konsumsi. “Kamar tinggi kita coring—sebar informasi ke tamu, siapkan extra fan, dan pro-aktif tawarkan perpanjangan check-out tanpa biaya untuk yang terdampak.”

“Baik,” kata Madi, mencatat.

Hamzah memikirkan pitutur yang sering diulang almarhum ibunya, perempuan Madura yang pindah ke ibukota dan menjahit baju seragam hotel untuk membesarkan anak-anaknya: “Aja dumeh, aja kagetan, aja gumunan.” Jangan merasa lebih, jangan mudah kaget, jangan mudah heran—tetap teduh dalam hiruk-pikuk. Ia menaruh kertas kecil “Involved” di atas meja rapat.

“Pukul tujuh, semua kepala departemen kumpul,” katanya. “Kita jalankan lorong empat huruf hari ini.”

Di luar, hujan menebal.

.

Peta Kota, Peta Dada

Rapat dimulai dengan suara tetes hujan yang memukul-mukul jendela. Ada Madi; ada Maya; ada Zubaidah, kepala housekeeping yang semua orang panggil Zuba; ada Qasim dari front office; ada Nura dari sales yang suaranya tenang seperti orang yang baru bangun dari tidur siang panjang.

Hamzah membuka dengan hal paling sederhana: informasi. “Teman-teman, kita menerima notifikasi dari PLN ada potensi pemadaman dua jam rentang jam sembilan sampai dua belas. Padahal pukul sepuluh kita mulai resepsi pernikahan keluarga Maya—bukan, keluarga calon tamu bernama Zulaikha.” Ia melirik Maya, dan mereka tertawa kecil. Kecanggungan buyar. “Genset kita aman untuk ballroom dan dapur. Kamar lantai 12 ke atas akan kita alihkan supply-nya minimal. Tamu di sana akan kita beritahu satu per satu. Ingat empat K-P-I lain: tertarik—kita buat pengalaman mereka tetap menyenangkan; terlibat—kita minta bantuan mereka memilih opsi terbaik; terinspirasi—kita jadikan hari ini kisah yang pantas diceritakan.”

“Kalau ada tamu marah?” tanya Qasim.

“Kita dengarkan dulu,” jawab Hamzah. “Tidak semua kepanasan perlu dipadamkan dengan api. Ada yang cukup diangin-anginkan.”

Zuba mengangkat tangan. “Lantai 15 ke atas punya jendela yang bisa dibuka sedikit. Kita siapkan handuk dingin dan infused water di koridor. Ajak tamu turun ke lounge, kita buka mini library.”

“Bagus,” kata Hamzah. “Keep people interested. Bikin mereka merasa tetap ‘pengen’ berada di sini.”

Maya menambahkan, “Aku siapkan papan kecil di lobi: Hujan membuat lampu menari, kami menyiapkan pelita cadangan. Ringan, tapi jujur.”

“Di dapur?” Hamzah menatap Nura.

Nura menyodorkan daftar: dekor, tema menu, jalur hidang. “Aku koordinasi dengan chef. Kita kurangi menu yang butuh oven besar, tambah live cooking di sisi ballroom—biar tamu melihat kesibukan kami sebagai bagian dari pengalaman.”

Hamzah mengangguk. “Bukan hanya menyuguhkan makanan, tapi menyuguhkan keterlibatan.”

Rapat berakhir dalam dua puluh menit. Mereka berpencar bagai semut yang paham arah. Hamzah berdiri di depan papan pengumuman internal—papan tulis linen putih dengan spidol biru. Ia menggambar panah dari huruf K-P-I besar: Keep People Informed → Interested → Involved → Inspired. Di bawahnya ia tulis: “Kita tidak sekadar hotel. Kita rumah singgah yang memanusiakan hari buruk setiap orang.”

Di punggungnya, kota masih menggeram perlahan.

.

Komplain, Pelukan, Lampu-lampu

Pukul sembilan kurang, listrik padam. Genset menyala. Ballroom Sabang tetap terang—lampu-lampu candelabra menyerupai bunga kapas yang mekar. Suara gergaji air hujan di rintik jendela jadi musik latar yang tak diundang.

Di lobi, seorang tamu paruh baya turun dari lift dengan wajah kusut. “Kenapa AC mati?”

