Meja Bundar di Ujung Tropis
“Kadang yang paling berani dari seorang pemimpin adalah membiarkan ide orang lain bersinar, lalu ikut merayakan cahayanya.”
.
Kepemimpinan bukan tentang melakukan segalanya sendiri, tapi tentang percaya bahwa orang lain bisa melakukannya dengan caranya sendiri.
Langit Jakarta pagi itu menyerupai papan tulis yang baru diseka: licin, bersih, kosong dari jejak awan. Dari jendela lantai tujuh belas sebuah gedung kaca yang menghadap Teluk, kota memantulkan cahaya seperti serpih logam tajam. Lelanang berdiri memunggungi panorama itu, menatap bayangannya sendiri di dinding kaca ruang rapat—seolah bercakap-cakap dengan laki-laki yang beberapa tahun terakhir tak pernah benar-benar tidur.
Di ruangan itu, meja bundar menguasai pusat: kayu jati yang mengilap, bekas gelas kopi membentuk cincin-cincin samar, dan laptop menyala menunggu diketikkan takdir. Sekelilingnya, duduk orang-orang yang tumbuh bersama perusahaannya: Arimbi (produk), Jayeng (engine), Rengganis (brand), Madi (growth), Maya (people), dan Amar (finance). Nama-nama itu—seperti halaman-halaman dari kisah lama yang disalin ke kota modern—membentuk lingkar yang setara; tanpa kepala meja, tanpa sudut untuk bersembunyi.
“Pagi,” ucap Lelanang. Ia memutar pena Montblanc yang—ironisnya—hampir tak pernah dipakai menulis, lebih sering menjadi jangkar untuk gelisah. “Kita mulai dengan mendengar.”
Hening. Bukan hening yang menakutkan, melainkan ruang kosong tempat gagasan bisa diletakkan tanpa tumbang.
Arimbi mengatur napas. “Fitur pengingat berbasis kebiasaan sudah kita uji. Retensi tujuh hari naik 18%. Tapi ada satu catatan: pengguna menengah ke atas di Jakarta dan Surabaya tak suka diatur terlalu keras. Mereka mau diarahkan, bukan digurui.”
“Bahas di akhir. Dulu,” sela Rengganis, “brand kita terasa kaku. Kita butuh bahasa yang lebih… manusia, tanpa mengorbankan presisi.”
“Server cadangan butuh validasi ulang,” Jayeng menambahkan. “Sistem down tiga jam minggu lalu belum kelar di akar.”
Semua mata melirik Lelanang. Dahulu—dengan reflek seperti pisau—ia akan masuk ke detail: mengganti headline, menulis ulang PRD, ikut mengatur konfigurasi DNS. Tapi pagi itu berbeda. Ia hanya menunduk, mencatat di kertas kosong. Satu kata, lalu garis panjang: percaya.
.
Dalam Pusaran Micromanage
Tahun lalu, hidupnya dihuni notifikasi. Ia membiarkan jam biologisnya tunduk pada bunyi ping yang tak henti: kampanye digital jam satu, vendor AC putus kontrak jam tiga, tali tirai lantai duabelas putus jam lima. Di aplikasi chat, ia hadir di semua kanal: marketing, ops, pantry, bahkan office repair. Ada kebanggaan absurd ketika semua orang menoleh mencari arahan—dan selalu menemukannya. Kebanggaan yang ternyata menukar jiwa dengan jam.
Suatu malam, ia merosot di lantai apartemen, tubuh parafin tanpa nyala. Tak pingsan, tapi kosong. Suster di IGD menatapnya lewat masker, matanya sejuk seperti hujan kecil. “Mas, kadang tugas orang yang kuat adalah duduk sebentar dan mengizinkan orang lain berdiri.”
Kalimat itu menempel seperti stiker di helm—ikut ke mana-mana. Keesokan harinya, ia mematikan setengah notifikasi. Seminggu berikutnya, ia memberi mandat yang dulu mustahil ia lepaskan. Sebulan kemudian, ia belajar membiarkan kesalahan menyelesaikan kalimatnya sendiri.
.
Delegasi Pertama — Ketika Ide Dijalankan Orang Lain
Arimbi membawa maket sederhana: layar ponsel yang menggambar kebiasaan kecil—minum air, istirahat mata, berjalan tiga ribu langkah—diintegrasikan ke aplikasi mereka. Bukan konsep paling revolusioner, namun rapuh itu justru minta dirawat, bukan direbut.