Qasim mendekat, menunduk sedikit. “Mohon maaf, Pak. Ada pemadaman dari penyedia listrik. Kami siapkan lounge dengan minuman dingin, dan langkah berikutnya bisa kami bantu. Apakah Bapak bersedia kami pindahkan ke kamar yang lebih rendah agar sejuk lebih cepat?”

Tamu itu menatapnya lama-lama. “Kamu sudah tahu aku suka kamar tinggi karena pemandangan.”

“Kalau Bapak bersedia, kami antarkan ke lounge dulu. Saya jamin, begitu listrik PLN aktif, kita kembalikan kamar Bapak. Sebagai kompensasi, kami perpanjang check-out dua jam. Boleh, Pak?”

Tamu itu menghela napas. “Ya sudah. Tapi tolong, jangan bikin saya menunggu.”

Hamzah yang memperhatikan dari jauh, menepuk bahu Qasim setelah urusan selesai. “Cara bicaramu tadi: tenang, jujur, memberi opsi. Itu KPI yang hidup.”

Qasim tersenyum malu. “Saya belajar dari Zuba.”

Zuba, yang mengawasi petugas kebersihan menaruh handuk dingin di koridor, melambai. “Aku hanya menirukan caramu menyapa, Zah: pelan, tapi hangat.”

Selalu ada pelukan kecil di hari hikuk-pikuk: kalimat pendek yang membuat bahu tidak lagi terasa menurun.

Pukul sepuluh, prosesi pernikahan dimulai. Jaket jas pengantin pria berwarna abu muda; pengantin perempuan, Zulaikha, memilih kebaya putih dengan renda halus. Di lantai, petugas housekeeping bergerak seperti bayang, tak terlihat tapi terasa rapi. Di sudut, live cooking menyalakan api kecil yang menari, menandingi rintik hujan di kaca. Maya memotret, mengunggah di kanal resmi hotel: “Di balik hujan, ada dapur yang terus mengepul. Selamat berbahagia, Zulaikha & Rifan.”

DM masuk. Ada blogger yang semalam protes soal Wi-Fi. “Tadi pagi aku lihat pengumuman jujur kalian di lobi. Good move.”

Maya meneruskan pesan itu ke Hamzah. Ia membalas: “Maaf atas kendala semalam. Kami belajar. Hari ini kami berusaha memastikan semua tamu tetap betah.”

Jam sebelas lewat sedikit, listrik dari PLN kembali. Sorak kecil terdengar, seperti tepuk tangan di akhir lagu.

Hamzah menghela napas panjang. Ia tahu, badai yang lebih besar selalu menyelip di jeda napas yang terlalu lega.

.

Kisah Kecil Seorang Pelayan Luar Biasa

Setelah resepsi, Hamzah menyempatkan diri ke kantin karyawan. Di meja pojok, Qasim makan nasi goreng dengan serius. “Ibuku telepon pagi tadi,” katanya ketika Hamzah duduk. “Kontrakan di Tanjung Barat kebanjiran semata kaki. Dia bilang tak apa. Tapi suaranya membuatku ingin pulang.”

“Pulanglah,” kata Hamzah. “Kamu sudah bantu banyak.”

Qasim menggeleng. “Kalau aku pulang, shift sore tak ada yang jaga. Aku bisa pulang malam. Toh ini surut-surut sebentar.”

Hamzah terdiam sejenak. Di kepalanya berputar kata-kata dari seorang penulis yang dulu ia hafal di kampus: “When people are emotionally invested, they want to contribute.” Ketika orang terlibat secara emosional, mereka bukan sekadar bekerja—mereka memberi dirimu sepotong hati.

“Kalau begitu,” kata Hamzah, “kita yang ke sana. Selesai shift, aku antar kamu. Sambil bawa selimut hotel yang sudah masuk daftar donasi. Hotel ini tak hanya untuk tamu. Hotel ini harus menenangkan orang-orang yang menjaganya.

Qasim menunduk. Ada kilat di matanya, seperti lampu kota yang menolak mati.

.

Surat Terakhir dari Ibu

Malam itu, setelah tamu pesta terakhir pamit, Hamzah duduk di kantornya yang menghadap ke arah jalan. Hujan mereda. Lampu-lampu pada gedung sekitar menyalakan warna-warni: biru, ungu, putih. Di laci meja, ia menyimpan surat terakhir dari ibunya, bertahun-tahun lalu. Tulisan huruf tegak bersambung, tinta yang sudah pudar.

Zah, urip iku urup. Hidup itu harus menyala, bukan cuma untuk dirimu, tapi untuk yang lain.
Mungkin kamu akan bekerja di tempat yang halus bantalnya dan mahal jam dindingnya.
Ingat, yang membuat tamu betah bukan kemewahan, melainkan rasa tenang yang kamu titipkan di sapa, di lampu-lampu yang tepat waktu, di nasi hangat yang tiba pada jamnya.
Aja kikuk mbudidaya dadi manungsa. Jangan canggung mengusahakan kemanusiaan.

Hamzah mengusapkan surat itu ke dada, seperti menempelkan jimat.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Mihrab, pemilik hotel: “Besok pagi ada inspeksi investor dari Singapura. Tolong siapkan presentasi. Mereka ingin data okupansi, strategi, rencana renovasi, dan—ini penting—cerita.”

Cerita? Hamzah tersenyum. Itu keahliannya; atau setidaknya, itu yang selalu ia percayai menyelamatkan dunia: cerita yang jujur dan menggerakkan.

.

Hari Baru: Ketika Data Bertemu Dada

Pagi berikutnya, hujan sudah tinggal wangi tanah. Hamzah berdiri di ruang rapat besar. Dinding kaca memperlihatkan jalan yang sibuk, bus kota, ojek daring yang seperti semut terburu, suara klakson yang menari-nari halus. Di layar, slide pertama: KPI = Keep People Informed, Interested, Involved, Inspired.

Mihrab duduk di sisi investor: laki-laki berwajah jernih bernama Yunus dan perempuan berkacamata bernama Rani. Mereka menatap layar dengan minat yang tak berlebihan—tanda mereka menyimpan banyak pertanyaan.

“Kami bukan hotel termuda di radius ini,” Hamzah memulai. “Kami bahkan tidak punya infinity pool di rooftop. Tapi okupansi tiga bulan terakhir naik 8,4%. Net Promoter Score kami merangkak dari 44 ke 58. Tingkat pengaduan yang tidak tertangani turun 37%.”

Yunus mencatat. “Strateginya?”

“Tiga hal,” kata Hamzah. “Pertama, transparansi: semua informasi operasional kami sampaikan ke tamu secara proaktif—jadwal pemeliharaan, potensi gangguan, penawaran pengganti. Kedua, inovasi kecil tapi konsisten: live cooking saat hujan, mini library di lounge pagi, tur kota gratis setiap Sabtu pagi untuk anak tamu yang menunggu orang tuanya rapat. Ketiga, keterlibatan: tamu kami ajak ikut memilih tema musik lobi tiap pekan; karyawan kami ajak merancang SOP baru sehingga mereka merasa memiliki.”

Rani mengangkat alis. “Kedengarannya romantis. Tapi apa jaminan konsistensinya?”

Hamzah menggeser slide. Foto-foto muncul: Zuba dengan serbet putih di tangan, menertawakan sesuatu bersama karyawan lain; Madi memegang senter mengawasi panel listrik; Qasim berdiri di lobi, memeluk seorang nenek yang baru saja kehilangan dompet dan tiba-tiba menemukannya kembali di bawah kursi. Di pojok foto, ada papan tulis linen dengan panah besar dari huruf K-P-I ke huruf K-P-I yang lain.

“Jaminannya adalah budaya, bukan poster,” ujar Hamzah. “Kami menamainya Lorong Empat Huruf. Setiap keputusan manajerial harus melewati lorong itu. Kami membuat ritual pagi: pembacaan satu cerita pendek tentang tamu atau rekan kerja yang menyalakan satu dari empat huruf. Rasanya sederhana. Tapi manusia bergerak oleh cerita yang mereka rasakan benar.”

Mihrab tersenyum. “Zah lebih pandai bercerita daripada aku mendesain gedung.”

Rani menggoyang pena. “Kalau ada krisis? Bencana? Pandemi baru? Bukankah cerita tidak cukup?”

“Cerita bukan pengganti protokol,” jawab Hamzah. “Tapi jembatan. Saat sinyal tidak stabil, cerita menjaga manusia tetap satu frekuensi.”