“Biasanya saya yang pegang,” kata Lelanang. Suaranya tenang, menutupi riuh di dadanya. “Kali ini kamu yang pimpin, Rim. Saya percaya.”
Kata percaya memantul di dinding kaca. Arimbi mengangguk, dan dalam anggukannya ada sesuatu yang mekar: rasa memiliki. Tim produk bergerak seperti orkestra kecil; bukan sempurna, tapi punya napas. Saat fitur itu rilis, angka retensi menyetujui. Namun lebih dari metrik, ada yang lain: ruang gerak tim terasa lebih hangat. Mereka menoleh ke meja bundar, bukan hanya ke kursi Lelanang.
Malam itu, di rooftop kantor, angin dari teluk membawa aroma garam. “Aku takut, Lim,” bisik Lelanang, jujur seperti anak kecil di depan laut. “Takut kalau bukan aku yang mengerjakan, hasilnya akan… meleset.”
Arimbi tersenyum. “Setiap anak panah butuh meleset dulu, Lang. Baru ia belajar angin.”
.
Luka yang Tidak Terlihat — Kepercayaan yang Dikhianati
Tak semua delegasi berakhir manis. Madi, manajer baru yang berwajah terang dan kalimat-kalimat beraroma konferensi global, membakar anggaran promosi kuartal itu dalam satu tarikan napas: programmatic ads yang terlalu agresif, influencer yang besar nama kecil relevansi. Angka tak bergerak. Uang melayang.
“Maaf,” ujarnya di meja bundar, menatap kertasnya, bukan mata mereka. “Saya pikir ini momentum.”
Kecewa hadir seperti kabut: tidak menutupi pandang, tetapi mendinginkan. Lelanang menelan ludah. “Kita belajar dari arus, Mad. Agresif seperti berenang melawan ombak. Kadang yang paling jauh justru yang paling sabar.”
Ia tidak mempermalukan di forum. Ia mengajak Madi makan soto di warung belakang kantor—kaldu panas, daun bawang mengapung. “Besok kita hitung bareng. Kamu tetap pimpin, tapi kita pairing sama Amar. Kita jaga momentum, bukan memaksanya.”
Di jalan pulang, lampu kota seperti hujan bintang yang diatur algoritma. Lelanang belajar bahwa memaafkan bukan berarti membiarkan. Memaafkan berarti mengajarkan cara baru berdiri.
.
Meja Bundar dan Keajaiban Kepercayaan
Senin pagi, meja bundar menjadi ritual. Tak ada slide deck panjang; hanya satu pertanyaan yang bergilir: “Apakah ada yang kau takutkan minggu ini?”
Rengganis takut kehilangan arah suara brand karena komentar sinis di media sosial. Jayeng takut pada legacy code yang menolak disentuh. Maya takut pada burnout yang tak diucapkan—senyum yang terlalu rapi di jam kerja panjang. Amar takut pada runway yang menipis ketika ambisi membengkak.
“Kita bukan kerajaan,” kata Lelanang suatu pagi. “Kita ekosistem. Kita tumbuh karena yang kecil diizinkan bernapas.”
Mereka tertawa saat coffee drip tumpah dan menodai agenda; menertawai kekurangan adalah bahasa cinta di kota yang terlalu cepat. Di meja bundar, ide berkelindan, ego berkurang. Di lingkaran itu, tak ada sudut untuk menyembunyikan kebohongan atau kesombongan.
.
Perjalanan ke Timur — Belajar dari Tropis Nusantara
Di Labuan Bajo, seusai menjadi pembicara konferensi teknologi, Lelanang meminjam perahu nelayan. Sore menurunkan warna emas; laut setenang wajah bayi tidur. Seorang bapak tua duduk di haluan, tangannya cekatan, matanya memantau arus. Tanpa komando, tiga lelaki lain bergerak: satu menebar jala, satu memegang ember, satu menjaga keseimbangan.
“Siapa pemimpinnya, Pak?” tanya Lelanang.
Bapak itu terkekeh, keriputnya mengembang seperti peta sungai. “Kalau ombaknya kecil, perahu yang memimpin. Kalau ombaknya besar, angin yang memimpin. Kita ini cuma penafsir.”