Ia bercerita tentang hari kemarin: listrik padam, pernikahan tetap berjalan, blogger yang semula marah meredakan nada. Ia bercerita tentang Qasim dan niatnya pulang, tentang selimut yang akan mereka bawa malam ini ke kontrakan ibu Qasim. Di layar, angka-angka tetap ada—respons rate, revenue per available room, cost saving dari pengalihan menu—tapi di antara angka, Hamzah menyisipkan foto handuk dingin di koridor, infus water, dan catatan tangan anak kecil yang menginap: “Terima kasih, Kakak-kakak hotel. Sarapannya enak. Aku suka ada buku di lounge.”

Yunus menutup buku catatannya. “Kami menyukai strategi yang bisa dijalankan tanpa meledakkan biaya.”

Hamzah menunduk. “Hemat yang berbelas. Itu frasa favorit kami.”

Rani menatap Mihrab. “Kami butuh seminggu untuk angka-angka lanjutan. Tapi saya sudah tahu, cerita hotel ini layak panjang.”

Di koridor, Maya menunggu, mengangkat jempol kecil saat Hamzah keluar. “Bagus?”

“Layaknya hujan semalam,” kata Hamzah. “Turun dengan niat, berhenti dengan wangi tanah.”

.

Malam Berbagi Selimut

Hamzah menepati janjinya. Malam itu ia menyetir mobil operasional, Qasim di samping, bagasi berisi selimut dan set perlengkapan kebersihan. Tanjung Barat masih menyisakan genangan—air setinggi mata kaki, orang-orang menenteng sapu lidi, ember, karung. Ibu Qasim, perempuan kurus berkerudung, menyambut dengan senyum basah. “Tidak usah repot, Nak.”

“Bukan repot,” kata Hamzah. “Ini bagian dari menjaga nyala.”

Tetangga-tetangga berdatangan. Anak-anak menatap selimut-selimut bertuliskan nama hotel seperti menatap kue ulang tahun. Qasim menunduk lama-lama memeluk ibunya. Hamzah berdiri agak jauh, memandangi lampu-lampu kecil di rumah kontrakan itu menyala redup—tapi cukup.

Pulang, Qasim berkata lirih, “Terima kasih, Zah.”

“Terima kasih kembali,” jawab Hamzah. “Kamu sudah membuat hotel itu lebih mirip manusia.”

.

Kota Selalu Punya Pagi

Bulan berganti. Hujan mengendur. Lorong Empat Huruf menjadi rutinitas yang tidak terasa seperti rutinitas: ia seperti napas. Karyawan baru didampingi Zuba untuk membaca buku-buku tipis tentang pelayanan yang baik; Madi mengadakan tur singkat ke ruang mesin tiap Jumat untuk siapa saja yang penasaran, sehingga petugas resepsionis paham kenapa AC kadang kalah oleh kelembapan; Maya mengelola newsletter yang tidak hanya berisi promo, tapi juga cerita di balik layar tentang kue lapis legit buatan chef yang terinspirasi dari resep neneknya di Bangkalan.

Qasim, yang selama ini bekerja di front office, mengusulkan program “Tukar Sepatu”: sepekan sekali, dua karyawan lintas departemen bertukar tugas ringan—sekadar satu jam—agar mengerti sudut pandang lain. Petugas housekeeping duduk di resepsionis memperhatikan nada bicara telepon; resepsionis ikut melipat seprai di laundry sambil mendengarkan radio dangdut. Mereka tertawa; mereka kelelahan; mereka lebih terlibat.

Di dinding lobi, Maya memasang pigura berisi kalimat yang kini menjadi mantra hotel, membungkus pitutur Jawa dan semangat global:
“Urip iku urup—hidup itu menyala. Dan nyala paling terang adalah ketika kita membuat orang lain merasa tenang.”

Hamzah, di pagi yang tidak hujan, berdiri memandangi pigura itu. Datang seorang tamu perempuan yang dulu sering mengeluh soal sarapan. Kali ini ia mendekat dengan senyum.

“Aku pindah ke hotel kalian lagi karena berita kecil yang kubaca,” katanya. “Kalian tidak menutupi masalah, justru mengajak kami jadi bagian dari solusinya. Jarang ada hotel yang begini.”