Malamnya, ia menulis di catatan: Pemimpin baik adalah penafsir cuaca. Ia memilih kapan mendayung, kapan menunggu, kapan pulang.
Pulang ke Jakarta, ia membawa pulang kebijaksanaan asin: tak semua harus dikejar. Ada jam yang menghendaki kita duduk, mendengar air.
.
Arimbi dan Pelajaran Mengampuni
Peluncuran fitur baru berlangsung meriah—lobi kantor dipenuhi balon, live stream menampilkan komentar melesat. Lalu, blank screen. Server cadangan lupa diaktifkan. Tiga jam kekacauan; timeline terbakar. Investor menelpon, nada suaranya bara disiram bensin.
Arimbi berdiri di depan semua orang, wajahnya pucat. “Itu salahku. Aku—”
“—ini kecolongan sistem,” potong Lelanang. “Bukan satu orang.”
Ia mengumpulkan tim di meja bundar darurat. Bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk merancang post-mortem yang jujur. “Tuliskan semua, bahkan yang memalukan. Kita belajar bareng.”
Malam itu, setelah sistem pulih, Arimbi menangis di tangga darurat—tangis yang tak minta pengakuan, hanya minta dibiarkan ada. Lelanang duduk dua anak tangga di atas, memberi ruang. “Kamu tetap yang pimpin tahap perbaikan,” katanya pelan. “Aku percaya kamu bisa membuat luka ini jadi otot.”
Besoknya, dokumen post-mortem mereka menjadi rujukan: bukan karena sempurna, melainkan karena berani terang. Kesalahan disulap menjadi tangga.
.
Rumah, yang Sering Kita Tinggalkan
Di apartemen, jam dinding berlari seperti atlet. Ibunya menelpon dari Malang: suara yang dulu mengantar tidur, kini menjadi jangkar yang mengingatkan pulang. “Kapan ke sini? Bunga kenanga di halaman sudah mekar.”
“Sebentar lagi, Bu.” Jawaban yang sudah ia pakai seperti baju kaus favorit: nyaman, meski lama-lama pudar.
Di sudut meja makan, ada foto lama: dirinya dan adiknya, Maya—yang sekarang memimpin people. Mereka kecil, memegang bola plastik. Dulu kita memimpin permainan. Kini kita memimpin manusia. Bedanya: manusia punya luka. Ia tersenyum getir.
Mulai minggu itu, ia pulang lebih awal setiap Rabu. Bukan untuk work-life balance yang dilukis motivator, tapi untuk mengingat bahwa hidup tidak boleh dikontrakkan semua pada kantor. Di parkiran, ia melihat karyawan-karyawannya tertawa, mengikat helm, saling melambaikan tangan. Itu pemandangan yang memulihkan: organisasi sehat adalah yang membiarkan orang pulang dengan hati utuh.
.
Amar dan Sikap pada Angka
Amar menggeser kacamatanya. “Runway sembilan bulan kalau kita tetap bakar segini. Tapi kita bisa menggeser tiga hal: pricing, efisiensi cloud, dan kanal akuisisi.”
“Pricing?” Madi menyeringai ragu. “Pengguna kita sensitif.”
“Pengguna kita sensitif pada ketidakadilan,” sahut Rengganis. “Kalau value jelas, harga bukan musuh.”
Mereka menguji: menaikkan harga paket premium, menambah value yang sungguh berguna (bukan riasan). Tidak bombastis, tidak sinetron. Angka bergerak pelan, seperti jarum kompas yang akhirnya menemukan utara.
“Terima kasih,” kata Lelanang pada Amar setelah rapat. “Kamu membuat angka kembali manusia.”
Amar tertawa kecil. “Angka itu cerita yang malu-malu, Lang. Kita tinggal mendengarnya sampai selesai.”
.
Musim yang Berubah
Musim hujan tiba dengan agenda rahasia. Suatu pagi, Lelanang berdiri di lobby melihat tetes air menghapus debu dari kaca luar. Di belakangnya, lift berbunyi, menurunkan petinggi-petinggi yang biasa datang dengan harapan berkedip seperti lampu hazard. Hari itu, tidak ada yang mengejarnya di koridor. Bukan karena ia tak lagi penting, tetapi karena organisasi sudah belajar berjalan tanpa ditarik-tarik.
Di meja bundar, ia melirik kursi kosongnya sendiri. Itulah momen saat ide datang tanpa mengetuk: ia memutuskan menepi. Bukan karena lelah, melainkan karena matang.
“Setelah kita masuk bursa,” ujarnya pada rapat direksi, “aku akan mengundurkan diri dari kursi CEO dan menjadi komisaris. Bukan mundur, hanya berpindah peran—seperti nelayan yang merelakan perahu ke anak-anak muda, lalu mengajari membaca bintang.”
Ruang rapat menahan napas. Maya lebih dulu tersenyum. “Kamu akhirnya memilih duduk,” godanya, mengingatkan pada suster di IGD dulu.
Lelanang menulis satu kalimat di catatan Montblanc yang akhirnya digunakan sebagaimana mestinya: Saya tidak lagi memimpin. Saya mempercayakan.
.
Epilog di Ujung Tropis
Hari Jumat, selepas jam kantor, mereka merayakan kecil-kecilan di pantry. Kue bolu pandan, kopi hitam, dan tawa yang tidak butuh naskah. Arimbi mengangkat gelas kertas, “Untuk meja bundar yang mengajari kita bersuara.”
Jayeng menambahkan, “Untuk kesalahan yang kita ubah jadi ilmu.”
Maya mengangkat alis, “Untuk pulang lebih awal dan datang lebih manusia.”
Amar menepuk punggung Madi; kepercayaan diperbaiki, bukan diganti. Rengganis menempelkan poster baru di dinding: “Brand adalah janji yang ditepati pelan-pelan.”
Dari jendela, Teluk Jakarta mengirimkan kelip cahaya. Angin malam merayapi bawah daun palem di rooftop. Lelanang memandangi meja bundar kini setengah kosong, kursi didorong rapi, seolah lingkar itu punya napasnya sendiri—berdenyut pelan, tumbuh diam-diam.
Ia mengingat bapak nelayan di Labuan Bajo: Kalau ombaknya kecil, perahu yang memimpin. Kalau ombaknya besar, angin yang memimpin. Kita ini cuma penafsir.
Ia menutup buku catatan.
Besok, ia terbang ke Malang. Ada kenanga mekar yang menunggu cerita baru; ada ibu yang ingin mendengar bahwa anaknya akhirnya belajar seni paling sulit dari kepemimpinan: percaya, dan merayakan saat orang lain menjadi versi terbaik dirinya.
.
Catatan Reflektif & Solutif (untuk para pemimpin yang membaca cerita ini)
-
Meja Bundar: Bentuk rapat tanpa “kepala” menurunkan ego, menaikkan keterlibatan. Pakai satu pertanyaan pemantik: Apa yang paling kamu takutkan minggu ini?
-
Delegasi yang Sehat: Mandat harus datang dengan kejelasan tujuan, ukuran sukses, dan check-in ritmis—bukan check-up curiga.
-
Kesalahan = Modal: Lakukan post-mortem tertulis, fokus pada proses, bukan person. Terapkan blameless culture yang tetap akuntabel.
-
Angka yang Manusiawi: Setiap angka adalah kisah perilaku. Dengarkan konteks sebelum memutus anggaran atau menaikkan harga.
-
Ritme Pulang: Organisasi yang baik membiarkan orang pulang utuh. Kesehatan emosional adalah infrastruktur tak kasatmata.
-
Pemimpin Penafsir Cuaca: Tugas pemimpin adalah membaca musim: kapan mendorong, kapan menunggu, kapan menyerahkan kemudi. Itulah seni memimpin di “ujung tropis”—di mana badai dan pelangi sering datang di hari yang sama.
.
.
.
Jember, 3 Agustus 2025
.
.
#Kepemimpinan #Delegasi #BudayaOrganisasi #HumanLeadership #Cerpen #Jakarta #GrowthMindset #Teamwork #WorkCulture #LeadershipStory
.
Quotes Tambahan sejalan dengan tema cerita
-
“Kepercayaan tumbuh saat keberanian untuk tidak mengendalikan menjadi kebiasaan.”
-
“Delegasi bukan melepaskan tanggung jawab, melainkan memperluas kesempatan belajar.”
-
“Kesalahan yang diakui adalah pintu untuk pulih bersama.”
-
“Meja tanpa sudut mengajarkan kita: setiap suara pantas kembali ke pusat.”