Hamzah menunduk. “Terima kasih, Bu. Kami sedang belajar menjadi rumah.”

Perempuan itu menoleh ke pigura. “Nyala itu menular, ya?”

Hamzah tertawa pelan. “Semoga.”

.

Panggung Terakhir—Dan Awal

Suatu siang, Mihrab mengirim pesan singkat: “Besok, tolong wakili hotel di forum kota: ‘Kota Ramah Bekerja’. Berceritalah.” Hamzah menatap kalender, tertawa sendiri. Ia tak pernah lelah diminta bercerita; suaranya sudah terbiasa mengantar orang tidur dan bangun dengan rasa tenang.

Di forum itu, ia tidak bicara angka; yang membicarakan angka sudah banyak. Ia membacakan potongan surat ibunya. Ia bercerita bagaimana KPI bukan hanya Key Performance Indicators, melainkan Keep People Informed, Interested, Involved, Inspired—empat pintu masuk yang membuat angka mengikuti dengan sendirinya. Ia bercerita tentang Qasim dan selimut, tentang Madi yang menemukan kegagahan dalam senter kecil, tentang Zuba yang menulis nama setiap karyawan baru di buku catatannya lalu menyapanya dengan panggilan yang tepat, tentang Maya yang menolak menulis press release yang terlalu manis.

“Apa keuntungan finansialnya?” tanya seseorang dari kursi belakang.

Hamzah tersenyum. “Keuntungan pertama: waktu. Ketika manusia saling percaya, waktu memperbaiki masalah jadi lebih singkat. Keuntungan kedua: energi. Energi yang biasanya terbuang untuk drama internal dipakai untuk memberi pengalaman yang lebih baik. Keuntungan ketiga: cerita. Dan cerita adalah mata uang paling kuat di kota yang bergerak terlalu cepat.”

Seorang lelaki muda menghampiri setelah sesi selesai. “Aku dulu magang housekeeping di hotelmu. Sekarang aku buka kafe kecil di Utan Kayu. Aku memajang empat kata itu di dapurku.”

Hamzah mengangguk, dada hangat seperti teh baru tumpah. “Jaga nyalanya,” katanya. “Jaga supaya tidak padam ditiup berita buruk.

.

Di Balik Pintu

Larut malam, Hamzah kembali ke kantornya. Kota, seperti selalu, tidak benar-benar tidur. Di laci, surat ibu masih ada. Di papan, spidol biru yang sama sejak bulan lalu. Ia menulis kalimat baru:

“Kota akan selalu punya alasan untuk membuat kita tergesa.
Kita harus selalu punya alasan untuk memperlambat—agar manusia sempat saling melihat.”

Ia mematikan lampu, lalu menoleh sebentar ke lobi. Pigura urip iku urup memantulkan cahaya lampu dinding. Di sofa, Qasim tertidur sejenak menunggu mobil jemputan malam. Zuba baru pulang dari lantai lima belas, memastikan kamar-kamar terisi aromaterapi yang menenangkan. Madi menutup pintu ruang genset. Maya menjadwalkan unggahan esok pagi: foto kopi hitam di depan jendela, caption “Pagi adalah kesempatan baru untuk ramah.”

Hamzah menarik napas. Empat kertas kecil di sakunya sudah lecek, tapi tulisan spidolnya masih jelas. Ia tahu, besok ia akan mengganti kertas-kertas itu dengan yang baru; bukan karena hurufnya pudar, melainkan karena niat perlu dirapikan setiap pagi, seperti sprei yang ditarik kencang dan diselipkan pada empat sudut kasur.

Di luar sana, jalan raya menyalakan dengung panjang—lagu yang kota selalu nyanyikan saat mengantar orang pulang dan menjemput mereka kembali. Hamzah melangkah. Lorong empat huruf menunggu lagi esok hari.

.

“Setiap kota butuh gedung-gedung tinggi, tapi yang membuatnya layak ditinggali adalah hati hati hati yang saling menyala.”

.

.

.

Jember, 10 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KotaDanKisah #Hospitality #Pariwisata #KPIHumanis #UripIkuUrup #ServiceFromTheHeart #CeritaUrban #ManajemenHotel #InspirasiKerja

Leave a Reply